BUDDHA

BAGIAN 1
BUDDHA GAUTAMA
Ajaran Buddha Gautama tetap dapat bertahan dengan gemilang dalam menghadapi berbagai kemajuan ilmu pengetahuan. Terdapat cukup banyak penemuan ilmiah yang membuktikan bahwa Ajaran Sang Buddha pada dua puluh lima abad yang lalu telah terbukti adanya sebagaimana yang telah dibabarkan dengan sempurna oleh Buddha Gautama. Hal ini juga diakui oleh Ilmuwan terkenal Albert Einstein (1879 – 1955) yang menyebutkan ” If there is any religion that would cope with modern scientific needs it would be Buddhism.”, yang dapat diartikan, bahwa hanya Buddhisme yang dapat menjawab kebutuhan ilmu pengetahuan modern.
Prinsip-prinsip ajaran pokok Sang Buddha, yaitu Cinta Kasih dan Kasih Sayang [Maitri Karuna] memiliki kekuatan revolusioner untuk menggairahkan masyarakat dengan lingkungannya menuju kebaikan. Ajaran Buddha Gautama dipercayai sebagai suatu ajaran yang mengarahkan perdamaian dunia dengan semboyan suci yaitu Cinta Kasih dan Kasih Sayang tanpa perbedaan.
Ajaran Buddha Gautama yang bersifat universal dapat berkembang pesat dan diterima oleh berbagai ragam kebudayaan, karena para penerus Ajaran ini mampu melakukan penyesuaian dalam menyebarluaskan Ajaran tersebut sesuai dengan budaya dan kebiasaan setempat.
BUDDHA GAUTAMA
Riwayat Singkat Guru Agung Buddha
Raja Suddhodana Gautama dengan permaisurinya Dewi Mahamaya yang cantik jelita memerintah kerajaan di Kapilawastu bagian selatan pegunungan Himalaya dengan adil dan bijaksana. Walaupun telah menikah 20 tahun lamanya, tetapi belum dikarunia seorang putrapun. Sampai pada suatu malam, Dewi Mahamaya bermimpi melihat seekor gajah putih yang untuk kemudian permaisuri lalu mengandung.
Menurut adat kebiasaan yang berlaku, permaisuri harus melahirkan di rumah orang tuanya, sehingga pada saat akan melahirkan, pergilah Dewi Mahamaya ke istana orang tuanya di kerajaan Koliya. Dalam perjalanan, Dewi Mahamaya berhenti untuk beristirahat di taman Lumbini. Pada saat beristirahat, lahirlah putranya.
Semua orang merasa bahagia, bahkan langit dan bumi seolah-olah turut juga menyambut kegembiraannya atas kelahiran putra Baginda yang jatuh pada saat bulan Purnama Siddhi di bulan Waisak (versi Buddhisme Mahayana, 566 SM hari ke – 8 bulan ke-4 menurut kalender lunar. Versi World Fellowship of Buddhist, bulan Mei tahun 623 SM).
Pada hari ke-lima kelahiran Pangeran, Baginda memberikan nama kepada putranya, Siddharta, yang berarti ‘tercapailah cita-citanya’. Dewi Mahamaya wafat seminggu setelah melahirkan putranya. Adiknya Dewi Mahaprajapati untuk kemudian diserahi tugas dan tanggung jawab dalam mengasuh dan mendidik Pangeran Siddharta.
Pada suatu hari, pertapa Asita yang berdiam di pegunungan dekat istana raja Suddhodana memperhatikan sinar yang memancar terang di istana dan memutuskan untuk mengunjungi istana. Baginda menyambut kedatangan pertapa Asita sambil memperlihatkan putranya. Begitu melihat Pangeran Siddharta, pertapa Asita menangis terharu sambil mengatakan, ” Sayang sekali, hamba sudah tua, kelak hamba tidak akan sempat menerima ajaran Sang Buddha, oh ! ” (Buddha berasal dari Budh, yang artinya kesadaran. Buddha berarti orang yang telah mencapai kesadaran sempurna). Baginda merasa terkejut dan meminta penjelasan lebih lanjut dari pertapa Asita yang menambahkan, ” Kelak dia akan meninggalkan istana untuk pergi bertapa mencari kesadaran sempurna. Baginda seharusnya bahagia, karena Pangeran adalah Permata Dunia yang mampu membebaskan makhluk-makhluk dari penderitaan. Dia adalah cahaya abadi dunia yang tak kunjung padam “.
Kata-kata pertapa Asita membuat Baginda tidak tenang siang dan malam, karena khawatir kalau putra tunggalnya akan meninggalkan istana dan menjadi pertapa, mengembara tanpa tempat tinggal. Untuk itu Baginda memilih banyak pelayan untuk merawat Pangeran Siddharta, agar putra tunggalnya menikmati hidup keduniawian. Segala bentuk penderitaan berusaha disingkirkan dari kehidupan Pangeran Siddharta, seperti sakit, umur tua, dan kematian. Sehingga Pangeran hanya mengetahui kenikmatan duniawi.
Dalam Usia 7 tahun Pangeran Siddharta telah mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Tetapi Pangeran Siddharta kurang berminat dengan pelajaran tersebut. Pangeran Siddharta mendiami tiga istana, yaitu istana musim semi, musim hujan dan pancaroba. Selama 10 tahun lamanya Pangeran Siddharta hidup dalam kesenangan duniawi.
Suatu hari Pangeran Siddharta meminta ijin untuk berjalan di luar istana, dimana pada kesempatan yang berbeda dilihatnya Empat Kondisi yang sangat berarti, yaitu orang tua, orang sakit, orang mati dan orang suci. Sehingga Pangeran Siddharta bersedih dan menanyakan kepada dirinya sendiri, ” Apa arti kehidupan ini, kalau semuanya akan menderita sakit, umur tua dan kematian. Lebih-lebih mereka yang minta pertolongan kepada orang yang tidak mengerti, yang sama-sama tidak tahu dan terikat dengan segala sesuatu yang sifatnya sementara ini ! “. Pangeran Siddharta berpikir bahwa hanya kehidupan suci yang akan memberikan semua jawaban tersebut.
Pergolakan batin Pangeran Siddharta berjalan terus sampai berusia 29 tahun, tepat pada saat putra tunggalnya Rahula lahir. Pada suatu malam, Pangeran Siddharta memutuskan untuk meninggalkan istananya dan dengan ditemani oleh kusirnya Canna. Tekadnya telah bulat untuk melakukan Pelepasan Agung dengan menjalani hidup sebagai pertapa.
Didalam pengembaraannya, pertapa Gautama mempelajari latihan pertapaan dari pertapa Bhagava dan kemudian memperdalam cara bertapa dari dua pertapa lainnya, yaitu pertapa Alara Kalama dan pertapa Udraka Ramputra. Namun setelah mempelajari cara bertapa dari kedua gurunya tersebut, tetap belum ditemukan jawaban yang diinginkannya . Sehingga sadarlah pertapa Gautama bahwa dengan cara bertapa seperti itu tidak akan mencapai Pencerahan Sempurna.
Kemudian pertapa Gautama meninggalkan kedua gurunya dan pergi ke Magada untuk melaksanakan bertapa menyiksa diri di hutan Uruwela, di tepi sungai Nairanjana yang mengalir dekat hutan Gaya. Walaupun telah melakukan bertapa menyiksa diri selama enam tahun di hutan Uruwela, tetap pertapa Gautama belum juga dapat memahami hakekat dan tujuan dari hasil pertapaan yang dilakukan tersebut.
Pada suatu hari pertapa Gautama dalam pertapaannya mendengar seorang tua sedang menasehati anaknya di atas perahu yang melintasi sungai Nairanjana dengan mengatakan, ” Bila senar kecapi ini dikencangkan, suaranya akan semakin tinggi. Kalau terlalu dikencangkan, putuslah senar kecapi ini, dan lenyaplah suara kecapi itu. Bila senar kecapi ini dikendorkan, suaranya akan semakin merendah. Kalau terlalu dikendorkan, maka lenyaplah suara kecapi itu.”
Nasehat tersebut sangat berarti bagi pertapa Gautama yang akhirnya memutuskan untuk menghentikan tapanya lalu pergi ke sungai untuk mandi. Badannya yang telah tinggal tulang hampir tidak sanggup untuk menopang tubuh pertapa Gautama. Seorang wanita bernama Sujata memberi pertapa Gautama semangkuk susu. Badannya dirasakannya sangat lemah dan maut hampir saja merenggut jiwanya, namun dengan kemauan yang keras membaja, pertapa Gautama melanjutkan samadhinya di bawah pohon Bodhi (Asetta) di hutan Gaya, sambil berprasetya, “Meskipun darahku mengering, dagingku membusuk, tulang belulang jatuh berserakan , tetapi aku tidak akan meninggalkan tempat ini sampai aku mencapai Pencerahan Sempurna.”
Perasaan bimbang dan ragu melanda diri pertapa Gautama, hampir saja Beliau putus asa menghadapi godaan Mara, setan penggoda yang dahsyat itu. Dengan kemauan yang keras membaja dan dengan iman yang teguh kukuh, akhirnya godaan Mara dapat dilawan dan ditaklukkannya. Hal ini terjadi ketika bintang pagi memperlihatkan dirinya di ufuk timur. Sekarang pertapa Gautama menjadi terang dan jernih, secerah sinar fajar yang menyingsing di ufuk timur. Pertapa Gautama telah mencapai Pencerahan Sempurna dan menjadi Samyaksam-Buddha [Sammasam-Buddha], tepat pada saat bulan Purnama Raya di bulan Waisak ketika Beliau berusia 35 tahun (menurut versi Buddhisme Mahayana, 531 SM pada hari ke-8 bulan ke-12, menurut kalender Lunar. Versi WFB, pada bulan Mei tahun 588 SM). Pada saat mencapai Pencerahan Sempurna, dari tubuh Beliau memancarkan enam sinar Buddha [Buddharasmi] dengan warna warni Biru yang berarti bhakti; Kuning mengandung arti kebijaksanaan dan pengetahuan; Merah yang berarti kasih sayang dan welas-asih; Putih mengandung arti suci; Jingga berarti giat; dan campuran ke-lima sinar tersebut.
Setelah mencapai Pencerahan Sempurna, pertapa Gautama mendapat gelar kesempurnaan yang antara lain : Buddha Gautama, Buddha Shakyamuni, Tathagata (‘Ia Yang Telah Datang’, Ia Yang Telah Pergi’), Sugata (‘Yang Maha Tahu’), Bhagava (‘Yang Agung’) dan sebagainya. Lima pertapa yang mendampingi Beliau di hutan Uruwela merupakan murid pertama Sang Buddha yang mendengarkan khotbah pertama [Dharmacakra Pravartana/Dhammacakka Pavattana], dimana Beliau menjelaskan mengenai Jalan Tengah yang ditemukanNya, yaitu Delapan Ruas Jalan Kemuliaan termasuk awal khotbahNya yang menjelaskan Empat Kebenaran Mulia.
Buddha Gautama berkelana menyebarkan Dharma selama empat puluh lima tahun lamanya kepada umat manusia dengan penuh cinta kasih dan kasih sayang, hingga akhirnya mencapai usia 80 tahun, dimana Beliau mengetahui bahwa tiga bulan lagi Beliau akan Parinibbana.
Sang Buddha dalam keadaan sakit terbaring di antara dua pohon Sala di Kusinagara, memberikan khotbah Dharma terakhir kepada siswa-siswaNya, lalu Parinibbana (versi Buddhisme Mahayana, 486 SM pada hari ke-15 bulan ke-2 kalender Lunar. Versi WFB pada bulan Mei, 543 SM).
Khotbah Buddha Gautama terakhir mengandung arti yang sangat dalam bagi siswa-siswaNya, yang antara lain :
• Percaya pada diri sendiri dalam mengembangkan Ajaran Sang Buddha.
• Jadikanlah Ajaran Sang Buddha (Dharma) sebagai pencerahan hidup.
• Segala sesuatu tidak ada yang kekal abadi.
• Tujuan dari Ajaran Sang Buddha (Dharma) ialah untuk mengendalikan pikiran.
• Pikiran dapat menjadikan seseorang menjadi Buddha, namun pikiran dapat pula
menjadikan seseorang menjadi binatang.
• Hendaknya saling menghormati satu dengan yang lain dan dapat menghindarkan diri dari segala macam perselisihan.
• Bilamana melalaikan Ajaran Sang Buddha, dapat berarti belum pernah berjumpa dengan Sang Buddha.
• Mara (setan) dan keinginan nafsu duniawi senantiasa mencari kesempatan untuk menipu umat manusia.
• Kematian hanyalah musnahnya badan jasmani.
• Buddha yang sejati bukan badan jasmani manusia, tetapi Pencerahan Sempurna.
• Kebijaksanaan Sempurna yang lahir dari Pencerahan Sempurna akan hidup selamanya di dalam Kebenaran.
• Hanya mereka yang mengerti, yang menghayati dan mengamalkan Dharma yang akan melihat Sang Buddha.
• Ajaran yang diberikan oleh Sang Buddha tidak ada yang dirahasiakan, ditutup-tutupi ataupun diselubungi.
Sang Buddha bersabda, “Dengarkan baik baik, wahai para bhikkhu, Aku sampaikan padamu: Akan membusuklah semua benda benda yang terbentuk, berjuanglah dengan penuh kesadaran!” (Digha Nikaya II, 156)
Sifat Agung Sang Buddha
Seorang Buddha memiliki sifat Cinta Kasih [maitri/metta] dan Kasih Sayang [karuna] yang diwujudkan oleh sabda Buddha Gautama, ” Penderitaanmu adalah penderitaanku, dan kegembiraanmu adalah kegembiraanku.” Manusia adalah pancaran dari semangat Cinta Kasih dan Kasih Sayang yang dapat menuntunnya kepada Pencerahan Sempurna.
Cinta Kasih dan Kasih Sayang seorang Buddha tidak terbatas oleh waktu dan selalu abadi, dimana telah ada dan memancar sejak manusia pertama kalinya terlahir dalam lingkaran hidup roda samsara yang disebabkan oleh ketidaktahuan atau kebodohan-batinnya. Jalan untuk mencapai Kebuddhaan ialah dengan melenyapkan ketidaktahuan atau kebodohan batin yang dimiliki oleh manusia. Pada waktu Pangeran Siddharta meninggalkan kehidupan duniawi, Beliau telah mengikrarkan Empat Prasetya yang berdasarkan Cinta Kasih dan Kasih Sayang yang tidak terbatas, yaitu :
1. Berusaha menolong semua makhluk.
2. Menolak semua keinginan nafsu keduniawian.
3. Mempelajari, menghayati dan mengamalkan Dharma.
4. Berusaha mencapai Pencerahan Sempurna.
Buddha Gautama pertama melatih diri untuk melaksanakan amal kebajikan kepada semua makhluk dengan menghindarkan diri dari sepuluh tindakan yang diakibatkan oleh tubuh, ucapan dan pikiran, yaitu
• Tubuh [kaya] : pembunuhan, pencurian, perbuatan jinah.
• Ucapan [vak] : penipuan, pembicaraan fitnah, pengucapan kasar, percakapan tiada manfaat.
• Pikiran [citta] : kemelekatan, niat buruk dan kepercayaan yang salah.
Cinta Kasih dan Kasih Sayang seorang Buddha adalah cinta kasih untuk kebahagiaan semua makhluk seperti orang tua mencintai anak-anaknya, dan mengharapkan berkah tertinggi terlimpah kepada mereka. Bagaikan hujan yang jatuh tanpa membeda-bedakan, demikianlah Cinta Kasih seorang Buddha. Akan tetapi terhadap mereka yang menderita sangat berat atau dalam keadaan batin gelap, Sang Buddha akan memberikan perhatian khusus. Dengan Kasih SayangNya, Sang Buddha menganjurkan supaya mereka berjalan di atas jalan yang benar dan mereka akan dibimbing dalam melawan kejahatan, hingga tercapai Pencerahan Sempurna. Sang Buddha adalah ayah dalam kasih sayang dan ibu dalam cinta kasih.
Sebagai Buddha yang abadi, Beliau telah mengenal semua orang dan dengan menggunakan berbagai cara Beliau telah berusaha untuk meringankan penderitaan semua makhluk. Buddha Gautama mengetahui sepenuhnya hakekat dunia, namun Beliau tidak pernah mau mengatakan bahwa dunia ini asli atau palsu, baik atau buruk. Beliau hanya menunjukkan tentang keadaan dunia sebagaimana adanya. Buddha Gautama mengajarkan agar setiap orang memelihara akar kebijaksanaan sesuai dengan watak, perbuatan dan kepercayaan masing-masing. Beliau tidak saja mengajarkan melalui ucapan, akan tetapi juga melalui perbuatan. Meskipun bentuk fisik tubuhNya tidak ada akhirnya, namun dalam mengajar umat manusia yang mendambakan hidup abadi, Beliau menggunakan jalan pembebasan dari kelahiran dan kematian untuk membangunkan perhatian mereka.
Seorang Buddha memiliki sifat luhur antara lain :
1. Bertingkah laku baik;
2. Berpandangan hidup luhur;
3. Memiliki kebijaksanaan sempurna;
4. Memiliki kepandaian mengajar yang tiada bandingnya;
5. Memiliki cara menuntun dan membimbing manusia dalam mengamalkan Dharma.
Buddha Gautama memelihara semangatNya yang selalu tenang dan damai dengan melaksanakan meditasi. Sang Buddha membersihkan pikiran mereka dari kekotoran bathin dan menganugerahkan mereka kegembiraan dengan semangat tunggal yang sempurna. Jangkauan pikiran Sang Buddha melampaui jangkauan pikiran manusia biasa. Dengan kebijaksanaan yang sempurna, Buddha Gautama dapat menghindarkan diri dari sikap-sikap ekstrim dan prasangka, serta memiliki kesederhanaan. Oleh karena itu Beliau dapat mengetahui dan mengerti pikiran dan perasaan semua orang dan dapat melihat yang ada dan yang terjadi di dunia dalam sekejap, sehingga mendapatkan julukan seorang yang telah Mencapai Pencerahan Sempurna [Sammasam-Buddha] dan Yang Maha Tahu [Sugata].
Pengabdian Buddha Gautama telah membuat diriNya mampu mengatasi berbagai masalah didalam berbagai kesempatan yang pada hakekatnya adalah Dharma-kaya, yang merupakan keadaan sebenarnya dari hakekat yang hakiki dari seorang Buddha. Sang Buddha adalah pelambang dari kesucian, yang tersuci dari semua yang suci. Karena itu, Sang Buddha adalah Raja Dharma yang agung. Beliau dapat berkhotbah kepada semua orang, kapanpun dikehendakiNya. Sang Buddha mengkhotbahkan Dharma, akan tetapi sering terdapat telinga orang yang bodoh karena keserakahannya dan kebenciannya, tidak mau memperhatikan dan mendengarkan khotbahNya. Bagi mereka yang mendengarkan khotbahNya, yang dapat mengerti dan menghayati serta mengamalkan Sifat Agung Sang Buddha akan terbebas dari penderitaan hidup. Mereka tidak akan dapat tertolong hanya karena mengandalkan kepintarannya sendiri.
Buddha Gautama bersabda, ” Hanya dengan jalan melalui kepercayaan, keyakinanlah, mereka akan dapat mengikuti ajaranKu. Karena itu setiap orang hendaknya mau mendengarkan ajaranKu, kemudian menghayati dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.”
Wujud dan Kehadiran Buddha
Buddha tidak hanya dapat diketahui dengan hanya melihat wujud dan sifatNya semata-mata, karena wujud dan sifat luar tersebut bukanlah Buddha yang sejati. Jalan yang benar untuk mengetahui Buddha adalah dengan jalan mencapai Pencerahan Sempurna. Buddha sejati tidak dapat dilihat oleh mata manusia biasa, sehingga Sifat Agung seorang Buddha tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Namun Buddha dapat mewujudkan diriNya dalam segala bentuk dengan sifat yang serba luhur. Apabila seseorang dapat melihat jelas wujudNya atau mengerti Sifat Agung Buddha, namun tidak tertarik kepada wujudNya atau sifatNya, dialah yang sesungguhnya yang telah mempunyai kebijaksanaan untuk melihat dan mengetahui Buddha dengan benar.

Buddha di Rumah
Fu-hauzi adalah seorang pemuda yang berwatak tidak sopan terhadap ibunya yang sudah tua dan tinggal sendirian bersamanya. Fu-hauzi selain malas juga pemarah sekali, sehingga ibunya yang masih bekerja sendirian tersebut sering menjadi obyek amarahnya. Tetapi ibunya tetap sabar dan mengasihi anak tunggalnya tersebut.
Sampai suatu hari, pemuda ini mendapatkan khabar bahwa di seberang lautan dekat puncak gunung, terdapat seorang Buddha yang sangat sakti dimana setiap permintaan dapat dipenuhinya. Fu-hau-zi yang memang sifatnya malas, berminat untuk bertemu Buddha tersebut agar dapat langsung memperoleh kesaktian sehingga tidak perlu susah bekerja. Maka berangkatlah Fu-hauzi seorang diri yang tentunya tanpa pamit kepada ibunya.
Sampai di gunung seberang, dia bertemu dengan seorang bhikshu tua sederhana yang telah berjenggot, maka diapun bertanya , “Kakek tua, saya ingin bertemu dengan Buddha”. Kakek tua tersebut yang mengetahui pemuda ini, menyahut, “Anak muda, sekarang Buddha itu sedang menunggu di rumahmu. Ciri-cirinya adalah berpakaian terbalik dan sandal yang terbalik yang akan menyambutmu di depan pintu rumahmu. Pergilah menemuinya karena dia telah lama menunggumu.”
Merasa girang bahwa rupanya Buddha telah datang ke rumahnya dan menungguinya, maka Fu-hauzi segera pulang ke rumah sambil berpikir dalam hati, “Sungguh sakti Buddha tersebut, dan sungguh beruntung saya karena telah ditunggui oleh Buddha di rumah”. Sesampai di depan pintu rumahnya, segera Fu-hauzi menggedor pintu dan memanggil nyaring ibunya untuk membukakan pintu. Ibunya yang sedang tidur siang, terkejut dan karena khawatir membuat anaknya marah serta senang juga mendengar anaknya telah kembali setelah pergi sekian lama tanpa permisi ,maka dengan tergopoh-gopoh ibu tua ini memakai baju terbalik dan sandal terbalik. Segera dibukakannya pintu rumah, pemuda ini melihat persis ciri seorang Buddha yang digambarkan oleh bhikshu tua di gunung seberang, yang malah menangis memeluknya. Segera Hauzi berlutut di depan ibunya dan sadar akan tabiat buruknya selama ini. Sejak itu Hauzi menjadi anak yang berbakti dan bekerja dengan rajin.
Demikianlah Buddha adalah Pencerahan Sempurna, sehingga tidak dapat dicari dari bentuk luar saja karena tidak berbentuk dan berwujud. Tubuh Buddha merupakan badan abadi yang perwujudanNya adalah Kebijaksanaan. Pencerahan Sempurna memperlihatkan diri sebagai cahaya kebijaksanaan yang membangkitkan orang ke dalam suatu kehidupan baru dan menyebabkan mereka terlahir di tanah Buddha.
Ajaran esoterik menguraikan Buddha memiliki tiga rangkap badan [Tri-Kaya], yaitu Dharma-Kaya, Sambogha-Kaya dan Nirmana-Kaya. Dharma-Kaya adalah sumbernya Dharma, dimana merupakan kesunyataan sebagai hakikat yang hakiki tanpa bentuk dan warna. Buddha sebagai perwujudan Dharma-Kaya selalu berada di seluruh alam semesta, tidak peduli apakah orang percaya atau tidak percaya pada keberadaanNya. Sambogha-Kaya merupakan sifat Agung Buddha yang merupakan gabungan Kasih Sayang dan Kebijaksanaan. Sambhogha-Kaya berwujud sebagai kekuatan atau cahaya yang hanya dapat dirasakan secara rohani, dan diwujudkan dalam bentuk simbol dari kelahiran dan kematian. Nirmana-Kaya merupakan Buddha Hidup atau Manusia Buddha yang berarti perwujudan fisik dari seorang Buddha, dalam usaha melaksanakan misiNya kepada manusia sebagaimana tercermin pada tubuh Buddha Gautama. Buddha Gautama dengan menggunakan perwujudan Nirmana-Kaya membimbing umat manusia, agar dapat terbebaskan dari penderitaan karena umur tua dan kematian. Dalam perwujudanNya sebagai Nirmana-kaya, terdapat Buddha Masa Lalu, Buddha Sekarang dan Buddha Yang Akan Datang. Buddha Masa Lalu adalah sebelum kehadiran Buddha Gautama, yaitu Buddha Kanogamana, Buddha Kakusundha dan Buddha Kassapa. Sedangkan Buddha Yang Akan datang sebagaimana sabda Buddha Gautama adalah Buddha Maitreya [Metteya], yang sekarang masih bertugas sebagai Bodhisattva dan berdiam di Tanah Suci Tusita. Buddha Gautama bersabda, bahwa Bodhisattva Maitreya akan menjadi Buddha Yang Akan Datang 5.000 tahun setelah Parinibbana Buddha Gautama, atau menurut perhitungan lain yaitu 5.670.000.000 tahun manusia.
Kehadiran seorang Buddha yang telah mencapai Pencerahan Sempurna untuk mengajarkan Dharma di dunia ini sangatlah jarang terjadi. Kehadiran Buddha di dunia ini, karena terpanggil oleh jeritan penderitaan umat manusia. Muncul dan hilangnya Buddha merupakan suatu kenyataan dari hukum sebab akibat yang saling bergantungan, namun Kebuddhaan selalu ada dan dalam keadaan yang sama. Untuk itu sebagai umat Buddha hendaknya selalu tetap pada Jalan Pencerahan Sempurna, sehingga dapat mencapai kebijaksanaan sempurna, dimana tidak terpengaruh oleh kehadiran Buddha. Bentuk asli Buddha pada hakekatnya tidak akan muncul atau lenyap. Buddha selalu ada di sekeliling kita, dan di dalam diri kita, namun sering kita tidak menyadarinya.
Buddha Gautama bersabda: “Sekarang Aku ingat, Ananda, ketika Aku masuk ke dalam kumpulan orang-orang penting, orang-orang religius, perumahtangga, orang-orang dari kepercayaan lain, dan beragam dewa; sebelum Aku duduk dan berbicara kepada mereka, Aku mengubah diriKu sendiri menjadi seperti mereka, berbicara seperti mereka. Tatkala Aku telah selesai membabarkan Ajaran, mereka sangat gembira. Namun, mereka tidak mengetahui siapa Aku, bahkan setelah Aku tiada!” (Mahaparinibbana-sutta)
Ketika kita menyatakan berlindung kepada Buddha (Buddhang Saranang Gacchami) berarti kita harus memiliki kepercayaan terhadap Sang Buddha dan mempertimbangkan ajaran-ajaranNya sebagai suatu hal yang terpenting dalam menjalani kehidupan ini.
AJARAN-AJARAN POKOK SANG BUDDHA [DHARMA]
Secara umum ajaran Buddha Gautama dapat diringkas sebagai berikut :
1. Tri-Ratna : Buddha, Dharma dan Sangha
Ini merupakan pokok ajaran Buddha Gautama, dimana umat Buddha menyatakan perlindungan terhadap Buddha, Dharma dan Sangha (dalam Buddhisme Vajrayana/Tantrayana ditambahkan pernyataaan perlindungan terhadap Guru spiritual yang membimbingnya kepada Dharma ).
2. Empat Kebenaran Mulia [Catvari Arya Satyani/ Ariya Sacca], terdiri dari :
• Kebenaran Mulia tentang Adanya Penderitaan [Dukkha Arya Satyani/ Dukkha Ariya Sacca].
• Kebenaran Mulia tentang Penyebab Penderitaan [Dukkha Samudya Arya Satyani/Dukka Samudaya Ariya Sacca].
• Kebenaran Mulia tentang Pelenyapan Penderitaan [Dukkha Nirodha Arya Satyani/ Dukkha Nirodha Ariya Sacca].
• Kebenaran Mulia tentang Jalan menuju Pelenyapan Penderitaan [Dukkha Nirodha Gamini
• Patipada Arya Satyani/ Dukkha Nirodha Gamini Patipada Ariya Sacca], yang mana
• mencakup Delapan Ruas Jalan Kemuliaan [Hasta Arya Marga], yaitu :
1. Pandangan Benar [Samyag-drsti/ Samma-ditthi].
2. Pikiran Benar [Samyag-samkalpa/ Samma-samkappa].
3. Ucapan Benar [Samyag-vag/ Samma-vaca].
4. Perbuatan Benar [Samyag-karmanta/ Samma-kammanta].
5. Mata Pencaharian Benar [Samyag-ajiva/ Samma-ajiva].
6. Usaha Benar [Samyag-vyayama/ Samma- vayama].
7. Kesadaran Benar [Samyag-smrti/ Samma-sati].
8. Konsentrasi Benar [Samyag-samadhi/ Samma-samadhi].
3. Tiga Tanda Keberadaan Alam Semesta [Trilaksana/Tilakhana] , terdiri dari :
1. Ketidak-kekalan [Anitya / Anicca].
2. Penderitaan [Dukkha].
3. Ketanpa-intian/Ketanpa-aku-an [Anatma / Anatta].
4. Hukum Sebab Akibat [Pratityasamudpada / Patticca Samuppada] : Hukum tentang sebab akibat yang saling berkaitan.
5. Hukum Karma dan Tumimbal Lahir
6. Tiga Keranjang Sutra [Tripitaka/Tipitaka].
3
Empat Kebenaran Mulia
Sesudah Sang Buddha mengalami Pencerahan Sempurna dimana baru saja mengalami batin yang luhur, keleluasan dan kebajikan diri sejati, maka Beliau merasakan sangat sukar untuk dapat mengungkapkan pengalaman batinNya tersebut kepada pihak lain yang tidak akan bisa mengerti. Kemudian Sang Buddha berpikir, “Bagaimana seandainya aku hidup menghormati dan memuja AjaranKu sendiri yang telah kupahami sendiri?” Beliau terus merenung akan keraguan orang lain yang masih dikuasai oleh keserakahan dan kebencian dapat menyerap AjaranNya yang berjalan menentang arus, yang sulit dimengerti, mendalam, sukar dirasakan dan halus.
Namun dalam keraguanNya itu, muncullah di hadapan Beliau, Brahma Sahampati dari alam Brahma dan memohon kepadaNya, “Bangkitlah, O Pahlawan, pemenang dalam pertempuran, pemimpin iring-iringan, Yang bebas dari hutang, dan berkelana di dunia! Biarlah Yang Mulia mengajarkan Dharma. Akan ada yang mampu memahami Dharma.”
Dengan kebijaksanaanNya yang tinggi, Sang Buddha memeriksa dunia, Beliau melihat makhluk dengan sedikit dan banyak debu di mata mereka, dengan kecerdasan yang tajam dan tumpul, dengan sifat yang baik dan buruk, makhluk yang mudah dan makhluk yang sulit untuk diajarkan Dharma, dan ada sedikit yang memandang kejahatan dan kehidupan setelah ini dengan ketakutan, kemudian Beliau menyapa Brahma Sahampati, “Terbukalah bagi mereka Pintu menuju keabadiaan. Biarlah mereka yang mempunyai telinga bersandar pada keyakinan. Sadar akan adanya kebosanan, O Brahma, Aku tidak mengajar di antara manusia, Dharma yang indah dan hebat.”
Setelah menerima permintaan untuk mengajarkan Dharma berulang kali dari Brahma Sahampati, maka akhirnya Sang Buddha berpikir kepada siapa harus dimulai tugas agung pertama Beliau tersebut. Kemudian Beliau bermaksud mencari lima pertapa (Kondanna, Bhaddiya, Vappa, Mahanama dan Assaji) yang pernah menemaniNya dulu dalam cara pertapaan menyiksa diri. Setelah tiba di Taman Rusa di Benares, maka dengan penampilan Beliau yang demikian hebat telah memaksa ke lima pertapa untuk memberikan penghormatan. Sesudah meyakinkan para pertapa yang pada mulanya agak keras kepala untuk dapat menerima Ajaran Sang Buddha, akhirnya kelima pertama tersebut dapat dibimbing dan diberi petunjuk oleh Sang Buddha ke dalam bentuk pemahaman bahwa Kebebasan adalah merupakan pencapaian Nirvana [Nibbana] , yaitu bebas dari kelahiran, kelapukan, penyakit, kematian, penderitaan, dan nafsu keinginan.
Dalam khotbah Dharma pertama yang dinamakan Pemutaran Roda Dharma [Dharmacakra Pravartana/Dhammacakka Pavattana] , Sang Buddha menjelaskan Jalan Tengah [Madhyama Pratipada/Majjhima Patipada] yang telah Beliau temukan dimana merupakan intisari Ajaran Beliau. Beliau mengawali khotbah ini dengan menasihati ke lima pertapa yang waktu itu masih mempercayai cara bertapa menyiksa diri, agar dapat menghindari kemelekatan pada nafsu keinginan inderawi yang rendah [kamasukhallikanuyoga] dan cara bertapa menyiksa diri [attakilamathanuyoga] karena hal tersebut tidak akan membawa Kedamaian dan Kebebasan.
Manusia sebagai makhluk hidup memang lemah adanya dimana pada saat kita mati, keempat unsur –tanah, air, api, dan udara– saling melebur satu per satu, dan akhirnya menyatu dengan alam semesta. Namun ketika kita hidup, kita berbagi energi yang mampu melakukan segala-galanya, dari sehelai rumput sampai menjadi seekor gajah, tumbuh dan hidup, kemudian yang tidak bisa dihindarkan, tua dan mati. Pemahaman bijaksana akan Kebebasan merupakan kelahiran yang terakhir sehingga akan bebas dari segala penderitaan.
Buddha Gautama bersabda : ” Ia yang telah berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha, dengan bijaksana dapat melihat Empat Kebenaran Mulia, yaitu : dukkha, sebab dari dukkha, akhir dari dukkha, serta Delapan Ruas Jalan Kemuliaan yang menuju pada akhir dukkha. Sesungguhnya itulah perlindungan yang utama. Dengan pergi mencari perlindungan seperti itu, orang akan bebas dari segala penderitaan.” (Dhammapada, 190 – 192 ).
1. Kebenaran Mulia tentang Adanya Penderitaan
Buddha Gautama menemukan bahwa pelenyapan dari penderitaan dimulai dengan mengakui kehidupan di dunia ini penuh dengan penderitaan. Jika direnungi kehidupan ini akan disadari, bahwa dunia penuh dengan penderitaan, baik penderitaan secara fisik maupun penderitaan secara mental. Penderitaan fisik terwujud dalam berbagai bentuk, dimulai saat kelahiran [jati], usia tua [jara], sakit [vyadhi] dan kematian [marana]. Sedangkan penderitaan mental antara lain; orang yang pikirannya diliputi dengan kebencian, merana, berpisah dengan orang yang dicintai, berkumpul dengan orang yang tidak disenangi, tidak tercapai kehidupan yang penuh diliputi oleh berbagai keinginan dan nafsu yang dirasakan oleh Lima Unsur Kemelekatan yang merupakan obyek yang dicerap oleh panca indera [pancarammana / pancalambana]; yaitu obyek bentuk (penglihatan), obyek suara (pendengaran), obyek bau (penciuman), obyek rasa ( pengecapan, perasaan) dan obyek sentuhan (persentuhan) ; termasuk keinginan akan kekayaan, teman yang menyenangkan, makanan minuman dan ketenaran.
Oleh karena itu, memahami keberadaan penderitaan hanyalah satu bagian dari proses. Bagaimana mengakhiri penderitaan, sehingga kita dapat bebas adalah tujuan terakhir tentang penderitaan dalam Ajaran Sang Buddha. Jika kita dapat memahami dengan jelas penyebab penderitaan itu dan menemukan jalan untuk mengatasinya, kita akan bebas dari lautan penderitaan yang dalam dan menikmati kebahagiaan sejati dalam kehidupan saat ini.
Demikian juga terdapat hakekat timbulnya suatu penderitaan yang disebabkan berbagai faktor ketidak-harmonisan, antara lain:
– Ketidak-harmonisan antara benda-benda materi dengan diri kita.
– Ketidak-harmonisan antara orang-orang dengan diri kita.
– Ketidak-seimbangan antara tubuh dengan diri kita.
– Ketidak-seimbangan antara pikiran dengan diri kita.
– Ketidak-harmonisan antara keinginan dengan diri kita.
– Ketidak-harmonisan antara pandangan dengan diri kita.
– Ketidak-harmonisan antara alam dengan diri kita.
Penderitaan dan kebahagiaan pada hakekatnya sering terjadi karena ketidak-harmonisan antara pandangan dengan diri kita sendiri. Sudut pandang negatif sering menimbulkan cara berpikir pesimis, sebaliknya sudut pandang positif akan menghasilkan cara berpikir yang optimis, sebagaimana dapat dihayati pada cerita berikut ini.
Ibunda Yang Risau
Terdapat seorang nenek tua yang mempunyai dua anak perempuan yang menopang kehidupan keluarganya dengan masing-masing berjualan payung dan dupa. Anak perempuan pertama selalu mengharapkan hujan agar payungnya lebih laku. Sedangkan anak perempuan kedua mengharapkan matahari bersinar terang supaya dupanya dapat terjemur dengan kering.
Setiap kali hujan turun, ibunya yang sangat menyayangi kedua putrinya tersebut selalu merisaukan putrinya yang berjualan dupa, dan mengharapkan hujan segera berhenti. Sebaliknya kalau matahari bersinar cerah, ibunya juga merisaukan putrinya yang berjualan payung, dan mengharapkan agar segera hujan turun. Demikianlah kerisauan ibunda ini berjalan terus setiap hari, tanpa disadarinya dia telah terlarut dalam kesedihan dan penderitaan yang diciptakan oleh pikirannya sendiri.
Sampai suatu hari, datanglah seorang mahabhikshu yang melewatinya dan melihatnya sedang berkeluh-kesah. Mahabhikshu tersebut mulai menanyakannya, “Kenapa Anda bersedih sekali, apakah telah terjadi sesuatu yang menimpa keluarga Anda?” Ibu yang sangat menghormati kehidupan bhikshu ini terkejut dengan teguran tersebut dan segera memberikan hormat kepada mahabhikshu, dan menceritakan kejadian yang membuatnya hatinya risau dan sedih. Mahabhikshu yang setelah mengerti duduk perkara yang membuat ibu ini risau, maka menasehatinya, “Ibunda yang baik, mulai sekarang coba Anda memikirkan kebahagiaan putri Anda yang berjualan payung pada saat hujan, sedangkan pada saat matahari bersinar cerah pikirkanlah kebahagiaan putri Anda yang berjualan dupa. Dengan demikian Anda tidak perlu terlarut lagi dalam kesedihan.”
Ibunda tersebut menuruti nasehat mahabhikshu, dan mulai memikirkan kebahagiaan putrinya yang berjualan payung pada saat turun hujan, sedangkan pada saat matahari bersinar cerah dia memikirkan kebahagiaan putrinya yang sedang menjemur dupa. Demikianlah akhirnya ibu ini tidak lagi menderita karena kerisauan pikirannya, tetapi dapat menjalani kehidupannya dengan berbahagia karena sudut pandang positifnya sendiri.
2. Kebenaran Mulia tentang Penyebab Penderitaan
Sebelum Buddha Gautama menemukan solusi terhadap masalah penderitaan dalam kehidupan ini, maka dihayati dulu penyebab dari penderitaan tersebut. Sebagaimana layaknya seorang dokter yang mengobservasi penyakit pasiennya dan mengidentifikasikan penyebab dari penyakit tersebut sebelum membuka resep obat. Buddha Gautama menemukan, bahwa penyebab langsung penderitaan adalah nafsu keinginan rendah dan kebodohan batin/ketidak-pedulian.
Nafsu Keinginan Rendah [trsna/ tanha]
Nafsu keinginan rendah merupakan suatu kemauan yang dalam terhadap kesenangan jasmani, rohani dan nafsu keduniawian. Sebagai contoh, setiap orang selalu ingin mencari makanan yang enak, permainan yang baru dan teman yang menyenangkan. Tetapi hal tersebut biasanya tidak memberikan kepuasan yang kekal. Sesudah makanan enak selesai disantap, permainan baru sudah dimainkan, teman yang menyenangkan sudah ketemu, masih saja dirasakan adanya yang kurang. Walaupun demikian tetap saja orang selalu ingin menikmati kembali kesenangan tersebut dalam kesempatan apapun dan sesering mungkin.
Orang yang ingin memiliki segala sesuatu tidaklah pernah merasa puas. Seperti anak kecil ketika diajak ke toko mainan, mereka ingin semua mainan menarik yang dapat ditemukannya. Tetapi sebentar saja anak-anak tersebut akan merasa bosan dengan apa yang telah mereka dapatkan dan menginginkan kembali sesuatu yang baru. Kadang kala mereka sampai tidak ingin makan dan tidur hanya untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Walaupun kemudian ketika mereka mendapatkannya, tetap saja kegembiraan mereka tidak berakhir panjang. Kebanyakan mereka juga merasa khawatir akan kehilangan barang mainan kesayangannya yang baru. Sehingga seandainya barang mainan baru tersebut jatuh dan pecah, dimana terpaksa harus dibuang, maka mereka akan merasa kecewa dan sedih.
Adakalanya ketika kita sudah mendapatkan sesuatu yang diinginkan masih saja kita menginginkan lebih, sehingga timbul keserakahan. Karena keinginan dan keserakahan, maka orang akan berbohong, menipu dan mencuri untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Keinginan yang tidak dapat dikontrol akan menyebabkan ketagihan, misalnya merokok, minum minuman keras, makan berlebihan, dimana semuanya akan menyebabkan kerusakan mental dan fisik sehingga menimbulkan penderitaan. Selama akar nafsu keinginan rendah masih belum dihancurkan, maka penderitaan akan timbul berulang kali.
Buddha Gautama bersabda : ” Sebatang pohon yang telah ditebang masih akan dapat tumbuh dan bersemi lagi, apabila akar-akarnya masih kuat dan tidak dihancurkan. Begitu pula selama akar nafsu keinginan tidak dihancurkan, maka penderitaan akan tumbuh berulang kali.” (Dhammapada, 338)
Jika seseorang dihalangi untuk mendapatkan apa yang dia inginkan, maka akan menimbulkan kemarahan orang tersebut. Keinginan yang dihalangi dapat menimbulkan kebencian dan kemarahan. Sehingga dapat berbalik menjadi caci-maki, pertengkaran mulut dan bahkan perkelahian atau pembunuhan. Semua ini merupakan penderitaan yang mana akan memperkuat ikatan belenggu bagi dirinya sendiri.
Buddha Gautama bersabda : ” Orang yang pikirannya kacau, penuh dengan nafsu, dan hanya melihat pada hal-hal yang menyenangkan saja, maka nafsu keinginannya akan terus bertambah. Sesungguhnya orang seperti itu hanya akan memperkuat ikatan belenggunya sendiri.” (Dhammapada, 349)
Kebodohan batin [moha]
Keinginan atau kemauan seperti sebatang pohon besar yang memiliki banyak cabang. Ada cabang keserakahan, cabang kebencian dan cabang kemarahan. Buah yang muncul dari cabang tersebut adalah buah penderitaan, tetapi bagaimana pohon keinginan ini masih bisa tumbuh ? Dimana pohon tersebut dapat tumbuh ? Jawabannya adalah pohon tersebut berakar pada ketidakpedulian atau kebodohan batin. Pohon tersebut tumbuh karena ketidak-pedulian atau kebodohan batin kita sendiri. Tanpa disadari maka hal tersebut akan menggeroti batin kita ke alam yang menyedihkan bagaikan karat yang timbul dari besi itu sendiri.
Buddha Gautama bersabda : ” Bagaikan karat yang timbul dari besi, bila telah timbul akan menghancurkan besi itu sendiri. Begitu pula perbuatan-perbuatan sendiri yang buruk akan menjerumuskan pelanggarnya ke alam yang menyedihkan.” (Dhammapada, 240).
Kebodohan batin merupakan suatu kondisi ketidak-mampuan untuk melihat inti kebenaran dari segala sesuatu sebagaimana seharusnya. Terdapat banyak sekali kebenaran di dunia ini yang tidak dipedulikan oleh orang karena keterbatasan pengertian dan pengetahuan yang dimilikinya.
Harta atau Tenggelam
Ada suatu cerita menarik yang dapat menggambarkan situasi ini. Dimana dalam suatu perahu yang sedang akan tenggelam, orang-orang semua berusaha menyelamatkan diri tanpa peduli akan harta bendanya lagi. Namun dalam perahu tersebut terdapat seseorang yang masih sibuk mengikatkan segala harta bendanya ke seluruh badannya tanpa memperdulikan perahu yang akan tenggelam tersebut. Teman-temannya yang sudah sampai ke tepian, berteriak agar dia membuang segala hartanya dan menyelamatkan dirinya. Namun hal itu ditolak mentah-mentah dan dia tetap mementingkan harta emasnya yang berat, sehingga akhirnya menenggelamkan dirinya bersamaan dengan tenggelamnya harta emas yang diikatkan ke seluruh badannya.
Begitulah kita sulit sekali mempercayai sesuatu yang belum terbukti sebagaimana adanya, dan selalu berpegang teguh akan keyakinan sendiri tanpa peduli terhadap sekeliling kita. Ilmu fisika membuktikan, bahwa terdapat suara yang tidak dapat didengar dan gelombang cahaya yang tidak dapat dilihat. Orang mungkin tidak sadar adanya gelombang radio atau sinar ultra violet, kalau tidak ada alat khusus yang ditemukan untuk membolehkan mereka mengobservasi hal tersebut. Sejauh manusia masih tetap dilandasi ketidak-pedulian terhadap segala sesuatu yang menyangkut kehidupan di dunia ini, mereka akan tetap menderita yang disebabkan oleh kesalah-pengertian dan pikiran ilusi (maya) mereka.
Apabila manusia telah mengolah pikiran mereka dan memperoleh kebijaksanaan dari belajar, pemikiran yang benar dan meditasi yang benar, maka mereka akan melihat Kebenaran sebagai suatu Kebenaran. Mereka akan melihat segala sesuatu sebagaimana adanya. Mereka akan mengerti penderitaan dan ketidak-kekalan dalam kehidupan ini, hukum Sebab Akibat dan Empat Kebenaran Mulia. Dengan mengalahkan nafsu keinginan rendah dan kebodohan batin serta selalu mengarahkan batin ke Kebebasan Sejati, mereka akan memperoleh kebahagiaan dan Pencerahan seperti yang dilakukan oleh Sang Buddha sekitar 2500 tahun yang lalu.
Buddha Gautama bersabda : ” Mereka yang senantiasa sadar, tekun melatih diri siang dan malam, selalu mengarahkan batin ke nibbana, maka semua kekotoran batin dalam dirinya akan musnah.” (Dhammapada , 226)
Buddha Gautama mengajarkan, ” Semua perbuatan tidaklah kekal.” . Karma buruk juga tidak kekal dan tidak memiliki sifat diri yang mendasar. Jika kita berhenti menciptakan karma buruk dan terus menerus melakukan karma baik, suatu hari kita akan bebas dari penderitaan dan mencapai kebahagian. Sebagaimana suatu gelas berisi air garam yang apabila dituangi terus dengan air tawar, maka akan hilanglah rasa asin pada air gelas tersebut.
3. Kebenaran Mulia tentang Pelenyapan Penderitaan
Kesadaran pertapa Gautama akan pelenyapan penderitaan, sehingga memperoleh Pencerahan Sempurna sebagai Buddha pada usia 35 tahun, membuktikan usaha Beliau mencari Kebenaran bisa berhasil. Selama enam tahun, pertapa Gautama mengalami usaha yang sia-sia dalam mencari solusi terhadap masalah penderitaan makhluk hidup. Beliau juga telah mencoba berbagai cara bertapa dari para guru pertapa untuk melenyapkan penderitaan yang ternyata mereka juga belum berhasil. Hingga akhirnya Beliau menemukan solusi masalah kehidupan tersebut dengan caranya sendiri .
Keyakinan terhadap Ajaran Sang Buddha [Sraddha/Saddha]
Setelah menyadari Kebenaran dengan usaha Beliau sendiri, Buddha Gautama menawarkan kepada semua orang yang siap untuk mendengarkan.
Kura-kura dan Ikan
Ada suatu cerita kuno mengenai kura-kura dan ikan. Kura-kura dapat tinggal di darat dan juga di laut, sedangkan ikan hanya tinggal di laut. Pada suatu hari, ketika kura-kura kembali dari perjalanannya di darat, dia menceritakan kepada ikan tentang pengalamannya. Dia menjelaskan, bahwa segala makhluk hidup berjalan dan tidak ada yang berenang. Ikan tersebut menolak untuk percaya bahwa ada jalan yang kering di daratan, karena ikan tidak pernah mengalami hal tersebut.
Sama seperti manusia yang belum mengalami pelenyapan penderitaan, tetapi bukan berarti bahwa tidaklah mungkin untuk melenyapkan penderitaan. Seorang pasien haruslah mempunyai kepercayaan terhadap dokter yang berpengalaman, kalau tidak dia tidak akan menebus obatnya di apotik, sebagaimana resep yang diberikan oleh dokter tersebut, sehingga sakitnya tidak bisa disembuhkan. Demikian juga kita harus mempercayai ajaran Buddha Gautama yang telah memperlihatkan jalan untuk melenyapkan penderitaan.
Pelenyapan Penderitaan
Pelenyapan penderitaan merupakan tujuan utama Ajaran Buddha Gautama. Hal tersebut dapat dialami oleh setiap orang dimanapun mereka berada. Sebagai contoh, apabila keserakahan dan kemarahan muncul di dalam pikiran akan menyebabkan ketidakbahagiaan. Apabila perasaan serakah dan marah tersebut telah lenyap, maka pikiran akan bahagia dan damai. Untuk melenyapkan penderitaan secara tuntas, seseorang harus menghilangkan nafsu keinginan rendah, kebencian dan kebodohan batin. Inilah yang disebut Kebenaran Mulia Ketiga, yaitu Pelenyapan Penderitaan.
Mungkin Anda akan merasa bergidik, apabila mendengar kata `pelenyapan’ dimana seolah-olah Ajaran Buddha Gautama menganjurkan agar semua hal-hal duniawi harus lenyap dari diri Anda, sehingga Anda tidak bebas untuk berkeluarga, mencari uang, memiliki kedudukan yang tinggi dan menikmati kesenangan hidup duniawi. Semua kekhawatiran tersebut tidaklah benar adanya. Ajaran Buddha Gautama adalah suatu ajaran yang bertujuan untuk mencari Kebahagiaan. Ajaran Buddha Gautama tidak menolak kehidupan normal, tetapi hanya menolak kehidupan yang berlebihan akan kemelekatan terhadap kenikmatan materi duniawi yang rendah saja. Sehingga apabila Anda mempercayai Ajaran Buddha Gautama, masih dapat berkeluarga, bekerja untuk mencari nafkah, dan hidup sebagaimana kehidupan normal. Dalam salah satu Sutra diuraikan, bahwa terdapat seorang umat awam yang bernama Vimalakirti yang sudah menikah dan sangat kaya. Akan tetapi dia tidak menjadi budak nafsu keinginan materi. Di dalam Sutra, ia digambarkan, ” Meskipun menjalankan kehidupan berumah tangga, dia tidak memiliki keterikatan pada tiga jenis alam; meskipun menikah, dia selalu melatih kehidupan suci”
Kebahagiaan
Buddha Gautama mengajarkan, bahwa pelenyapan penderitaan merupakan kebahagiaan sempurna. Setiap langkah yang menuju kepada pelenyapan penderitaan selalu disertai dengan peningkatan kebahagiaan. Mereka yang mengikuti Ajaran Buddha Gautama akan hidup bahagia tanpa keserakahan di antara mereka yang masih dikuasai oleh nafsu keserakahan. Mereka akan merasakan hidup bahagia tanpa kebencian di antara mereka yang masih diperbudak oleh kebencian. Makin banyak keserakahan yang dapat dijauhkan, makin besarlah kebahagiaan yang akan diperoleh. Apabila kita telah dapat menghilangkan keseluruhan sifat serakah dan kebencian , maka akan diperoleh kebahagiaan sempurna sebagaimana yang dialami oleh Buddha Gautama.
Buddha Gautama bersabda : ” Sungguh bahagia jika kita hidup tanpa membenci di antara orang-orang yang membenci; di antara orang-orang yang membenci kita hidup tanpa membenci. Sungguh bahagia, jika kita hidup tanpa keserakahan di antara orang-orang yang serakah; di antara orang-orang yang serakah kita hidup tanpa keserakahan.” (Dhammapada, 197, 199)
Pencerahan
Dengan menempatkan ajaran Buddha Gautama dalam kehidupan sehari-hari, maka akan diperoleh juga Pencerahan Sempurna. Pencerahan merupakan suatu hal yang tidak dapat dikuantifikasikan, dimana kebijaksanaan dan kasih sayang adalah yang paling utama. Dengan kebijaksanaan dan kasih sayang, Beliau mampu menolong seluruh makhluk mengatasi penderitaan.
Bagaimanakah keadaan seseorang yang telah memperolah Pencerahan ? Bagi mata orang biasa, manusia yang telah mencapai Pencerahan tampak sangat aneh. Dalam catatan Buddhisme Zen [Ch’an] , para Mahabhikshu Zen yang telah mencapai Pencerahan memiliki cara-cara yang berbeda untuk mengekspresikannya. Beberapa di antaranya tertawa terbahak-bahak, atau berdiam diri tanpa mengeluarkan sepatah katapun, hingga ada yang memukul guru mereka, di mana guru mereka dapat menyetujui tindakan tersebut. Jenis kelakuan seperti ini benar-benar tidak dapat diterima oleh orang biasa. Akan tetapi, bagi manusia yang telah memperoleh Pencerahan, ekspresi seperti ini adalah Zen [Ch’an].
Pada saat kita menyadari Kebenaran Sejati, maka pada saat itulah kita telah memperoleh Pencerahan. Sering terdapat orang yang berusaha mencari kebahagian dari hal-hal diluar dirinya, padahal Pencerahan itu sendiri ada dalam diri masing-masing. Bentuk luar hanyalah merupakan penampakan maya yang menghalangi pandangan sejati kita.
Meniru Sang Guru
Ada suatu cerita dimana terdapat seorang bhikshu muda yang berguru kepada seorang Mahabhikshu Zen yang terkenal telah memperoleh Pencerahan, sehingga dinamakan Yang Tercerahkan. Namun sesudah mengikuti sekian tahun segala tingkah laku gurunya tersebut, mulai dari bangun siang, makan berisik, jalan seenaknya, sampai hal-hal lainnya termasuk cara berteriak dan bicara, tetap saja bhikshu muda ini merasa belum mencapai pencerahan. Akhirnya timbul keraguan dalam dirinya bahwa kemungkinan besar gurunya ini belum mencapai pencerahan sebagaimana julukan yang diberikan kepadanya.
Pagi-pagi berikutnya, si bhikshu muda menemui gurunya dan telah memutuskan untuk pergi dengan berkata, “Guru, saya telah mengikuti guru sekian lama dan telah meniru segala perbuatan guru seperti bangun siang, makan berisik, jalan dan teriak seenaknya sampai kadang-kadang tiga hari tidak mandi juga sebagaimana kebiasan guru, namun saya tetap merasakan belum memperoleh pencerahan. Dan saya sendiri ragu kalau guru telah mencapai pencerahan. Untuk itu saya memutuskan meninggalkan guru!”
Mendengar itu sang Mahabhikshu ketawa, “Ha….ha….ha…., muridku yang malang. Siapa suruh engkau mencari pencerahan di luar dari dirimu sendiri. Masih untung saya tidak bertingkah laku seperti seorang suci yang telah mencapai pencerahan, karena kemungkinan Anda akan nantinya membenci semua orang suci yang engkau temui.” Begitulah akhirnya bhikshu muda itupun menyadari akan suatu Kebenaran Sejati dan langsung tercerahkan, kemudian dia membatalkan keputusan untuk meninggalkan gurunya.
Kebenaran Nirvana
Pelenyapan penderitaan telah diuraikan sebagai kebahagiaan sempurna dan Pencerahan. Bagaimanapun, kondisi ini tidaklah seluruhnya mencerminkan kesunyataan dari pelenyapan penderitaan atau Nirvana. Nirvana tidak dapat begitu saja diuraikan dengan kata-kata. Usaha untuk menguraikan Nirvana hanyalah seperti mengatakan durian itu enak dan tidak seperti ketimun atau kentang. Seseorang haruslah memakan durian untuk mengetahui rasanya. Demikian juga kebenaran Nirvana haruslah dialami sendiri. Kebenaran Nirvana bukanlah dihasilkan [uppadetabba] tetapi haruslah dicapai sendiri [pattabba]. Proses pencapaian Nirvana tersebut dapat diperoleh dalam kehidupan kali ini juga, sehingga kita janganlah karena berpedoman adanya konsep tumimbal-lahir lalu menunda pencapaian Nirvana tersebut pada kelahiran yang akan datang.
Apabila setiap orang memiliki keyakinan akan Ajaran Sang Buddha dan mengamalkannya, maka mereka akan memperoleh kebahagiaan yang damai dan mengalami Pencerahan. Disebutkan dalam sutra, ” Jika seseorang ingin mengetahui tentang keadaan pikiran Buddha, dia harus mengembangkan pikirannya seperti ruang kosong.”
Cendekiawan Meminum Teh
Pada jaman dulu di Tiongkok terdapat seorang cendekiawan yang sangat menguasai segala filsafat kehidupan serta memiliki kedudukan yang tinggi di pemerintahan. Tetapi karena adanya suatu kesalahan dalam keputusannya yang disebabkan oleh sifat kesombongannya, maka raja mengutuskannya untuk bertemu dengan seorang Mahabhikshu Zen.
Setelah bertemu dengan Mahabhikshu tersebut yang duduk tanpa memperdulikannya, demikian juga cendekiawan tersebut yang karena kesombongannya tidak mau memberikan hormat kepada Mahabhikshu tersebut. Maka mereka berdua saling duduk tanpa terucap sepatah katapun, malah saling membuang muka persis seperti orang pacaran yang baru bertengkar hebat.
Setelah sekian lama, Mahabhikshu mulai menuangkan teh ke cawan cendekiawan tersebut. Teh terus dituangkan sampai seluruh cawan itu telah penuh dan air teh meluber keluar. Melihat ini cendekiawan tersebut berteriak, “Kenapa Anda masih menuangkan teh ini terus padahal telah penuh?” Sang Mahabhikshu memberikan suatu jawaban yang ringkas, “Sama seperti pikiran Anda yang telah penuh, sangatlah sulit untuk dapat diisi lagi!” Cendekiawan yang memang pintar ini langsung mengerti dan bersujud memanggil guru kepada Mahabhikshu tersebut.
4. Kebenaran Mulia tentang Jalan Menuju Pelenyapan Penderitaan
Kebenaran Mulia keempat ini merupakan suatu jalan yang ditemukan oleh Sang Buddha dalam mengakhiri penderitaan sehingga mencapai Pembebasan yaitu terlepas dari siklus kelahiran dan kematian. Jalan ini merupakan suatu cara yang menghindari penyiksaan diri yang melemahkan kecerdasan dan juga pemuasan nafsu keinginan rendah yang menghambat kemajuan spiritual seseorang.
Jalan Tengah
Pangeran Siddharta mengalami hidup bergelimang dalam kesenangan di kerajaan ayahndaNya. Setelah dia menolak kehidupan duniawi dan hidup sebagai seorang pertapa di hutan, Beliau menjalankan latihan pertapaan menyiksa pikiran dan badan. Hingga akhirnya pada saat sebelum Beliau memperoleh Pencerahan, disadari bahwa cara pertapaan menyiksa diri tersebut adalah sia-sia belaka. Beliau menyadari, bahwa jalan menuju kebahagiaan dan Pencerahan hanyalah dengan menghindari latihan penyiksaan diri tersebut yang kemudian diuraikan sebagai Jalan Tengah.
Tiga bentuk kehidupan yang dialami oleh Sang Buddha tersebut dapat diumpamakan seperti senar pada kecapi. Senar yang terlalu longgar (dapat diumpamakan hidup yang telalu manja) menghasilkan suara kecapi yang sumbang dan lemah. Apabila senar yang terlalu kencang (dapat diumpamakan hidup menyiksa diri) juga akan menghasilkan suara yang terlalu melengking, lagipula senarnya akan cepat putus. Hanyalah senar yang sedang, dimana tidak terlalu longgar dan tidak terlalu kencang (dapat diumpamakan Jalan Tengah) yang akan menghasilkan suara yang indah dan harmonis.
Oleh sebab itu bagi siapapun yang mengikuti Jalan Tengah dengan menghindari jalan pemanjaan diri terhadap nafsu keinginan maupun jalan penyiksaan diri yang berlebihan, dialah yang akan menemukan kebahagiaan, pikiran yang damai dan Pencerahan. Inilah yang dinamakan Kesunyataan Mulia Keempat; yaitu Jalan menuju pelenyapan penderitaan.
Terdapat berbagai Jalan yang diajarkan oleh Sang Buddha dalam menuju pelenyapan penderitaan tersebut yang pada dasarnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari Delapan Ruas Jalan Kemuliaan seperti Empat Kondisi Pikiran Sang Buddha Yang Tidak Terbatas, Empat Prasetya, Tri-Laksana, Lima Sila, Sepuluh Perbuatan Bermanfaat, Tujuh Ciri-ciri Bodhi, Tiga Puluh Tujuh Keadaan Menuju Bodhi atau Kebuddhaan, dan Enam Paramitta.
Sang Buddha Bersabda: ” Engkau sendirilah yang harus berusaha, para Tathagata hanya menunjukkan `Jalan’. Mereka yang tekun bersemadi dan memasuki `Jalan’ ini akan terbebas dari belenggu Mara.” (Dhammapada, 276).
Demikianlah kita harus berusaha untuk mencapai Kebebasan diri kita sendiri tanpa harus tergantung kepada bentuk-bentuk luar. Para Tathagata hanya menunjukkan Jalan dan kitalah yang harus menuju arah yang ditunjuk itu, bukan terpaku pada ‘telunjuk’ Tathagata. Telunjuk dapat merupakan sarana, namun tidak merupakan pemujaan. Sang Buddha mengatakan bahwa Dharma yang sesungguhnya tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, dan hanya sesama Yang Tercerahkan yang dapat mengetahuinya.
Kitab Panduan
Pada suatu masa kehidupan dahulu terdapat seorang guru yang kemana-mana selalu memberitakan kebenaran hidup. Semua hal yang telah diberitakan diminta untuk dicatat oleh murid-muridnya. Sehingga kemana-mana kitab kebenaran yang telah dicatat ini selalu menjadi bahan rujukan dalam melakukan segala perbuatan.
Sampai suatu saat, guru dan rombongan muridnya berjalan melintasi jembatan yang di bawahnya melintas arus sungai yang deras. Karena tidak hati-hati, guru tersebut terpeleset dan jatuh ke bawah. Guru tersebut berteriak dengan nyaring meminta pertolongan muridnya, beberapa murid yunior berusaha turun untuk menolong gurunya, namun terdapat beberapa murid senior yang ingat akan wejangan gurunya agar segala perbuatan haruslah merujuk kepada `kitab suci kebenaran’ yang telah tercatat, sehingga seorang murid senior sambil membolak-balik `kitab suci’ tersebut berteriak kepada gurunya yang sudah hampir tenggelam terbawa arus sungai, “Guru…guru…..sabar.., harap jangan tenggelam dulu, biar saya mencarikan bab pertolongan terhadap guru yang sedang tenggelam di sungai yang deras!”
4
Delapan Ruas Jalan Kemuliaan
Sang Buddha bersabda : ” Di antara semua jalan, maka ` Delapan Ruas Jalan Kemuliaan ‘ adalah yang terbaik. Di antara semua kesunyataan, maka ` Empat Kesunyataan Mulia ‘ adalah yang terbaik. Di antara semua keadaan, maka keadaan tanpa nafsu adalah yang terbaik; dan di antara semua makhluk hidup, maka orang yang `melihat’ adalah yang terbaik.” (Dhammapada, 273).
Seperti seorang dokter yang berpengalaman, Sang Buddha mengenali dulu penyakit penderitaan tersebut. Beliau kemudian mengidentifikasikan penyebabnya dan menentukan penyembuhannya. Untuk kemudian guna kepentingan umat manusia, Beliau meracik penemuannya tersebut dalam suatu rumusan yang sistimatis, dimana dapat dengan mudah diikuti oleh umat manusia guna melenyapkan penderitaan . Rumusan tersebut mencakup pengobatan fisik dan mental, dimana salah satunya disebut Delapan Ruas Jalan Kemuliaan.
Delapan Ruas Jalan Kemuliaan yang ditemukan oleh Sang Buddha adalah salah satu jalan untuk melenyapkan penderitaan dan menuju Nirvana. Jalan ini menghindari penyiksaan diri yang berlebihan yang mana dapat melemahkan intelektual seseorang dan pemanjaan diri berlebihan yang dapat menghambat kemajuan spiritual seseorang. Delapan Ruas Jalan Kemuliaan tersebut terdiri dari Pandangan Benar, Pikiran Benar, Perkataan Benar, Perbuatan Benar, Mata Pencaharian Benar, Usaha Benar, Kesadaran Benar dan Konsentrasi Benar.
1. Pandangan Benar
Pandangan Benar merupakan pengetahuan mengenai Empat Kebenaran Mulia. Dengan kata lain berusaha memahami diri sendiri sebagaimana adanya. Kata kunci dalam paham Buddhisme adalah Pandangan Benar. Ajaran Sang Buddha pada umumnya adalah berdasarkan pengetahuan dan bukan berdasarkan suatu kepercayaan yang tidak beralasan.
Pandangan Benar sangat penting dan merupakan hal utama yang harus kita pelajari terlebih dahulu, sebelum mempelajari lebih lanjut Ajaran Sang Buddha. Seperti proses tahapan dalam sekolah, maka Pandangan Benar dapat disebut kelas SD, kemudian berlanjut kepada Hukum Sebab Akibat yang dapat disebut SLTP, lalu pengertian Sunyata (Kekosongan) yang dapat digolongkan tahap lanjutan atas atau SLTA, kemudian baru pengembangan Prajna (Kebijaksanaan) yang dapat dikategorikan sebagai sarjana lengkap.
Terdapat tiga Pandangan Utama yang harus diperhatikan agar kita selalu berada dalam jalur Pandangan Benar, yaitu :
Pandangan benar terhadap karma dimana semua makhluk adalah pemilik karmanya sendiri, lahir dari karmanya sendiri, dan ahli waris karmanya sendiri.
Pandangan benar terhadap sepuluh persoalan, yaitu :
• Kebajikan tinggi dalam berdana
• Kebajikan dalam pemberian yang banyak
• Kebajikan dalam pemberian yang sedikit
• Akibat dari perbuatan yang buruk dan baik
• Kebajikan perbuatan terhadap ibu
• Kebajikan perbuatan terhadap ayah
• Adanya makhluk yang lahir secara spontan
• Adanya dunia ini
• Adanya dunia dan alam kehidupan yang lain
• Adanya makhluk hidup yang melakukan latihan yang benar dan memiliki pencapaian yang benar yang dengan usahanya sendiri dalam berbagai kehidupan dan kemudian mengajarkan Kebenaran kepada makhluk lainnya.
c. Pandangan benar terhadap Empat Kebenaran Mulia.
Pandangan benar dalam kenyataan kehidupan modern saat ini juga mencakup mengenai berbagai pengetahuan yang semestinya kita sadari, sehingga dapat membuka wawasan kita terhadap berbagai hal yang terjadi di sekeliling kita.
Katak Dalam Sumur
Ada seekor katak yang seumur hidup tinggal di suatu sumur. Katak tersebut sangat menyenangi kehidupannya di lingkungan sumur tersebut. Kalau siang hari yang panas dia berendam di kedalaman sumur, dan di malam hari dia loncat ke luar sumur, bermain di sekeliling pinggiran sumur. Sampai suatu hari datanglah seekor kura-kura dari lautan. Katak tersebut dengan bangganya menceritakan bagaimana senangnya dia menjalani kehidupannya di dalam sumur, dan menawarkan kura-kura tersebut untuk tinggal di dalamnya.
Kura-kura yang melihat kecilnya sumur tersebut tentu saja menolak, dan mengatakan bahwa dia senang tinggal di luar sumur, karena dapat menyelami berbagai lautan dengan berbagai corak kehidupannya. Sang kura-kura menceritakan berbagai hal-hal menarik di luar sumur yang belum pernah dialami oleh sang katak. Namun semua cerita kura-kura tersebut dianggap sebagai dongeng yang tidak masuk akal saja. Sehingga sang katak tidak peduli akan kehidupan di luar sumur, dan tetap memilih tinggal di sumur kecil kebanggaannya.
Demikian juga sering terjadi dalam kehidupan ini yang tanpa disadari telah menarik garis-garis pemisah yang menciptakan kotak yang menutup diri kita sendiri. Memang kehidupan sang katak akan menyenangkan buat katak itu sendiri, tetapi dengan menceritakan kebahagiaan hidup di sumur kepada seekor kura-kura yang biasa hidup di lautan luas, akanlah tidak ada artinya. Demikian juga sebaliknya bagi seekor kura-kura yang menikmati kebahagian hidup di laut, menceritakan kehidupan tersebut kepada seekor katak di sumur juga sia-sia adanya. Kita sering terkotak oleh pengetahuan terbatas yang kita yakini. Buddhadharma tidaklah terbatas, sebagaimana dicontohkan oleh Sang Buddha dengan segenggam daun ditanganNya dibandingkan dengan daun-daun yang ada di seluruh hutan. Bagaimana dapat melampaui pengetahuan yang tertulis, itulah yang penting untuk kita raih dalam kehidupan kali ini. Tentunya dengan suatu Pandangan Benar, maka segala pengetahuan akan dapat kita alami juga pada akhirnya.
2. Pikiran Benar
Pikiran Benar dapat dibagi atas tiga ruas pengertian, yaitu :
– Pikiran yang tanpa keserakahan [lobha], kebencian [dosa] dan kebodohan batin [moha]
– Pikiran yang berisi cinta kasih [metta]
– Pikiran yang berisi kasih sayang [karuna]
Keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin adalah halangan utama atau tiga racun dunia bagi kita dalam menuju Pencerahan. Kita harus senantiasa berusaha untuk memelihara pikiran benar, agar bisa mengatasi tiga racun dunia tersebut, sehingga memasuki Jalan KeBuddhaan.
Pikiran merupakan hal yang sangat mempengaruhi dalam usaha kita memperoleh Pencerahan. Pikiran yang tidak dapat diatasi akan merupakan halangan sehingga dapat menimbulkan sifat kebencian kepada orang lain tanpa ada dasar sama sekali.
Mahabhikshu Menggendong Wanita Cantik
Dalam perjalanan menuju kembali ke vihara, seorang Mahabhikshu Zen bersama muridnya seorang bhikshu muda tiba di tepian sungai yang deras. Pada saat itu seorang wanita muda cantik dengan pakaian jaman dulu (panjang sampai ke tumit) berdiri kebingungan di tepian sungai. Melihat Mahabhikshu dan bhikshu muda yang bermaksud menyeberang tersebut, maka wanita muda ini meminta tolong untuk diseberangkan. Dengan spontan Mahabhikshu menawarkan kesediaannya untuk membantu, dan secara sigap mengendong wanita muda tersebut ke seberang. Bhikshu muda yang ikut menyeberang hanya bisa terpelongo menyaksikan pemandangan tersebut yang menurut pikiran dia sangatlah tidak pantas dilakukan oleh gurunya.
Namun sebagai seorang murid yang setia, maka bhikshu muda ini mengurungkan niatnya untuk menegur gurunya. Setelah tiga malam tidak bisa tidur karena selalu memikirkan tingkah laku gurunya tersebut, dimana sampai timbul kebencian yang sangat besar terhadap gurunya. Maka akhirnya bhikshu muda ini memutuskan untuk bertanya kepada gurunya, dimana apabila tidak diperoleh jawaban yang memuaskan maka dia akan berhenti menjadi muridnya.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali dengan mata yang masih kuyuh, bhikshu muda tersebut menemui gurunya yang sedang duduk minum teh. Mahabhikshu agak kaget juga melihat kemunculan muridnya yang tidak biasanya tersebut. Sesampainya bhikshu muda ini, langsung dia menanyakan, “Guru, ini ada pikiran yang menganggu saya dan sampai saat ini masih belum dapat saya peroleh jawabannya. Untuk itu harap guru mau memberikan penjelasan. Kenapa guru tiga hari yang lalu menggendong wanita muda cantik menyeberang sungai tanpa merasa risih, padahal itukan tidak sopan sama sekali?”
Mahabhikshu tersebut sempat bingung dan tidak mengerti apa yang dimaksud karena kejadian tersebut sudah tidak diingatnya lagi. Setelah dijelaskan lebih detail, dan sesudah Mahabhikshu mengerti duduk persoalannya, maka diapun tertawa sambil berkata, “Ha…ha…ha…, muridku yang malang, guru hanyalah mengendongnya untuk membantu dia menyeberangi sungai yang deras tersebut , tetapi Anda sungguh malang sekali, malah mengendongnya dari tiga hari yang lalu sampai sekarang!”
3. Perkataan Benar
Perkataan Benar berarti tidak dibenarkan untuk mengatakan sesuatu yang tidak benar, memfitnah, mencaci-maki, mengucapkan kata-kata kasar dan kotor. Pepatah umum mengatakan, bahwa ” Kuman memasuki tubuh kita melalui mulut; bencana muncul melalui mulut juga.”
Pemuda Yang Kehilangan Domba
Yongmae, seorang pemuda yang menggembala domba. Pemuda ini memang terkenal iseng dan suka membuat onar dengan menceritakan hal-hal yang adakalanya tidak masuk di akal sama sekali. Pada hari pertama menggembala domba, terbetik dalam pikirannya untuk membuat onar penduduk kampungnya, maka menjelang tengah hari dengan tergopoh-gopoh dia berlari turun gunung memasuki kampungnya dengan berseru, “Tolong….tolong……., ada gerombolan serigala yang memangsa domba-dombaku.” Mendengar teriakan yang histeris tersebut, maka cukup banyak penduduk yang keluar dengan membawa berbagai perkakas dan berlari ke gunung bermaksud membantu Yongmae mengusir gerombolan serigala tersebut. Sesampainya di gunung, terlihat domba-domba dengan tenang masih merumput, dan menyaksikan ekspresi tersebut, Yongmae melepaskan ketawanya dengan berguling-guling di rumput saking senangnya berhasil membohongi hampir seluruh penduduk kampungnya.
Beberapa minggu kemudian, Yongmae mengulangi kembali aksinya yang dimana juga berhasil mengelabui penduduk kampungnya. Sampai suatu hari pada saat sedang menggembala, terlihatlah dengan mata kepala dia sendiri, serombongan serigala rakus muncul dari semak-semak. Dengan pucat pasi, Yongmae berlari seperti dikejar setan ke kampungnya. Sampai suaranya habis berteriak untuk meminta bantuan, tetapi penduduk kampung yang merasa sudah kapok diberlakukan oleh Yongme, tidak mempercayainya dan hanya menebis dengan mengatakan, “Yongmae…Yongmae …mau aksi apalagi sih…, kami tak mungkin dapat Anda kelabui tiga kali. Sudah sana kembali.” Akhirnya Yongmae sambil menangis kembali ke gerombolan dombanya dan menemukan hampir sebagian besar domba gembalaanya telah menjadi santapan gerombolan serigala kelaparan tersebut.
4. Perbuatan Benar
Perbuatan Benar adalah tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berjinah, dan tidak bermabuk-mabukan. Disamping tindakan pasif untuk menjauhi perbuatan jahat, kita juga seharusnya secara aktif melakukan perbuatan baik. Dengan melakukan perbuatan baik akan mengembangkan karakter seseorang, yaitu pengendalian diri dan kesadaran akan hak orang lain.
Perbuatan menghargai makhluk hidup sekecil apapun akan menghasilkan buah karma yang baik, bukan karena kebaikan makhluk itu untuk membalas kita, tetapi karena kebaikan hati nurani kita sendiri yang sanggup menimbulkan kasih yang setulusnya.
Murid Yang Menolong Semut
Guru Hui-gan yang memiliki waskita mata surgawi [divyacakshu/dibbacakkhu] merasa sedih sekali pada suatu hari karena mengetahui bahwa muridnya, Li-chang yang baru berusia 19 tahun harus meninggal satu bulan lagi karena karma buruk masa lalu yang dibuatnya. Beliau tidak menceritakan hasil penglihatannya tersebut agar tidak membuat Li-chang bersedih, melainkan menasehatkan muridnya untuk pulang ke rumah orangtuanya, berkumpul selama 40 hari dengan alasan sudah lama sekali tidak menjenguk orangtuanya. Dengan demikian diharapkan, Li-chang dapat menghabiskan hari-hari terakhirnya bersama orangtuanya.
Li-chang mematuhi dan melakukan perjalanan menembus hutan yang memakan waktu cukup lama juga. Di tengah perjalanan, Li-chang menemukan satu koloni (berjumlah jutaan) semut terperangkap dalam genangan air dan berada di tengah-tengah batu yang dikelilingi oleh air banjir. Li-chang dengan sigap dan spontan mencari dahan kayu yang banyak dan dibuatkan sebagai jembatan, sehingga seluruh semut berikut telur-telur semut yang belum menetas dapat diseberangkan ke tempat yang kering oleh para semut pekerja. Sesudahnya, dia melanjutkan perjalanan lagi pulang ke rumah orangtuanya.
Setelah melewati masa 40 hari sebagaimana ijin yang diperolehnya dari gurunya, Li-chang kemudian muncul di hadapan gurunya yang terkejut melihat kedatangannya tanpa kekurangan apapun. Guru Hui-gan mencoba melihat kembali dengan mata surgawinya dan mendapatkan bahwa muridnya akan hidup sampai umur 91 tahun. Guru Hui-gan menanyakan apa yang telah dilakukannya selama perjalanan dan juga menjelaskan hasil waskitanya. Li-chang hanya bisa menjawab tidak melakukan apa-apa. Guru Hui-gan mencoba melihat perjalanan muridnya ini, dan kemudian menjadi maklum bahwa muridnya telah menolong jutaan makhluk hidup dengan tulus dan penuh kasih sehingga menggetarkan para Bodhisattva yang diliputi Kasih Sayang , dimana secara tidak langsung telah memperpanjang usianya. Guru Hui-gan berucap terima kasih kepada Bodhisattva.
5. Mata Pencaharian Benar
Mata Pencaharian Benar berkaitan dengan adanya lima jenis perdagangan yang harus dihindarkan [micchavanijja/mithayavanijya] karena dapat merugikan diri sendiri dan orang lain, yaitu:
(1) berdagang senjata yang mematikan [sattha-vanijja/sastra-vanijya]
(2) berdagang makhluk hidup [satta-vanijja/sattva-vanijya]
(3) berdagang daging [mamsa-vanijja/mamsa vanijya]
(4) berdagang minuman memabukkan [majja-vanijja/madya-vanijya]
(5) berdagang racun [visa-vanijja/visa vanijya]
Sering kita membaca di koran mengenai berbagai tindak peperangan yang menyebabkan musnahnya penduduk suatu kota hanya karena penggunaan senjata yang mematikan. Perdagangan makhuk hidup termasuk manusia telah menyebabkan berbagai penderitaan, belum lagi berbagai penyakit yang mudah menyerang hewan peliharaan seperti kasus sapi gila di Eropa, kasus virus burung di Hong Kong, dan kasus flu babi di Malaysia, dimana semuanya itu menimbulkan kerugian yang cukup besar hanya untuk mencegah bertambahnya korban manusia, dengan jalan mematikan secara masal hewan peliharaan tersebut, mulai dari pemberian gas beracun, dipukul, dikubur hidup-hidup, dibakar hidup-hidup dan berbagai pembasmian kejam lainnya. Kasus-kasus tersebut juga menyebabkan banyak pedagang daging terpaksa gulung tikar karena tidak terdapatnya pasokan daging, dan berkurangnya niat pembeli yang takut terjangkit virus hewan peliharaan tersebut.
Berbagai kejahatan sudah sering kita dengar yang ditimbulkan oleh karena seseorang itu sedang mabuk minuman keras ataupun habis menegak pil, ganja, morfin yang membuat kesadaran seseorang itu menjadi rendah seperti binatang. Demikian juga berbagai kasus bunuh diri dengan meminum racun ataupun kasus kematian korban yang diracuni sering juga terpampang dalam berbagai koran harian .
6. Usaha Benar
Usaha Benar adalah suatu usaha yang dilakukan terus menerus untuk membersihkan diri dan mengembangkan kebaikan, dimana terdapat empat ruas, yaitu :
(1) untuk kejahatan yang tidak muncul, biarlah tidak muncul.
(2) untuk kejahatan yang muncul,biarlah lenyap.
(3) untuk kebaikan yang tidak muncul, biarlah muncul.
(4) untuk kebaikan yang muncul, biarlah berlanjut.
Penyesalan sering datang terlambat sesudah kita menyadari perbuatan yang tidak seharusnya kita lakukan. Tidak ada penyesalan yang timbul sebelum perbuatan itu dilakukan. Manusia memang lemah karena tertutup oleh berbagai kebodohan yang tanpa disadarinya akan menyeretnya ke ruang penderitaan yang tidak akan habis disesalinya.
Kasep Penjaga Kereta
Kasep, seorang penjaga rel kereta api sudah lama melakukan tugasnya dan sangat disukai orang karena sikapnya yang ramah dan sopan. Namun ada satu sifat jelek Kasep yang sulit dihilangkannya, yaitu sering meminum arak untuk menghangatkan tubuhnya pada malam yang dingin. Apabila ada orang yang menegurnya, maka dia akan bilang bahwa dia tetap masih sadar dan tidak perlu khawatir.
Pada suatu malam, hujan turun dengan lebatnya, dan kereta api agak terlambat dari jadwalnya. Untuk menghilangkan kekesalannya menunggu, Kasep mulai mengeluarkan botol araknya sampai, tanpa disadarinya, telah hampir dihabiskannya setengah botol minuman arak tersebut. Walaupun telah ditegur oleh Kepala Peron , tapi Kasep tetap meyakinkan bahwa dia masih sadar dan tidak perlu khawatir.
Tiba-tiba muncullah suara kereta api dari dua arah yang berlawanan, rel harus segera diarahkan. Kepala peron dengan panik segera menuju arah belakang untuk menutup palang kendaraan umum agar tidak melewati jalur kereta api, dan meminta Kasep untuk melakukan tugasnya mengarahkan rel yang di depan. Kasep sambil tertawa berkata, “Tenang saja Pak, tidak perlu tergopoh-gopoh.” Kepala Peron menegaskan kembali agar segera memperhatikan pekerjaannya, dan akhirnya dengan perlahan Kasep mulai bangkit dan menuju tempatnya bekerja.
Kepala Peron dengan cepat berlari ke arah belakang, sedangkan Kasep masih tenang berjalan dan bermaksud meneguk lagi seteguk arak untuk menghangatkan badannya sambil kemudian mengenakan jas hujannya. Dengan santai dia memegang lampu petromak dan berjalan menyusuri rel kereta, namun baru melangkah tiba-tiba terdengar suara pluit kedatangan kereta api. Kasep mulai tergopoh-gopoh berlari ke depan dengan sekuat tenaga, namun semuanya sudah terlambat. Kedua kereta api tersebut saling menghantam gerbong masing-masing seperti dua naga yang sedang bertarung. Berbagai jeritan dan isakan penumpang terdengar histeris bercampur benturan suara keras yang memekakkan telinga.
Sesudah bencana tersebut berakhir, Kasep tidak berhasil ditemukan. Tetapi pada malam berikutnya, orang-orang melihat Kasep duduk di pinggiran kereta api sambil memegang petromak dalam keadaan tidak sadar, sambil melambaikan petromaknya dan berteriak, “Kenapa tidak saya lakukan,…..kenapa tidak saya lakukan, ……kenapa……………….”
7. Kesadaran Benar
Kesadaran Benar adalah suatu kesadaran yang ditujukan kepada diri kita sendiri dengan menyadarinya sebagai suatu proses kehidupan yang selalu tidak kekal adanya, dimana terdapat empat dasar kesadaran pokok, yaitu :
(1) tubuh kita kotor dan tidak murni
(2) seluruh perasaan akan selalu mengakibatkan penderitaan
(3) pikiran itu tidak kekal
(4) segala sesuatu bergantung pada yang lain dan tidak memiliki suatu inti yang kekal
Adakalanya kita berpikir bahwa tubuh kita ini sehat, kita bebas berbuat apa saja dan tidak tergantung satu sama lain. Tetapi di lain waktu pada saat tubuh kita sakit, kita akan mencela tubuh ini yang tidak berguna dimana harus tergantung orang lain. Kita sering tidak sadar dan menyalahkan sekeliling kita yang tidak benar, jarang seseorang itu mau bercermin diri melihat kesalahan dan kelemahan sendiri.
Tas Berisi Kotoran
Dalam suatu persamuan yang diketuai oleh seorang Mahabhikshu, tibalah sesi untuk menyampaikan segala permasalahan yang dihadapi oleh para bhikshu. Seorang bhikshu muda yang bernama Dasa, terkenal sering pindah-pindah vihara karena berbagai alasan, dan kali inipun dia sudah siap dengan permasalahannya untuk menyampaikan kepada Mahabhikshu tersebut, bahwa dia bermaksud pindah ke vihara lain dengan berbagai alasan yang telah dipersiapkannya.
Mahabhikshu tersebut mengetahui muridnya ini, maka permintaan tersebut dikabulkan saja. Begitu bhikshu Dasa mempersiapkan diri dan mengambil tasnya siap untuk memohon ijin berangkat, maka tiba-tiba Mahabhikshu berseru, “Bhikshu Dasa selalu membawa tas yang isinya penuh dengan tai anjing, karenanya selalu mengeluh sekelilingnya bau tai anjing!” Bhikshu Dasa seketika itu juga sadar akan ucapan Mahabhikshu tersebut dan mencapai pencerahan. Diapun membatalkan niatnya untuk pindah vihara dan terus menetap di vihara tersebut.
8. Konsentrasi Benar
Konsentrasi Benar berarti meditasi dengan cara pemusatan pikiran. Meditasi berarti suatu proses latihan yang terus menerus dengan mengfokuskan suatu objek utama secara tetap tanpa tergoyahkan. Praktek meditasi yang terus-menerus akan membantu kita dalam mengembangkan konsentrasi pikiran memperoleh Kebijaksanaan dan Pencerahan.
Pikiran adalah sukar dikendalikan, sering sebelum kita duduk menjalani meditasi, kita berikrar untuk tidak memikirkan hal-hal lainnya. Namun pada kenyataannya, pikiran sering terusik untuk ikut bereaksi terhadap berbagai hal yang muncul pada saat kita sedang meditasi.
Meditasi Tanpa Suara
Suatu hari terdapatlah lima orang pemuda yang bermaksud mengadakan retreat selama tujuh hari dengan meditasi di hutan. Selama retreat berlangsung, maka ada satu pantangan yang harus dipatuhi, yaitu dilarang berbicara antar sesama dan konsentrasi hanya pada nafas. Alhasil, masing-masing menggunakan bahasa isyarat tarzan, dimana sepanjang siang hari pertama, dapat dilalui dengan berhasil tanpa satu patah kata yang keluar dari kelima pemuda tersebut.
Kemudian pada malam harinya, maka masing-masing sudah siap untuk masuk ke gubug tempat mereka tidur yang hanya diterangi satu-satunya api lilin. Menjelang tengah malam, bertiuplah angin yang kencang sehingga memadamkan api lilin tersebut, dan mulailah timbul kegelisahan di antara mereka. Setelah sekian lama dalam keadaan gelap-gulita, maka mulailah pemuda pertama berbisik pada teman di sebelahnya,”Kelihatannya api lilin itu padam!” Pemuda kedua menyahut sambil berbisik pula, “Iya…, sebaiknya ada yang menyalahkannya.” Pemuda ketiga menimpali dan mengingatkan akan janji mereka, “Hei…bukankah kita sepakat untuk tidak berbicara?” Pemuda keempat mengiyakan, “Iya nih,…. koq jadi pada berisik sih…” , dan mereka berempatpun baru mulai menyadari hanya ada satu orang yang berhasil tidak berbicara sama sekali, tetapi belum sampai sedetik kemudian, pemuda kelimapun mulai berseru dan yang paling nyaring, “Ha..ha..ha…, lihatlah hanya saya yang paling hebat karena tidak berbicara sama sekali!”
5
Enam Paramita [Sad Paramita]
Delapan Ruas Jalan Kemuliaan yang diuraikan pada halaman sebelumnya, dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian utama, yaitu: Sila, Samadhi dan Prajna. Dalam Buddhisme Mahayana, dikembangkan lebih lanjut menjadi Enam Paramita [Sad Paramita] atau Enam Perbuatan Luhur, dan merupakan ajaran pertama yang dilakukan oleh para Bodhisattva untuk mencapai pandangan Buddha yang tidak terbatas yaitu Cinta Kasih [maitri/metta], Kasih Sayang [karuna], Simpati [mudita] dan Keseimbangan Batin [upeksa/upekkha]. Dengan demikian tindakan seorang Bodhisattva haruslah benar-benar terlepas dari semua kepentingan atau kebanggaan pribadi, tanpa ikatan, tanpa batas, tanpa henti dan tanpa perbedaan dalam membantu semua makhluk yang memerlukan pertolongan. Tindakan seorang Bodhisattva, dapat disamakan dengan matahari yang menyinari bumi ini, tanpa membeda-bedakan, tanpa ikatan, tanpa batas, tanpa henti, dan tidak pernah membanggakannya atau mengakui pahalanya.
Enam Paramita tersebut terjalin sebagai satu kesatuan, karena pengaruh dari ajaran Asanga (pendiri Yogacara) sebagaimana disebutkan dalam Mahayana Sutralankara dengan urutan : dana-sila-ksanti-virya-dhyana-prajna. Adapun dalam pelaksanaan paramita ini dapat dibagi dalam tiga tingkatan sebagaimana tersebut dalam Lankavatara Sutra, yaitu :
Tingkat Biasa;merupakan suatu pelaksanaan paramita dengan harapan untuk memperoleh pahala baik pada masa kehidupan saat ini maupun pada kehidupan berikutnya.
Tingkat Luarbiasa; merupakan suatu pelaksanaan paramita dengan tujuan untuk mencapai nirvana, untuk tidak dilahirkan kembali.
Tingkat Tertinggi; merupakan suatu pelaksanaan paramita oleh para Bodhisattva dalam usahanya untuk menyelamatkan semuat makhluk dari lingkaran penderitaan [samsara].
1. Dana Paramita
Dana Paramita merupakan perbuatan luhur tentang beramal, berkorban baik materi maupun non-materi. Dana paramita ini dapat digolongkan lagi atas : Dana, Atidana (yang lebih tinggi) dan Mahatidana (yang tertinggi).
Para penerima Dana dapat dibagi atas tiga kategori, yaitu (1) dana kepada teman dan keluarga; (2) dana kepada yang membutuhkan, yang miskin, yang menderita dan yang tidak berdaya; (3) dana kepada para bhikshu/bhikkhu dan para brahmana (orang suci Hindu). Dana yang diberikan adalah merupakan milik kekayaan.
Atidana adalah merupakan suatu pemberian dana dimana merupakan miliknya yang terakhir dengan tujuan pemupukan kebajikan untuk mengatasi kemelekatan terhadap rasa cinta yang dapat dianggap sebagai penghambat menuju jalan Kebuddhaan, sehingga menimbulkan kepribadian yang luhur. Contoh pelaksanaan Atidana dikisahkan dengan baik dari cerita Raja Visvantara yang dikutip dari Jatakamala dan Avadana Kalpa Lata.
Pangeran Menyerahkan Semuanya
Visvantara merupakan putra Raja Sanjaya. Beliau telah membagi habis harta miliknya sebagai derma , sampai akhirnya Beliau menyerahkan juga gajah putih milik kerajaan kepada kaum pendeta. Kedermawaannya yang tinggi tersebut menyebabkan ayahnya mengusirnya dari kerajaan untuk dikucilkan di Gunung Vanka.
Visvantara dalam perjalanan ke Gunung Vanka ditemani oleh istrinya dan dua orang anaknya dengan menaiki kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda. Di tengah perjalanan, mereka bertemu seorang pendeta yang meminta kuda-kuda mereka dimana diberikan semua oleh Beliau. Pada kesempatan lain, keretanya juga diberikan kepada pendeta lain yang ditemuinya. Akhirnya mereka meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki dimana Visvantara menggendong putranya, dan istrinya menggendong putrinya. Sesampainya di tempat tujuan, mereka tinggal di rumah yang terbuat dari daun-daunan.
Pada suatu hari sewaktu istrinya sedang pergi, datanglah seorang brahmana yang meminta kedua orang anaknya untuk dijadikan pelayannya. Visvantara tidak sanggup untuk menolak permintaan seorang brahmana, sehingga diserahkannya kedua anaknya tersebut juga. Kejadian tersebut menggugah Deva Sakra yaitu pemimpin para Deva yang kemudian muncul dalam penyamarannya sebagai seorang pendeta yang miskin dan memohon kepada Visvantara agar dapat menyerahkan istrinya kepadanya. Tentu saja permohonan inipun dikabulkannya, dan atas ketulusan Visvantara kemudian Deva Sakra menjelma kembali ke bentuk aslinya dan memberkahi Visvantara. Brahmana yang membawa kedua anaknya kemudian menyerahkannya kepada kakeknya, Raja Sanjaya .
Kejadian ini membuat Raja Sanjaya dan rakyatnya menjadi terharu sehingga Visvantara dipanggil kembali dan diberikan kedudukan kembali sebagai pangeran kerajaan yang kemudian hari menjadi Raja menggantikan ayahnya.
Mahatidana merupakan pengorbanan dana tertinggi karena yang diberikan adalah anggota tubuh seorang Mahasattva. Pengertian anggota tubuh ini dapat mencakup daging, darah, organ mata ataupun organ tubuh lainnya, bahkan seluruh tubuhnya karena Sang Mahasattva sudah tiada mempunyai sedikitpun rasa cinta kepada semuanya itu. Kesediaannya memberikan pengorbanan yang besar ini merupakan pencurahan kasih yang luar biasa kepada makhluk hidup dengan tujuan untuk mengakhiri penderitaan. Terdapat banyak kisah di dalam Jataka yang menceritakan tentang pemberian mahatidana oleh Sang Bodhisattva Mahasattva. Salah satunya adalah kisah di bawah ini.
Bodhisattva Mengorbankan Tubuh
Pada suatu masa yang silam, hiduplah Raja Maharatha bersama tiga putranya, Mahapranada, Mahadeva, dan Mahasattvavan. Pada suatu hari ketiga pangeran berjalan di dalam suatu hutan yang besar dan sunyi, dimana di tengah perjalanan mereka bertiga bertemu dengan seekor harimau betina yang baru beranak lima ekor. Tubuh harimau betina begitu kurus dan lemah karena lapar dan haus. Mereka bertiga membicarakan tentang keadaan harimau tersebut dan membayangkan bagaimana bisa harimau betina yang malang tersebut beserta anak-anaknya dapat bertahan hidup.
Mahasattvavan kemudian meminta agar kedua saudaranya berangkat dulu dengan mengatakan nanti dia akan menyusul ke lembah karena hendak melakukan sesuatu. Setelah ditinggal sendirian, maka Mahasattvavan berucap kepada harimau tersebut, “Saya terharu dan dengan rela memberikan tubuh saya untuk kebaikan dunia dan untuk pencapaian bodhi.” Kemudian dia melemparkan dirinya di hadapan harimau betina tersebut, namun harimau yang lemah tersebut tidak dapat berbuat apa-apa terhadap dirinya. Mahasattvavan akhirnya mengambil sebilah bambu tua yang ditemukannya di sekitar lokasi tersebut dan memotong kerongkongannya sehingga mati terbaring dekat harimau tersebut.
Uraian lebih detail mengenai Dana ini akan dibahas dalam bab tersendiri .
2. Sila Paramita
Sila Paramita merupakan perbuatan luhur tentang hidup bersusila, tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak baik oleh badan [kaya], ucapan [vak], dan pikiran [citta].
Pelaksanaan Sila Paramita merupakan pelengkap dari seorang Bodhisattva yang telah melaksanakan Dana Paramitha. Pelaksanaan Sila Paramita ini dapat diumpamakan kaki ataupun mata dimana tanpa kaki maka seseorang akan terjatuh ke dalam bentuk kehidupan yang penuh kejahatan, ataupun tanpa mata maka seseorang tidak akan dapat melihat Dharma.
Terdapat tiga pengertian dalam menguraikan Sila Paramita, yaitu
Kebajikan moral secara umum dimana kepribadian yang menganggumkan merupakan ciri utamanya;
Kebajikan moral yang dikaitkan dengan suatu cita-cita penyucian yang direalisasikan melalui pikiran, ucapan, dan perbuatan;
Kebajikan moral yang dikaitkan dengan lima ajaran moral [Pancasila Buddhis) dan sepuluh jalan tindakan yang baik dan bermanfaat dimana merupakan latihan moral kebajikan bagi umat awam.
Pelaksanaan Sila merupakan suatu usaha seorang Bodhisattva untuk memusnahkan seluruh tiga akar kesengsaraan atau tiga racun dunia, yaitu:
raga yang dapat dianggap sebagai persamaan kata lobha yaitu hawa nafsu, gairah, kesenangan perasaan.
dvesa [dosa] yaitu kebencian, keinginan buruk
moha yaitu kebodohan batin, khayalan, kebingungan mengenai pikiran
Dalam melatih Sila Paramita, maka terdapat sepuluh pantangan yang harus dijalankan seorang Bodhisattva, yaitu :
Pantang membunuh makhluk hidup
Pantang mencuri
Pantang dari ketidak-sucian
Pantang berbicara bohong
Pantang memfinah
Pantang berbicara kasar
Pantang terhadap kesembronoan dan berbicara yang tidak berarti
Pantang terhadap sifat iri hati
Pantang terhadap sifat dengki
Pantang dari pandangan salah
Urain lebih detail mengenai Sila ini akan dibahas dalam bab tersendiri.
3. Ksanti Paramita
Ksanti merupakan suatu perbuatan luhur tentang kesabaran. Ksanti Paramita mencakup tiga pengertian, yaitu, kesabaran, ketabahan, dan ketulusan hati. Seorang Bodhisattva haruslah melatih kesabaran karena ketidaksabaran akan mudah menimbulkan kemarahan dimana dapat menghancurkan semua pemupukan kebajikan yang telah terhimpun.
Ketidaksabaran dalam bertindak sering menenggelamkan kita dalam lautan penderitaan yang menyebabkan penyesalan yang berkepanjangan.
Penyesalan dari Ketidaksabaran
Hsiau-fei adalah seorang mahasiswa yang sebentar lagi akan di wisuda. Dia sangat mendambakan akan mendapatkan hadiah wisuda dari ayahnya, seorang pengusaha kaya yang sangat menyayanginya sebagai anak satu-satunya. Hsiau-fei selama berhari-hari telah membayangkan akan mengendarai mobil BMW idamannya sambil bersenang-senang dengan temannya.
Saat yang ditunggupun tibalah, dimana setelah wisuda dengan langkah penuh keyakinan Hsiau-fei melangkah menemui ayahnya yang tersenyum sambil berlinang air mata menyampaikan betapa dia sangat kagum akan anak satu-satunya dan sungguh dia mencintainya. Ayahnya kemudian mengeluarkan sebuah kado yang dibungkus rapi, dan sungguh hal ini membuat Hsiau-fei terpaku karena bukanlah kunci mobil BMW sebagaimana yang diharapkannya. Dengan perasaan gundah, dibukanya juga kado tersebut dimana berisi kitab Buddha Vacana yang terjilid rapi berlapiskan tulisan emas nama Hsiau-fei di sampul depannya. Hancur sekali hati Hsiau-fei menerima hadiah kitab tersebut, dan dengan marah tanpa dapat terkendalikan, dia membanting kitab tersebut sambil berteriak nyaring, “Apakah ini cara ayah mencintai saya, padahal dengan uang ayah yang banyak tidaklah sulit untuk membelikan hadiah yang memang telah ayah ketahui sudah lama saya idamkan!!” Kemudian Hsiau-fei tanpa melihat reaksi ayahnya lagi, berlari kencang meninggalkannya dan bersumpah tidak akan menemuinya lagi.
Hari , bulan dan tahunpun berganti. Hsiau-fei yang telah pindah tinggal di kota lain akhirnya berhasil menjadi seorang pengusaha yang sukses karena bermodalkan otaknya yang cemerlang. Selain memiliki rumah dan mobil yang mewah, dia juga telah berkeluarga dan mempunyai tiga anak. Sementara ayahnya sudah pensiun dan semakin tua serta tinggal sendirian. Ayahnya selalu menanti kedatangan Hsiau-fei sejak hari wisuda tersebut dengan satu harapan hanya untuk menyampaikan betapa kasihnya dia kepada Hsiau-fei. Hsiau-fei adakalanya juga rindu kepada ayahnya, namun setiap kali mengingat kejadian hari wisuda tersebut, diapun menjadi marah kembali dan merasa sakit hati atas hadiah kitab dari ayahnya.
Sampai suatu hari, datanglah telegram dari tetangga ayahnya yang memberitahukan bahwa ayahnya telah meninggal dunia, dan sebelum meninggal dia telah meninggalkan surat wasiat kepada Hsiau-fei dimana semua hartanya akan diwariskan kepadanya. Akhirnya Hsiau-fei memutuskan untuk pulang mengurus harta peninggalan ayahnya.
Memasuki halaman rumahnya, timbullah rasa penyesalan yang menyebabkannya sedih sekali memikirkan sikap ketidaksabarannya khususnya pada saat wisuda. Hsiau-fei merasa sangat menyesal telah menolak ayahnya. Dengan langkah berat dia memasuki rumah dan satu per satu perabot diperhatikannya yang mengingatkannya akan semua kenangan indah tinggal bersama ayahnya. Dengan kunci wasiat yang diterimanya, dia membuka brankas besi ayahnya, dan menemukan kitab Buddha Vacana dengan ukiran emas namanya, hadiah hari wisuda. Dia mulai membuka halaman kitab tersebut, dan menemukan tulisan tangan ayahnya di halaman depan, “Dengan segala kejahatan yang telah kamu lakukan selama hidupmu, tetapi kamu tahu memberikan yang terbaik kepada anakmu, sungguh para Buddha dan Bodhisattva akan terguncang dengan perbuatanmu.” Tanpa disengaja, tiba-tiba dari sampul kitab tersebut terjatuh sebuah kunci mobil BMW dan kwitansi pembelian mobil yang tanggalnya persis satu bulan sebelum hari wisuda Hsiau-fei.
Hsiau-fei terpaku tanpa bisa bersuara, berbagai perasaan menghinggapinya. Dengan sisa tenaga yang ada, Hsiau-fei segera berlari ke garasi dan menemukan sebuah mobil BMW yang telah berlapiskan debu tetapi masih jelas bahwa mobil tersebut belum pernah disentuh sama sekali karena jok mobilnya masih terbungkus plastik. Di depan kemudi terpampang foto ayahnya yang tersenyum bangga. Tiba-tiba lemaslah seluruh tubuhnya, dan airmatanya tanpa terasa mengalir terus tanpa dapat ditahannya,……… suatu penyesalan yang mendalam atas ketidaksabarannya sendiri…….., suatu penyesalan yang tak mungkin berakhir……..
4. Virya Paramita
Virya Paramita merupakan perbuatan luhur mengenai keuletan, ketabahan dan semangat. Terdapat dua macam Virya, yaitu :
Sannaha-virya, yang dapat diartikan memakai perisai dalam arti mempersiapkan diri atau memperkuat iman terhadap berbagai godaan.
Prayoga-virya, yang dapat diartikan dengan ketekunan dan kesungguhan dalam pelaksanaan Ajaran Sang Buddha .
5. Dhyana Paramita
Dhyana Paramita merupakan perbuatan luhur mengenai samadhi. Terdapat 4 jenis Dhyana sebagaimana dinyatakan dalam ajaran Yogacara, Lankavatara Sutra, yaitu :
Balopacarika Dhyana, dhyana yang dilakukan oleh Sravaka dan Pratyekabuddha dengan merenungkan tentang ketidak-kekalan dari sifat ke-aku-an.
Artapravicaya Dhyana, dyana yang dilaksanakan oleh para Bodhisattva yang telah mengerti hakekat Keberadaan dari alam semesta.
Tathatalambana Dhyana; dhyana yang terdiri dari pengkajian atas Keberadaan dari Kebenaran serta merenungkannya.
Tathagata Dhyana; dhyana yang dilaksanakan oleh para Tathagata yang telah mengetahui Pengetahuan yang Tertinggi dan selalu bersedia untuk mengabdi kepada semua makhluk.
6. Prajna Paramita
Prajna Paramita merupakan Paramita yang terpenting; yaitu perbuatan luhur mengenai Kebijaksanaan. Terdapat dua makna dalam Prajna, yaitu :
(1) Prajna yang kekal.
(2) Prajna yang berfungsi sejalan dengan ke lima Paramita lainnya.
Usaha pengembangan prajna ini terdapat tiga jalur yang mengarah kepada suatu pendalaman (intuisi) dan pengetahuan, yaitu :
berdasarkan ajaran orang lain atau kitab suci tertulis ataupun lisan [sutamaya panna],
berdasarkan pemikiran yang mendalam [cintamaya panna], dan
berdasarkan meditasi pengolahan dan realisasi [bhavanamaya panna]
Selain Enam Paramita tersebut di atas, terdapat juga Empat Paramita tambahan, yaitu :
1. Upaya-Kausalya Paramita ; merupakan kemahiran dalam perbuatan atau adaptasi dari usaha usaha untuk perubahan guna
memberikan pertolongan secara luhur
2. Pranidhana Paramita; aspirasi atau resolusi luhur
3. Bala Paramita; kekuatan atau kemampuan luhur
4. Jnana Paramita; pengetahuan luhur
Sedangkan dalam Buddhisme Theravada dikembangkan tindakan Bodhisattva dalam Sepuluh Kebajikan Luhur atau Sepuluh Parami, dengan urutan sebagai berikut :
1. Kemurahan hati [Dana]
2. Kesusilaan [Sila]
3. Penglepasan Keduniawian [Nekkhamma]
4. Kebijaksanaan [Panna]
5. Kegiatan [Viriya]
6. Kesabaran [Khanti]
7. Kejujuran [Sacca ]
8. Keputusan [Adhitthana]
9. Cinta-Kasih [Metta]
10.Keseimbangan [Upekkha]
Sang Buddha bersabda :” Hendaklah ia menjaga ucapan dan mengendalikan pikiran dengan baik serta tidak melakukan perbuatan jahat melalui jasmani. Hendaklah ia memurnikan tiga saluran perbuatan ini, memenangkan ` Jalan ‘ yang telah dibabarkan oleh Para Suci. ” (Dhammapada, 281).
6
Tiga Tanda Keberadaan Alam Semesta
Suatu tanda atau corak merupakan suatu fakta yang memberitahukan kita adanya bentuk asli suatu benda. Sedangkan suatu fakta adakalanya dihubungkan dengan benda tertentu, tetapi adakalanya tidak ada hubungan dengan benda apapun, sehingga hal itu bukan merupakan suatu tanda yang akan membantu kita dalam memahami bentuk asli suatu benda.
Sebagai contoh panas adalah fakta. Panas bukanlah suatu tanda dari air karena air tidak selalu panas dan panasnya air tergantung kepada faktor lainnya, seperti matahari dan kompor gas. Tetapi panas merupakan tanda dari api, karena api selalu identik dengan panas, dan panas dari api tidak tergantung faktor lainnya. Panas selalu dihubungkan dengan api yang memberitahukan kita adanya sumber api.
Pada saat Sang Buddha mengajarkan adanya tiga tanda keberadaan alam semesta, maka hal tersebut pada umumnya ditemukan pada semua hal yang ada dimana mengisyaratkan bentuk asli keberadaan benda tersebut. Tiga tanda atau corak keberadaan yang diajarkan oleh Sang Buddha adalah Ketidak-kekalan, Penderitaan dan Ketanpa-intian / Ketanpa-akuan.
1. Ketidak-kekalan [Anitya-laksana/Anicca-lakkhana]
Sang Buddha bersabda : ” Segala sesuatu yang berkondisi tidak kekal adanya. Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat ini; maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan. Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.” (Dhammapada , 277).
Sang Buddha mengajarkan, bahwa setiap keberadaan adalah tidak kekal karena tidak ada sesuatu baik itu internal ataupan eksternal yang kekal, stabil, tidak habis, membusuk, hancur, dan selalu sama. Segala sesuatu senantiasa berubah. Keberadaan seperti aliran air sungai atau nyala api lilin yang mana tidak pernah selalu sama alirannya atau nyalanya. Kita akan menyadari bahwa nyala api lilin itu timbul hanya sementara saja yang mana merupakan bentuk materi yang tidak kekal adanya. Dalam nyala api tersebut kita dapat mengamati adanya lima fenomena yang berkaitan dengan ketidak-kekalan yaitu, lahir (muncul), tumbuh, berlangsung, lapuk dan mati (padam).
Contoh lainnya tubuh kita terdiri dari daging, tulang, dan darah yang mana tidak pernah kekal. Dari sejak kita dilahirkan, tubuh selalu mengalami perubahan. Demikian juga dengan tubuh manusia tergantung dari berbagai faktor dan selalu berubah. Baik tubuh maupun pikiran adalah tidak kekal dan senantiasa berubah. Ilmu pengetahuan menyatakan bahwa benda-benda yang kelihatan tetap seperti lautan, kepulauan, pegunungan bahkan bumi, matahari, dan yang terakhir ditemukan oleh para para ilmuwan UCLA tentang sekilas bintang raksasa yang paling terang dan paling besar cahayanya di alam semesta, yang mengeluarkan energi 10 juta kali dari matahari dan 200 kali lebih besar dari matahari (dinamakan Bintang Pistol), terus mengalami perubahan hingga suatu hari akan musnah (Suara Pembaruan, tgl 8 Oktober 1997). Benda-benda tersebut yang menurut kita kekal juga akan musnah, sehingga tidaklah diragukan adanya ketidak-kekalan dalam kehidupan ini. Kehidupan dapat berakhir setiap saat. Tidak ada seorangpun yang dapat menghindari kematian dan kehancuran tubuh ini. Perubahan-perubahan yang terjadi tersebut berlangsung secara perlahan-lahan tanpa dapat disadari [Annathabhava]. Perubahan yang radikal juga dapat terjadi di alam semesta ini dimana suatu keberadaan tiba-tiba telah tiada misalnya musnahnya binatang-binatang purba [Viparinama].
Pengertian tentang tanda ketidak-kekalan menguntungkan manusia ditinjau dari dua faktor. Pertama, akan meningkatkan kegiatan dan hubungan antar manusia. Kedua, akan mendorong manusia untuk mengikuti Delapan Ruas Jalan Kemuliaan. Adakalanya manusia menyadari kesalahan mereka dalam hubungan dengan sesama, disebabkan kegagalannya dalam memperhitungkan faktor perubahan yang terjadi pada dirinya dan temannya. Sering suatu persahabatan berakhir karena salah satu pihak gagal menyadari adanya perubahan dalam pribadi, kesukaan dan tingkah laku temannya. Jika kita menyadari manusia dan setiap situasi adalah tidak kekal adanya dan selalu berubah, maka akan timbul saling memahami diri masing-masing sehingga akan terjadi hubungan persahabatan yang baik.
Perbedaan Dua Sahabat Berubah Menjadi Persamaan
Terdapat sebuah kisah tentang dua orang bersahabat yang bernama Ayin dan Ayang. Mereka berdua adalah orang yang saleh, berjiwa besar, dan penuh cinta kasih. Ayin mempunyai agama atau kepercayaan yang berbeda dengan Ayang. Walaupun begitu mereka secara teratur bertemu untuk mendiskusikan keyakinan mereka, dengan tujuan mencari suatu persamaan yang mereka tidak ketahui namanya.
Meskipun mereka saling menghormati dan mengajukan argumentasi dengan penuh sopan santun, namun pada setiap akhir pertemuan, mereka tidak pernah merasa puas. Segala cara dan metode diskusi yang diketahui telah mereka tempuh tapi tetap tidak menghasilkan apa-apa. Sampai mereka merasa putus asa, mereka mulai kehilangan kendali diri, dalam hati masing-masing mulai muncul perasaan “lebih unggul”. Akhirnya tercetus kata-kata Ayin, “Ah, seandainya engkau adalah aku, tentu akan bisa memahami apa yang ingin kusampaikan, dan diskusi ini akan dapat membawa kita lebih mengerti ‘sesuatu’ itu.” Ayang menimpali, “Hei, aku juga berpikir begitu. Tapi bagaimana cara kita bisa saling tukar diri kita masing-masing?”
Karena memang mereka tidak dapat saling tukar diri, maka tak lama kemudian mereka menemukan pemecahan yang disetujui paling tepat. Diputuskan, Ayin akan mempelajari agama atau kepercayaan Ayang dan Ayang akan mempelajari agama atau kepercayaan Ayin. Karena mereka memang menginginkan hasil terbaik dan terbenar, maka mereka berikrar akan mempelajari dengan sepenuh hati, berusaha memahami dengan hati terbuka, tidak malah mencari-cari titik kelemahan yang akan digunakan untuk menyerang lawannya. Akhirnya mereka berikrar, setelah 40 tahun mereka akan bertemu lagi untuk saling berdebat sampai ada yang mengaku kalah.
Konon cerita, 40 tahun kemudian, Ayin dan Ayang yang telah sama-sama tua, memenuhi ikrar mereka untuk saling bertemu pada senja hari di tempat terakhir mereka bertemu. Mereka saling berpandangan, tak sepatah kata pun yang terucapkan. Sinar mata mereka penuh kasih yang menghanyutkan sukma, senyum mereka begitu halus dan tulus. Mereka saling memeluk. Resonansi getaran jiwa mereka pada angin yang membelai, pada daun-daun yang berbisik, dalam seluruh relung ruang di jagad raya ini: “Saudaraku, kau selalu di dalam diriku, dan aku selalu di dalam dirimu .” Sejak saat itu tak ada lagi diskusi, karena dalam pelukan itu mereka mengerti tanpa mengetahui dan mendapatkan tanpa mencari.
Keberhasilan dalam hidup ini tergantung pada kemampuan kita beradaptasi terhadap perubahan yang timbul dalam setiap situasi dan menjadikannya suatu kesempatan yang terbaru. Dengan memahami bahwa usia muda, kesehatan, kekayaan dan bahkan hidup kita sendiri adalah tidak kekal adanya, maka kita seharusnya dapat memanfaatkan keadaan yang ada sebaik mungkin sebelum semuanya berakhir. Ini berarti kita harus mempraktekkan Delapan Ruas Jalan Kemuliaan untuk mencapai kebahagiaan dan Pencerahan. Sabda Sang Buddha yang terakhir, “Semuanya senantiasa berubah, berjuanglah dengan kerja keras.”
2. Penderitaan [Duhkha-Laksana/ Dukkha-Lakkhana]
Sang Buddha bersabda : ” Segala sesuatu yang berkondisi adalah menderita. Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat hal ini, maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan. Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.” (Dhammapada, 278).
Kesunyataan Mulia tentang adanya penderitaan adalah merupakan hal yang pertama dari Empat Kebenaran Mulia yang diajarkan oleh Sang Buddha. Penderitaan merupakan kenyataan hidup, dimana selalu dialami oleh setiap orang dan merupakan salah satu tanda keberadaan.
Segala sesuatu yang tidak kekal juga mengalami penderitaan. Apa yang timbul hanya bersifat sementara, dimana akan rusak dan akhirnya mati. Kelahiran dan kematian yang berulang-kali merupakan suatu beban yang menyiksa, dimana mempengaruhi pikiran dan rasa tenteram kita sehingga merupakan penyebab penderitaan.
Dengan demikian, umur tua, sakit, dan kematian adalah kejadian ketidak-kekalan hidup yang merupakan bentuk dari penderitaan. Karena manusia sangat peduli terhadap usia muda, kesehatan, hubungan dan pemenuhan material dengan tanpa menyadari adanya ketidak-kekalan akan menyebabkan kekhawatiran dan ketakutan. Disebutkan dalam sutra, bahwa para dewa sampai bergetar kebimbangan waktu Sang Buddha mengingatkan bahwa surga juga tidak kekal adanya.
Apabila kita perinci secara detail maka akan terdapat 12 jenis penderitaan dimana masing-masing memiliki namanya sendiri yang dikaitkan dengan penyebab penderitaan yang ditimbulkannya, yaitu
Penderitaan dari kelahiran [jati-dukkha]
Penderitaan dari ketuaan [jara-dukkha]
Penderitaan dari kesakitan [byadhi-dukkha]
Penderitaan dari kematian [marana-dukkha]
Penderitaan dari kesedihan [soka-dukkha]
Penderitaan dari ratap tangis [parideva-dukkha]
Penderitaan dari jasmani [Kayika-dukkha]
Penderitaan dari batin [domanassa-dukkha]
Penderitaan dari putus asa [upayasa-dukkha]
Penderitaan karena berkumpul dengan orang yang tidak disenangi [appiyehisampayoga-dukkha]
Penderitaan karena terpisah dengan sesuatu yang dicintai [Piyehippayoga-dukkha]
Penderitaan karena tidak tercapai apa yang dicita-citakan [yampicchannalabhi-dukkha]
Diantara kedua-belas jenis penderitaan tersebut maka penderitaan atas kelahiran, kelapukan atau ketuaan, dan kematian adalah yang paling penting harus kita sadari. Menyadari bahwa penderitaan tersebut bersifat universal dan tidak dapat dihindari, maka akan menyebabkan seseorang lebih tenang dalam menghadapi kenyataan hidup, sehingga akan mampu menghadapi umur tua, sakit dan mati tanpa merasa ada beban dan kecewa. Hal ini juga mendorong manusia untuk mengatasi masalah penderitaan sebagaimana yang dialami oleh Pangeran Siddharta.
Adakalanya pada saat kita sedang berkonsentrasi terhadap sesuatu maka segala penderitaan dapat kita lupakan, apalagi pada saat sedang bersenang. Tetapi fenomena tersebut tidaklah langgeng adanya, dimana sesudah konsentrasi tersebut hilang atau kesenangan telah berlalu, maka kitapun mengingat kembali semua penderitaan yang kita alami.
Penderitaan Nenek Kacang
Dahulu terdapat seorang nenek yang sejak kecil hidupnya sudah menderita sekali karena hidupnya sebatang kara tanpa ada sanak dan famili. Nenek ini terkenal dengan sebutan Lo-pakme pengulit kacang atau nenek tua pengulit kacang, karena tugasnya menguliti kacang sebagai penghidupannya . Lo-pakme pengulit kacang walaupun buta huruf tetapi tetap senang menghormati Buddha dan Bodhisattva di vihara dan banyak berbuat amal. Dia tidak bisa menghafal berbagai sutra yang menurutnya rumit sekali, sehingga hanya ada satu mantra yang selalu dihafalnya yaitu mantra “Om Mani Padme Hum” yang dilafalnya sebagai “Hung Mami Pana Hung”.
Begitu senangnya Lo-pakme terhadap mantra tersebut sehingga setiap kali menguliti kacang, dia melafal mantra tersebut dengan senang, melupakan segala penderitaan hidup yang dialaminya. Setelah lebih dari 40 tahun melafal mantra tersebut secara salah tanpa ada yang membetulkan lafalannya tersebut, sampai hal tersebut mengetuk hati para Bodhisattva, hingga suatu hari, diciptakanlah suatu keajaiban, dimana setiap kali Lo-pakme menyebutkan sekali “Hung Mami Pana Hung”, maka kacang yang belum dikuliti akan loncat ke keranjang lainnya dengan kulit yang telah dibuang. Hal ini makin membuat Lo-pakme senang akan mantranya dan segala penderitaan hidupnyapun sudah tidak diingat lagi, yang diingat hanya menguliti kacang sambil membaca “Hung Mami Pana Hung”.
Sampai suatu hari datanglah seorang bhikshu muda pengembara yang melewati rumah tempat tinggal sang Lo-pakme. Mendengar Lo-pakme tersebut membaca mantra yang salah, maka bhikshu muda tersebut berbaik hati untuk membetulkannya dengan berkata, “A-pho (Nenek), mantra yang A-pho baca itu salah, seharusnya ‘Om Mani Padme Hum’……, dengan nada belakang agak panjang, ….Hummmmm………., dan mulutnya ditutup….Hummmmmmm…….”
Lo-pakme yang sangat menghormati Buddha, tentunya senang ada bhikshu yang mengajarinya, dan baru sadar bahwa selama ini dia telah menglafal mantra yang salah, maka setelah beberapa kali melakukan lafalan sebagaimana yang diajarkan bhikshu muda tersebut, akhirnya lafalan tersebutpun telah menjadi benar kembali, sebagai “Om Mani Padme Hummm…..”, tentunya dengan nada belakang yang agak panjang sambil mulut ditutup.
Keesokan harinya, sesudah menjamu bhikshu muda tersebut sarapan pagi karena diajak untuk menginap dan setelah bhikshu muda tersebut meninggalkan tempatnya sambil sekali lagi mengingatkan Lo-pakme untuk melafal mantra secara benar, khususnya penutupan mulut pada saat ‘Hummmm……’ . Kemudian Lo-pakme sudah siap dengan mantra barunya untuk menguliti kacang, diapun melafal, “Om Mani Padme Hummmmm….”, sambil menutup mulut pada suara mantra terakhir. Tetapi kacang tidak melompat sama sekali…., tidak percaya akan penglihatannya, diapun mengulangi kembali sampai beberapa kali, tetap saja tidak terjadi keajaiban kacang yang terkuliti sendiri dan melompat. Akhirnya Lo-pakme menyerah dan pasrah serta memilih untuk melafal mantra yang benar saja karena menghormati nasehat bhikshu muda, dan memulai dari awal lagi menguliti kacang dengan tangannya yang sudah makin bertambah keriput.
3. Ketanpa-intian/Ketanpa-akuan [Anatman-laksana/ Anatta-lakkhana]
Sang Buddha bersabda: ” Segala sesuatu yang berkondisi adalah tanpa inti. Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat hal ini, maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan. Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.” (Dhammapada , 279).
Kita selalu berpikir bahwa kita mempunyai kepribadian atau diri yang nyata dan kekal, sehingga seseorang dapat hidup dengan mengalami berbagai pengalaman hidup. Tetapi Sang Buddha mengajarkan bahwa tidak ada yang nyata, kekal dan kepribadian yang bebas atau sifat diri atau inti dari segala sesuatu. Ini merupakan tanda keberadaan ketiga.
Jika kekekalan dan kebebasan diri benar ada, seseorang seharusnya dapat mengidentifikasikannya. Ada orang yang menyatakan bahwa tubuh adalah diri, atau pikiran adalah diri. Tetapi kedua pernyataan tersebut salah adanya. Baik tubuh maupun pikiran tidaklah kekal, selalu berubah dan akan musnah, dimana tergantung banyak faktor untuk keberadaannya. Tidak ada tubuh ataupun pikiran yang kekal dan bebas adanya.
Seandainya tubuh adalah diri, maka dia akan mampu mengendalikan dirinya sendiri untuk menjadi perkasa atau adil. Tetapi tubuh cepat lelah, lapar dan sakit terhadap kebutuhannya, sehingga tubuh tidak dapat menjadi pribadi atau diri tersebut. Demikian juga, seandainya pikiran adalah diri, maka dia akan berbuat apa yang diinginkannya. Tetapi pikiran selalu menghindari apa yang ia tahu benar, dan berbuat apa yang ia tahu salah. Sehingga menjadi terganggu, tertarik dan bangga atas keinginannya. Oleh karena itu pikiran juga bukan merupakan diri tersebut.
Anggota Tubuh Yang Egois
Suatu waktu seluruh anggota tubuh merasa benci terhadap perut. Mereka semua iri karena mereka selalu harus bekerja keras mempersiapkan makanan dan membawanya sampai ke perut, sementara perut sendiri tidak pernah berbuat lain kecuali mencerna hasil jerih payah pekerjaan mereka.
Sehingga mereka mengambil keputusan untuk melakukan demonstrasi dengan mogok membawa makanan ke perut. Pikiran tidak mau memikirkan untuk makan, anggota tangan tidak mau mengambil makanan ke mulut, gigi tidak mau mengunyah, dan tenggorakan tidak mau menelan, itulah kesepakatan mereka. Hal ini, menurut mereka akan memaksa perut untuk bekerja bagi dirinya sendiri tanpa harus tergantung sama mereka.
Tetapi hasil keputusan tersebut menghasilkan pikiran yang lemah, tubuh yang lesuh, tidak bersemangat hingga hampir membuat mereka berada dalam garis kematian. Akhirnya dengan lemah, mereka baru menyadari kesalahan keputusan mereka, dimana mereka sadar bahwa tubuh ini tidaklah murni berdiri sendiri adanya, dimana perasaan ke-aku-an hanya akan menyebabkan penderitaan, dan satu sama lain seharusnya saling bergantungan.
Ketika orang mengatakan, misalnya, “Aku punya mobil”, maka orang tersebut menggunakan kata diri yang sangat menyenangkan yaitu, `Aku’ untuk menunjukkan faktor jiwa dan fisiknya. Pada kenyataannya, tidak ada sifat `Aku’ atau `diri’. Sejauh orang memikirkan, bahwa diri adalah kekal dan bebas, maka dia akan terikat pada dirinya dan sifat keakuannya. Tidak saja dia akan merasa selalu dipersulit oleh orang lain dan situasi, tetapi dia juga akan merasa dipaksa untuk melindungi dirinya sendiri, harta bendanya, bahkan opininya dengan segala daya upaya.
Apabila orang telah menyadari, bahwa diri hanyalah suatu nama yang menyenangkan untuk menampung segala faktor perubahan jiwa dan fisik, maka dia tidak akan terikat pada perasaaan takut dan tidak aman. Dia akan menemukan lebih mudah untuk tumbuh, belajar, berkembang, dan bersifat sopan, rendah hati, dan simpati, karena dia tidak perlu lagi mempertahankan segala sesuatunya.
Menyadari kenyataan dari ketanpa-akuan merupakan tanda keberadaan ketiga. Segala sesuatu yang tidak kekal adalah menderita, dan segala sesuatu yang tidak kekal dan menderita adalah tanpa inti adanya. Mereka yang menyadari kebenaran dari ketiga fakta keberadaan tersebut, akan mampu mengatasi penderitaan, karena pikiran mereka telah bebas dari khayalan dan kekekalan, kesenangan dan sifat keakuan.
“Kebebasan dari nafsu merupakan kebahagiaan di dunia, suatu keadaan yang mengatasi semua nafsu keinginan inderawi. Tetapi penghancuran kesombongan yang menganggap `Inilah Aku’, ini adalah kebahagiaan yang tertinggi.” (Udana, 10)
7
Hukum Sebab Akibat
Segala sesuatu berasal dari sebab dan kondisi. Suatu kecambah, misalnya, berasal dari biji atau benih dan pertumbuhannya tergantung pada tanah, kelembaban, suhu dan matahari. Jika terdapat suatu kondisi yang kurang, maka kecambah tersebut tidak akan dapat tumbuh. Nyala lampu minyak tergantung dari sumbu dan minyak, sehingga apabila sumbunya telah terbakar semua atau minyaknya telah habis, maka nyala lampu tersebut akan padam. Demikian juga dengan kehidupan ini berasal dari sebab dan kondisi, bukan karena suatu kesempatan saja.
Sebab – Akibat yang Saling Bergantungan dan Kelahiran Kembali.
Sebagaimana nyala lampu minyak yang tergantung pada sumbu dan minyak untuk keberadaannya, demikian juga dengan kelahiran kembali (tumimbal lahir) dan penderitaan terjadi tergantung pada kesesatan pikiran dan karma.
Pikiran adalah sesat adanya sejauh masih belum bebas dari ketidak-pedulian atau ketidak-tahuan, keinginan, kemelekatan. Kebodohan batin merupakan kegagalan melihat sesuatu sebagaimana adanya. Selain ketidak-tahuan, kita selalu berkeinginan untuk mendapatkan hal-hal yang menyenangkan, sehingga menimbulkan kemelekatan. Kita gagal untuk memahami bahwa hal-hal yang menyenangkan seperti kekayaan, persahabatan, usia muda dan bahkan kehidupan adalah tidak kekal adanya. Semua ini seperti memenggam pasir di tangan, dimana akan lolos semua melalui jari tangan.
Pikiran sesat akan mengakibatkan perbuatan tercela dalam usaha mendapatkan apa yang diinginkan, dimana akhirnya akan menjadi terbiasa. Jika seseorang sudah mendapatkan apa yang dia mau secara tercela, maka dia selalu berusaha melakukannya lagi pada kesempatan lain. Akhirnya ketidak-jujuran menjadi suatu kebiasaan. Bagaimanapun ada juga orang yang mendapatkan sesuatu dengan bekerja keras, sehingga mendorong orang tersebut untuk bekerja keras dalam setiap pekerjaan, dimana akhirnya kerja keras menjadi suatu kebiasaan.
Dengan kata lain, kebiasaan yang ada ikut membentuk dan merupakan bagian dari suatu kepribadian. Apabila kita menghadapi suatu situasi baru, kita akan memberikan reaksi sesuai dengan cara kebiasaan kita. Sesudah meninggal, maka pikiran sesat dengan kebiasaan tindakan tersebut menjadi sebab seseorang dilahirkan kembali seperti biji atau benih yang disemai dengan tanah, kelembaban, suhu, dan matahari akan menumbuhkan kecambah. Sejauh pikiran orang belum bebas dari ketidak-tahuan, keinginan dan kemelekatan, maka dia akan melakukan tindakan sesuai dengan kebiasaannya, sehingga orang tersebut akan mengalami kelahiran kembali.
Kelahiran kembali adalah menderita, karena kondisi ketidak-tahuan, keinginan dan kemelekatan yang tidak pernah terpuaskan. Bahkan hal-hal yang menyenangkan dimana diinginkan dan dimiliki orang adalah tidak kekal adanya. Sebagai akibatnya, orang akan menderita karena kehilangan, usia tua, kematian, duka dan sedih.
Untuk mengakhiri kelahiran kembali dan penderitaan, kita perlu mensucikan pikiran dari ketidak-tahuan, keinginan dan kemelekatan. Apabila kita telah dapat membebaskan pikiran kita dari kesesatan, maka karma tidak akan berlangsung. Sehingga kelahiran kembali dan penderitaan akan musnah dan terbebas dari lingkaran hidup dan mati.
Sang Buddha bersabda : ” Dengan melalui banyak kelahiran, aku telah mengembara dalam samsara (siklus kehidupan). Terus mencari, namun tidak kutemukan pembuat rumah ini. Sungguh menyakitkan kelahiran yang berulang-ulang ini. O, pembuat rumah, engkau telah kulihat, engkau tak dapat membangun rumah lagi. Seluruh atapmu telah runtuh dan tiangmu berandarmu telah patah. Sekarang batinku telah mencapai Keadaan Tak Berkondisi (Nibbana). Pencapaian ini merupakan akhir daripada nafsu keinginan.” (Dhammapada , 153 – 154).
Sebab Akibat yang Saling Bergantungan dan Nidanas
Hukum sebab akibat memberikan suatu pengertian atas timbulnya suatu kejadian berdasarkan sebab sebelumnya. Ketidak-tahuan merupakan suatu maya atau khayalan yang kuat yang menyebabkan kita menjalani proses lahir dan mati terus menerus. Sang Buddha menguraikan adanya duabelas rantai yang saling bergantungan dimana merupakan sebab-muasal dari penderitaan manusia dan cara pengakhirannya , yaitu :
Dari Ketidak-tahuan [Avidya/Avijja] sebagai sebab timbul Bentuk-bentuk Karma [Samskaras / Samkhara]
Dari Bentuk-bentuk Karma sebagai sebab timbulnya Kesadaran [Vijnana/Vinnana]
Dari Kesadaran sebagai sebab timbulnya Nama dan Wujud [Nama-rupa]
Dari Nama dan Wujud sebagai timbulnya Enam Bidang Pengertian [Sad-ayatana/Salayatana]
Dari Enam Bidang Pengertian sebagai sebab timbulnya Hubungan [Sparca/Phassa]
Dari Hubungan sebagai sebab timbulnya Perasaan [Vedana/ Vadana]
Dari Hubungan sebagai sebab timbulnya Keinginan [Trsna/ Tanha]
Dari Keinginan sebagai sebab timbulnya Ketamakan/Kemelekatan [Upadana]
Dari Kemelekatan sebagai sebab timbulnya Kejadian [Bhava]
Dari Kejadian sebagai sebab timbulnya Kelahiran [Jati]
Dari Kelahiran sebagai sebab timbulnya usia tua, kematian, duka-cita, ratapan, perasaan sakit, kekesalan, dan keputusasaan [Jara Marana].
Fenomena demikian sering dikaitkan bahwa seluruh alam semesta ini tidak dapat diketahui permulaan ataupun akhirnya, sehingga alasan adanya `sebab-pertama’ (first-cause) bukanlah menjadi masalah dalam pengertian Buddhisme. Namun disisi lain dapat juga dikatakan bahwa terhentinya suatu rangkaian fenomena kehidupan tersebut dapat didahului dengan berhentinya syarat yang mendahuluinya. Hubungan sebab akibat tersebut memperlihatkan suatu kebenaran dari keadaan yang sebenarnya, dimana tidak terdapat suatu kondisi yang timbul tanpa adanya suatu sebab. Dengan menghayati Hukum Sebab Akibat ini maka kitapun akan bisa terbebas dari pandangan yang salah mengenai kehidupan ini.
Perbuatan para Buddha dan Arahat sudah tidak dapat disebut bentuk-bentuk karma [samkhara] karena mereka telah menghancurkan ketidak-tahuan [avijja]. Sang Buddha mengatakan bahwa dengan menghancurkan maya/khayalan dan menembus kegelapan yang tebal, tak akan mengembara lagi; sebab- akibat tiada lagi pada mereka.
Sebab Akibat yang Saling Bergantungan dan Kebahagiaan.
Sebagian kalangan yang tidak mengerti mengenai Buddhisme berpendapat bahwa agama Buddha mengajarkan penderitaan. Hal ini tidak benar adanya karena justru di dalam penderitaan ini kita dapat menemukan kebahagiaan yang sejati sehingga membawa kita kepada kesucian pikiran sebagaimana dikatakan oleh Sang Buddha dalam Samyutta Nikaya :
“Penderitaan menimbulkan Kepercayaan [Saddha];
Saddha menimbulkan rasa gembira [Pamoja];
Pamojja menimbulkan Kesenangan [Piti];
Piti menimbulkan Ketenangan [Passadhi];
Passadhi menimbulkan Kebahagiaan [Sukha];
Sukha menimbulkan Pemusatan Pikiran [Samadhi];
Samadhi menimbulkan Pengetahuan dan Pandangan akan benda-benda sebagaimana adanya [Yathabhutananadassana];
Yathabhutananadassana menimbulkan rasa benci [Nibbida];
Nibbida menimbulkan Ketidakmelekatan [Viraga];
Viraga menimbulkan Pelepasan [Vimutti];
Vimutti menimbulkan Pemadaman Nafsu Keinginan [Khaye Nana] yaitu Pencapaian tahap Kesucian” .
Sebab Akibat yang Saling Bergantungan dan Kekosongan.
Pada permulaan topik ini telah digambarkan bagaimana kecambah dan nyala lampu minyak tergantung pada suatu kombinasi sebab dan kondisi untuk keberadaannya. Ini berarti bahwa kecambah dan nyala lampu, seperti juga hal lainnya, tidak dapat berdiri sendiri. Keberadaan hal tersebut karena adanya hubungan dengan hal lain. Ini yang dinamakan relativitas atau `kekosongan’ dalam pengertian Buddhisme yang merupakan aspek lain mengenai Sebab – Akibat.
Suatu benda atau hal adalah apa adanya dan tergantung pada benda atau hal lainnya. Sebagai contoh, seorang pria adalah ayah dari anaknya dan anak dari ayahnya. Demikianlah sehingga identitasnya tergantung dari hubungan tersebut yang dinamakan relativitas. Jarak antara Jakarta dan Bandung adalah lebih jauh dibandingkan dengan jarak antara Jakarta dan Bekasi, tetapi dibandingkan dengan jarak antara Jakarta dan Semarang akan lebih dekat jadinya. Dekat dan jauh seperti ayah dan anak adalah relativitas. Hal tersebut dianggap ada dan masuk akal hanya apabila terjadinya hubungan dengan hal lainnya.
Relativitas atau ` kekosongan ‘ berarti bahwa tidak ada suatu hal yang berdiri sendiri dan tidak dapat berubah. Tidak ada seseorang yang tiba-tiba menjadi seorang ayah. Seorang pria menjadi ayah karena hubungannya terhadap anaknya. ` Kekosongan ‘ bukan berarti tidak ada berapa. Sebaliknya ` kekosongan ‘ dapat berarti keterbukaan dan kepastian yang tidak terbatas. Setiap anak lelaki dapat menjadi seorang ayah, apabila terjadi kombinasi yang benar dari sebab dan kondisi. Demikian juga setiap orang dapat mencapai pencerahan, jika dia melaksanakan Delapan Ruas Jalan Kemuliaan, yaitu : (1). Tingkah-laku Baik (Perkataan benar, Perbuatan benar, Mata Pencaharian benar), (2). Perkembangan Mental (Usaha benar, Kesadaran benar, Konsentrasi benar) dan Kebijaksanaan, (3). (Pandangan benar, Pikiran benar).
Kebenaran pokok mengenai Hukum Sebab-Akibat merupakan inti ajaran Sang Buddha. Dengan memahami Hukum Sebab-Akibat, Sang Buddha mencapai Pencerahan. Beliau bersabda, ” Kebenaran yang sebenarnya adalah Hukum Sebab Akibat. Tanpa menyadari kebenaran pokok tersebut, maka orang akan menjadi rumit seperti sebuah bola benang, tidak mampu untuk menghentikan penderitaan dan kelahiran kembali.”
Uraian mengenai konsep kekosongan ini dapat ditemui dalam naskah Sanskerta sebagaimana tercatat dalam Prajnaparamita Hrdaya Sutera (Sin-Cing), Avalokitesvara Bodhisattva mengungkapkan pengertian Kekosongan tersebut secara sempurna kepada Y.A. Sariputra, “Dalam hal ini, O , Sariputra, wujud (rupa) adalah kekosongan (sunyata), dan kekosongan itu sendiri adalah wujud; kekosongan tidak berbeda dari wujud, dan wujud juga tidak berbeda dari kekosongan; apapun yang merupakan wujud, itu adalah kekosongan, apapun yang merupakan kekosongan itu adalah wujud. Begitu pun halnya dengan vedana (perasaan), samjna (pencerapan/persepsi), samskara (dorongan pikiran/bentuk-bentuk mental), dan vijnana (kesadaran). Demikianlah, O, Sariputra, segala sesuatu (dharma) bercorak kekosongan (sunyata); mereka tak muncul, juga tak berakhir; tidak kotor, juga tidak murni bersih; tidak kurang, tidak lengkap atau bertambah.”
Sedangkan dalam naskah Pali terdapat sabda berikut: “Beginilah, dengan cara yang sama, O para siswa, seorang bhikkhu harus memandang semua rupa (bentuk jasmani), vedana (perasaan), sanna (pencerapan/persepsi), sankhara (dorongan pikiran/bentuk-bentuk mental), dan vinnana (kesadaran), tidak peduli dari jaman lampau, dari jaman sekarang atau pun dari jaman yang akan datang, jauh atau dekat. Dan ia mengamat-amatinya dan menelitinya secara cermat, dan setelah diteliti dengan cermat, semua itu tertampak kepadanya sebagai sesuatu yang kosong , hampa dan tanpa diri.” (Samyutta Nikaya XXI : 5-6)
Sebab Akibat yang Saling Bergantungan dan Kebenaran
Terdapat dua Kebenaran yang harus disadari dalam Ajaran Sang Buddha yaitu Kebenaran Duniawi [Sammati-satya/Sammuti-sacca] dan Kebenaran Tertinggi/Akhir [Paramartha-satya/Paramattha-sacca]. Nagarjuna yang merupakan peletak dasar doktrin Sunyata dalam sekte Madhyamaka pada pertengahan abad kedua, mengatakan, “Ajaran Sang Buddha didasarkan atas dua Kebenaran, yaitu Kebenaran Duniawi (Sammuti-sacca/Sammati-satya) dan Kebenaran Tertinggi/Akhir (Paramattha-sacca/Paramartha-satya). Mereka yang tidak mengerti perbedaan antara dua Kebenaran ini tidak akan mmahami arti yang mendalam dari Ajaran Sang Buddha.”
Kebenaran Duniawi adalah merupakan suatu persepsi atas kebenaran umum dimana segala sesuatu adalah sungguh-sungguh ada karena secara langsung dirasakan dan diperkuat oleh bukti-bukti ilmiah. Sedangkan Kebenaran Akhir dapatlah diidentikkan dengan Kekosongan [Sunyata/Sunnata]. Kebenaran Akhir ini tidak menerima adanya perbedaan subyek dan obyek dimana tidak berasal-mula dan tidak hancur. Kebenaran Akhir tidak dapat diuraikan dengan kata-kata dan tidak dapat dijangkau oleh ilmu pengetahuan karena berhubungan dengan hal yang transendental dimana hanya dapat direalisasikan oleh diri sendiri, sehingga tidak dapat dijelaskan atau ditransfer oleh seseorang kepada orang lain. Tanpa adanya kesadaran perbedaan terhadap kedua Kebenaran tersebut maka akan sulit sekali dapat menyelami hakikat yang dalam dari Ajaran Sang Buddha

8
Hukum Karma
Sang Buddha bersabda : ” Sesuai dengan benih yang ditanam, itulah buah yang akan Anda peroleh. Pelaku kebaikan akan mengumpulkan kebaikan. Pelaku keburukan, memperoleh keburukan. Jika Anda menanamkan benih yang baik, maka Anda menikmati buah yang baik.” (Samyutta Nikaya I, 227).
Ketika seseorang sedang bahagia dan bersuka cita, dia cenderung menilai hidup ini menyenangkan. Tetapi jika seseorang sedang menderita, maka dia akan menilai hidup ini sangat sulit, sehingga dia akan mulai mencari alasan dan cara untuk menanggulangi kesulitan tersebut.
Kita cenderung bertanya, kenapa ada yang dilahirkan miskin dan menderita, sedangkan yang lainnya dilahirkan dalam berbagai keberuntungan. Kita merasa tidak mampu untuk bisa hidup sebagaimana yang diidamkan, yaitu mengalami hidup yang selalu bahagia. Sebagian orang percaya bahwa ini karena nasib, kesempatan, atau suatu kekuasaan yang tidak kelihatan diluar pengendalian kita. Akibatnya kita cenderung menjadi bingung dan putus asa. Bagaimanapun Sang Buddha mampu menjelaskan kenapa ada orang yang dilahirkan berbeda keadaannya, dan kenapa sebagian orang lebih beruntung dalam menjalani kehidupan dari yang lainnya.
Sang Buddha mengajarkan, bahwa suatu kondisi yang terjadi sekarang apakah bahagia atau menderita adalah merupakan hasil akumulasi perbuatan yang dilakukan sebelumnya atau disebut karma. Sang Buddha mengatakan bahwa semua makhluk hidup mempunyai karma mereka sendiri, warisan mereka , sebab awal mereka, kerabat mereka, pelindung mereka. Karmalah yang membedakan setiap makhluk hidup itu dalam keadaan rendah atau tinggi.
Karma berasal dari kata Sanskerta [Pali; kamma] yang berarti tindakan, pekerjaan atau perbuatan. Setiap perbuatan, ucapan atau pikiran yang dilakukan dengan suatu tujuan atau niat dapat disebut karma. Karma berarti suatu kehendak atau niat [cetana] yang baik [kusala] dan buruk [akusala]. Setiap tindakan yang kita lakukan apabila berdasarkan suatu niat maka akan menciptakan karma.
Sang Buddha bersabda :”Aku nyatakan, O para Bhikkhu, bahwa niat [cetana] itulah Kamma, dengan niat seseorang bertindak melalui badan jasmani, ucapan dan pikiran.” (Anguttara Nikaya III,I-117).
Dengan kata lain, Karma merupakan suatu hukum moral sebab-akibat, suatu hukum alam dimana menjelaskan bahwa setiap tindakan akan membuahkan hasil tindakan tertentu atau buah karma [karma vipaka] . Sehingga apabila seseorang melakukan perbuatan mulia seperti memberikan sumbangan kepada suatu yayasan kemanusiaan, maka dia akan merasakan kebahagiaan. Sebaliknya, jika seseorang melakukan suatu perbuatan yang tercela, misalnya membunuh makhluk hidup, maka dia akan merasakan penderitaan. Sehingga dapat disimpulkan, akibat dari perbuatan karma sebelumnya menentukan keberadaan orang tersebut pada kehidupan saat ini. Karma dapat dikategorikan menurut matangnya, yaitu karma yang matang pada kehidupan ini, karma yang matang pada kehidupan berikutnya dan karma yang matang pada beberapa kehidupan yang akan datang.
Sang Buddha bersabda : ” Pembuat kejahatan hanya melihat hal yang baik selama buah perbuatan jahatnya belum masak, tetapi bilamana hasil perbuatan jahatnya telah masak, ia akan melihat akibat-akibatnya yang buruk. Pembuat kebajikan hanya melihat hal yang buruk selama buah perbuatan bajiknya belum masak, tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak, ia akan melihat akibat-akibatnya yang baik.” (Dhammapada, 119 – 120 ).
Tiga komponen yang merupakan pelaku utama karma adalah tubuh fisik, ucapan dan pikiran. Contoh karma yang dilakukan oleh tubuh fisik, yaitu membunuh, mencuri dan berjinah. Contoh karma yang dilakukan oleh ucapan, yaitu berbohong, membicarakan hal-hal yang tidak bermanfaat, memfitnah dan berbicara kasar. Sedangkan contoh karma yang dilakukan oleh pikiran adalah keserakahan, kebencian dan khayalan. Karma dapat dibedakan atas karma yang bermanfaat, karma yang tidak bermanfaat dan karma yang bukan bermanfaat maupun tidak bermanfaat.
Akibat dari karma buruk adalah tumimbal lahir di tiga alam penderitaan (neraka, hantu kelaparan dan binatang). Contoh karma buruk yang dapat menyebabkan seseorang terlahir di alam neraka antara lain: membunuh orangtua kandung, membunuh orang suci/ Arahat/ Bodhisattva, dan melukai Buddha. Sedangkan akibat dari karma baik adalah tumimbal lahir di alam manusia atau surga. Sedangkan para Buddha, Arahat dan Bodhisattva yang sudah mencapai Pencerahan Sempurna memperoleh karma tidak bergerak, namun Bodhisattva yang karena welas-asihnya untuk menyeberangkan semua makhluk yang menderita dapat saja bertumimbal lahir lagi di alam manusia .
Sebab utama timbulnya karma adalah karena ketidak-tahuan [avidya/avijja] atau ketidak-mampuan untuk memahami segala sesuatu sebagaimana adanya. Nafsu keinginan [tanha] juga merupakan akar timbulnya karma. Perbuatan seseorang walaupun dilandasi oleh tiga akar kebajikan yaitu kedermawan [alobha], kehendak baik [adosa] dan pengetahuan [amoha], tetap dapat dianggap sebagai karma karena dua unsur penyebab karma yaitu ketidak-tahuan dan keinginan masih melekat dalam dirinya. Hanya perbuatan baik dari Jalan Kesadaran [maggacitta] yang dapat dipandang sebagai proses untuk menghancurkan akar sebab-akibat karma tersebut.
Apakah Kita Harus Pasrah Terhadap Karma?
Pemuda Subha menghadap Sang Buddha untuk menanyakan perbedaan nyata di antara umat manusia, “Apakah alasannya dan sebabnya, o Guru, kita jumpai di antara umat manusia ada yang berumur pendek dan berumur panjang, berpenyakit dan sehat, jelek dan rupawan , tak berpengaruh dan berpengaruh, miskin dan kaya, hina dan mulia, dungu dan bijaksana.”
Sang Buddha bersabda : “Semua mahluk hidup mempunyai karma sebagai milik mereka, warisan mereka, sebab awal mereka, kerabat mereka, pelindung mereka. Karma itulah yang membedakan makhluk hidup dalam keadaan rendah atau tinggi.” (Majjhima Nikaya, Cullakammavibhanga Sutta, 135)
Membaca uraian di atas tentang karma seolah-olah mencerminkan bahwa manusia itu haruslah pasrah dan menerima keadaan hidupnya. Di satu sisi memang mencerminkan kenyataan tersebut, namun dalam sudut pandang yang optimis, tidaklah seharusnya demikian. Sebagai manusia duniawi [prthagjana/puthujjana] , tentunya sangat sulit untuk kita dapat seluruhnya terbebas dari suatu perbuatan baik ataupun buruk. Meskipun kita merupakan tuan dari karma kita sendiri tetapi terbukti bahwa adanya faktor yang meniadakan atau yang menunjang berbuahnya karma yang dapat juga dipengaruhi oleh keadaan luar, lingkungan, kebiasaan, usaha yang tekun dan konsentrasi pikiran yang baik.
Dalam kehidupan Buddha Gautama juga tercatat banyak penjahat dan bahkan pelacur yang karena `dicerahkan’ oleh Yang Telah Tercerahkan, maka seketika dapat mencapai tingkat kesucian batin tertentu.
Sang Buddha Mencerahkan
Angulimala, seorang perampok jalanan dan pembunuh yang mempunyai hobby koleksi kelingking manusia yang dibunuhnya, pada suatu saat bertemu Sang Buddha dan bermaksud menggenapkan koleksinya menjadi 1000 buah. Maka diapun menghadang Sang Buddha dan bermaksud membunuhNya. Angulimala yang terkenal lincah dalam bergerak, tetap tidak bisa menyentuh tubuh Sang Buddha yang kelihatan sama sekali tidak bergeming. Karena kecapaian, akhirnya Angulimala bertanya kenapa Sang Buddha bisa bergerak begitu cepat, yang oleh Sang Buddha dijawab, “Wahai Angulimala, Aku sudah dari tadi tidak bergerak, engkaulah yang masih terus bergerak.” Angulimala yang mendengarkan perkataan Sang Buddha ini akhirnya berubah seketika dan menjadi pengikut Sang Buddha yang mampu mencapai tingkat Arahat.
Alavaka, setan yang kejam yang hobby memakan daging manusia, sesudah bertemu Sang Buddha dapat menghentikan kebiasaan memakan daging dan mencapai tingkat kesucian pertama.
Ambapali, seorang pelacur dapat terbersihkan pembawaannya setelah bertemu Sang Buddha dan mencapai tingkat Arahat.
Contoh-contoh tersebut di atas memperlihatkan bahwa betapa besarnya Kasih Sayang seorang Yang Telah Tercerahkan, mampu membimbing dan memberikan `Pencerahan Seketika’ kepada setiap makhluk hidup . Dalam tradisi Buddhisme Tantrayana/Vajrayana Tibet dan beberapa aliran spiritual yang diturunkan dari India oleh para Satguru, menganut hubungan spiritual guru dan murid, juga dipercayai adanya kemampuan seorang guru Yang Telah Tercerahkan untuk menciptakan kondisi, menarik atau mematangkan karma perintang seorang murid yang terakumulasi dari kehidupan sebelumnya, dengan tujuan agar murid bersangkutan tidak mengalami rintangan karma dalam kehidupan spiritualnya saat ini untuk mencapai pencerahan. Ajaran Sang Buddha yang bersifat esoterik (rahasia) sebagaimana yang dianut oleh tradisi Buddhisme Tantrayana/Vajrayana memungkinkan hal ini dilakukan, baik melalui suatu upacara pengangkatan (inisiasi) hubungan guru dan murid ataupun melalui cara meditasi dan pembacaan mantra. Terlepas dari itu semua, kepercayaan [sraddha/saddha] tetap memegang peranan penting.
Proses Bekerjanya Karma
Memang proses bekerjanya karma tidak dapat kita amati atau dibuktikan secara ilmiah, namun prinsip bahwa kita akan menuai sesuai dengan apa yang kita tanam itulah yang penting untuk kita renungkan. Proses bekerjanya karma hanyalah dapat dipahami sepenuhnya oleh seorang Buddha atau Yang Telah Tercerahkan.
Untuk mengetahui karma dari kelahiran kita sebelumnya, maka renungkanlah berbagai kejadian baik berupa penderitaan [dukkha] ataupun kebahagiaan [sukkha] yang menimpa kita dalam kehidupan saat ini. Sehingga kita tidak tersudut ke dalam suatu kondisi dimana kita harus mencela orang lain sewaktu menderita ataupun terlalu menjunjung orang lain sewaktu kita berbahagia. Karma yang berbuah dalam kehidupan ini apakah menghasilkan kebahagiaan ataupun penderitaan haruslah kita syukuri sebagai makin berkurangnya timbunan karma kita sehingga makin terbukalah peluang untuk kita keluar dari arus kelahiran dan kematian. Namun demikian kitapun tidak perlu terjebak pada sikap pesimistik dengan menyalahkan kehidupan sebelumnya yang menciptakan karma buruk pada kehidupan saat ini karena Buddhisme tidak mengajarkan fatalisme yaitu suatu sikap yang menyalahkan segala sesuatu kejadian sebagai kodrat, takdir ataupun nasib. Buddhisme mengajarkan suatu tuntunan buat kita untuk melihat kehidupan saat ini sebagai alam kehidupan yang memungkinkan manusia untuk berlatih diri keluar dari lingkaran kehidupan dan kematian.
Untuk memahami kondisi bekerjanya karma sebagai suatu Hukum Sebab Akibat, kita dapat memulainya dengan mengenali adanya hukum yang bekerja di alam semesta ini. Dalam Abhidhamma Vatara 54, dan Dighanikaya Atthakatha II-432, dapat ditemui adanya Lima Hukum Alam [Pancaniyama Dhamma] , yaitu :
Rtu Niyama [Utu Niyama], yaitu hukum sebab-akibat yang berkaitan dengan suhu, contohnya gejala timbulnya angin dan hujan, bergantinya musim, perubahan iklim, sifat panas, dan sebagainya.
Bija Niyama, yaitu hukum sebab-akibat mengenai biji-bijian, contohnya sesawi berasal dari biji sesawi, gula berasal dari tebu, dan sebagainya.
Karma Niyama [Kamma Niyama], yaitu hukum sebab-akibat yang berkaitan dengan perbuatan, contohnya perbuatan baik akan menghasilkan akibat baik, dan perbuatan buruk akan menghasilkan akibat buruk.
Citta Niyama, yaitu hukum sebab-akibat yang berkiatan dengan hasil pikiran, misalnya proses kesadaran, timbul dan lenyapnya kesadaran, sifat kesadaran, kekuatan batin, telepati, kemampuan membaca pikiran orang lain, kemampuan mengingat hal-hal yang telah terjadi, dan sebagainya.
Dharma Niyama [Dhamma Niyama], yaitu hukum sebab-akibat yang berkaitan dengan gravitasi, berupa gejala alam yang menandai akan terlahirnya atau meninggalnya seorang Bodhisattva ataupun seorang Buddha.
Hukum Karma [Kamma Niyama] merupakan salah satu dari Hukum Alam tersebut di atas yang terjadi karena prinsip Hukum Sebab dan Akibat, dimana setiap suka ataupun duka pasti ada penyebabnya. Tiada sebab maka tiada akibat. Segala penderitaan akan dapat dihindari apabila dapat diketahui sebabnya. Penyebab tunggal dari segala bentuk penderitaan adalah kemelekatan terhadap nafsu keinginan duniawi.
Terdapat cukup banyak cara menggolongkan Hukum Karma, dan berikut disampaikan beberapa jenis penggolongan Hukum Karma tersebut.
Menurut masa berlakunya, dapat diurut sebagai berikut :
Karma yang berlaku segera [ditthadhammavedaniya kamma]
Karma yang berlaku sesudahnya [upapajjavedaniya kamma]
Karma yang berlaku untuk jangka waktu tidak terbatas [aparapariyavedaniya kamma]
Karma yang kadaluarsa [ahosi kamma]
Menurut fungsinya [kicca] karma, maka dapat digolongkan atas :
Karma penghasil [janaka kamma]
Karma penunjang [upatthambaka kamma]
Karma pelemah [upapidaka kamma]
Karma penghancur [upaghataka kamma]
Sedangkan penggolongan karma menurut urutan akibatnya [vipakadanavasena], dapat dikelompokkan sebagai berikut :
Karma yang berat [garuka kamma]
Karma menjelang kematian [asanna kamma]
Karma kebiasaan [acinna kamma]
Karma yang bertimbun [katatta kamma]
Beberapa perbuatan berikut akan menghasilkan karma baik:
Selalu bersifat kedermawanan [dana]
Menjaga moralitas yang baik [sila]
Senantiasa melakukan meditasi [bhavana]
Melakukan penghormatan [apacayana]
Pengabdian yang mendalam [veyyavacca]
Senantiasa mengirim jasa kepada makhluk yang menderita [pattidana]
Berbahagia atas perbuatan baik dari pihak lain [anumodana]
Mendengarkan Dharma [dhammasavana]
Membabarkan Dharma [dhammadesana]
Meluruskan pandangan salah [ditthijjukamma]
Sebagai Buddhis yang mempercayai hukum karma maka kita tidak perlu mencela orang lain yang melakukan perbuatan paling jahat sekalipun, karena selain mereka juga akan memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri, juga mereka tidak akan dapat menyembunyikan diri dari akibat perbuatan jahatnya sendiri.
Sang Buddha bersabda : ” Tidak di langit, di tengah lautan, di celah-celah gunung atau di manapun, juga dapat ditemukan suatu tempat bagi seseorang untuk dapat menyembunyikan diri dari akibat perbuatan jahatnya. ” (Dhammapada, 127).
9
Kelahiran kembali/ Tumimbal Lahir
Suatu pertanyaan yang sering kita lontarkan adalah, “Apa yang terjadi sesudah kematian ?”. Menurut pemikiran Buddhis, kelahiran kembali (tumimbal-lahir) akan terjadi pada akhir kehidupan saat ini. Buddhis mengakui kelahiran kembali sebagai suatu fakta. Banyak sekali bukti yang menunjukkan bahwa seseorang yang telah mengalami hidup berkali-kali pada masa lalu dan akan terus hidup pada masa yang akan datang.
Kasus Kelahiran Kembali
Kelahiran kembali (tumimbal-lahir) merupakan suatu kenyataan dalam pengertian Buddhisme walaupun kebanyakan orang mungkin tidak menyadari hal tersebut. Keberadaan tentang adanya kehidupan masa sebelumnya dapat dikonfirmasikan kepada orang yang telah melatih pikirannya melalui meditasi. Seorang ahli meditasi yang telah memiliki kekuatan konsentrasi akan mampu untuk mengingat kembali kehidupan sebelumnya dengan mendetail. Sang Buddha dan murid-muridNya di berbagai negara dan pada berbagai kesempatan mampu membuktikan keberadaan tentang adanya kehidupan masa sebelumnya. Sang Buddha pada malam pencapaian PencerahanNya, memperoleh kemampuan melihat beberapa kehidupan Beliau sebelumnya. Beliau juga melihat makhluk hidup mati pada suatu tahapan keberadaan dan makhluk hidup lahir pada tahapan keberadaan lainnya, sesuai dengan karma yang dilakukannya. Sehingga hal ini merupakan pengalaman pribadi Beliau yang diajarkan kepada para muridNya, yaitu kebenaran tentang kelahiran kembali.
Sang Buddha bersabda, “Aku mengingat berjuta kali kelahiranKu dari kehidupan yang lampau sebagai berikut: mula-mula 1 kehidupan, kemudian 2 kehidupan, kemudian 3, 4, 5, 10, 20 sampai 50 kehidupan, kemudian seratus, seribu, seratus ribu dstnya” (Majjhima Nikaya, Mahasaccaka Sutta No. 36, I.248)
Beberapa tahun yang lalu, telah terdapat bukti yang dikumpulkan dan didokumentasikan dimana mengkonfirmasikan bahwa kelahiran kembali itu adalah benar adanya. Terdapat beberapa kasus bahwa seseorang mampu mengingat kembali pengalamannya yang diperoleh dari kehidupan sebelumnya. Perincian detail mengenai tempat tinggal, orang-orang yang disebutkan hidup pada masa sebelumnya dapat dikonfirmasikan setelah dilakukan suatu penyelidikan.
Contoh yang sangat terkenal adalah kasusnya Bridey Murphy, dimana Ny.Ruth Simmons dari Amerika Serikat teringat akan kehidupan masa sebelumnya di Ireland 100 tahun lalu. Ny. Ruth Simmons mengatakan bahwa dia pernah hidup sebagai Bridey Murphy pada tahun 1789 dan dapat memberikan perincian sepenuhnya mengenai kehidupan Bridey Murphy. Perincian yang diberikan tersebut sempat diperiksa dan ternyata memang benar adanya. Walaupun pada kehidupan saat ini Ny. Ruth Simmons tidak pernah keluar dari Amerika Serikat.
Suatu contoh lainnya di Inggris, seorang perempuan bernama Ny. Naomi Henry teringat kembali akan dua kehidupan sebelumnya. Pada kehidupan satunya, dia teringat hidup sebagai wanita Irlandia di suatu desa bernama Greehalg, pada abad ke-17. Penelitian kasus tersebut sempat dilakukan dan ditemukan bahwa desa dengan nama tersebut memang ada sebelumnya. Pada kehidupan berikutnya, dia lahir sebagai seorang wanita Inggris yang bertugas sebagai perawat beberapa anak di kota Inggris yang bernama Downham pada tahun 1902. Penelitian yang dilakukan terhadap catatan resmi yang ada di kota Downham membuktikan bahwa wanita tersebut memang pernah ada.
Profesor Ian Stevenson dari University of Virginia, U.S.A. telah melakukan riset dan mempublikasikan hasil penemuannya terhadap dua puluh kasus kelahiran kembali. Kasus-kasus tersebut yang telah diverifikasi dan didokumentasikan secara baik tersebut, ditemukan pada berbagai negara termasuk Perancis, Itali, India, Sri Lanka dan Birma.
Kelahiran Kembali pada Enam Alam Kehidupan
Buddhisme mengajarkan bahwa kelahiran, kematian dan kelahiran kembali adalah merupakan suatu proses perubahan yang berkelanjutan. Hal tersebut sama dengan proses berkelanjutan dari pertumbuhan, kerusakan dan penggantian sel dalam tubuh seseorang. Menurut ahli kedokteran, setiap tujuh tahun semua sel di dalam tubuh seseorang akan diganti dengan yang baru.
Proses Kematian
Pada saat kematian, dimana hidupnya telah tiada dan tubuhnya sudah tidak bernyawa, maka pikirannya akan terpisah dari tubuh. Kematian merupakan suatu kejadian yang tidak dapat dihindari oleh semua makhluk hidup, dan tidak ada tempat persembunyian untuk menghindarinya.
Sang Buddha bersabda : ” Tidak di langit, di tengah lautan, di celah-celah gunung atau di manapun juga dapat ditemukan suatu tempat bagi seseorang untuk menyembunyikan diri dari kematian. ” (Dhammapada, 128).
Pada saat kematian maka keinginan untuk hidup yang merupakan sumber ketidaktahuan [avidya/avijja] menyebabkannya untuk mencari keberadaan yang baru dan karma yang dilakukannya pada kehidupan sebelumnya itu akan menentukan tempat kelahiran kembali baginya.
Bagian tubuh manusia dalam pengertian Buddhisme dapat dibagi atas empat unsur yaitu: padat [pathavi], cair[apo], panas [tejo], gerak [vayo] . Ke-empat unsur tersebut diikuti oleh warna [vanna], bau [gandha], rasa [rasa], pokok yang utama [oja] tenaga hidup [jivitindria] dan tubuh [kaya]. Kematian menurut pengertian Buddhisme adalah berhentinya kehidupan batin dan jasmani [jivitindriya] dari setiap keberadaan individu, yaitu lenyapnya kekuatan [ayu], panas [usma] dan kesadaran [vinnana]. Sehingga kematian dapat dipandang sebagai suatu proses penghancuran yang menyeluruh atas suatu makhluk hidup, walaupun suatu masa kehidupan tertentu berakhir tetapi kekuatan yang sampai sekarang ini bergerak tidak dihancurkan. Hal ini dapat diumpamakan seperti sebuah bola lampu listrik yang walaupun bola lampu itu telah mati karena usang, aus, ataupun pecah, tetapi listriknya tetap mengalir. Demikian juga aliran karma tetap bergerak dimana tidak terganggu oleh kehancuran badan-jasmani, dan hilangnya kesadaran yang sekarang membawa pada kemunculan dari suatu kesadaran yang baru dalam bentuk kelahiran yang lain.
Menurut Buddhisme Theravada, tidak dikenal adanya keadaan perantara [antara-bhava] yang berarti tumimbal lahir itu berlangsung segera sebagaimana bola lampu yang dapat diganti segera. Sedangkan dalam pengertian Buddhisme Mahayana, seseorang yang meninggal akan tinggal dalam keadaan alam perantara dalam satu, dua, tiga, lima, enam atau tujuh minggu, sampai hari ke-49. Sehingga dalam Buddhisme Mahayana sering dikenal adanya berbagai praktek ritual upacara kematian yang berlangsung setiap minggu sampai hari ke-49. Pengertian ini juga ditemukan dalam Buddhisme Tantrayana dalam arti yang lebih luas dengan istilah `bardo’. Bardo atau alam perantara ini dalam pengertian Tantrayana mengandung Enam Keadaan, yaitu pada saat berada di kandungan[kye-nay bardo] ; saat bermimpi [mi-lam bardo]; saat samadhi yang mendalam [tin-ge-zin sam-tam bardo] ; saat dalam keadaan sekarat menjelang kematian [chi-kai bardo]; saat mengalami kenyataan meninggal [cho-nyid bardo]; saat pencarian kelahiran kembali [sid-pa bardo]. Tiga keadaan bardo yang terakhir berkaitan dengan pengalaman sekarat, mati dan kelahiran kembali. Sedangkan bardo pada keadaan kedua dan ketiga dapat dialami semasa masih hidup.
Kelahiran Kembali dan Alam kehidupan
Makhluk hidup tidak terbatas jumlahnya, dalam berbagai sutra di Mahayana Sang Buddha mengatakan bahwa terdapat 84.000 jenis makhluk hidup , sehingga dengan bijaksana Sang Buddha juga mengajarkan 84.000 Pintu Dharma untuk mengatasi 84.000 jenis penderitaan makhluk hidup.
Secara garis besar dapat dikelompokkan adanya Enam Alam Kehidupan di mana suatu makhluk dapat dilahirkan kembali sesudah kematian, yaitu terdiri dari alam kehidupan dewa, semi-dewa, manusia, binatang, hantu kelaparan dan neraka. Ini adalah pengelompokan secara umum dan di antara setiap kelompok tersebut, masih terdapat banyak sub-kelompok. Enam alam kehidupan tersebut terdiri dari tiga alam kehidupan yang boleh dikatakan alam kehidupan yang relatif bahagia, dan tiga lainnya adalah kehidupan yang relatif sengsara. Alam kehidupan dewa, semi-dewa dan manusia dapat dipertimbangkan lebih bahagia dan kurang menderita. Sedangkan alam kehidupan binatang, hantu kelaparan dan neraka dipertimbangkan relatif sengsara, karena kehidupan di alam tersebut lebih banyak menderita karena ketakutan, kelaparan, kehausan, kepanasan, kedinginan dan kesakitan.
Perincian lebih detail dari alam-alam kehidupan tersebut, dapat ditemui adanya 31 Alam Kehidupan, yaitu :
I. KAMA-BHUMI; makhluk-makhluknya masih terikat dengan inderawi; terdiri dari :
A. APAYA-BHUMI (Alam Menyedihkan) :
1. Niraya Bhumi (Alam Neraka)
2. Tiracchana Bhumi (Alam Binatang)
3. Peta Bhumi (Alam Setan)
4. Asurakaya Bhumi (Alam Raksasa)
B. KAMASUGATI-BHUMI (Alam Sugati)
5. Manussa Bhumi (Alam Manusia)
6. Catummaharajika Bhumi (Alam Empat Dewa Raja)
7. Tavatimsa Bhumi (Alam TigaPuluhTiga Dewa)
8. Yama Bhumi (Alam Dewa Yama)
9. Tusita Bhumi (Alam Kenikmatan )
10. Nimmanarati Bhumi (Alam Dewa Yang Menikmati Ciptaannya)
11. Paranimmita-vasavatti Bhumi (Alam Dewa Yang Membantu Sempurnakan Ciptaan Dewa-dewa Lainnya)
II. RUPAVACARA BHUMI; makhluk-makhluk yang mempunyai Rupa Jhana yaitu tempat tinggalnya Rupa-Brahma
C. PATHAMAJHANA-BHUMI (Alam Kehidupan Jhana Pertama)
12. Brahmaparisajja Bhumi (Alam Pengikut Brahmana)
13. Brahmapurohita Bhumi (Alam Menteri Brahmana)
14. Mahabrahma Bhumi (Alam Brahma Yang Agung)
D. DUTIYAJHANA BHUMI (Alam Kehidupan Jhana Kedua)
15. Parittabha Bhumi (Alam Brahma Kurang Cahaya)
16. Appamanabha Bhumi (Alam Brahma Tak Terbatas Cahayanya)
17. Abhassara Bhumi (Alam Brahma Yang Gemerlapan Cahayanya)
E. TATIYAJHANA BHUMI (Alam Kehidupan Jhana Ketiga)
18. Parittasubha Bhumi (Brahma Yang Kurang Auranya)
19. Appamanasubha Bhumi (Brahma Yang Tak Terbatas Auranya)
20. Sukhakinha Bhumi (Brahma Yang Auranya Penuh dan Tetap)
F. CATUTTHA JHANA BHUMI (Alam Kehidupan Jhana Keempat)
21. Vehapphala Bhumi (Brahma Yang Besar Pahalanya)
22. Asannasatta Bhumi (Brahma Yang Kosong Dari Kesadaran / Tidak Bergerak)
SUDDHAVASA BHUMI ; Alam Kehidupan Yang Murni Dihuni Oleh Para Anagami)
23. Aviha Bhumi (Alam Brahma Yang Tidak Bergerak)
24. Atappa Bhumi (Alam Brahma Yang Suci)
25. Sudassa Bhumi (Alam Brahma Yang Indah)
26. Sudassi Bhumi (Alam Brahma Yang Berpandangan Terang)
27. Akamittha Bhumi (Alam Brahma Yang Luhur)
G. ARUPAVACARA BHUMI (Alam Makhluk Yang Mempunyai Arupa; Arupa Brahma)
28. Akasavancayatana Bhumi (Alam Konsepsi Ruangan Tanpa Batas)
29. Vinnanancayatama Bhumi (Alam Yang Dalam Keadaan Konsepsi Kesadaran Tanpa Batas)
30. Akincannayatana Bhumi (Alam Yang Dalam Keadaan Konsepsi Sunyata/Kekosongan)
31. Nevasannasanna-yatana Bhumi (Alam Yang Dalam Keadaan Bukan Pencerapan ataupun Bukan Tanpa Pencerapan)
Sebagai manusia yang terlahir di Alam Manusia, maka kita sebenarnya pernah dilahirkan dalam 26 Alam Kehidupan di luar 5 Alam Kehidupan Suddhavasa karena alam tersebut khusus untuk para Anagami yang akan menjadi Arahat. Sedangkan Nirvana adalah di luar dari 31 Alam tersebut di atas.
Ajaran Sang Buddha tidak dipengaruhi oleh ada atau tidaknya kepercayaan terhadap alam-alam kehidupan tersebut. Demikian juga kita tidak terikat untuk harus secara mutlak menolak adanya berbagai alam kehidupan tersebut hanya karena keterbatasan pengetahuan yang kita miliki. Namun secara umum dapat disimpulkan bahwa semua perbuatan yang baik, seperti tingkah-laku baik, kebajikan dan perkembangan mental merupakan penyebab kelahiran kembali di alam yang relatif bahagia, yaitu alam dewa, semi-dewa dan manusia. Sebaliknya semua perbuatan yang tercela, seperti tingkah-laku yang tidak bermoral, sifat iri hati dan kekejaman menyebabkan kelahiran kembali di alam yang relatif kurang bahagia yaitu alam binatang, hantu kelaparan dan neraka.
Kita tidaklah perlu menunggu sampai dilahirkan kembali untuk membayangkan seperti apa keberadaan alam kehidupan lainnya tersebut. Sebagai contoh, apabila seseorang sedang bahagia atau merasa damai tenteram, maka dia akan merasakan kehidupan seperti dengan alam kehidupan para dewa. Jika seseorang hanya mengikuti insting pokoknya dimana hidupnya hanya makan, tidur dan kebutuhan biologis, maka kehidupannya tidaklah jauh berbeda dengan kehidupan alam binatang. Demikian juga apabila seseorang diliputi oleh rasa takut, sakit, disiksa atau dibunuh dalam kehidupan ini, maka kehidupannya adalah menderita yang dapat disamakan dengan kehidupan di neraka.
Dari Enam Alam Kehidupan yang pokok tersebut, dapat dipertimbangkan bahwa Alam Kehidupan Manusia yang paling bernilai. Dalam Alam Kehidupan Manusia terdapat kondisi yang lebih baik untuk mencapai Nirvana. Secara umum, pada alam-alam kehidupan yang kurang bahagia, keberadaan suatu makhluk sangatlah menderita dan kebodohan-batin sangatlah besar, sehingga mereka tidak dapat mengenali Kebenaran dan mengikuti jalan untuk mencapai Kebebasan. Demikian juga kehidupan dalam alam dewa dan semi-dewa mengalami banyak kebahagiaan memiliki banyak perhatian, sehingga mereka tidak memikirkan kelahiran kembali sampai hal tersebut menjadi terlambat, yang akhirnya mereka akan dilahirkan kembali di salah satu alam yang lebih rendah. Dalam alam kehidupan manusia, bagaimanapun manusia dapat mengalami kebahagiaan dan penderitaan. Manusia memiliki kecerdasan untuk mengenali Kebenaran dan mengikuti jalan untuk mencapai kebebasan dari lingkaran kelahiran dan kematian. Sehingga sangatlah beruntung bagi kita dilahirkan sebagai manusia, dan hendaknya selalu diingat bahwa penyebab utama kelahiran di alam kehidupan ini karena tingkah laku kita yang baik pada kehidupan sebelumnya.
Lingkaran Kehidupan dan Kematian
Jarak antara rata-rata kehidupan makhluk hidup pada enam alam kehidupan berbeda, tetapi tidak ada yang kekal selamanya. Sehingga kelahiran kembali akan terjadi. Alam kehidupan mana seseorang akan dilahirkan dan kondisi kelahiran yang dialami, ditentukan oleh kehidupan masa lalu dan kehidupan saat ini. Inilah yang dinamakan hukum karma.
Karena kuatnya karma seseorang, maka dia akan mengalami kelahiran kembali terus menerus pada berbagai alam kehidupan. Sang Buddha menyatakan, bahwa tidak ada yang kekal dalam lingkaran kelahiran dan kematian. Hanya jika seseorang mengembangkan dan melatih Delapan Ruas Jalan Kemuliaan yang diajarkan oleh Sang Buddha, yang akhirnya akan mencapai Nirvana, sehingga orang tersebut terbebas dari lingkaran kehidupan dan kematian tersebut dan memperoleh kesempurnaan dan kebahagiaan yang kekal.
Sang Buddha bersabda : “Ada Delapan Hal yang jika dikembangkan dan dilatih akan membawa ke Nibbana, menuju ke Nibbana dan mencapai puncaknya Nibbana. Apakah Delapan Hal tersebut? Tak lain adalah Pandangan Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Mata Pencaharian Benar, Usaha Benar, Kesadaran Benar dan Konsentrasi Benar.” (Samyutta Nikaya, V 10)
Orang yang mengerti karma dan kelahiran kembali akan melihat kehidupan ini dengan pandangan yang lebih baik. Mereka akan menyadari, bahwa setiap perbuatan yang dilakukan akan membawa akibat dalam kehidupan sekarang dan kehidupan berikutnya. Pengetahuan memberikan mereka harapan dan kekuatan untuk menghadapi segala kesulitan, sehingga mereka memiliki semangat untuk senantiasa berbuat baik. Mereka yakin akan menikmati hasil yang baik dari perbuatan mulia yang mereka lakukan baik secara jangka pendek ataupun jangka panjang.
Sebenarnya sukar untuk dapat dilahirkan di alam manusia. Sukar untuk mendengar Dharma, bahwa lebih sukar lagi untuk membangkitkan kepercayaan. Oleh karena itu, setiap orang hendaknya mencoba sedapat mungkin untuk mendengarkan ajaran-ajaran Sang Buddha, sehingga dapat terbebaskan dari lingkaran kehidupan dan kematian, hidup secara mulia, dengan menyingkirkan semua nafsu keinginan rendah.
Sang Buddha bersabda : ” Orang yang telah bebas dari ketahyulan, yang telah mengerti keadaan tak tercipta (nibbana), yang telah memutuskan semua ikatan (tumimbal lahir), yang telah mengakhiri kesempatan (baik dan jahat), yang telah menyingkirkan semua nafsu keinginan, maka sesungguhnya ia adalah orang yang paling mulia. ” (Dhammapada, 97).
10
TRIPITAKA/TIPITAKA
Tripitaka/Tipitaka atau ‘Tiga Keranjang’ terdiri dari vinaya pitaka, sutra pitaka, dan abhidharma pitaka , dimana merupakan kitab suci yang dipakai dalam agama Buddha, dapat ditemukan dalam bahasa Pali dan bahasa Sanskerta. Perbedaan bahasa dalam kitab suci yang dipakai tersebut, akhirnya menjadi ciri khas masing-masing aliran yang ada dalam Buddhisme.
Bahasa yang dipakai Sang Buddha
Berbagai penelitian memperlihatkan bahwa Sang Buddha berbicara dengan bahasa Ardhamagadhi. Sedangkan berbagai sekte dalam sejarah Buddhisme mencatat sendiri sabda-sabda Sang Buddha dalam berbagai bahasa, antara lain sekte Sarvastivada (cikal bakal Mahayana) menggunakan bahasa Sansekerta, sekte Mahasanghika menggunakan bahasa Gandhari Prakrit, sekte Samitiya menggunakan bahasa Apabhramsa, sekte Sthaviravada (cikal bakal Theravada) menggunakan bahasa Paisaci. Sehingga jelas sekali bahwa Sang Buddha berbicara dalam berbagai bahasa.
Dalam perkembangannya maka dapat dimaklumi bahwa semua kitab suci agama Buddha merupakan terjemahan karena sudah sangat sulit diperoleh dalam bentuk aslinya. Aliran Mahayana menggunakan bahasa Sansekerta dan Theravada menggunakan bahasa Pali.
Namun dalam prakteknya sering terjadi adanya tudingan ataupun usaha pembuktian sekte yang ada dalam Buddhisme masing-masing yang dengan bangga menyatakan sekte mereka sebagai sekte yang paling murni dan paling benar, padahal Sang Buddha sendiri juga memperkenankan para siswaNya untuk mencatat sabda-sabdaNya dalam bahasa masing-masing, sebagaimana dapat dilihat pada Cullavaga V 33,1 , yang berbunyi
“Anujanam, bhikkhave, sakaya-niruttiya buddhavacanam pariya panitum.”
yang diterjemahkan ,
“Wahai para bhikkhu, kalian diperkenankan mencatat sabda-sabda Bhagavan (sebutan Buddha) dengan bahasa kalian sendiri.”
Sehingga kitapun janganlah terlalu terpaku ataupun ragu akan suatu bahasa yang dipakai dalam usaha kita mendalami Ajaran Sang Buddha. Janganlah hanya terpaku pada kata atau bahasa, yang penting adalah arah yang ditunjuk oleh jari telunjuk bukanlah telunjuk yang harus kita perdebatkan untuk dapat menikmati sinar bulan yang ditunjuk oleh jari telunjuk tersebut.
Kitab Suci
Kitab suci yang dewasa ini dipakai dalam agama Buddha ditemukan dalam bahasa Pali dan bahasa Sanskerta. Nama umum yang diberikan untuk kumpulan kitab suci agama Buddha adalah Tripitaka. “Tri ” berarti “tiga ” dan “pitaka ” berarti “keranjang ” atau biasa diartikan sebagai “kumpulan “. Tripitaka dengan demikian adalah ” Tiga Keranjang ” atau “Tiga Kumpulan”, terdiri dari:
Vinaya Pitaka atau Kumpulan Disiplin Vihara.
Sutta/Sutra Pitaka atau Kumpulan Ceramah/Dialog.
Abhidhamma/Abhidharma Pitaka atau Kumpulan Doktrin Yang Lebih Tinggi, hasil susunan sistematis dan analisis skolastik dari bahan-bahan yang ditemukan dalam Sutta/Sutra Pitaka.
1. Tipitaka Pali
Tipitaka Pali (45 jilid) memiliki pembagian sebagai berikut :
Vinaya Pitaka:
1. Parajika
2. Pacittiya
3. Mahavagga
4. Culavagga
5. Parivara
Sutta Pitaka:
1. Digha Nikaya
2. Majjhima Nikaya
3. Samyutta Nikaya
4. Anguttara Nikaya
5. Khuddaka Nikaya
Abhidhamma Pitaka:
1. Dhammasangani
2. Vibhanga
3. Dhatukatha
4. Puggalapannatti
5. Kathavatthu
6. Yamaka
7. Patthana
2. Mahapitaka (Tripitaka Mahayana)
Mahapitaka (Ta Chang Cing) terdiri dari 100 buku dengan pembagian sebagai berikut :
1. Agama
2. Jataka
3. Prajnaparamita
4. Saddharma Pundarika
5. Vaipulya
6. Ratnakuta
7. Parinirvana
8. Mahasannipata
9. Kumpulan Sutra
10. Tantra
11. Vinaya
12. Penjelasan Sutra
13. Abhidharma
14. Madhyamika
15. Yogacara
16. Sastra
17. Komentar Sutra
18. Komentar Vinaya
19. Komentar Sastra
20. Sekte
21. Aneka Sekte
22. Sejarah
23. Kamus
24. Daftar Isi
25. Komentar Sutra Lanjutan
26. Komentar Vinaya Lanjutan
27. Komentar Sastra Lanjutan
28. Aneka Sekte Lanjutan
Sutra-sutra dari kaum Theravada juga terdapat dalam Tripitaka Mahayana dengan sebutan Agama Sutra (A Han Cing). Agama Sutra sebagian besar isinya tidak berbeda dengan apa yang terdapat di Nikaya Pali. Agama Sutra ini terdiri dari :
1. Dhirghagama
2. Mdhyamagama
3. Samyuktagama
4. Ekottarikagama
Dalam Tripitaka Mahayana terdapat pula tujuh kitab Abhidharma dari golongan Sarvastivada (berbeda dengan Abhidhamma Pali), yaitu :
1. Jnanaprasthana
2. Samgitiprayaya
3. Prakaranapada
4. Vijnanakayasya
5. Dhatukaya
6. Dharmaskandha
7. Prajnaptisastra
3. Kangjur dan Tangjur (Tibetan Tripitaka)
Disamping sutra-sutra Mahayana dan Theravada yang diambil sebagai kitab pokok dalam aliran Buddhisme Tibet (Tantrayana/Vajrayana) , mereka juga memiliki Kitab Kangjur dan Tangjur . Kitab Kangjur (Bka’-‘gyur, yang berarti Terjemahan Sabda Sang Buddha) berisi 108 jilid merupakan deskripsi Ajaran Sang Buddha, sedangkan Tanjur (Bstan-‘gyur, yang berarti Terjemahan Ajaran Sang Buddha) berisi 227 jilid merupakan komentar dari teks dasar.
Kangjur memiliki 6 bagian utama yang berisi (1) Tantra (2) Prajnaparamita Sutra (3) Ratnakuta Sutra yang merupakan kumpulan naskah pelengkap Mahayana (4) Avatamsaka Sutra (5) Berbagai Sutra Mahayana dan Hinayana , dan (6) Vinaya.
Sedangkan Tanjur yang dapat dibagi menjadi 3.526 naskah dapat dibagi atas tiga kelompok utama, yaitu (1) stotras ; pujian agung dalam satu jilid termasuk 64 naskah (2) Ulasan tantra dalam 86 jilid termasuk 3.055 naskah, dan (3) Ulasan sutra-sutra dalam 137 jilid termasuk 567 naskah.
Naskah-naskah terjemahan dalam bahasa Tibet tersebut merupakan naskah peninggalan yang sangat penting setelah terdapat cukup banyak naskah di India dibakar habis oleh invasi agama Islam di India.
Sekilas Pandang Tipitaka
Vinaya Pitaka
Vinaya Pitaka merupakan suatu kumpulan Tata Tertib dan Peraturan Cara Hidup yang ditetapkan untuk mengatur murid-murid Sang Buddha yang telah diangkat sebagai bhikkhu atau bhikkhuni ke dalam Sangha. Peraturan-peraturan ini berupa himbauan dari Sang Buddha dengan tujuan agar mereka menguasai dan mengendalikan perbuatan jasmani dan ucapan mereka. Kitab ini juga menyangkut hal-hal mengenai pelanggaran peraturan; terdapat berbagai jenis peringatan dan usaha pengendalian sesuai dengan sifat pelanggaran yang dilakukan.
Secara umum Vinaya Pitaka dapat dibagi atas :
(1) Sutta Vibhanga
Bagian yang berhubungan dengan Pratimoksa/Patimokha yaitu peraturan-peraturan untuk para bhikkhu/bhikshu (227 peraturan) dan bhikkhuni/bhikshuni (311 peraturan).
(2) Khandaka-khandaka , terdiri dari Mahavagga dan Cullavagga.
Mahavagga merupakan serangkaian peraturan mengenai upacara penahbisan bhikkhu, upacara Uposatha, peraturan tentang tempat tinggal selama musim hujan [vassa], upacara pada akhir vassa [pavarana], peraturan mengenai jubah, peralatan, obat-obatan dan makanan, pemberian jubah Khatina setiap tahun, peraturan bagi bhikhu yang sakit, peraturan tentang tidur, tentang bahan jubah, tata cara melaksanakan sanghakamma (upacara sangha), dan tata cara dalam hal terjadi perpecahan.
Cullavagga, terdiri dari peraturan untuk menangani pelanggaran-pelanggaran, tata cara penerimaan kembali seorang bhikkhu ke dalam sangha setelah melakukan pembersihan atas pelanggarannya, tata cara untuk menangani masalah-masalah yang timbul, berbagai peraturan yang mengatur cara mandi, mengenakan jubah, menggunakan tempat tinggal, peralatan, tempat bermalam dan sebagainya, mengenai perpecahan kelompok-kelompok bhikkhu, kewajiban guru [acariya] dan calon bhikkhu [samanera], upacara pembacaan Patimokkha, penahbisan dan bimbingan bagi bhikkhuni, kisah mengenai Pasamu Agung Pertama di Rajagraha, dan kisah mengenai Pesamuan Agung Kedua di Vesali.
(3) Parivara,
Merupakan suatu ringkasan dan pengelompokan peraturan-peraturan Vinaya yang tersusun dalam bentuk tanyajawab untuk dipergunakan dalam pengajaran dan ujian.
Dalam Buddhisme Mahayana juga terdapat Brahmajala Sutra [Fan Wang Cing] yang dipergunakan sebagai pedoman untuk menerangkan sila, pratimoksha dan Bodhisattva sila dimana terdiri dari 10 pasal kesalahan besar [Garukapatti] dan 48 pasal kesalahan kecil [Lahukapatti]. Brahmajala Sutra yang dipakai oleh Buddhisme Mahayana merupakan terjemahan dari Kumarajiva antara tahun 401 – 409 M. Selain itu terdapat juga Upasika Sila yang merupakan terjemahan dari Dharmaraksa antara tahun 414-421 M. Untuk Bhikshuni, terdapat juga Bhikshuni Sanghika Vinaya Pratimoksha Sutra yang diterjemahkan oleh I-Ching pada tahun 700-711 M dimana terdiri atas 348 pasal.
Sutra Pitaka [Sutta Pitaka]
Merupakan kumpulan pembicaraan antara Sang Buddha dengan berbagai kalangan, semasa Beliau mengembangkan ajaranNya. Sutra Pitaka dapat dikelompokkan dalam lima kelompok utama, yaitu :
– Digha Nikaya (kumpulan sutra yang isinya panjang),
– Majjhima Nikaya (kumpulan sutra yang isinya tidak terlalu panjang),
– Samyutta Nikaya (kumpulan sutra yang isinya secara kelompok),
– Anguttara Nikaya (kumpulan sutra atas beberapa topik utama),
– Khuddaka Nikaya (kumpulan sutra dari berbagai bahan).
Selain itu dalam Buddhisme Mahayana masih terdapat banyak sutra lainnya yang diperkirakan sekitar 300 sutra, dimana terdapat beberapa yang tersusun sesudah Parinirvana Sang Buddha. Sutra-sutra yang kebanyakan berasal dari bahasa Sansekerta telah berhasil diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa saat ini berkat jasa-jasa dari para sesepuh Mahayana, seperti Kashyapamatanga dan Mdian Dharmaraksha, Tao-an, Kumarajiva, Siksananda, Buddhabhadra, Buddhajiva, Buddhayasas, Bodhiruci, Bhodiyasa, Gunabadra, Dhamakshema, Punyatara, Paramartha, I-ching, Fa-hsien, Hsuan-tsang, Subhakarasinha, Divakara, dan lain-lain. Kebanyakan sutra yang diterjemahkan pada awalnya ke dalam bahasa Mandarin tersebut dibawa dari India ataupun Srilanka melalui jalan darat yang dikenal sebagai Jalan Sutra (Silk Road). Sekarang sutra-sutra tersebut sudah ada dalam berbagai bahasa khususnya bahasa Tibet, Jepang, Korea, Vietnam dan malahan terdapat banyak sutra yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Perancis, dan Belanda.
Di Indonesia, pada jaman kejayaan Sriwijaya dalam masa keprabuan Syailendra (sekarang Palembang, Sumatera), telah tercatat dalam sejarah sebagai pusat pendidikan Agama Buddha Mahayana dimana terdapat seorang guru agama Buddha yang terkenal bernama Sakyakirti (Dharmakirti). Demikian juga di tanah Jawa dimana sempat juga didatangi oleh beberapa tokoh yang terkenal dalam sejarah perkembangan Buddhisme dengan berbagai peninggalan sejarahnya seperti candi Borobudur, Mendut, Pawon dan lain-lain. Bhikshu Fa-hsien dari Cina pada tahun 414 M sempat tinggal selama lima bulan di Ho-ling (Jawa) yang sesuai catatannya bahwa di Jawa telah menerima agama Buddha yang beraliran Hinayana. Setelah itu Gunawarman dari Kashmir yang datang ke Jawa pada sekitar tahun 421 M. Bhikshu lainnya dari Cina, Hui-ning juga pernah ke Jawa pada sekitar tahun 664 M dan sempat tinggal selama tiga tahun. I-ching sempat dua kali ke Sriwijaya dimana pada tahun 685 M sempat tinggal selama empat tahun untuk menyelesaikan tugasnya menerjemahkan berbagai kitab dari bahasa Sansekerta ke bahasa Mandarin. Atisa (hidup tahun 982-1054) dari keluarga bangsawan Bengala yang menjadi bhikshu pernah datang ke Srivijaya untuk belajar filsafat dan logika agama Buddha Mahayana selama 12 tahun (antara tahun 1011-1023) dibawah bimbingan guru besar Sakyakirti (Dharmakirti).
Beberapa sutra dalam Mahayana yang dianggap sangat penting, antara lain :
– Avatamsaka Sutra (Hua Yen Cing)
– Maha Ratnakuta Sutra (Ta Pao Ci Cing)
– Maha Sanghata Sutra (Ta Ci Cing)
– Astasahasrika Prajnaparamita Sutra (Pa Chien Sung Phan Jo Cing)
– Maha Prajnaparamita Sutra (Ta Phan Jo Cing)
– Prajnaparamita Hrdaya Sutra (Sim Cing)
– Sad-Dharma Pundarika Sutra (Fa Hua Cing)
– Mahaparinirvana Sutra (Ta Ch’eng Nie Phan Cing)
– Surangama Sutra (Leng Yeng Cing/ Ta Fo Ting Shuo Leng Yeng Cing)
– Amitabha Sutra (O Mi Tho Cing)
– Sukhavati Vyuha Sutra (Wu Liang Shuo Cing / Fo Shuo A Mi Tho Cing)
– Amitayur Dhyana Sutra (Kuang Wu Liang Shuo Cing)
– Vaipulya-mahavyuha Sutra (Ta Cuang Yen Cing)
– Vimalakirti Nirdesa Sutra (Wei Mo Cing)
– Suvarnaprabhasa Sutra (Cin Kuang Ming Cui Sen Wang Cing),
– Lankavatara Sutra (Leng Cia Cing)
– Sandhi Nirmocana Vyuha Sutra (Cie Sen Mi Cing)
– Vajrachedika-prajna-paramita Sutra (Cin Kang Cing)
– Mahavairocanabhi-sambhodi Sutra (Ta Re Ru Lai Cing)
– Lalita Vistara Sutra (P’u Yao Cing)
– Suvarna Prabhasa Sutra (Cin Kuang Ming Cui Sen Wang Cing)
– Dasabhumika Sutra (Se’ Ti Cing)
– Mahayana Buddha Pacchimovada Pari Nirvana Sutra (I Chia Yu Cing)
– Brahmajala Sutra (Fan Wang Cing)
– Dasa Kausalya Karma Sutra (Se’ San Ye Tao Cing)
– Maha Samnipata Sutra (Ta Chi Cing)
– Tathagatagarbha Sutra (Ta Fang Teng Ju Lai Tsang Cing)
– Yogacarabhumi Sutra / Dharmatara Dhayna Sutra (Ta Mo To Lo Ch’an Cing)
– Bhaishajyaguru Vaiduryaprabha Tathagata Sutra (Yo Shi Liu Li Kuang Ju Lai Pen
Yuan Khung Te Cing)
– Sanmukhi Dharani Sutra (Liu Men To Lo Ni Cing)
– Sutra Hui Neng atau Sutra Altar (Liu Cu Than Cing)
– Ksitigarbha Bodhisattva Sutra (Ti Chang Phu Sat Pen Yuan Cing)
– Bodhisattva Treasury Sutra (Phu Sat Tsang Cing)
Abhidharma Pitaka [Abhidhamma Pitaka]
Merupakan kumpulan berdasarkan klasifikasi yang detail mengenai fenomena kejiwaan, logika, analisa metafisik dan informasi penting dari kosa kata. Kitab Abhidhamma dapat juga disebut sebagai ilmu psikologi Buddhisme yang mengajarkan analisis yang mendalam mengenai berbagai komponen dan proses dari batin dan jasmani.
Abhidhamma Pitaka sesuai uraian dari kaum Sthaviravada (Pali canon) dapat diuraikan menjadi tujuh jilid buku [pakarana], yaitu :
Dhammasangani, menguraikan mengenai etika dilihat dari sudut pandang ilmu jiwa
Vibhanga, menguraikan apa yang terdapat dalam buku Dhammasangani dengan metode yang berbeda. Buku ini dapat dibagi lagi dalam delapan bab [vibhanga], dan masing-masing bab memiliki tiga bagian yaitu Suttantabhajaniya, Abhidhammabhajaniya dan Pannapucchaka atau daftar pertanyaan-pertanyaan.
Dhatukatha, menguraikan mengenai unsur-unsur batin yang terbagi atas empat belas bagian.
Puggalapannatti, menguraikan berbagai watak manusia [puggala] yang terkelompok dalam sepuluh urutan kelompok.
Kathavatthu, terdiri dari dua puluh tiga bab yang merupakan kumpulan percakapan [katha] dan sanggahan terhadap pandangan salah yang dikemukan oleh berbagai sekte tentang hal-hal yang berhubungan dengan theologi dan metafisika.
Yamaka, terdiri dari sepuluh bab [yamaka], yaitu Mula, Khanda, Ayatana, Dhatu, Sacca, Sankhara, Anusaya, Citta, Dhamma dan Indriya.
Patthana, menerangkan mengenai sebab-sebab yang berkenaan dengan dua puluh empat hubungan antara batin dan jasmani [Paccaya].
Abhidharma Pitaka dari kaum Sarvastivada (Sansekerta) dapat dikelompokkan dalam tujuh kitab, yaitu :
Jnana-prasthana,
Sangitiparyaya,
Prakaranapada,
Vijnanakayasya,
Dhatukaya,
Dharmaskandha,
Prajnaptisastra.
Disamping itu terdapat juga beberapa kitab komentarnya, seperti Abhidhamma Maha Vaibasha Sastra dan Abhidhamma Kosa Sastra. Demikian juga yang ditulis oleh kaum Madhyamika, antara lain Madhyamika Karika, Dwi-dasa-Sastra, Sata Sastra. Asanga dari kaum Vijanavada yang dikenal dengan Yogacara menyusun beberapa karyanya yang berhubungan dengan Abhidhamma, yaitu : Saptadasabhumi Sastra Yoga-caryabhumi, Sutralankara-Tika, Madhyatavibhaga Sastra Grantha, Vajracheda Sutra Sastra, Yogavibhaga Sastra dan Mahayanasamparigraha Sastra. Vasubandhu juga menulis beberapa kitab yang berhubungan dengan Abhidhamma, yaitu : Vidyama-trasiddhi, Pancaskandhaka Sastra, Vidyamatrasiddhi Tridasa Sastra Karika, Karma- siddhaprakarana Sastra, Dasabhumika Sastra, Gayasirsha Sutra Tika dan Saddharmapundarika Sutra Upadesa.
Keahlian seseorang dalam menguasai berbagai kitab suci yang ada dalam Buddhisme bukanlah sebagai jaminan akan memperoleh manfaat kehidupan suci, tetapi yang penting adalah berbuat sesuai ajaran dalam kehidupan sehari-hari baik melalui pikiran, ucapan ataupun perbuatan.
Sang Buddha bersabda : “Biarpun seseorang banyak membaca kitab suci, tetapi tidak berbuat sesuai dengan ajaran, maka orang lengah itu sama seperti gembala sapi yang menghitung sapi milik orang lain; ia tak akan memperoleh manfaat kehidupan suci. Biarpun seseorang sedikit membaca kitab suci, tetapi berbuat sesuai ajaran, menyingkirkan nafsu indria, kebencian dan ketidaktahuan, memiliki pengetahuan benar dan batin yang bebas dari nafsu, tidak melekat pada apapun baik di sini maupun di sana, maka ia akan memperoleh manfaat kehidupan suci.” (Dhammapada, 19, 20)
Ketika kita menyatakan berlindung kepada Dharma (Dhammang Saranang Gacchami) berarti kita harus memiliki pengertian yang benar terhadap Ajaran Sang Buddha dan menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari secara bijaksana.
11
SANGHA
Sang Buddha bersabda : ” Tinggalkan apa yang telah lalu, yang akan datang maupun yang sekarang (kemelekatan terhadap lima kelompok kehidupan) dan capailah ` Pantai Seberang ‘ (nibbana). Dengan pikiran yang telah bebas dari segala sesuatu, maka engkau tak akan mengalami kelahiran dan kelapukan lagi.” (Dhammapada, 348).
Sangha yang pada permulaannya adalah merupakan persaudaraan para Bhikshu/Bhikkhu, kini telah mengalami perkembangan terutama dalam ajaran Buddhisme Mahayana, dimana meliputi juga para Bhikshuni/Bhikkhuni dan umat Buddha pria dan wanita yang bertujuan untuk memperoleh kedudukan Bodhisattva.
Bhikshu/ni [Bhikkhu/ni] adalah seseorang yang menjadi siswa Sang Buddha, dimana telah memisahkan diri dari segala hubungan sanak keluarganya dan menganut Dharma serta tidak mempunyai tempat kediaman lagi bagi badan dan pikirannya, yang berarti telah tidak memiliki tempat tinggal, demikianlah Sabda Sang Buddha.
Peraturan dan tata tertib serta tata susila seorang Bhikshu/ni diatur dalam Vinaya Pitaka. Kehidupan seorang Bhiksu/ni bukanlah kehidupan yang mudah. Dia tidak akan dapat melakukan kewajibannya, bila dia tidak dapat membebaskan pikirannya dari ketamakan dan kemarahan atau tidak dapat menguasai pikiran atau kelima inderanya [panca-skandha].
Terdapat lima sifat utama yang harus diperhatikan oleh seorang Bhikshu/Bhikkhu [Navakabhikkhu-Dhamma], yaitu:
Mengendalikan diri sesuai dengan peraturan Pratimoksa [Patimokkha] dengan tidak melakukan hal-hal yang dilarang oleh Sang Buddha dan hanya melakukan hal-hal yang diajarkan oleh Sang Buddha.
Mengendalikan Indera mata, telinga, hidung, lidah, badan jasmani dan pikiran. Demikian juga jangan membiarkan diri hanyut dalam kegembiraan duniawi atau kebencian terhadap segala bentuk-bentuk luar.
Tidak bertingkah laku terlalu ribut, kasar ataupun terlalu banyak berbicara.
Selalu mengusahakan berdiam diri di tempat-tempat yang sunyi
Senantiasa membina diri sehingga memiliki kebijaksanaan dan pengertian yang benar.
Tugas atau misi suci seorang Bhikshu/ni adalah memberikan penerangan tentang Ajaran Sang Buddha, dimana dia mesti berkhotbah mengenai Dharma pada setiap orang, meluruskan faham yang salah, menolong orang untuk memiliki pengertian benar, melakukan perjalanan di manapun dalam menyebarkan Dharma, walaupun harus mengorbankan jiwanya sendiri. Dalam memberikan khotbah Dharma, maka terdapat lima sifat pokok yang harus diperhatikan, yaitu :
Menerangkan Dharma secara sistimatis dengan tanpa meloncat ataupun menyingkat bagian tertentu sehingga mengurangi arti yang sebenarnya.
Memberikan alasan yang jelas kepada pendengar sehingga mereka menjadi mengerti
Memiliki cinta-kasih [metta] yang mendalam dengan harapan agar para pendengar dapat memetik faedah dari khotbah Dharma yang diberikannya.
Tidak bertujuan untuk memiliki keuntungan materi bagi dirinya sendiri
Tidak mengunggulkan diri sendiri dan merendahkan orang lain.
Terdapat Empat Persoalan Utama yang harus diperhatikan oleh para Bhikshu/ni, yaitu :
Memperhatikan kelakuan diri sendiri.
Memperhatikan dan memilih ucapan-ucapan mereka, ketika mereka mendekati dan mengajar orang lain.
Memperhatikan dan mengetahui motif mereka, supaya mereka dapat mengajar dan mengakhiri apa yang ingin mereka selesaikan.
Memperhatikan rasa belas kasihan yang besar.
Seorang Bhikshu/ni haruslah dapat menjadi teman sejati [kalyanamitra/kalyanamitta] bagi orang lain dengan senantiasa memperhatikan hal-hal berikut :
Priya [Piyo] : menimbulkan kasih sayang, lemah lembut, dan menyenangkan
Guru [Garu] : dihormati, dalam pergaulan menimbulkan ketentraman hati dan terasa aman
Bhavanija [Bhavaniyo] : menimbulkan kemajuan batin atau dijunjung, dapat membimbing ke arah yang baik dan menimbulkan kebijaksanaan
Vaktr ca [Vatta ca] : pandai berbicara untuk hal-hal yang baik sehingga menimbulkan pengertian dan dapat dijadikan teman berunding dalam kesulitan
Vacasksama [Vacanakkhamo] : sabar dalam mendengar pembicaraan, tidak merasa jemu dan dapat bertukar pikiran secara baik dan menyenangkan
Gambhiranca katham kartr [Gambhiranca katham] : mampu memberikan penerangan/penjelasan persoalan yang sulit sehingga timbul pengertian yang baik bagi yang bertanya dan memberikan petunjuk untuk mengatasi persoalan tersebut.
No catthane niyojaye [No catthane niyojaye] : tidak menunjukkan jalan yang sesat atau menghancurkan kehidupan orang lain.
Sebagai umat awam maka kitapun harus senantiasa mengingat bahwa Sangha merupakan tempat yang tiada bandingannya bagi kita untuk menanam benih perbuatan baik dimana laksana sebuah ladang dengan tanah subur dan tentunya hasil yang berlimpah akan dapat diharapkan. Kitapun janganlah menganggap remeh anggota Sangha hanya karena penampilannya yang sederhana, merendah diri dan seadanya saja.
Pemuda Meniru Buddha
Niu-tzu, adalah seorang pemuda yang senang sekali mempelajari meditasi dan dengan rutin belajar bersama seorang Mahabhikshu. Setelah sekian lama belajar dan merasa sudah mencapai tingkat tertentu, maka Niu-tzu terdorong untuk menilai dirinya sendiri , dan diapun bertanya kepada Mahabhikshu , “Suhu, bagaimanakah kemajuan meditasi saya selama ini?” . Mahabhikshu tersebut berkata, “Bagus sekali, bagus sekali….., Anda telah duduk dengan sempurna seperti Sang Buddha.” Niu-tzu senang sekali menerima pujian tersebut dan bangga sekali hatinya.
Mahabhikshu yang mengetahui pemuda ini serta terdorong untuk menguji pemuda tersebut bertanya lebih lanjut, “Menurut Niu-tzu, kalau Suhu meditasinya bagaimana?” Niu-tzu yang merasa sudah lebih maju meditasinya dan memang selama ini sering merasa geli kalau melihat postur meditasi Mahabhikshu tersebut, merasa memiliki kesempatan untuk melepaskan ganjalan hatinya, “Suhu maaf dulu yah, tapi karena saya harus bicara sejujurnya, maka postur meditasi Suhu persis bentuknya seperti tai kerbau.” (tai kerbau yang berbentuk kerucut, kecil di atas dan melebar ke bawah, diumpamakan dengan jubah Mahabhikshu yang bergelai menutupi keseluruhan kaki pada saat duduk meditasi, sehingga berbentuk kerucut).
Hari itu, Niu-tzu dengan riang kembali ke rumah dan menceritakan pengalaman tersebut kepada adiknya, “Ha..ha…ha…, adikku sayang, hari ini kakak senang sekali karena telah berhasil mencapai meditasi seperti Sang Buddha.” Adiknya yang agak bingung menanyakan lebih lanjut dan setelah mengetahui persis cerita dari kakaknya, diapun berkomentar, “Kakak telah keliru besar sekali, kalau di dalam pikiran kakak hanya ada tai kerbau, maka di dalam pikiran Suhu hanya ada Sang Buddha.”
Para Bhikshu/ni dari berbagai aliran dan sekte Buddhisme dapat dilihat perbedaannya dari jubah yang dikenakannya dan dalam menjalankan puja bhakti. Tetapi pada intinya ajaran yang disampaikan adalah sama yaitu Ajaran Sang Buddha, hanya perbedaannya terdapat pada tata cara penyampaiannya. Kemunculan berbagai aliran dan sekte Buddhisme yang ada saat ini terjadi sesudah Sang Buddha Parinirvana, dimana dapat dilihat dari adanya konsili-konsili yang diadakan .
Ketika kita menyatakan berlindung kepada Sangha (Sanghang Saranang Gacchami) berarti kita harus menghormati para Bhikkhu/Bhikshu dan Bhikkhuni/Bhishuni tanpa membedakan apakah mereka telah mencapai tingkat arahat atau belum, karena para anggota Sangha telah menyadari Kebenaran Ajaran Sang Buddha dan mereka juga membantu para umat untuk menyadari Ajaran Sang Buddha. Demikian juga para anggota Sangha mengingatkan kita mengenai Tri-Ratna
12
KONSEP TRI-KAYA dan PANCA DHYANI BUDDHA
Tri-Kaya
Buddhisme Mahayana mengenal adanya konsep Tri-Kaya (Tiga Rangkap Tubuh) sebagai suatu pengertian yang bersifat transenden, yaitu melampaui hal-hal keduniawian. Pengertian Tri-Kaya ini hanya dapat dipahami secara intuisi dan sebenarnya dapat pula tercermin dalam diri kita sendiri sebagai suatu benih Kebuddhaan yang bersemayam di alam kesadaran ke-8 atau alayavijnana atau biasa disebut juga Tathagatagarbha.
Tri-Kaya dapat dibagi menjadi Dharma-Kaya, Sambhoga-Kaya dan Nirmana-Kaya.
Dharma-Kaya
Dharma-kaya yang merupakan sumbernya Dharma dan lambang kesunyataan sebagai suatu hakikat yang hakiki tanpa bentuk dan warna, senantiasa memenuhi seluruh alam semesta dan tidak dapat diungkapkan ataupun diuraikan dengan kata-kata.
Umat Buddha Mahayana mempermudah perwujudan Dharma-Kaya ini dalam bentuk rupang Buddha sebagai obyek pemujaan, obyek untuk konsentrasi dan pencurahan bhakti. Dhama-Kaya ini diwakili oleh Buddha Amitabha sebagai Dhyani Buddha. Sedangkan dalam Tantrayana, Dharma-Kaya dianggap sebagai suatu perwujudan dari Sang Adi Buddha yang dapat dipandang sebagai suatu sifat Yang Mutlak atau Yang Senantiasa Berada Di Segala Tempat (Omnipresent).
Sambhoga-Kaya
Sambhoga-Kaya merupakan Sinar Agung yang terpancar dari tubuh Sang Buddha dan merupakan manifestasi sifat dasar Buddha yang dimiliki oleh Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna [Samyaksambodhi/Sammasambodhi] atau Bodhisattva yang telah mencapai bhumi tingkat ke-10. Sambogha-Kaya berwujud sebagai kekuatan atau cahaya yang hanya dapat dirasakan secara rohani, diwujudkan dalam bentuk simbol dari kelahiran dan kematian.
Dalam Suvarnaprabhasa dan Abhisamayalankara-karika dijelaskan bahwa Sambhoga-Kaya adalah suatu tubuh yang sangat halus dari Buddha, diberkahi dengan semua tanda dari mahapurusa dan umumnya dianggap oleh Buddha untuk memberikan kebenaran yang lebih tinggi termasuk kebenaran metafisika kepada para Bodhisattva yang telah sangat maju.
Umat Buddha Mahayana mempermudah perwujudan sifat Cinta Kasih dan Kasih Sayang yang merupakan sifat dasar Buddha dalam bentuk Sambhoga-Kaya yang diwakili oleh Bodhisattva Avalokistesvara sebagai Dhyani Bodhisattva.
Nirmana-Kaya
Nirmana-Kaya merupakan perwujudan dari Sang Buddha dalam usaha melaksanakan misinya kepada manusia dalam bentuk badan jasmani yang kita lihat sebagai perwujudan dari Siddharta Gautama, dengan 32 tanda seorang Manusia Agung [Dvatrimsam mahapurusa laksanani/ Dvattimsa mahapurisa lakkhanani] yang dicapai oleh Sang Buddha dalam beberapa kehidupan Beliau sebelumnya karena telah mentaati dan menjalankan paramita secara sempurna.
Dalam Mahapadana Sutta, Digha Nikaya I yang merupakan bagian dari Sutta Pitaka, tercatat ketika Buddha Gautama berada di Kareri-kuti di Jetavana Arama yang dibangun oleh Anathapindika, telah menguraikan kehidupan lampau dan kelahiran Sang Buddha dengan 32 tanda seorang Manusia Agung, yaitu :
Telapak kaki yang rata [suppatithita-pado]
Telapak kaki yang bercirikan suatu roda dengan seribu jeruji [Utsanga pado]
Bentuk tumit yang bagus [ayatapanhi]
Jari-jari yang panjang [dighanguli]
Tangan dan kaki yang lembut dan halus [mudutaluna]
Tangan dan kaki yang bagaikan jala [jalahattha-pado]
Tulang pergelangan kaki yang seperti kulit kerang [ussankha-pado]
Paha yang seperti raja rusa jantan [enijanghi]
Tangan yang mencapai ke bawah lutut
Alat tubuh rahasia lelaki yang terbungkus oleh selaput [kosohita-vatthaguyho]
Warna kulitnya bagaikan perunggu berwarna emas
Kulitnya sangat licin sehingga tidak ada debu yang dapat melekat di tubuhnya
Dari setiap pori-pori di kulitnya ditumbuhi sehelai rambut
Rambut yang berwarna biru kehitam-hitaman bertumbuh keriting ke atas, berbentuk lingkaran kecil dengan arah berputar ke kanan
Potongan tubuh yang agung [brahmujju-gatta]
Tujuh otot yang kuat [sattussado]
Dada yang bagaikan dada singa [sihapubbaddha kayo]
Di kedua bahunya tidak ada lekukan
Potongan tubuhnya bagaikan pohon beringin [Nigrodha], tinggi tubuhnya sama dengan rentangan kedua tangannya begitu pula sebaliknya.
Bahu yang sama lebarnya [samavattakkhandho]
Indria perasa yang sangat peka [rasaggasaggi]
Rahang yang bagaikan rahang singa [sha-banu]
Empat puluh buah gigi
Gigi yang sama rata [sama-danto]
Gigi yang tetap [avivara-danto]
Gigi yang putih bersih
Lidah yang panjang dan lebar [pahuta-jvha]
Suara bagaikan suara brahma yang seperti suara burung Karavika
Mata yang biru tua [Abhinila]
Bulu mata yang penuh seperti bulu mata raja sapi jantan [gopakhumo]
Di antara alis matanya tumbuh sehelai rambut halus, putih bagaikan kapas yang lembut [urna]
Memiliki kepala yang bagaikan kepada bersurban [unhisasiso]
Panca Dhyani Buddha
Buddhisme Mahayana menerapkan suatu metode yang mudah dimengerti oleh para umat awam, sehingga pemahaman Ajaran Sang Buddha dapat dijalankan sesuai dengan kesanggupan dan kecocokan seseorang [upaya-kausalya], melakukan berbagai pemujaan terhadap Dhyani Buddha, Dhyani Bodhisattva, dan Manussi Buddha yang masing-masing berjumlah lima, dimana erat kaitannya atau merupakan realisasi dalam bentuk pemujaan dengan konsep Tri-Kaya.
Panca Dhyani Buddha yang merupakan perwujudan dari Dharma-Kaya, dan Panca Dhyani Bodhisattva yang merupakan perwujudan dari Sambhoga-Kaya, dan Panca Manussi Buddha yang merupakan perwujudan dari Nirmana-Kaya dipercayai senantiasa bertugas secara berpasangan dalam suatu kurun waktu tertentu [kalpa] . Untuk era kehidupan saat ini, adalah Buddha Amitabha sebagai Dhyani Buddha [Dharma-Kaya], Bodhisattva Avalokitesvara sebagai Dhyani Bodhisattva [Sambhoga-Kaya], dan Buddha Sakyamuni (Gautama) sebagai Manussi-Buddha [Nirmana-Kaya] .
Panca Dhyani BuddhaPanca Dhyana BodhisattvaPanca Manussi Buddha1. Vairocana1. Samantabhadra1. Kakusandha2. Aksobhya2. Vajrapani2. Kanogammana3. Ratnasambhava3. Ratnapani3. Kassapa4. Amitabha4. Avalokitesvara4. Sakyamuni5. Amobhasiddhi5. Visvapani5. MaitreyaDhyani Buddha sesuai dengan esensi, tugas dan fungsinya sebagai Dharma-Kaya dapat memancarkan energinya membentuk tubuh yang lebih aktif, yaitu Dhyani Bodhisattva sebagai perwujudan dari Sambhoga-Kaya dimana Dhyani Bodhisattva inilah yang berperan dalam dunia ini. Demikian juga Dhyani Bodhisattva bisa mengambil wujud manusia [Nirmana-Kaya] untuk menyebarkan Dharma, seperti Siddharta Gautama. Konsep Tri-Kaya dan manifestasinya dalam bentuk Dhyani Buddha, Dhyani Bodhisattva, dan Manussi Buddha dapat juga ditemui dalam naskah Guna Karanda Vyuha Sutra.
Sebagai pengikut Ajaran Sang Buddha, kita tidaklah harus terperangkap dalam perwujudan bentuk dan sifat Sang Buddha tersebut yang mana seharusnya kita hayati juga sebagai suatu hubungan sebab akibat [PatticcaSamuppada], dimana yang satu ada maka yang lain ada. Sang Buddha bersabda “Kebenaran yang sebenarnya adalah Hukum Sebab Akibat. Tanpa menyadari kebenaran pokok tersebut, maka orang akan menjadi rumit seperti sebuah bola benang yang kusut, tidak mampu untuk menghentikan penderitaan dan kelahiran kembali.”
Kita haruslah mampu melihat bahwa Buddha yang sejati adalah Penerangan Sempurna sehingga janganlah dilihat dari perwujudan dan sifatNya semata-mata. Dan sesungguhnya Buddha sejati tersebut tidak mempunyai bentuk dan sifat, namun Sang Buddha dapat menciptakan diriNya dalam segala bentuk dan sifat yang serba luhur .
Buddha Gautama bersabda: “Sekarang Aku ingat, Ananda, ketika Aku masuk ke dalam kumpulan orang-orang penting, orang-orang religius, perumahtangga, orang-orang dari kepercayaan lain, dan beragam dewa; sebelum Aku duduk dan berbicara kepada mereka, Aku mengubah diriKu sendiri menjadi seperti mereka, berbicara seperti mereka. Tatkala Aku telah selesai membabarkan Ajaran, mereka sangat gembira. Namun, mereka tidak mengetahui siapa Aku, bahkan setelah Aku tiada!” (Mahaparinibbana-sutta).
13
VEGETARIAN – DHARMA CINTA KASIH DAN KASIH SAYANG
Manusia merupakan pancaran semangat Cinta Kasih dan Kasih Sayang yang dapat menuntunnya mencapai Pencerahan dalam kehidupannya saat ini. Ajaran Sang Buddha yang memiliki kekuatan revolusioner selalu mengarahkan perdamaian dunia dan kebahagiaan semua makhluk di dunia dengan semboyan suci yaitu Cinta Kasih [Maitri/Metta] dan Kasih Sayang [Karuna].
Sang Buddha bersabda, “Aku memiliki Cinta Kasih kepada makhluk-makhluk tanpa kaki, kepada yang berkaki duapun Aku memiliki Cinta Kasih. Aku Memiliki Cinta Kasih kepada makhluk-makhluk berkaki empat, kepada yang berkaki banyakpun Aku memiliki Cinta Kasih.” (Anguttara Nikaya, II, 72).
” Bila seseorang memiliki pikiran Cinta Kasih, ia merasa kasihan kepada semua makhluk di dunia, yang ada di atas, di bawah dan di sekelilingnya, tak terbatas di manapun.” (Jataka, 37)
Kemajuan batin akan dapat kita kembangkan apabila kita senantiasa diliputi pikiran yang penuh Cinta Kasih serta bersikap penuh Kasih Sayang.
“Kembangkanlah pikiran yang penuh Cinta Kasih; bersikaplah penuh Kasih Sayang dan terlatih dalam sila. Bangkitkan semangatmu, bersikaplah teguh, senantiasa mantap dalam membuat kemajuan” (Theragatha, 979)
Apakah Perlu Vegetarian?
Apakah seorang Buddhis dalam menjalankan sila-sila khususnya sila tidak melakukan pembunuhan [pranatipata vairamanya/panatipata veramani], sebaiknya juga menjadi seorang vegetarian yaitu tidak memakan makhluk bernyawa? Bagaimanakah caranya agar dapat menghindari larangan perdagangan makhluk hidup [sattva vanijya/satta vanijja], dan perdagangan daging binatang [mamsa vanijya/mamsa vanijja]?
Pertanyaan tersebut masih sering merupakan suatu hal yang kontroversial dalam berbagai aliran Buddhisme. Dari sejarah kemunculan Ajaran Sang Buddha pada masa kerajaan kebudayaan Hindu di India, maka dapat dimaklumi bahwa para umat Hindu adalah vegetarian yang taat karena konsep ahimsa dan reinkarnasi yang dianut, dimana apa yang dimakan juga akan menciptakan karma baru, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada jamannya Buddha Gautama, tentunya kehidupan masyarakat pada saat itu juga sebagian besar merupakan vegetarian. Manu, penyusun kitab Hindu pertama menulis,”Daging, tidak bisa didapatkan tanpa menyakiti makhluk hidup lain, dan apabila seseorang menyakiti makhluk yang memiliki kesadaran maka orang itu tidak bisa mendapatkan kebahagiaan surgawi. Karena itu biarlah semua tidak makan daging.”
Beberapa aliran Buddhisme tidak berpendapat bahwa apa yang dimakan merupakan syarat mutlak untuk mencapai Pencerahan, dimana yang lebih dipentingkan adalah pikiran, ucapan dan perbuatan. Para bhikkhu dalam Buddhisme Theravada (khususnya di negara-negara Thailand, Myanmar, Sri Lanka, Kamboja, Laos) melakukan permintaan dana makanan dari rumah ke rumah [pindapatta] memakan apa saja yang diberikan, dan lebih mementingkan menahan keinginan makan dengan makan hanya satu kali sehari sebelum lewat jam siang. Namun perlu juga kita sadari, bahwa umat awam yang mengenal baik cara berdana apalagi kepada anggota Sangha, tentunya akan menghindari memberikan dana dari hasil penyiksaan ataupun pembunuhan makhluk hidup [savajja dana] karena jenis dana seperti ini tidaklah akan menghasilkan pahala yang baik malah sebaliknya, kalaupun berbuah akan menyebabkan malapetaka bagi si pemberi dana.
Demikian juga terdapat argumentasi bahwa makanan terakhir yang dipersembahkan oleh Cunda, si pandai besi, adalah makanan istimewa yang bernama sukaramaddava yang berarti ‘kaki babi’, sehingga disimpulkan bahwa Buddha Gautama memakan kaki babi yang empuk. Padahal kita tahu juga banyak sekali nama makanan ataupun tumbuhan yang menyerupai nama binatang karena ciri-cirinya, seperti jambu monyet, lidah buaya, kumis kucing, jamur kuping, daun kaki kuda, rumput lidah lembu, longgan (mata naga), dsb. Literatur yang ada memperlihatkan bahwa sukaramaddava adalah sejenis jamur yang empuk dan sangat sulit ditemukan karena tumbuhnya tersembunyi di hutan belantara, dan diketahui babi hutan sangat menyenangi jamur tersebut dimana biasanya dengan gampang dapat ditemukannya dengan cara dikais keluar menggunakan kakinya, sehingga dinamakan ‘jamur kaki babi’.
Berbagai catatan di kitab suci haruslah kita hayati secara intuitif untuk sampai kepada pendapat apakah benar vegetarian itu perlu dikembangkan dalam latihan spiritual kita. Ada sementara pendapat yang mengatakan bahwa vegetarian itu adalah tawaran dari Devadatta, saudara sepupu Buddha Gautama yang terkenal ambisius dan jahat tersebut. Dalam cerita Devadatta sendiri dapat kita maklumi bahwa Devadatta dengan kelicikannya mencoba mengadu-domba Sangha dengan mengajukan lima aturan kepada Sang Buddha agar dapat diterapkan (jadi bukan hanya ketentuan vegetarian saja), dimana membuat posisi Sang Buddha sulit utk memutuskannya. Diantara kelima aturan yang diajukan oleh Devadatta, sebenarnya terdapat dua ketentuan yang memang mudah dilakukan oleh bhikkhu saat itu seperti hidup dari dana yang diterima dan tidak boleh memakan ikan atau daging (vegetarian), dan kemungkinan besar telah dijalankan. Namun tiga ketentuan lainnya agak sulit utk diputuskan oleh Sang Buddha, yaitu bhikkhu selamanya harus hidup di hutan; mengenakan jubah dari bekas sampah dan kuburan; dan hidup di kaki pohon. Devadatta yakin bahwa apabila Sang Buddha menolak permintaannya, maka akan banyak bhikkhu yang mendukung dia serta menyatakan bahwa Sang Buddha tidak berwelas asih (menolak vegetarian) dan senang hidup dalam kemewahan (tidak terbatas dari kehidupan dana yg diterima saja). Sedangkan apabila Sang Buddha menerima aturan yg diajukan tsb, maka berarti Sang Buddha menerapkan pola kehidupan menyiksa diri (tinggal di hutan, memakai pakaian bekas dari sampah dan kuburan, dan hidup di kaki pohon). Namun Sang Buddha yang penuh kebijaksanaan, mengatakan kepada para bhikkhu tanpa secara tegas menolak ataupun menerima aturan-aturan tersebut.
Pendapat yang mengatakan bahwa apabila kita tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak mengetahui bahwa daging binatang yang kita makan itu telah disembelih untuk kita makan, adalah merupakan suatu pendapat yang sangat tidak beralasan. Coba kita bayangkan apabila ada seseorang tiba-tiba mati dan tentunya sanak keluarganya akan menanyakan kenapa orang tersebut mati sehingga akan dilakukan visum untuk mengetahui kematiannya tersebut. Tentunya lain kalau kita sedang memakan daging, jelas sekali kita ataupun orang lain tidak perlu menanyakan darimana daging ini berasal, karena secara logika umum sudah jelas daging tersebut berasal dari hasil penyembelihan hewan yang masih hidup sebelumnya. Sehingga semua orang juga maklum bahwa terdapat satu makhluk hidup yang telah dibunuh beberapa waktu yang lalu, dan jelas sekali disadari oleh mereka bahwa makhluk hidup tersebut pasti menjerit, meronta, dan menangis pada saat mengetahui ajalnya sudah akan berakhir.
Buddhisme Tantrayana yang berkembang di Tibet dengan keadaan alam di sana tidak menekankan kepada para bhikkhunya untuk melakukan vegetarian secara mutlak. Tetapi apabila para bhikkhu Tantrayana melakukan perjalanan keluar dari Tibet, dimana apabila tersedia makanan vegetarian, maka para bhikkhu tersebut diharuskan melakukan vegetarian. Diceritakan juga bahwa Marpa dan murid utamanya Milarepa merupakan tokoh yang cukup dikenal dalam sejarah Buddhisme Tibet juga senang makan daging. Namun hal tersebut tidak didukung oleh bukti yang cukup. Dalai Lama ke-14, Y.M. Tenzin Gyatso adalah seorang vegetarian yang taat. Mungkin kita juga perlu merenungkan apa yang dikatakan oleh Jamgon Khungtrul Rinpoche,”Jangan dengan sengaja mengambil kehidupan (membunuh) makhluk hidup apapun, walaupun itu adalah seekor semut; karena untuk hal yang menyangkut kehidupan, tidak ada istilah ‘besar’ atau ‘kecil’.” Sehingga sering para bhikkhu Tibet dalam membangun rumah ataupun mencangkul tanah, terlihat lebih banyak menyita waktu untuk memindahkan terlebih dahulu cacing-cacing ke tempat yang aman sebelum melakukan pekerjaannya tersebut.
Buddhisme Mahayana dengan Bodhisattva silanya mengharuskan para bhikshu/ni untuk melakukan vegetarian demikian juga pesan-pesan yang disampaikan kepada umatnya. Buddhisme Mahayana yang memuja Avolakitesvara Bodhisattva [Guan Yin Pu Sa] sebagai Bodhisattva yang penuh Kasih Sayang, menyakini bahwa dengan tidak memakan makanan bernyawa secara tidak langsung juga mencegah pembunuhan makhluk bernyawa sehingga akan dapat menimbulkan sifat Kasih Sayang dan Cinta Kasih sebagaimana prinsip-prinsip pokok Ajaran Sang Buddha.
Hal ini juga tersebut dalam Lankavatara Sutra ” Dengan kekhawatiran akan timbulnya kelaliman atas makhluk hidup, sepatutnya Bodhisattva dalam berlatih diri untuk mencapai Kasih Sayang berpantang makanan daging.”
Demikian juga dalam Brahmajala Sutra terdapat sabda berikut, “Siswa Sang Buddha tidak boleh dengan sengaja makan daging makhluk hidup, karena kalau ia berbuat demikian, maka ia menghancurkan benih-benih Maha Kasih Sayang dan Sifat Kebuddhaan. Ia menyebabkan orang-orang yang bertemu padanya menghindarinya. Karenanya semua Bodhisattva harus pantang makan daging makhluk apapun, sebab makanan hewani merupakan sumber dosa-dosa yang tak terhingga.”
Sang Buddha Menyadarkan Nelayan
Suatu ketika, ada seorang nelayan yang tinggal di dekat gerbang utara kota Savatthi. Suatu hari, melalui kemampuan batin luar biasa, Sang Buddha melihat bahwa telah tiba saatnya bagi nelayan itu untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Maka dalam perjalanan pulang dari berpindapatta, Sang Buddha bersama dengan para bhikkhu, berhenti di dekat tempat dimana Ariya sedang menangkap ikan. Ketika nelayan itu melihat Sang Buddha, dia melemparkan alat penangkap ikannya kemudian datang dan berdiri di dekat Sang Buddha. Sang Buddha mulai menanyakan nama-nama para bhikkhu di hadapan si nelayan, dan akhirnya, Beliau menanyakan nama nelayan itu.
Ketika si nelayan menjawab bahwa namanya adalah Ariya, Sang Buddha berkata bahwa para orang mulia (Ariya) tidak melukai makhluk hidup apapun, tetapi karena si nelayan membunuh ikan-ikan maka dia tidak layak menyandang nama Ariya.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut (Dhammapada Atthakatha, 270), “Seseorang tidak dapat disebut Ariya (orang mulia) apabila masih menyiksa makhluk hidup. Dia yang tidak lagi menyiksa makhluk-makhluk hiduplah yang dapat dikatakan mulia.
Nelayan Ariya mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khobah Dharma Sang Buddha berakhir.
Manfaat Vegetarian
Banyak orang yang tersaru dengan kata vegetarian yang dikira berasal dari kata vegetable (sayur-sayuran). Sebenarnya vegetarian itu berasal dari bahasa latin ‘vegetus’ yang berarti ‘aktif’, ‘yang hidup’, ‘teguh’, ‘bergairah’, dan ‘kuat’. Di Inggris kata Veget ini sempat dipakai untuk mengatakan seseorang yang kuat dan sehat.
Menurut penemuan Victor Stephan Sussman dalam bukunya ‘The Vegetarian Alternative’ , USA: Rodale Press Emmaus, 1978, bahwa orang-orang Inggris dan Amerika sudah memulai vegetarian sejak tahun 1840 dengan prakarsa oleh Pendeta Sylvester Graham (penemu roti Graham crackers), Ellen White (salah seorang pendiri gereja ‘Advent Hari Ke-7), dan John H.Kellog (ahli bedah dan pendiri Sanatorium Battle Creek). Di India dan Tiongkok, vegetarianisme sudah ada jauh sebelum masehi. Para pengikut Sekte Jaisme yang merupakan aliran Hinduisme tertua di India , adalah vegetaris, dimana bertujuan untuk menghormati dan menaruh kasih sayang kepada semua makhluk hidup. Mereka mempunyai disiplin ajaran yang kuat, dilarang membunuh makhluk apapun, tetapi mereka meminum susu dan produk yang terbuat dari susu. Para penganut agama Masehi Advent Hari Ketujuh, juga vegetaris, tidak meminum alkohol, merokok ataupun makan atau minuman yang merangsang, Mereka berpendapat bahwa tubuh manusia adalah rumah Tuhan [A Temple of God] sehingga janganlah menjadikan tubuh manusia ini sebagai kuburan hewan. Demikian juga beberapa ajaran mistik kuno Yunani dan para pengikut Pythagoreanisme, Manichaeanisme, dan Sikhisme yang sangat menekankan vegetarian karena konsep reinkarnasi dan hukum karma yang dianut ajaran tersebut. Kaum Essenes yang dikenal sebagai kaum spiritual ‘orang suci berjubah putih’, ataupun ‘putra cahaya’, hidup di Qumran, sekitar Laut Mati, Jerusalem , yang hidup pada eranya Yesus Kristus, juga menganut doktrin hukum Karma, sehingga terkenal sebagai vegetaris yang taat.
Terlepas dari itu semua, bahwa sesuai dengan hasil survey yang pernah dilakukan, diketahui dalam tubuh seorang atlit yang vegetarian lebih baik daya tahannya daripada yang non-vegetarian. Hal ini juga dibuktikan oleh Carl Lewis, seorang vegetarian yang terkenal sebagai juara lari kelas dunia. Demikian juga ditinjau dari sudut kesehatan, dimana makanan daging mengandung lemak jenuh berkolesterol tinggi serta berita-berita mengenai hewan-hewan tertentu yang terjangkit virus yang membahayakan manusia, seperti kasus virus sapi gila [madcow disease] di Eropa (tahun 1997) kasus virus flu unggas yang menyerang ayam dan bebek di Hong Kong (1998). Demikian juga dengan kasus virus babi Jepang [Japanese encephalitis virus] yang melanda Malaysia sebagai negara penghasil ternak babi terbesar di dunia (tahun 1999), telah mengubah selera makan kebanyakan orang Amerika, Eropa dan Asia menjadi vegetarian atau mengurangi konsumsi daging dalam menu harian mereka. Di Indonesia, pada sekitar bulan Mei 1999, diberitakan bahwa residu obat antibiotik (penisilin, makrolida dan tentrasiklin) dan pestisida di dalam hewan peliharaan sangatlah mengkhawatirkan. Hal ini sesuai dengan hasil riset dari Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (PPMSOH), dimana residu yang terdapat pada hewan peliharaan tersebut apabila dikomsumsi sebagai daging dalam menu harian , maka dapat berdampak kanker hati , gagal ginjal, kebutaan, meningitis dan gangguan hoemapoetik (akibat timah hitam). Selain itu juga dapat berdampak pada kekebalan tubuh terhadap antibiotik yang kemungkinan bisa juga menyebabkan mutasi (genetik) kuman (‘Suara Pembaharuan’ tanggal 1 Mei 1999). Terakhir kasus dioksin yang menggoyangkan kembali daratan Eropa, dimana menurut penelitian terdapat hampir seluruh produk makanan yang berasal dari hewani tercemar dioksin, suatu kelompok 75 senyawa kimia yang berasal dari resin mengandung dioksin khlorin yang kebanyakan terdapat dalam bahan-bahan plastik. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan salah satu jenis dioksin, yaitu tetrachlorodibenzo-p-dioxin, sebagai karsinogenik kelas satu, atau penyebab kanker buatan manusia yang paling berbahaya dan beracun. Sehingga pemerintah Belgia, Belanda, Perancis, dan kebanyakan negara-negara lainnya di dunia (termasuk di Indonesia) mengumumkan untuk menarik semua produk-produk asal hewani yang diproduksi dari Belgia (‘Kompas’, tanggal 17 Juni 1999).
Ada kekhawatiran juga bahwa dengan makanan vegatarian yang terdiri dari sayur-sayuran, buah-buahan, kentang, umbi-umbian, jamur, kacang-kacangan dan lain sebagainya , tidaklah cukup untuk menghasilkan protein yang dibutuhkan oleh tubuh manusia untuk dapat hidup secara sehat. Tempe dan tahu yang dibuat dari kacang kedelai telah diteliti mengandung sumber protein yang sangat baik untuk tubuh manusia selain dapat mencegah kanker payudara. Demikian juga kacang-kacangan lainnya seperti kacang panjang, diketahui sangat bermanfaat untuk para penderita kencing manis. Sudah banyak hasil penelitian yang mengklasifikasikan protein tumbuh-tumbuhan lebih besar kandungannya dari protein hewani. Sehingga tidak terdapat alasan yang cukup untuk kita harus menghindari memakan makanan non-hewani karena takut tidak terpenuhi kebutuhan protein. Tidaklah mengherankan apabila sekarang kita dapat menjumpai adanya rumah-sakit yang menyediakan makanan khusus vegetarian bagi pasiennya. Demikian juga terdapat banyak sekali dokter yang selalu menyarankan pasiennya untuk mengurangi makanan daging dengan memakan lebih banyak sayuran dan buah-buahan.
Memang sangat sulit untuk kita yang sudah terbiasa mengkonsumsi daging dalam menu kita agar dapat menjadi seorang vegetarian. Urusan menikmati makanan enak merupakan kesenangan duniawi yang mendapatkan tempat di urutan kedua setelah kenikmatan seksualitas. Makanan daging yang memang lebih enak dibandingkan dengan makanan non-hewani, sering mengarahkan seorang pemangsa daging ini mencoba berbagai variasi daging yang tidak pada umumnya, seperti kodok, burung dara, ular, biawak, tikus muda, buaya, monyet, penyu, harimau, cecak, kecoa, jangkrik, dan sebagainya. Daging-daging demikian sering dimakan bersama arak tertentu dimana, dengan tanpa didukung oleh suatu bukti penyelidikan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, diklaim mampu membangkitkan sifat kejantanan seorang lelaki ataupun menambah keberanian seseorang. Sehingga hal ini sering dijadikan alasan oleh para kaum pendukung makanan hewani dengan mengaburkan pandangan kemajuan batin seseorang yang dapat dikaitkan dari diet makanan non-hewani. Berbagai argumentasi berusaha diciptakan dari peninggalan kitab-kitab suci hanya semata-mata untuk mempertahankan pendapat tersebut. Dimana tanpa mereka sadari, hal tersebut telah mengukung pendapat yang dibuatnya, sehingga akhirnya pembunuhan berbagai makhluk hidup terus berlangsung setiap saat hanya semata-mata untuk kepuasan para pemakan daging.
Walaupun demikian, terdapat juga banyak pendapat yang setelah menapaki jalur spiritual murni, menyadari bahwa kebiasaan memakan daging dan meminum arak sangatlah tidak baik untuk kemajuan batin seseorang. Khususnya para pendukung ajaran yang mempercayai hukum karma dan kelahiran kembali, mempercayai akan menerima akibat dari perbuatan memakan daging. Demikian juga para pendukung curahan sifat Kasih yang murni terhadap seluruh makhluk hidup sebagai suatu eksistensi yang mempunyai hak hidup di alam semesta ini dengan alasan bagaimana mereka mampu bertemu Yang Maha Pengasih apabila mereka memangsa ciptaanNya juga. Walaupun tumbuh-tumbuhan juga memiliki unsur kehidupan, namun dalam memilih makanan, para pendukung vegetarian tersebut senantiasa berusaha memakan makanan yang berasal dari kesadaran yang paling rendah dimana hanya menyebabkan penderitaan yang sedikit sekali seperti tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan jelas sekali tidak memiliki kaki, tangan, sisik, ekor, darah ataupun alat pencernaan. Apabila kita memotong sebatang kangkung , maka kangkung tersebut masih akan dapat tumbuh lagi menjadi dua tiga cabang yang tentunya tidak bisa dilakukan dengan apabila kita memenggal kepala seekor sapi. Beberapa rekan yang telah berhasil menjalani kehidupan vegetarian memberikan tenggang waktu 2 minggu bahkan sampai 2 bulan untuk melihat berhasil tidaknya seseorang menjadi vegetarian. Mereka pada umumnya memberikan pendapat yang sangat positif sesudah menjalani kehidupan vegetarian seperti kesehatan yang stabil, kesabaran, konsentrasi dalam meditasi, dan sebagainya
Secara biologi, dapat kita ketahui bahwa usus manusia bukanlah diciptakan untuk mengkonsumsi daging [carnivora] karena usus manusia sangatlah panjang sehingga dikhawatirkan apabila mengkonsumsi daging akan menimbulkan penimbunan yang terlalu lama di usus [colon] sehingga mengalami pembusukan yang dapat menyebabkan kanker usus. Demikian juga, kita tidak perlu harus memperlakukan perut kita itu sebagai tempat pembakaran bangkai binatang [crematorium].
Terdapat hasil survey yang telah dilakukan, bahwa apabila suatu masyarakat dalam suatu negara tertentu menggantikan pola kehidupan peternakan dengan pertanian, maka terdapat curva efisiensi ekonomi yang cenderung sangat menguntungkan dari sisi pendapatan dan lingkungan hidup.
Berbagai Pola Vegetarian
Kebiasaan makan daging sebenarnya telah terbentuk sejak kecil, sehingga memang tidak gampang untuk dapat mengganti begitu saja pola makan daging yang telah terbentuk tersebut.
Dalam penerapan pola vegetarian, terdapat beberapa alternative yang sebenarnya dapat juga merupakan suatu tahapan dalam mewujudkan latihan vegetarian dari pemula kemudian menjadi vegetarian murni [vegan] , yaitu:
Vegetarian hari tertentu [semi vegetarian], dimana seseorang itu hanya mengkonsumsi daging pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada saat pesta atau tidak mengkonsumsi daging pada hari-hari tertentu, misalnya pada tanggal lunar 1 dan 15.
Vegetarian dengan pantangan daging tertentu [partial vegetarian], dimana tidak memakan daging tertentu misalnya daging merah yang berasal dari hewan mamalia seperti lembu, kambing, dan babi.
Vegetarian dengan pantangan semua daging termasuk seafood tetapi boleh telur dan susu beserta hasil produknya [lacto ovo vegetarian / lactovarian].
Vegetarian dengan pantangan semua daging dan telur tetapi boleh susu dan hasil produk susu [lacto vegetarian / lactarian]
Vegetarian murni dgn tidak memakan, meminum ataupun memakai semua produk dari makhluk hidup [strict vegetarian/total vegetarian/vegan]
Situasi krisis ekonomi yang sedang melanda berbagai negara belakangan ini dapat juga merupakan suatu kondisi yang tepat untuk segera mengubah pola died vegetarian dengan mengurangi pembelian daging ayam, babi, sapi, dan kambing yang harganya jauh lebih mahal daripada tahu, tempe, kentang, dan jagung.
Pola makan vegetarian ini sangatlah cocok untuk dipromosikan oleh segala umat beragama yang penuh kasih dan cinta akan kebahagiaan dan kedamaian bagi semua makhluk hidup di muka bumi ini. Kita dapat juga melihat contoh para Guru Agung spiritual terdahulu yang kebanyakan menjalani hidup vegetarian, bahkan dalam bukunya John Davidson, The Gospel of Jesus – In Search of His Original Teachings, diargumentasikan bahwa Yesus dan murid-murid utamaNya termasuk adikNya, James adalah vegetarian. Dapat diteliti juga dalam Kitab Kejadian 1:29, dimana Allah bersabda, “Lihatlah Aku telah berikan kepadamu tumbuh-tumbuhan berbiji, memenuhi permukaan bumi, dan pohon-pohon berbuah, itulah semua bagimu sebagai makananmu.” Demikian juga disabdakan, “Anda tidak boleh memakan daging yang berdarah sebab kehidupan berada dalam darah.” (Kitab Kejadian 9:4). Yohanes yang juga dikenal vegetarian karena hanya memakan madu hutan dan locust (sejenis pepohonan berbiji yg dinamakan locust tree [Ceratonia siliqua] atau dikenal juga ‘St.John’s Bread’, namun dalam berbagai alkitab di Indonesia diterjemahkan sebagai belalang). Dalam surat Paulus kepada jemaat di Roma tersirat juga pesan vegetarian, “Janganlah engkau merusakkan pekerjaan Allah oleh karena makanan! Segala sesuatu adalah suci, tetapi celakalah orang, jika oleh makanannya orang lain tersandung! Baiklah engkau jangan makan daging atau minum anggur, atau sesuatu yang menjadi batu sandungan untuk saudaramu.” (Roma 14:20-21). Dalam Al Q’uran terdapat larangan memakan daging binatang yang mati ataupun darah binatang, demikian juga adanya larangan untuk memakan daging dari binatang yang disembelih secara tidak halal (tanpa basmallah). Murid paling terkemuka Nabi Muhammad, kemenakannya sendiri, menasihatkan kepada murid-muridnya, “Jangan jadikan perut kalian itu kuburan binatang.” Tentunya kenyataan seperti ini dapat mengarahkan kita untuk menjalani kehidupan vegetarian yang tidak akan menimbulkan keragu-raguan kita dalam hal memakan makanan non-hewani. Tidak kurang dari itu semua, kita dapat juga melihat kehidupan para Guru Agung spiritual jaman sekarang seperti Supreme Master Ching Hai , Sai Baba, Maharaj Gurinder Singh Ji, Gurumayi Chidvilasananda, Dalai Lama Tenzin Gyatso, Jidhu Krisnamurti, dan masih banyak lagi guru-guru spiritual lainnya yang menjalani kehidupan vegetarian (strict vegetarian/vegan) dengan berlandaskan Cinta Kasih dan Kasih Sayang yang luar biasa. Guru Sejati, Supreme Master Ching Hai yang sejak kecil telah menjadi vegetarian mengatakan, “Jika seseorang benar-benar baik hati, mengapa ia masih makan daging makhluk lainnya? Melihat mereka menderita seharusnya ia tidak tega memakannya! Pemakan daging tidak mengenal welas asih, jadi bagaimana ini dapat dilakukan oleh seorang yang baik hati?”
Mudah-mudahan dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama, akan makin banyak terdapat makanan sajian vegetarian di berbagai pojok makanan (food-court), restoran dan tempat-tempat lainnya di Indonesia sebagaimana sering kita lihat di luar negeri. Sehingga tidak ada alasan lagi bagi kita untuk tidak memulai memakan vegetarian dengan mengatakan susah untuk memperoleh makanan vegetarian. Kita harus menyadari bahwa , ‘makan adalah untuk hidup, bukanlah hidup untuk makan’.
14
SILA – DHARMA KEBAJIKAN MORAL
Pelaksanaan Sila dalam Buddhisme adalah merupakan suatu kebajikan moral, etika atau tata-tertib dalam menjalani kehidupan dimana akan mampu menuntun seseorang itu bertingkah laku secara baik dan benar bagi diri sendiri, orang lain termasuk seluruh alam semesta beserta isinya. Kebajikan moral dapat dianggap sebagai suatu dasar yang membentuk semua hal-hal yang positif dalam kehidupan kita saat ini.
“Kebajikan moral adalah sebagai dasar, sebagai pendahulu dan pembentuk dari semua yang baik dan indah. Oleh karena itu , hendaklah orang menyempurnakan kebajikan moral (Sila).” (Theragatha, 612)
Pemahaman berbagai kitab suci agama apabila juga diwujudkan dengan perbuatan atau perilaku yang baik dalam kehidupan sehari-hari (Sila) baik secara badan (kaya), ucapan (vak) dan pikiran (citta) , maka akan tercipta suatu dasar kebajikan moral yang sempurna berupa tingkah laku yang terpuji dan bijaksana.
Sang Buddha bersabda, “Pada orang yang memiliki kebajikan moral yang sempurna, memiliki kebijaksanaan dan pikiran yang terarah, senantiasa melihat ke dalam (diri/batin) dan selalu penuh perhatian murni; demikianlah ia menyeberangi banjir besar.” (Sutta Nipata, 174).
Panca-Sila Buddhis
Pelaksanaan Sila tersebut dapat berupa perbuatan-perbuatan yang pantang dilakukan dimana sebaiknya kita menahan diri [veramani] , yaitu :
Panca-Sila :
Tidak melakukan pembunuhan makhluk hidup [panatipata-veramani]
Tidak mencuri [adinnadana veramani]
Tidak berjinah [kamesumicchacara veramani]
Tidak berbohong [musavada veramani]
Tidak minum minuman memabukkan [surameraya majjapamadatthanna veramani]
Sebagai umat Buddha, kita seharusnya melaksanakan secara konsisten Panca-Sila Buddhis tersebut. Tidak melakukan pembuhuhan makhluk hidup haruslah kita latih mulai dari tidak membiasakan untuk membunuh makhluk terkecil seperti semut dan nyamuk. Adakalanya memang kita jengkel sekali apabila menemukan adanya nyamuk di ruangan kamar kita. Masalahnya harus kita lihat secara jelas, bukan dengan membunuh nyamuk tersebut, melainkan kenapa nyamuk tersebut masuk ke kamar kita. Kemungkinan besar adanya kawat nyamuk yang tidak terpasang secara baik, ataupun pintu kamar yang tidak senantiasa ditutup. Itulah yang harus kita selesaikan, karena kalau tidak maka nyamuk tersebut akan terus berdatangan setiap hari. Dari melihat kebiasaan-kebiasaan kecil inilah, kita akan mampu melihat kepada ruang lingkup yang lebih luas. Dapat kita bayangkan kedamaian di dunia ini, apabila setiap orang selalu menghindari pembunuhan, sehingga tentunya perang yang sering melanda berbagai tempat dapat berubah menjadi pesan-pesan kasih yang lebih berarti. Akibat buruk dari perbuatan membunuh adalah umur pendek, kesehatan yang buruk, selalu berduka karena berpisah dengan mereka yang dicintai, dan hidup selalu dalam bayang-bayang ketakutan.
Perbuatan mencuri adalah perbuatan yang paling hina karena mengambil hak milik orang lain tanpa sepengetahuan ataupun seijin orang bersangkutan. Apabila terdapat suatu barang yang kita ambil tanpa diberikan oleh pemiliknya kepada kita, walaupun menurut kita barang tersebut kemungkinan besar tidak dipakai lagi, tetap hal ini dianggap sebagai pencurian. Keinginan untuk mencuri juga merupakan suatu kehendak yang tidak baik, karena keinginan tersebut akan menyebabkan tindakan yang sesungguhnya. Akibat buruk dari perbuatan mencuri adalah kemiskinan, penderitaan yang berkepanjangan, kekecewaan, dan kehidupan yang selalu bergantung pada orang lain.
Sudah banyak kita dengar dan baca dari berbagai media mengenai pelanggaran seksual yang sangat kental dengan dunia kejahatan. Pelanggaran seksual ini semakin sulit untuk dihindari apalagi ditunjang oleh kebebasan media dalam mengeksploitasikan berbagai cerita pemuasan, kejahatan hubungan seksualitas ataupun mengeksploitasikan keindahan tubuh wanita. Pikiran yang tidak terkendali untuk menikmati kepuasan hubungan seksualitas dengan pasangan hidup suami atau istri, dapat menyebabkan hubungan intim di luar pasangan hidupnya masing-masing. Dalam penjabarannya mengenai sila pelanggaran seksual ini termasuk hubungan seksual yang bukan dilakukan oleh pasangan hidup yang telah menikah, ataupun hubungan seksual yang menyimpang. Akibat pelanggaran seksualitas maka seseorang itu akan menjalani kehidupan dimana memiliki banyak musuh, mendapatkan pasangan hidup yang tidak diinginkan, dan lahir sebagai lelaki atau perempuan yang bertingkah laku tidak sebagai lelaki ataupun sebagai perempuan (banci).
Berbicara yang tidak benar yaitu: berbohong, memfitnah, menipu, berbicara kasar, dan bergunjing adalah merupakan perbuatan yang sangat tidak terpuji. Sekali kita berbicara tidak benar maka akan dicap sebagai pembohong, pemfitnah dan penipu untuk suatu jangka waktu yang sulit dilupakan orang begitu saja. Demikian juga kebiasan kita mencaci maki seseorang dengan kata-kata yang kasar akan menciptakan kebencian orang lain terhadap diri kita sendiri. Akibat dari pembicaraan yang tidak benar tersebut akan menyebabkan kita sering dicaci maki, difitnah, tidak dipercaya, mulut yang bau, pecahnya persahatan tanpa ada sebab yang memadai, dibenci, memiliki suara yang parau, cacat alat tubuh, dan pembicaraan yang tidak masuk diakal.
Kebanyakan agama di dunia ini selalu mengajarkan untuk menghindari dari meminum minuman memabukkan atau minuman keras mengandung alkohol, karena minuman keras demikian akan menyebabkan seseorang kehilangan kesadarannya dimana dapat menyebabkannya berbuat kriminal sebagaimana sudah sering dilansir di berbagai berita harian surat kabar. Akibat dari ketagihan akan minuman keras dimana sering kehilangan kesadaran dirinya, maka akan menyebabkan seseorang itu terlahir di alam yang menyedihkan ataupun kalau terlahir di alam manusia akan memiliki ingatan atau kesadaran jiwa yang lemah.
Selain itu dalam Buddhisme Mahayana juga menjabarkan lebih lanjut dalam Sad Paramita yaitu Sila Paramita dengan hal-hal yang pantang dilakukan sebagai 10 perbuatan buruk (kusala karma) yang diistilahkan virati (pantangan) sebagaimana tercatat dalam Dasabhumika Sutra, Satasaharrika Prajnaparamita dan Maha-Vyutpatti yaitu :
Perbuatan yang pantang untuk dilakukan oleh Tubuh/Badan [kaya]
Yaitu suatu perbuatan yang pantang dilakukan oleh anggota tubuh (badan) kita. Terdapat 3 (tiga) pantangan yang harus diperhatikan yaitu pantangan membunuh, pantangan mencuri dan pantangan berjinah.
1. Pantangan membunuh [Pranatipatad-virati]
Pantangan membunuh tersebut dapat dijabarkan dengan tidak membunuh ataupun menyiksa tubuh atau badan yang mengandung kehidupan [pranin], yang besar atau yang kecil, yang berdosa atau tidak berdosa, selama makhluk itu masih hidup [pranin]. Sila ini mengajarkan agar kita selalu memiliki sifat Cinta Kasih dan Kasih Sayang terhadap semua makhluk hidup.
2. Pantangan mencuri [Adattadanad-virati]
Pantangan mencuri dapat diartikan bahwa kita tidak boleh mengambil atau memiliki sesuatu apakah berharga ataupun tidak berharga apabila tidak diijinkan oleh pemiliknya. Pelaksanaan Sila ini akan mengakibatkan kita selalu merasa puas terhadap apa yang telah kita miliki.
3. Pantangan melakukan perbuatan berjinah [Kamamithayacara-virati]
Pantangan melakukan perbuatan berjinah dapat diartikan tidak melakukan persetubuhan dengan pasangan yang bukan merupakan suami atau istri sendiri. Sila ini mengajarkan agar kita tidak terjerumus dalam hawa nafsu birahi yang rendah.
Perbuatan yang pantang untuk dilakukan oleh ucapan [Vak]
Yaitu suatu pantangan perbuatan yang dilakukan melalui ucapan . Terdapat 4 (empat) perbuatan yang pantang dilakukan yaitu pantangan berdusta, pantangan menyebarkan isu yang tidak benar, pantangan mengucapkan kata-kata kotor, dan pantangan melakukan pembicaraan yang sia-sia.
4. Pantangan berdusta [Mrsavadad-virati]
Pantangan berdusta berarti kita harus berbicara secara jujur dimana dengan kekuatan kejujuran tersebut akan dapat dimanfaatkan untuk menghadapi segala rintangan. Sila ini mengajarkan agar kita senantiasa berterus terang dan bersikap konsekwen terhadap segala sesuatu yang telah diucapkan .
5. Pantangan menyebarkan isu yang tidak benar [Paisunyad-virati]
Hal ini berarti kita tidak boleh menyebarkan berita-berita yang tidak benar (palsu) dengan tujuan merugikan orang lain, menimbulkan pertentangan dan perpecahan kelompok/masyarakat. Pelaksanaan Sila ini akan menyebabkan kita senatiasa memiliki sifat toleransi dan kesabaran yang tinggi serta hidup dengan penuh kedamaian.
6. Pantangan mengucapkan kata-kata kotor [Parusyad-virati]
Larangan ini dapat diartikan agar kita tidak mencaci-maki dengan kata-kata kasar, kotor, tajam, penuh penghinaan ataupun yang dapat menyinggung perasaan seseorang. Sila ini mengajarkan agar kita dapat bersikap sopan santun, sabar dan penuh kewibawaan serta bijaksana.
7. Pantangan melakukan pembicaraan sia-sia [Sambhinnapralapad-virati]
Artinya segala pembicaraan yang kita lakukan haruslah dipikirkan terlebih dahulu dan tidak melakukan suatu pembicaraan yang tidak berguna. Sila ini mengajarkan agar kita dapat bersikap dewasa dan penuh pengertian.
Perbuatan yang pantang untuk dilakukan oleh pikiran [Citta]
Yaitu suatu pikiran-pikiran yang tidak baik dimana tidak kelihatan oleh orang lain, hanya diri kita sendiri yang dapat mengetahuinya. Terdapat 3 (tiga) perbuatan yang pantang dilakukan oleh pikiran yaitu pantang memikirkan nafsu serakah, pantang berniat jahat dan pantang berpandangan sesat.
8. Pantangan memikirkan nafsu serakah [Abhidhyaya-virati]
Pantangan ini dapat diartikan bahwa kita janganlah memikirkan sesuatu untuk memenuhi keinginan dalam memiliki sesuatu yang tidak baik atau sesuatu yang bukan merupakan milik/hak kita. Pelaksanaan Sila ini akan mengajarkan kita menghadapi realita hidup ini dengan penuh keyakinan dan kebijaksanaan.
9. Pantangan berniat jahat [Vyapadad-virati]
Pantang berniat jahat dapat diartikan bahwa kita janganlah mempunyai pikiran untuk berbuat jahat sehingga tidak terperangkap dalam niat jahat tersebut yang dapat mendorong kita untuk melakukan perbuatan jahat tanpa kita sadari. Sila ini mengajarkan agar kita selalu mensucikan pikiran kita dari segala niat jahat sehingga kita dapat bertindak secara bijaksana.
10. Pantangan berpandangan sesat [Mithyadrster-virati]
Hal ini dapat diartikan bahwa kita janganlah mempunyai pandangan yang keliru terhadap segala sesuatu. Pelaksanaan Sila ini akan membuat kita tidak terperangkap dalam kesesatan pikiran yang dapat mengakibatkan perbuatan-perbuatan yang tidak baik oleh tubuh dan ucapan .
Selain perbuatan-perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan atau dimana kita harus menahan diri dari melakukan perbuatan-perbuatan tersebut, maka terdapat juga beberapa sifat dimana seharusnya kita pancarkan untuk kebahagiaan semua makhluk karena akan memperkokoh pelaksanaan Sila-sila tersebut di atas, antara lain :
Panca-Dharma atau dikenal juga sebagai Panca Kalyana-Dharma, terdiri dari:
Sifat Cinta Kasih dan Kasih Sayang [Metta Karuna/Maitri Karuna].
Pencaharian Benar [Samma-Ajiva/Samyak Ajiva]. Dalam melakukan pencaharian yang benar ini, haruslah kita ingat bahwa terdapat lima macam perdagangan yang dilarang [micchavanija/mithyavanijya], yaitu (a) memperdagangkan senjata [sattha-vanijja/sastra-vanijya]; (b) memperdagangkan makhluk hidup (menjadi germo ataupun memperjual-belikan budak) [satta-vanijja/sattva-vanijya]; (c) memperdagangkan daging [mamsa-vanijja/mamsa-vanijya]; (d) memperdagangkan minuman yang memabukkan [majja-vanijja/madya-vanijya]; dan (e) memperdagangkan racun [visa-vanijja/visa vanijya].
Menunjukkan sifat yang tidak mencerminkan nafsu indera rendah [Kamasamvara/Kamasamvara].
Menjunjung tinggi kebenaran baik dalam perbuatan, ucapan ataupun pikiran [Sacca/Satya].
Memiliki tingkat kesadaran yang benar [Sati-Sampajanna/Smrti-Samprajnya].
Selain itu, terdapat juga enam sifat baik [Ajjhasaya/Adhiasaya] yang semestinya dikembangkan untuk mendukung pelaksanaan Sila, yaitu:
Sifat tidak tamak atau sifat senang berdana [Alobha]
Sifat tidak membenci atau senang mendoakan kebahagiaan semua makhluk [Adosa]
Sifat tidak bodoh atau senang belajar Dharma dimana dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk [Amoha]
Sifat tidak melekat pada nafsu seksualitas atau senang dalam ketentraman [Naiskramya/Nekkhamma]
Sifat suka akan ketenangan atau senang dalam ketentraman [Praviveka/Paviveka]
Sifat yang tertarik pada Nirvana atau senang berusaha terbebas dari kelahiran di 31 Alam Kehidupan [Nihsarana/Nissarana].
Bukanlah kelahiran yang menjadikan kita itu suci atau hina, melainkan perbuatanlah yang akan menilai kita itu sebagai suci atau hina. Ajaran Sang Buddha tidak mempermasalahkan kehidupan sebelumnya, tetapi lebih mementingkan kehidupan saat ini sebagai cerminan kehidupan sebelumnya dan derap langkah awal kehidupan yang akan datang. Sehingga dalam kehidupan saat ini, kita haruslah senantiasa berjuang demi kesucian karena kesalahan seujung rambutpun akan kelihatan sebesar mendung hitam.
Sang Buddha bersabda, “Seseorang tidaklah hina karena kelahiran, tidak juga kelahiran menjadikan seseorang suci. Hanya perbuatan (Sila) yang membuat seseorang menjadi hina, hanya perbuatan yang membuat seseorang menjadi suci. ” (Sutta Pitaka, 136) .
“Bagi orang yang tanpa kejahatan, selalu berjuang demi kesucian, kesalahan seujung rambutpun tampak sebesar mendung hitam.” (Theragatha, 1001)
15
BERDANA – DHARMA KEMULIAAN
Pengertian Berdana
Berdana merupakan suatu sifat kemuliaan yang sangat ditekankan dalam berbagai aliran Buddhisme. Berdana yang dilakukan dengan keyakinan, penuh hormat, secara tepat waktu, ikhlas dan tanpa merugikan diri sendiri ataupun pihak lain akan menghasilkan buah karma yang baik berupa kemakmuran, kekayaan, dan harta benda yang berlimpah, sebagaimana sabda Sang Buddha pada Anguttara Nikaya Vol. III, 48)
“Oh, para bhikhu, kelima hal ini adalah dana dari seorang yang baik. Apakah kelima hal itu ? Ia berdana dengan keyakinan ; ia berdana dengan hormat; ia berdana tepat pada waktunya; dengan hati ikhlas; dan ia berdana tanpa merugikan dirinya sendiri ataupun pihak lain.”
“Dengan memberikan dana dengan keyakinan dimanapun juga, dan jika buah dari dana tersebut masak, maka akan datanglah kemakmuran, kekayaan, dan harta benda yang berlimpah; serta ia akan elok dipandang, tampan/cantik, bagaikan keindahan bunga teratai yang mengagumkan.”
“Dengan berdana secara hormat dimanapun juga, dan jika buah dari dana tersebut masak, maka ia akan memperoleh kemakmuran , kekayaan, dan harta benda yang berlimpah; dan anak-istrinya, para pesuruh dan pegawainya akan mendengarkan kata-katanya dengan sabar dan patuh, serta akan melayaninya dengan hati yang penuh pengertian.”
“Dengan berdana secara tepat waktu dimanapun juga, dan jika buah dari dana tersebut masak, maka ia akan memperoleh kemakmuran, kekayaan, dan harta benda yang berlimpah; dan kebaikan akan datang kepadanya tepat pada waktunya dan berlimpah ruah.”
“Dengan berdana secara ikhlas dimanapun juga, dan jika buah dari dana tersebut masak, ia akan memperoleh kemakmuran, kekayaan, dan harta benda yang melimpah; dan pikirannya akan menikmati sepenuhnya kebahagiaan dari kelima panca inderanya.”
“Dengan berdana tanpa merugikan diri sendiri maupun pihak lain dimanapun juga, dan jika buah dari dana tersebut masak, ia akan memperoleh kemakmuran, kekayaan, dan harta benda yang berlimpah; dan tidak akan ada dari manapun juga sesuatu yang akan merugikan harta bendanya ; baik api atau air, pemerintah atau pencuri, atau ahli waris yang berwatak buruk.”
Berdana tidak hanya ditinjau dari sudut materi saja tetapi juga bisa dari pembicaraan yang ramah, senyuman yang tulus, budi pekerti yang menyenangkan, dan memberikan pengertian yang benar mengenai Ajaran Sang Buddha.
“Memberi makanan, seseorang memberikan kekuatan; memberi pakaian, seseorang memberikan keindahan; memberi penerangan, seseorang memberikan penglihatan; memberi angkutan, seseorang memberikan kesenangan; memberi perlindungan, seseorang memberikan semuanya; tetapi seseorang yang mengajarkan Dharma, Ajaran Sang Buddha yang istimewa, orang seperti itu memberikan makanan surgawi.” (Samyutta Nikaya, I, 32)
“Kedermawanan, perkataan yang ramah, melakukan hal yang baik untuk orang-orang lain, dan memperlakukan semua orang secara sama; bagi dunia, tali-tali simpati ini bagaikan penyambung roda kereta.” (Anguttara Nikaya, Vol. 32)
Tentunya dalam berdana secara materi kepada yang membutuhkan , haruslah sumber dana tersebut diperoleh dari usaha sendiri yang dihimpun secara benar.
“Dengan kekayaan yang dihimpun secara benar, yang diperoleh melalui usaha sendiri, ia membagikan makanan dan minuman kepada makhluk-makhluk yang membutuhkan.” (Itivuttaka, 66)
Untuk dapat menghimpun dana secara benar, maka kita haruslah giat dalam bekerja dan senantiasa mengumpulkan bekal secara benar sewaktu masih muda, sebagaimana sabda Sang Buddha:
“Mereka yang tidak menjalankan kehidupan suci serta tidak mengumpulkan bekal (kekayaan) selagi masih muda , akan merana seperti bangau tua yang berdiam di kolam yang tidak ada ikannya. Mereka yang tidak menjalankan kehidupan suci serta tidak mengumpulkan bekal (kekayaan) selagi masih muda, akan terbaring seperti busur panah yang rusak, menyesali masa lampaunya.” (Dhammapada, 155, 156).
Dengan senantiasa berdana yang terbaik dalam segala hal maka akan terbina sifat kemuliaan yang tak terkira.
“Yang memberikan hal-hal yang baik akan memperoleh yang baik;
Yang memberikan hal-hal yang terbaik akan memperoleh yang terbaik;
Yang memberikan hal-hal yang terpilih akan menerima yang terpilih;
Yang memberikan hal-hal yang utama maka keutamaan akan dimenangkannya;
Ia yang memberikan yang terbaik, yang terpilih, yang utama
maka orang itu akan mempunyai kemuliaan dan umur panjang dimanapun juga ia berada.” (Anguttara Nikaya, vol . III, 44)
Dalam melakukan puja bhakti di setiap vihara , biasanya diberikan kesempatan juga kepada para umatnya untuk melakukan Dharma Dana, yang biasanya diiringi dengan nyanyian berikut :
“DANA PARAMITA”
Marilah kita berdana, Untuk kepentingan Dhamma
Semoga kita diberkahi, Oleh Buddha Maha Suci
Berdanalah kita semua, Dengan hati ikhlas rela
Semoga karma baik kita, Dirahmati Sang Tri -Ratna
(dan dalam kebaktian Mahayana, ditambahkan lagi sebagai berikut )
Marilah kita berdana, Menimbun Kusala kamma
Semoga kita diberkahi, Bodhisattva Makhluk Suci
Sang Avalokitesvara, Selalu memberkahi kita
Semoga hidup kita bahagia, Untuk selama-lamanya.
Sekilas mengenai berbagai jenis Dana
Berikut ini dikutipkan jawaban-jawaban dari alm. Bhikkhu Ledi Sayadaw atas pertanyaan mengenai Dana sewaktu Beliau masih tinggal di daerah Chipagan, Burma yang didasarkan atas Tipitaka Pali, Atthakatha dan Tika.
Thavara Dana; Pemberian yang bersifat tahan lama, misalnya stupa, rumah peristirahatan, vihara, sekolah, jembatan, sumur, menara air, tanah, dsb.
Athavara Dana; Pemberian yang sifatnya tidak tahan lama, misalnya makanan, pakaian, dan uang. Athavara Dana yang diberikan terus menerus akan menghasilkan buah yang sama kuat dengan Thavara Dana.
Amisa Dana; Berdana dalam bentuk materi termasuk uang untuk membangun vihara.
Dhamma Dana; Berdana pengetahuan Buddhadharma, misalnya berdana buku-buku Buddhadharma, mencetak, menulis, menterjemahkan, menyunting, mengajar, memberi khotbah Dharma. Sang Buddha bersabda, “Danam Dhamma Danam Jinati” , yang artinya, “Dari semua pemberian, pemberian Dharma-lah yang tertinggi.” Dharma Dana menghasilkan kebijaksanaan dan pengetahuan.
Nicca Dana; Pemberian yang dilakukan secara teratur dan tetap. Seseorang tidak akan dilahirkan di alam Apaya (menderita) apabila dia melakukan Nicca Dana.
Anicca Dana; Pemberian yang dilakukan kadang-kadang saja
Vatta Nissita Dana; Pemberian yang dilakukan untuk mengharapkan keuntungan-keuntungan yang bersifat duniawi. Keuntungan duniawi meliputi keinginan untuk dilahirkan di alam-alam dewa, dilahirkan sebagai anak orang kaya. Pemberian dana semacam ini cenderung akan memperpanjang Samsara (lingkaran kehidupan dan kematian).
Vivatta Nissita Dana; Pemberian dengan tujuan untuk membebaskan diri dari kesengsaraan [samsara] dengan tercapainya Kebebasan [Nibbana].
Puja Dana; Pemberian kepada orang-orang yang menjalankan sila dan orang-orang mulia. Atau orang yang mempunyai status lebih tinggi sebagai tanda hormat.
Anuggaha Dana; Pemberian kepada orang yang lebih rendah.
Sankhara Dana; Pemberian Dana setelah mendapat dorongan atau anjuran dari orang lain. Apabila berbuah akan menjadikan seseorang itu berpikir lamban dan bodoh.
Asankhara Dana; Pemberian yang dilakukan atas kehendak sendiri, tanpa dorongan dari orang lain. Apabila berbuah akan menjadikan seseorang itu cerdas dan pandai.
Jana Dana; Pemberian yang dilakukan dengan sepenuh pengertian akan akibat-akibatnya.
Ajana Dana; Pemberian yang dilakukan dengan tidak mengerti/mengetahui apa akibatnya.
Vatthu Dana; Pemberian barang materi.
Asankhara Dana; Pemberian berupa suatu kebebasan pada suatu makhluk dari bahaya atau dari kematian, misalnya membebaskan hewan-hewan dari kurungan (yang telah ditangkap), larangan untuk berburu di hutan, melatih/mematuhi Pancasila Buddhis, dan sebagainya.
Ajjhatika Dana; Pemberian berupa anggota badan, misalnya mata, badan jasmani, dan mengorbankan jiwa sendiri untuk kebaikan dan kebahagiaan orang lain. Termasuk dalam hal ini adalah melakukan donor darah.
Bahira Dana; Pemberian biasa, tidak berupa anggota tubuh sendiri.
Hina Dana; Pemberian yang dilakukan dengan harapan mendapat kemasyuran.
Majjhima Dana; Pemberian yang dilakukan dengan tujuan untuk dapat dilahirkan sebagai manusia yang kaya.
Panita Dana; Pemberian yang dilakukan dengan harapan untuk mencapai kebebasan [Nibbana].
Dasa Dana; Pemberian yang bernilai rendah, misalnya sesuatu yang biasa diberikan kepada seorang budak.
Sahaya Dana; Pemberian yang mempunyai tingkat yang sama dengan apa yang biasa digunakan seseorang yang sama kedudukannya, misalnya sesuatu yang diberikan kepada seorang teman.
Sami Dana; Pemberian yang bernilai tinggi, misalnya sesuatu yang bisa dipakai oleh para majikan atau raja-raja.
Loka Dana; Pemberian yang dilakukan karena tradisi setempat dalam arti takut dipandang rendah bila tidak ikut berdana.
Atta Dana; Pemberian yang dilakukan untuk menjaga kewibawaan/pangkat seseorang.
Dhamma Dana; Pemberian yang dilakukan karena ingin mempraktekkan ajaran agama.
Civara Dana; Pemberian jubah kepada bhikkhu.
Pindapatta Dana; Pemberian makanan kepada bhikkhu.
Bhesajja Dana; Pemberian makanan kepada bhikkhu.
Senasana Dana; Pemberian tempat tinggal atau kuti kepada bhikkhu. Sang Buddha bersabda, “Vihara Danam Sanghassa Aggam Buddhena Vannitam”, yang artinya, “Sebuah tempat tinggal bhikkhu yang diberikan kepada Sangha dipuji oleh Sang Buddha sebagai pemberian hadiah tertinggi.” Demikian juga, “Soca Sabbadado Hoti, Yo Dadati Upassayam”, yang artinya, “Seseorang yang mendirikan tempat tinggal bhikkhu sebagai hadiah kepada Sangha, sama nilainya dengan segala macam hadiah.”
Dakkhina Visuddhi Dana; Penggolongan ini didasarkan atas:
– Sifat si pemberi yang berbudi luhur atau menjalankan sila
– Sifat si pemberi yang tidak berbudi luhur atau tidak menjalan sila
– Sifat si penerima yang berbudi luhur atau menjalankan sila
– Sifat si penerima yang tidak berbudi luhur atau tidak menjalankan sila.
Jika pemberian dana tersebut dilakukan dimana kedua-duanya berbudi luhur, maka akan menghasilkan buah yang banyak. Jika salah satunya tidak berbudi luhur, maka buah yang diperolehnya hanya sedikit.
Sakkacca Dana; Pemberian dengan hati-hati, sopan, dan penuh hormat.
Asakkacca Dana; Pemberian tanpa sifat-sifat tersebut di atas. Misalnya memberikan makanan kepada hewan, tanpa memperhatikan segi-segi kebersihan dan sebagainya. Jika pemberian dana ini menghasilkan buah maka akan mendapatkan sikap yang kurang hormat atau kasar dari teman, anak atau pelayannya.
Sahatthika Dana; Pemberian dengan tangan sendiri atau secara pribadi.
Anatthika Dana; Pemberian dengan menggunakan perantara, misalnya dengan melalui seorang pelayan. Bila pemberian ini berbuah, kemungkinan akan menghasilkan buah yang disertai dengan tiadanya pengikut atau teman.
Agga Dana; Pemberian sesuatu yang baru dan terbaik.
Ucchita Dana; Pemberian berupa sesuatu yang bernilai rendah misalnya barang sisa. Jika si penerima Ucchita Dana menghargai dan menyukai pemberian ini, maka dana yang diberikan akan tetap membawa hasil yang besar, sejauh pemberian tersebut disertai kehendak [cetana] yang baik dan sikap pikiran yang hormat dan sungguh-sungguh [sakkaca], misalnya pemberian dari seorang yang kaya kepada seorang fakir miskin, ataupun pemberian kepada hewan-hewan peliharaan.
Dhammika Dana; Pemberian yang betul diberikan kepada seseorang atau lembaga yang dituju sejak dari semula.
Adhammika Dana; Pemberian yang sebenarnya akan diberikan kepada seseorang atau sesuatu lembaga, tetapi orang itu mengubah pikirannya dan memberikannya kepada orang lain atau lembaga lain.
Dhamma Dana; Pemberian berupa nasi, air, pakaian, dan sebagainya.
Adhamma Dana; Pemberian berupa minuman keras, senjata, mesiu, alat atau gambar (porno) yang dapat menimbulkan kekotoran batin, dan sebagainya, barang-barang yang berbahaya, yang mungkin menjadikan seseorang melanggar Panati atau Surameraya Sila. Pemberian dana semacam ini akan menghasilkan perbuatan yang tidak baik [akusala kamma]. Tetapi bila seseorang memberikan racun yang diberikan untuk tujuan menyembuhkan penyakit ataupun senjata dan mesiu tidak berbahaya untuk keperluan vihara, maka hal ini adalah perbuatan baik [kusala kamma].
Saparivara Dana; Pemberian yang disertai dengan tambahan-tambahan lain yang lengkap
Aparivara Dana; Pemberian yang tidak disertai dengan tambahan-tambahan lain
Savajja Dana; Pemberian yang disertai kekejaman atau pembunuhan makhluk hidup. Apabila pemberian dana ini menghasilkan buah, maka cenderung disertai dengan adanya bahaya-bahaya atau dapat pula hilangnya jiwa seseorang.
Anavajja Dana; Pemberian yang tidak disertai dengan kekejaman atau pembunuhan makhluk hidup.
Berbagai definisi mengenai jenis dana, mutu dana dan lain sebagainya yang terdapat dalam pengertian di masing-masing Buddhisme, pada dasarnya adalah sama yaitu haruslah dilakukan dengan hati yang penuh keikhlasan, bersuka-cita, penuh kerelaan tanpa mengharapkan imbalan apapun dan penuh hormat sebagaimana seorang bijaksana sehingga akan senantiasa hidup bahagia dalam kehidupan saat ini ataupun alam berikutnya.
Sang Buddha bersabda: “Di dunia ini ia berbahagia, di dunia sana ia berbahagia; pelaku kebajikan berbahagia di kedua dunia itu, ia akan berbahagia ketika berpikir, ‘aku telah berbuat kebajikan’, dan ia akan lebih berbahagia lagi ketika berada di alam bahagia.” (Dhammapada, 18).
Sang Buddha bersabda : “Sesungguhnya orang kikir tidak dapat pergi ke alam dewa. Orang bodoh tidak memuji kemurahan hati. Akan tetapi orang bijaksana senang dalam memberi, dan karenanya ia akan bergembira di alam berikutnya.” (Dhammapada , 177)
16
MEDITASI – DHARMA KEBAHAGIAAN
Pengendalian Pikiran
Sang Buddha bersabda: “Dunia dikendalikan oleh pikiran, oleh pikiran dunia diganggu. Pikiran itu sendirilah satu hal yang membawa semua yang lain ada di bawah kekuasaannya.” (Samyutta Nikaya I, 39)
Pikiran merupakan sumber segala malapetaka dan kebajikan di dunia ini. Pikiran yang negatif akan menciptakan hal-hal yang negatif, sebaliknya pikiran yang positif akan menciptakan hal-hal yang positif pula.
Adakalanya pikiran menjadi liar tak terkendali seperti monyet sakti Sun-Go-Kong yang senantiasa melompat dan bergerak tanpa henti. Mulut bisa dikendalikan kapan akan berbicara dan diam, tubuh bisa diatur untuk diam dan bergerak, tetapi pikiran adalah sesuatu hal yang paling sulit dikendalikan. Pikiran yang sulit dikendalikan tersebut kemudian akan mempengaruhi mulut dan tubuh kita. Sehingga pikiran yang tidak terkendalikan akan menghasilkan berbagai perbuatan dari ucapan dan tindakan yang dapat menimbulkan penderitaan. Kebahagiaan dapat dicapai apabila kita sudah berhasil mengendalikan pikiran secara baik.
Sang Buddha Bersabda : “Sukar dikendalikan pikiran yang binal dan senang mengembara sesuka hatinya. Adalah baik untuk mengendalikan pikiran, suatu pengendalian pikiran yang baik akan membawa kebahagiaan.” (Dhammapada , 35)
Sering terdapat kesalahpengertian bahwa melakukan meditasi adalah mengosongkan pikiran sehingga kita takut melakukan meditasi. Pikiran bukanlah suatu bentuk yang berisi dimana perlu dikosongkan. Pikiran itu selalu bergerak dan melekat kepada berbagai bentuk keinginan yang muncul dari penglihatan, penciuman dan rasa yang dirasakan. Sehingga pikiran yang senang mengembara itu perlu dikendalikan dengan mendiamkan bentuk penglihatan luar, meniadakan suara pendengaran luar, menghambarkan penciuman dan rasa yang dirasakan. Bentuk-bentuk luar yang dilihat hanyalah merupakan pembentuk pikiran dalam diri kita. Pemahaman akan hal ini akan membawa kita kepada tataran kesejatian diri yang mendalam dimana hanya dapat dirasakan secara intuitif.
Bendera Atau Angin Yang Bergerak
Mahabhikshu Zen Sesepuh Ke-enam, Hui-neng pada suatu hari tiba di Vihara Fa-hsing dan melihat dua orang bhikshu sedang berbeda pendapat dengan beremosi sekali di depan sebuah tiang bendera.
Salah seorang bhikshu berkata, “Jika tidak ada angin, bagaimana mungkin bendera itu berkibar? Oleh sebab itulah, saya mengatakan bahwa anginlah yang bergerak.”
Bhikshu yang lainnya menimpali dengan emosi juga, “Jika tidak ada bendera, bagaimana kita bisa mengetahui bahwa angin bergerak? Jadi saya berpendapat bahwa benderalah yang bergerak.” Argumentasi ini akhirnya berubah menjadi debat kusir dimana masing-masing bersikeras pada pendapat mereka masing-masing yang paling benar.
Hui-neng akhirnya menengahi mereka dan berkata, “Sebenarnya tidak ada yang perlu diperdebatkan. Saya ingin menyelesaikan masalah ini. Bukanlah angin yang bergerak, juga bukanlah bendera yang bergerak. Pikiran kalianlah yang bergerak.”
Pandangan seseorang sering berbeda karena konsep pemikiran yang melandasinya dimana saling membuat perbedaan. Apabila pikiran kita tenang, segala sesuatu akan berada dalam kebahagiaan. Pada saat pikiran itu bergerak, maka aneka ragam konsep akan terbentuk. Tanpa menyadari inti dari permasalahan pikiran itu sendiri akan membelengu kita dalam suatu lingkaran penderitaan yang tiada akhirnya. Bagaimana bisa membebaskan diri dari konsepsi pikiran itulah yang penting dan merupakan salah satu pokok ajaran Sang Buddha. Pikiran sering terbentuk oleh keterikatan akan pemahaman intelektualitas belaka. Pada kenyataannya kita dapat terperangkap bahwa berpikir dan tidak berpikir merupakan suatu hal yang kontradiktif. Tetapi makna yang tersirat di dalamnya, memiliki arti tersendiri.
Berpikir untuk Tidak Berpikir
Seorang Mahabhikshu Zen sedang melakukan meditasi. Seorang bhikshu muda melintasinya, menungguinya sampai selesai meditasi, dan bertanya, “Suhu duduk di sini dengan diam bagaikan batu. Apakah yang sedang suhu pikirkan?”
Mahabhikshu menjawabnya, “Saya sedang memikirkan untuk tidak berpikir.”
Bhikshu muda bertanya lebih lanjut, “Bagaimana suhu dapat melakukannya?”
Mahabhikshu menjawab, “Dengan tidak berpikir.”
Pikiran tidaklah perlu dicari untuk dikendalikan, melainkan kesadaran yang tenang tanpa pikiran yang mengkhayal akan membawa kita kepada taraf pencapaian pencerahan.
Tidak Berhasil Menemukan Pikiran
Shen-kuang Hui-k’o menemui Bodhidharma dan berkata, “Pikiran saya tidak tenang, tolonglah saya untuk menenangkan pikiran saya yang kacau ini!”
Bodhidharma menjawab, “Mana bawakan ke sini pikiran Anda! Saya akan menenangkannya untukmu!”
Dengan penuh keheranan Hui-k’o berseru, “Saya tidak berhasil menemukan pikiran saya!”
Bodhidharma tersenyum dan berkata, “Saya telah menenangkan pikiran Anda.”
Pada saat tersebut juga Hui-k’o mencapai pencerahan.
Pikiran memang sulit untuk dapat ditemukan ataupun dilihat karena pikiran itu amat lembut, halus dan bergerak sesuka hatinya. Apabila kita dapat menjaga pikiran kita maka kita akan hidup dengan penuh kebijaksanaan dan kebahagiaan.
Sang Buddha bersabda: “Pikiran sangat sulit untuk dilihat, amat lembut dan halus; pikiran bergerak sesuka hatinya. Orang bijaksana selalu menjaga pikirannya, seseorang yang menjaga pikirannya akan berbahagia.” (Dhammapada, 36)
Manfaat Meditasi
Dalam kehidupan modern saat ini, banyak sekali terjadi kesalahan pemakaian obat terlarang dengan tujuan untuk menenangkan pikiran yang pada akhirnya sering menyebabkan ketagihan sehingga mendatangkan berbagai malapetaka. Selain harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit hanya untuk memperoleh ketenangan pikiran yang sebentar tersebut, juga menyebabkan seseorang itu terperosok dalam jurang kebodohan batin yang akan menyeretnya kepada penderitaan yang berkepanjangan.
Sangat disayangkan apabila generasi muda saat ini mengabaikan dan menganggap remeh ajaran kuno meditasi yang telah dikenal dalam sejarah manusia sejak lebih dari 5000 tahun yang lalu, dimana ketenangan pikiran yang terbentuk dari latihan meditasi ini akan selamanya tumbuh bersama dalam latihan spiritual kita tanpa perlu mengeluarkan biaya sama sekali.
Dalam kehidupan saat ini, dapat dirasakan manfaat yang besar dalam meditasi misalnya untuk pelajar akan lebih mudah berkonsentrasi pada mata pelajaran sekolah, untuk yang bekerja tentunya akan menjadi lebih produktif, ibu rumah tangga akan menjadi lebih sabar, untuk para politikus yang sering melakukan meditasi akan menghasilkan keputusan pemerintahan yang arief dan bijaksana, dan bagi para rohaniawan akan menjadi lebih bijaksana, tenang dan senantiasa menyatu dalam jati diri sejati , alam semesta dan Yang Maha Kuasa.
Demikian juga kepada para pecandu narkotika dan orang-orang yang mengalami tekanan jiwa yang sulit disembuhkan, telah terbukti banyak terapi penyembuhan melalui meditasi tersebut dapat dilakukan dengan lebih efektif. Di negara-negara tertentu, kegiatan meditasi telah dijadikan kegiatan rutin setiap hari terhadap para narapidana yang berdiam di dalam lembaga kemasyarakatan (penjara). Hasil yang diperoleh ternyata sangat menggembirakan khususnya dalam membina para terpidana untuk mempersiapkan mereka kembali ke masyarakat dengan kebaikan budi pekerti dan moralitas yang tinggi. Bagaimanapun kita tidaklah perlu menunggu sampai menderita tekanan jiwa atau masuk penjara untuk belajar meditasi, tentunya lebih baik sedia payung sebelum hujan daripada bayah kuyup di tengah kehujanan.
Perlu dipahami juga, terdapat sementara orang yang salah mengerti mengenai tujuan meditasi yang dipandang sebagai memperoleh ilmu waskita atau kekuatan bathin [iddhi] semata-mata, seperti penglihatan tidak terbatas [clairvoyant/dibba-cakku] dan pendengaran tidak terbatas [clairaudience/dibba-sota]. Memang kebolehan seperti itu dapat muncul apabila seseorang telah mencapai tataran alam tertentu dalam samadhi, namun perlu kita sadari bahwa kebolehan seperti ini masih berada pada tataran alam yang sangat rendah. Tanpa bimbingan seorang Guru Sejati, sering akhirnya seseorang itu tersesat pada kebolehan semacam itu sehingga menyombongkan kebolehannya yang dapat mengakibatkan orang tersebut akhirnya terperosok dalam jurang kebodohan batin. Dengan makin berkembangnya ilmu teknologi saat ini, maka seharusnya kitapun perlu menyadari bahwa kebolehan semacam itu sama sekali tidak perlu dibanggakan lagi, apalagi dengan adanya dunia internet maka dalam sekejab saja semua orang juga bisa melakukan penglihatan, pembicaraan, dan pendengaran yang tidak terbatas.
Negara Barat yang sudah jenuh dengan berbagai kehidupan yang mengacu kepada kapitalisme dan liberalisme dimana pada akhirnya menimbulkan berbagai efek kemerosotan batin, telah mulai menoleh berbagai kebudayaan Timur, khususnya ilmu menenangkan batin seperti meditasi. Tidaklah mengherankan apabila dari berbagai situs jaringan yang dapat dijumpai dalam internet, terdapat banyak sekali perkumpulan meditasi di berbagai negara yang menawarkan suatu pusat kegiatan meditasi, ataupun pertemuan rutin dalam acara retreat di tempat-tempat tertentu selama beberapa hari, hanya untuk melepaskan diri dari kejenuhan atas berbagai kegiatan keduniawian.
Memilih Metode Meditasi
Berbagai metode meditasi yang dikenal oleh berbagai agama ataupun ajaran spiritual yang berkembang dewasa ini, pada dasarnya mengandung nilai yang sama untuk membantu mengembangkan pikiran tenang yang terkonsentrasi dengan memahami Kebenaran yang melandasinya. Dengan pikiran yang terkonsentrasi ini kita akan mampu mengawasi segala nafsu keinginan, senang dan benci, susah dan sedih, menyadari bahwa semua itu tidak kekal adanya, penuh penderitaan dan tanpa inti adanya.
Apabila kita ingin berlatih meditasi, maka kita harus mampu juga untuk memilih salah satu metode meditasi yang cocok dengan kepribadian kita. Metode yang cocok ini dapat diukur dari munculnya kebijaksanaan dan ketenangan batin kita setelah belajar metode meditasi tersebut. Sebaiknya berbagai metode meditasi yang sekarang banyak dijabarkan dalam bentuk buku bacaan tersebut dapat dilakukan dengan bimbingan seorang guru yang memang telah diketahui berpengalaman dalam meditasi. Berikut akan diuraikan sekilas berbagai metode meditasi yang diketahui pada umumnya.
Buddhisme Mahayana mengembangkan empat metode meditasi sebagaimana tersebut dalam ajaran Yogacara, Lankavatara Sutra, yaitu :
Balopacarika Dhyana, yaitu meditasi yang dilakukan oleh Sravaka dan Pratyekabuddha dengan merenungkan tentang Ketidakkekalan dari sifat ke-aku-an.
Artapravicaya Dhyana, yaitu meditasi yang dilaksanakan oleh para Bodhisattva yang telah mengerti hakekat Keberadaan dari alam semesta.
Tathatalambana Dhyana, yaitu meditasi yang terdiri dari pengkajian atas Keberadaan dari Kebenaran serta merenungkannya.
Tathagata Dhyana, yaitu meditasi yang dilakukan oleh para Tathagata yang telah mengalami Pengetahuan yang Tertinggi dan selalu bersedia untuk mengabdi kepada semua makhluk.
Buddhisme Theravada mengenal empat tahapan meditasi yaitu, pertama, pengumpulan pengalaman dari meditasi Triratna (Buddha, Dharma dan Sangha) , kedua, meditasi tubuh; ketiga, meditasi kehilangan tubuh dan keempat, meditasi cinta kasih universal [metta] . Terdapat dua latihan utama meditasi dalam Buddhisme Theravada [satiphatana] yang dikenal, yaitu :
Samatha atau Meditasi Sikap Tenang, yaitu konsentrasi pada suatu obyek dengan tidak membiarkan pikiran berkelana kepada hal-hal lain. Misalnya konsentrasi pada keluar masuknya nafas [anapanasati]; berjalan dengan konsentrasi gerak langkah [cankamana]; konsentrasi untuk membangkitkan kasih sayang [metta] ; konsentrasi dengan pengucapan mantra sesuai dengan keluar masuknya nafas misalnya BUD (tarikan nafas) DHO (hembusan nafas).
Vipassana, atau Meditasi Pandangan Terang, yaitu dengan membuka pikiran kepada segala sesuatu berdasarkan sifat dasar dari Ketidakkekalan [anicca]; penderitaan [dukkha] dan tanpa inti / tanpa aku [anatta] untuk menyelidiki fenomena jasmani dan mental.
Buddhisme Tantrayana mengembangkan 3 (tiga) tahapan meditasi sebagai latihan Penyadaran Diri, terdiri dari:
Meditasi Mandala, yaitu konsentrasi meditasi dengan orientasi diri menuju kebersamaan dengan alam semesta.
Meditasi Mantra, yaitu konsentrasi diri dalam meditasi dengan mendengarkan suara-suara gaib.
Meditasi Visualisasi, yaitu meditasi yang dilakukan sesudah menyelesaikan tahapan meditasi Mandala dan Mantra dimana dalam konsentrasi meditasi ini akan merasakan kekuatan halus yang nyata seperti kehadiran para Bodhisattva.
Buddhisme Zen mengenal Meditasi Zazen , yaitu suatu cara meditasi dengan duduk dalam waktu yang lama dengan posisi yang disebut lotus [Sesshin]. Meditasi tersebut dilakukan dengan menghadap ke tembok dalam ruangan khusus yang disebut Zendo.
Dalam ajaran kuno seperti yang terdapat dalam berbagai aliran Yoga dari India dikenal adanya metode pembangkitan Kundalini (suatu gulungan tiga setengah lingkaran yang dalam keadaan ‘tidur’ berada di bawah tulang ekor) dengan pembukaan cakra mulai dari cakra dasar [muladhara] sampai cakra mahkota [sahasrara]. Dalam tubuh manusia terdapat tujuh cakra utama yang melewati jalur utama [sushumna], yaitu cakra yang terletak di ujung tulang ekor atau disebut cakra dasar [muladhara], cakra organ kelamin [svadisthana], cakra pusar [manipura], cakra jantung [anahata], cakra tenggorokan [vishuddhi], cakra mata kebijaksanaan [ajna] dan cakra mahkota [sahasrara]. Selain tujuh cakra utama tersebut masih terdapat banyak sekali cakra-cakra biasa dan cakra mini yang seluruhnya berjumlah 365 buah. Proses pembukaan cakra itu sendiri sebenarnya bertujuan untuk membersihkan timbunan karma yang mana biasanya akan lebih efektif apabila dalam latihan disertai dengan pikiran, ucapan dan perbuatan yang baik. Namun perlu diingat juga bahwa teknik pembangkitan Kundalini tersebut apabila tidak dibimbing secara benar oleh seorang Guru Sejati akan menyebabkan efek samping negatif yang dapat mempengaruhi tingkat kesadaran jiwa orang bersangkutan. Perkembangan lebih lanjut dari teknik pembersihan cakra ini pada akhirnya dapat dilakukan oleh seorang Guru Sejati yang mana mampu membantu muridnya untuk melewati proses pembersihan cakra dengan membuka langsung cakra mata kebijaksanaan [ajna] sehingga sang murid tidak membuang waktu terlalu lama hanya untuk menjalani proses pembukaan cakra di bawah alis mata yang biasanya dapat menimbulkan efek samping negatif yang lebih besar khususnya pada saat pembukaan cakra alat kelamin dan cakra jantung.
Adakah Metode Meditasi Yang Terbaik?
Dalam Surangama Sutra [Leng-Yeng-Cing], Sang Buddha menanyakan kepada para Bodhisattva Mahasattva dan para Arahat Utama yang tidak perlu belajar lebih lanjut lagi, mengenai pelatihan pikiran untuk mencapai pencerahan dari setiap metode yang dikembangkan dimana merupakan metode terbaik untuk mencapai kesempurnaan sehingga memasuki keadaan samadhi.
Dari 25 metode yang diuraikan secara terperinci oleh masing-masing Bodhisattva dan Arahat yang hadir dalam persamuan tersebut, termasuk Bodhisattva Avalokitesvara menguraikan mengenai meditasi pada organ pendengaran, dengan berkata dihadapan Sang Buddha, “Aku masih ingat di dalam kalpa yang lamanya bagaikan butir pasir sungai Gangga di masa lalu, ada seorang Buddha bernama Avalokitesvara muncul di dunia. Di bawah bimbinganNya, Aku mengembangkan pikiran Bodhi. Buddha tersebut mengajari Aku untuk memasuki samadhi melalui organ pendengaran.” Selanjutnya, Bodhisattva Avalokistevara juga menguraikan secara terperinci proses meditasi pengamatan suara [Quan-Yin] yang telah dilatihnya sehingga mencapai Penerangan Sempurna dan diberikan nama Avalokitesvara [Quan-Yin].
Sesudah penguraian dari Bodhisattva Avalokitesvara, Sang Tathagata berkata kepada Pengeran Dharma, Bodhisattva Manjusri, “Engkau harus merenungkan ke 25 Bodhisattva dan Arahat yang tidak perlu belajar lebih lanjut ini, dimana Mereka masing-masing telah menceritakan metode bijaksana yang digunakan pada saat permulaan latihan Mereka untuk mencapai ke-Bodhi-an. Di dalam kenyataan, latihan Mereka tidak berbeda dan tidak lebih bagus atau lebih jelek satu sama lainnya. Katakanlah yang mana yang cocok untuk Ananda sehingga dia bisa memperoleh pencerahan dan yang manakah yang termudah mencapai hasil sesuai kemampuannya, juga untuk kebaikan makhluk hidup yang sesudah nirvanaKu, ingin mempraktekkan jalan Bodhisattva di dalam pencarian Bodhi Sempurna.”
Kemudian Bodhisattva Manjusri bangkit dari tempat duduknya dimana sesudah bersujud di hadapan Sang Buddha, lalu menguraikan secara jelas 25 metode meditasi yang telah dijalankan oleh para Bodhisattva dan Arahat dengan berbagai alasan yang merupakan kelemahan metode tersebut dimana akan sulit dicapai oleh manusia biasa, sampai terakhir metode pengamatan suara [Quan-Yin] dari Bodhisattva Avalokitesvara, maka Bodhisattva Manjusri berkata, “Aku sekarang menyampaikan kepada Sang Tathagatha, bahwa semua Buddha di dunia ini muncul untuk mengajarkan metode yang paling cocok yaitu dengan menggunakan suara yang mencakup segala-galanya. Keadaan samadhi bisa dicapai melalui organ pendengaran. Demikianlah Bodhisattva Avalokitesvara memenangkan pembebasan dan keselamatan dari penderitaan selama kalpa yang tak terhitung bagaikan pasir Gangga. Dia memasuki tanah Buddha yang sama banyaknya. Memperoleh kekuatan penguasaan diri dari pembebasannya dan memberikan ketidak-gentaran kepada semua makhluk hidup.”
Terlepas dari ada tidaknya suatu metode meditasi yang terbaik dan tercepat buat diri kita sendiri, bagaimanapun harus kita sadari bahwa berbagai metode atau tahapan meditasi yang ada tersebut akan dapat dilakukan secara lebih efektif apabila dibimbing oleh seorang Guru Sejati atau Meditator yang telah berpengalaman.
Belajar meditasi tidaklah sama dengan belajar silat ataupun keahlian bela diri lainnya. Kalau belajar silat kita bisa berguru pada beberapa guru silat yang pada akhirnya kita dapat menjadi pendekar dengan menggabungkan berbagai jurus silat yang diperoleh dari beberapa guru silat tersebut. Namun dalam belajar meditasi, kita haruslah patuh terhadap satu metode yang diajarkan oleh satu guru saja yang kita yakini sebagai Guru Sejati, sehingga tidaklah perlu mencampur-adukkan berbagai metode meditasi yang diketahui, karena hal demikian tidaklah akan menjamin pencerahan batin kita, malahan dapat menimbulkan keruwetan pikiran dan gangguan kejiwaan lainnya.
Bagaimana menemukan seorang Guru Sejati adalah sangat tergantung karma kita sendiri, dan kesiapan kita untuk memulai perjalanan spiritual yang kita yakini. Ada pepatah mengatakan, bahwa begitu murid siap, maka guru akan datang. Salah seorang Mahaguru pemimpin spiritual abad ini, Supreme Master Ching Hai, mengatakan, “Cahaya dan suara merupakan tolak ukur seorang Guru Sejati, siapapun yang tidak dapat memberi Anda pengalaman cahaya dan suara seketika, bukanlah seorang Guru Sejati.”
Persiapan Meditasi
Melakukan suatu meditasi sebenarnya tidaklah terlalu rumit, tapi adakalanya kita justru memperumit tujuan meditasi tersebut dengan berbagai tekad seperti, “Baik, saya akan duduk bermeditasi malam ini mulai jam 10 malam sampai jam 6 pagi, dan saya akan duduk tanpa bergeming seperti Buddha, hingga mencapai pencerahan!” , tetapi baru duduk belum sampai 5 menit perasaan gelisah sudah mengganggu, seakan-akan tempat duduk meditasi terbakar oleh bara api. Hal tersebut sebenarnya bukanlah suatu tekad yang benar, karena proses meditasi tersebut tidaklah dapat diselesaikan secara sekaligus, melainkan harus dimulai secara bertahap.
Pada saat memulai meditasi kita janganlah terpaku pada suatu target yang harus dicapai dengan memaksakan diri, segala keinginan duniawi haruslah dilepas dan tidak ada yang perlu dicapai. Apakah mau duduk 15 menit, 1 jam atau 5 jam, tidaklah perlu dijadikan masalah. Yang jelas bagaimana mempersiapkan diri untuk duduk itulah yang terpenting.
Sebelum duduk untuk meditasi, usahakanlah segala pekerjaan yang memang perlu diselesaikan telah dilakukan dengan baik. Kalaupun tidak bisa diselesaikan, katakanlah pada diri kita sendiri bahwa pekerjaan tersebut akan diselesaikan sesudah meditasi. Perlu diawasi juga keinginan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut kemudian muncul kembali pada saat kita duduk meditasi, pada saat tersebut kita dapat menegur pikiran kita dengan mengatakan, “Lupakanlah, nanti akan saya selesaikan sesudah meditasi ini selesai.” Hal tersebut dapat kita ulangi sampai keinginan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut tidak muncul kembali. Bagaimanapun ada baiknya sebelum kita duduk, biasakanlah segala pekerjaan kecil yang memang dapat dilakukan pada saat itu kita selesaikan dahulu, misalnya mematikan lampu, memastikan pintu sudah terkunci, kran air sudah dimatikan, dan lain sebagainya, sehingga hal-hal seperti itu tidak mengganggu pikiran kita pada saat mulai bermeditasi. Mengabaikan masa lalu dan tidak memperdulikan masa yang akan datang dengan melihat secara nyata masa sekarang (masa duduk meditasi) adalah hal yang paling penting ditanamkan dalam pikiran kita selama melakukan persiapan meditasi ataupun pada saat sudah memasuki konsentrasi meditasi. Selalulah bertindak seperti perahu yang berangkat bersama penumpangnya dan barang-barang yang dibawa perahu tersebut tanpa meninggalkan jejak masa lalu dan juga tidak peduli akan masa yang akan datang. Perahu tersebut akan melaju bersama arus air (perahu jaman dulu selalu mengandalkan air yang mengalir tanpa memiliki motor mesin perahu yang dapat menantang arus seperti yang sekarang kita jumpai).
Usahakan tempat meditasi bisa terkunci dari dalam dan tidak mendapatkan banyak gangguan atau suara berisik. Suara berisik yang terdengar lambat laun akan lenyap berganti dengan kesunyian apabila kita tidak mengolah sumber suara tersebut lebih lanjut. Setiap suara yang terdengar dapat kita abaikan, namun perlu juga kita menyadari adakalanya pada saat memasuki samadhi (konsentrasi meditasi yang mendalam), dapat muncul berbagai ragam suara surgawi yang biasanya berbunyi seperti suara musik, suara lonceng, suara ombak, suara angin dan lain-lain, dimana justru perlu kita konsentrasikan karena suara-suara seperti itu akan mengangkat konsentrasi pikiran kita ke alam yang lebih tinggi. Dalam metode meditasi tertentu, terdapat juga konsentrasi pada suara yang dilakukan dengan suatu teknik khusus dimana hanya dapat diajarkan oleh seorang Guru Sejati kepada seorang murid.
Sering terjadi juga pada waktu meditasi, kita merasakan gatal, kesemutan, ngilu, pegal, ngantuk dan berbagai perasaan fisik dan batin yang terasa menganggu sekali . Untuk mengatasi hal tersebut, maka perlulah kita mendapatkan tempat duduk meditasi yang disesuaikan dengan postur tubuh kita yang paling baik. Janganlah terlalu terpaku pada suatu pola duduk, tetapi pilihlah pola duduk yang paling sesuai untuk diri kita sendiri. Tidak perlu harus mencontoh pola tertentu. Memang pola duduk teratai (saling menyilangkan kaki sehingga kedua telapak kaki menghadap ke atas) adalah yang paling baik, karena akan membuat punggung kita lurus agar tidak mudah terserang rasa mengantuk. Namun tidak semua orang dapat melakukan pola duduk demikian, sehingga tidaklah perlu dipaksakan. Kalau memang duduk di kursi atau bantal meditasi yang tinggi lebih menyenangkan, lebih baik kita memilih itu, asal jangan membiarkan punggung kita bersandar pada sandaran kursi tersebut. Biasakanlah mencuci muka dengan air dingin dan lakukan sedikit senam seperti jongkok dan pelemasan otot sebelum memulai meditasi. Hal tersebut akan sangat membantu untuk menghilangkan rasa ngantuk dan kesemutan yang memang sering menganggu pada saat meditasi. Usahakan berkonsentrasi pada bagian tubuh dari alis mata ke atas, sehingga dengan demikian gangguan ngilu, pegal, kesemutan, gatal dan sebagainya yang sering muncul di berbagai tempat di tubuh kita, lambat laun tidak akan menganggu pada akhirnya. Pada saat tersebut kitapun sudah lupa bahwa kita memiliki tubuh, dan memang kita tidak perlu risau akan tubuh ini yang tidak kekal.
Gangguan kerohanian seperti perasaan takut, gelisah, ataupun munculnya gambaran makhuk tertentu ataupun fenomena lainnya seperti cahaya dan sebagainya dapat juga singgah pada waktu meditasi. Adakalanya perasaan atau gambaran tersebut hanyalah bentuk pikiran kita sendiri. Untuk membedakannya maka kita perlu amati apakah perasaaan ataupun gambaran tersebut muncul lebih dari satu kali dan dalam bentuk yang sama. Kalau memang demikian berarti merupakan fenomena dari alam tertentu dan perlu kita atasi. Seandainya muncul perasaan takut dan gelisah, cobalah berkonsentrasi pada mantra, doa ataupun sutra tertentu. Demikian juga apabila muncul gambaran makhluk tertentu, maka cobalah undang makhluk tersebut untuk duduk di depan Anda. Dalam hal ini kita haruslah memiliki keyakinan akan para Buddha dan Bodhisattva ataupun Guru Sejati kita, dan dengan nama Beliau, persilahkan makhluk tersebut untuk tidak menganggu meditasi Anda. Mendapatkan bimbingan meditasi dari seorang guru spiritual yang kita yakini akan sangat membantu dalam hal ini. Guru demikian haruslah mampu melindungi setiap permasalahan yang muncul khususnya dalam perjalanan spiritual muridnya. Walaupun kita yakin kepada para Buddha dan Bodhisattva, tetapi Mereka tidaklah mungkin berkomunikasi secara langsung dalam bentuk fisik manusia seperti kita. Sehingga penting adanya untuk mendapatkan bimbingan meditasi dari seorang guru ahli meditasi (meditator) apakah dari seorang bhikshu/bhikkhu, bhikshuni/bhikkhuni ataupun guru spiritual yang masih hidup dimana kita yakini sebagai seorang Guru Sejati. Demikian juga meditasi secara berkelompok biasanya akan sangat membantu karena kekuatan konsentrasi meditator yang telah senior akan mampu menciptakan atmosfir positif dalam ruangan meditasi tersebut sehingga dapat mengangkat konsentrasi peserta meditasi yunior lainnya yang masih sebagai pemula.
Makanan adakalanya juga mempengaruhi kita selama melakukan meditasi. Janganlah makan terlalu kenyang, dan sebisa mungkin diusahakan adanya jarak waktu 1 sampai 2 jam antara makan dan meditasi. Makanan yang sehat seperti menghindari berbagai daging atau hanya memakan makanan non-hewani (vegetarian) dirasakan oleh sebagian praktisi meditasi sebagai suatu hal yang sangat membantu khususnya dalam konsentrasi pikiran selama meditasi. Kebanyakan daging yang diperoleh dari hasil pembunuhan makhluk hidup masih mengandung hawa tertentu yang dapat mempengaruhi upaya konsentrasi dalam meditasi kita. Minuman seperti kopi juga ada baiknya dihindari, karena dalam meditasi itu kita bukan bertujuan untuk bergadang.
Kebiasaan untuk duduk bermeditasi haruslah kita tanamkan dalam diri kita setiap hari dan dijadikan suatu acara rutin. Kebiasaan duduk tersebut akhirnya akan menjadikan kita lebih terkonsentrasi dalam meditasi dan menjalani kehidupan sehari-hari. Sering kita mengeluh tidak memiliki waktu untuk meditasi, dan memang hal itu dapat dimaklumi apalagi bagi orang-orang yang masih terikat dengan kehidupan duniawi dalam jaman sekarang yang serba instant ini. Namun kalau kita mau menyadari, sebenarnya banyak sekali waktu kita yang terbuang secara percuma. Coba kita amati berapa banyak waktu kita yang terbuang hanya untuk mengobrol atau membicarakan rumor yang tidak perlu, menonton televisi, membaca koran, terlibat kehidupan malam yang tidak baik, tidur menjelang subuh dan bangun siang, dan sebagainya. Seandainya waktu-waktu seperti itu dapat kita kurangi, maka tentunya dalam sehari kita dapat menyisahkan waktu paling tidak 3 sampai 4 jam. Sehingga kalau kita dapat duduk meditasi 1/2 jam saja dalam sehari, maka hal itu seharusnya sudah sangat menggembirakan. Kebiasaan duduk 1/2 jam ini kemudian secara bertahap dapat ditambah ataupun dibagi misalnya 1/2 jam pada waktu bangun di pagi hari dan 1/2 jam menjelang akan tidur pada malam harinya, demikian seterusnya ditingkatkan tanpa harus dipaksakan ataupun ditargetkan, melainkan secara alami dan bertahap. Ingatlah bahwa sebongkah batu yang diletakkan cukup lama di atas rerumputan akan dapat mematikan rumput tersebut untuk tumbuh, namun apabila batu tersebut digeser ataupun diangkat, maka rumput tersebut akan tumbuh kembali. Demikian juga dengan sumber nafsu keinginan akan tumbuh lagi setiap kali kita lalai memperhatikan konsentrasi pikiran kita. Konsentrasi pikiran demikian tidak saja terbatas pada saat kita duduk meditasi, melainkan juga dalam kehidupan sehari-hari kita.
Meditasi bukanlah hanya duduk diam dengan mengambil posisi tubuh tertentu ataupun menyerupai posisi Buddha tertentu saja karena Pencerahan tidaklah tergantung pada posisi tubuh tertentu dalam meditasi.
Menggosok Genteng Jadi Cermin
Mazu Daoyi (709-788) adalah seorang sesepuh Zen yang membawa pengaruh paling besar sesudah masa sesepuh ke-enam, Huineng (638-713). Mazu meninggalkan rumah pada usia 12 tahun untuk menjadi murid Nanyue Huairang (677-744).
Pada suatu hari, Nanyue melihat Mazu sedang duduk bermeditasi. Nanyue bertanya kepada Mazu, “Untuk apa engkau duduk bermeditasi?” Mazu menjawab, “Aku ingin menjadi Buddha”.
Setelah mendengar kata-kata tersebut, Nanyue keluar mengambil sepotong genteng bata yang kemudian digosoknya di lantai. Mazu merasa tidak mengerti sehingga bertanya, “Anda menggosok genteng bata untuk apa?” Nanyue menjawab, “Aku ingin jadikan genteng bata ini sebagai cermin.” Mazu dengan terheran-heran berkata, “Genteng bata digosok bagaimana bisa menjadi cermin?” Nanyue menjawab, “Kalau genteng bata digosok tidak bisa menjadi cermin, bagaimana pula duduk bermeditasi dapat menjadi Buddha?”
Mazu kemudian bertanya bagaimana caranya agar dapat menjadi Buddha. Nanyue berkata, “Pengertian ini sama halnya seperti orang menghalau gerobak yang ditarik oleh seekor lembu; bila gerobaknya tidak berjalan, apa yang harus dipecut? Gerobaknya atau lembunya? Dalam melakukan meditasi, engkau ingin belajar Zen yang duduk, atau engkau bermaksud meniru Buddha yang duduk? Untuk yang pertama, Zen tidak ada di dalam duduk atau berdiri. Untuk yang kedua, Buddha tidak memiliki posisi tubuh yang tetap. Dharma berjalan terus, dan tidak pernah berhenti di suatu tempat. Engkau karenanya jangan melekat ataupun membenci bentuk-bentuknya. Duduk untuk menjadi Buddha adalah membunuh Buddha. Apabila engkau belajar duduk menjadi Buddha, itu sama halnya mengucilkan Buddha; kalau engkau terikat kepada bentuk duduk, maka selamanya akan jauh dari Kebenaran.”
17
BRAHMAVIHARA – DHARMA KELUHURAN
Latihan pengembangan diri lebih lanjut dalam Buddhisme yang merupakan suatu pengembangan Kebajikan Luhur Tidak Terbatas atau Tidak terukur, dalam bahasa Sanskerta disebut Apramanaya [Appamanna] atau sering disebut juga Cara Bertingkah Laku Yang Luhur, sebagaimana Sikap Kediaman Brahma [Brahmavihara]. Terdapat empat sifat luhur yang harus dikembangkan dan dipancarkan kepada semua makhluk tanpa batas atau perbedaan. Kebajikan luhur ini yang mana merupakan pencerminan sifat seorang Bodhisattva, merupakan keadaan yang telah terbebaskan dari kemarahan, kebencian, kekejaman, iri-hati dan perbedaan. Keempat Sifat Luhur tersebut terdiri dari Cinta Kasih, Kasih Sayang, Simpati dan Keseimbangan.
Cinta Kasih [Maitri/Metta]
Sifat Cinta Kasih merupakan sifat luhur yang memuliakan seseorang karena telah terbebas dari kebencian, kemarahan, dan nafsu keinginan. Cinta Kasih ini tidaklah terbatas pada makhluk hidup tertentu saja, tetapi sifat ini haruslah dipancarkan kepada semua makhluk hidup tanpa adanya suatu batasan. Dengan sifat Cinta Kasih yang dipancarkan setiap saat kepada semua makhluk hidup, maka seseorang itu akan bergembira dalam kebaikan sehingga kemanapun dia melangkah tidak akan memiliki musuh baik yang kelihatan ataupun tidak kelihatan.
Sang Buddha bersabda, “Bagi orang yang penuh perhatian murni, selalu ada kebaikan. Bagi orang yang penuh perhatian murni, kebahagiaannya bertambah. Bagi orang yang penuh perhatian murni, segala sesuatunya menjadi lebih baik, meskipun ia belum bebas dari para musuh. Tetapi ia yang siang dan malam bergembira di dalam kebaikan, membagi Cinta Kasih kepada semua makhuk hidup, orang demikian tidak mempunyai permusuhan dengan siapapun.” (Samyutta Nikaya I, 208).
Seseorang yang telah berhasil mengembangkan sifat Cinta Kasih ini akan menunjukkan kebajikan sebagai sifat utamanya dimana senantiasa tertarik untuk memajukan kesejahteraan orang lain tanpa melihat kejelekan orang tersebut. Pengembangan Cinta Kasih yang berkelanjutan akan menghasilkan berkah, antara lain: – Tidur dengan bahagia tanpa gelisah dan mimpi buruk – Bangun tidur dengan kesegaran dan wajah yang berseri – Selalu dicintai juga oleh orang lain. – Tidak pernah disakiti oleh makhluk apapun juga. – Selalu dilindungi oleh para Dewa. – Cepat larut dalam meditasi yang mendalam [samadhi]. – Aura wajah yang memancarkan sinar yang memikat. – Tidak ada api, racun dan senjata yang dapat melukainya. – Mampu memancarkan suatu pengaruh daya tarik yang baik bagi orang lain walaupun dalam jarak yang jauh. – Pada saat meninggal dapat dilakukan dengan tenang dan bahagia dan yang mana akan dilahirkan di alam yang bahagia.
Untuk melatih sifat Cinta Kasih ini dapat dilakukan dengan cara selalu mengkonsentrasikan pikiran secara positif, suatu kondisi pikiran yang penuh kedamaian dan kebahagiaan dimana telah terbebaskan dari segala bentuk penderitaan, kebencian, kesusahan, dan kemarahan, sehingga seseorang itu senantiasa tenang, sabar dan bahagia. Penting sekali diperhatikan bahwa pada awalnya pelatihan sifat Cinta Kasih itu harus dikembangkan dalam diri sendiri dulu, dengan berkonsentrasi pada, misalnya, “Semoga saya berbahagia dan terbebas dari penderitaan” atau “Semoga saya terhindar dari permusuhan, kesakitan dan kekhawatiran; serta hidup berbahagia”. Pengembangan diri sendiri ini penting untuk dilakukan karena konsepsi pikiran kita terhadap orang lain adalah mencerminkan bagaimana kita memandang diri kita sendiri.
Sang Buddha bersabda, “Ketika menjelajahi segenap penjuru dengan pikiran; Orang tak menemukan seorang pun lebih disayang dari dirinya sendiri; Begitu pula setiap orang memandang dirinya sendiri yang tersayang; Karena itu ia yang mencintai dirinya sendiri sebaiknya tak mencelakai orang lain.” (Samyutta Nikaya i, 75; Udana 47)
Setelah memperoleh sifat Cinta Kasih tersebut dalam diri kita, maka kita akan mampu mematahkan semua bentuk permusuhan dan pikiran negatif yang muncul. Berdasarkan pikiran yang positif dalam diri kita sendiri tersebut, selanjutnya kita pancarkan sifat Cinta Kasih kepada orang-orang yang dekat dengan kita dengan mengingat segala kebaikan yang pernah dibuatnya, kemudian kepada orang-orang jauh dari kita, teman ataupun musuh dan seterusnya kepada semua makhluk tanpa perbedaan.
“Dengan cara yang sama, hendaknya engkau mengembangkan pikiran Cinta Kasih kepada teman dan lawan tanpa perbedaan. Setelah mencapai kesempurnaan dalam Cinta Kasih, engkau akan mencapai pencerahan.” (Jataka Nidanakatha, 169)
“Memancarkan ke satu jurusan dengan hati penuh Cinta Kasih, …, ke atas, ke bawah dan ke sekeliling; semua tempat dan secara merata ia memancarkan ke seluruh dunia dengan hati yang penuh cinta kasih, melimpah, agung, tak terukur, bebas dari permusuhan, dan bebas dari kesakitan” (Digha Nikaya , i,250).
Sesudah kita dapat mengembangkan sifat Cinta Kasih tersebut, maka latihan tersebut haruslah senantiasa diulang hingga tercapai keadaan tanpa perbedaan terhadap diri sendiri, orang yang dikasihi, orang yang netral dan musuh. Ciri dari seseorang yang telah mencapai sifat Cinta Kasih ini dapat digambarkan pada cerita berikut ini.
Tidak Seorangpun Yang Boleh Dibawa
Seandainya dia sedang duduk di sebuah tempat bersama orang yang disayangi, netral, musuh dan dirinya sendiri sebagai orang keempat, kemudian bandit-bandit datang kepadanya dan berkata, “Tuan, berikan salah seorang dari kalian”, dan ketika ditanya mengapa, mereka menjawab, “Agar kita dapat membunuhnya dan menggunakan darah dari tenggorokannya sebagai persembahan”, dan bila dia berpikir, “Biarlah mereka membawa orang ini, atau orang itu”, dia belum menghancurkan penghalang. Dan juga bila dia berpikir, “Biarlah mereka membawa saya dan bukan ketiga orang lainnya”, dia juga belum menghilangkan penghalang. Mengapa? Karena dia mencari celaka dirinya sendiri yang dia harapkan untuk dibawa dan mencari keselamatan dari hanya orang-orang lain. Namun ketika dia tidak melihat seorang pun di antara keempat orang tersebut untuk diberikan kepada bandit, maka dia telah mengarahkan pikirannya secara tidak memihak terhadap dirinya dan ketiga orang lainnya, dan dia telah menghancurkan penghalang.
Bagi orang yang belum menghilangkan diskriminasi terhadap keempat orang ini maka dia hanya dijuluki “Ramah terhadap Makhluk-makhluk”, namun bagi yang telah menghilangkannya maka dia dijuluki “Mahir” atau “Mempunyai Rasa Persahabatan Sekehendaknya”
“Sifat mulia dari Cinta Kasih harus direnungkan seperti ini, ‘Seseorang yang hanya menaruh perhatian pada kesejahteraan dirinya, tanpa menaruh perhatian pada kesejahteraan orang lain, tidak akan dapat mencapai keberhasilan di dunia ini ataupun kebahagiaan di masa mendatang. Lalu bagaimanakah seseorang yang ingin menolong semua makhluk tetapi tidak memiliki Cinta Kasih pada dirinya berhasil mencapai Nibbana? Dan bila engkau ingin memimpin semua makhluk ke Nibbana, engkau seharusnya mulai dengan mengharapkan kesejahteraan duniawi bagi mereka di sini dan sekarang.’.
Orang seharusnya merenung, ‘Aku tidak dapat memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi makhluk lain hanya dengan mengharapkannya. Aku harus melakukan suatu upaya untuk mencapainya.’
Orang seharusnya merenung, ‘Sekarang aku menyokong mereka dengan meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi mereka, dan nanti mereka akan menjadi sahabatku dalam Dhamma.’
Lalu orang seharusnya merenung, ‘Tanpa makhluk-makhluk ini, aku tidak dapat mengumpulkan hal-hal yang diperlukan untuk mencapai Penerangan Sempurna. Karena mereka merupakan alasan untuk mempraktekkan dan menyempurnakan seluruh kemampuan seorang Buddha, makhluk-makhluk ini bagiku merupakan ladang keuntungan terbesar, landasan yang tiada taranya untuk menanamkan akar-akar yang bermanfaat, dan dengan demikian, merupakan obyek akhir dari kemuliaan.’
Jadi, seseorang seharusnya membangkitkan suatu kecenderungan yang kuat yang mengarah kepada peningkatan kesejahteraan semua makhluk.
Dan mengapa Cinta Kasih terhadap semua makhluk seharusnya dikembangkan? Karena hal itu merupakan landasan dari Kasih Sayang. Karena ketika seseorang bergembira dalam mengusahakan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi makhluk lain dengan batin yang tidak terikat, maka keinginan untuk melenyapkan kesusahan dan penderitaan mereka menjadi terbentuk secara kuat dan tetap. Dan Kasih Sayang merupakan sifat yang sangat unggul dalam Kebuddhaan, merupakan dasar, pijakan, akar, kepala dan pimpimpin Kebuddhaan.” (Cariyapitaka Atthakatha 292)
Kasih Sayang [Karuna]
Kasih Sayang merupakan suatu perasaan kasihan dimana sampai tergetar hati seseorang apabila pihak lain terkena penderitaan sehingga timbul niat untuk membantu menghilangkan atau meringankan penderitaan tersebut. Salah satu contoh yang telah diberikan sebelumnya yaitu pengorbanan Bodhisattva yang mengorbankan tubuhnya untuk menyelamatkan harimau betina dan anak-anaknya adalah merupakan sifat Kasih Sayang seorang Bodhisattva yang senantiasa berkehendak meringankan penderitaan orang lain. Pada jaman seperti saat ini tentunya hal demikian dapat juga kita lakukan dengan melakukan donor darah secara teratur dimana akan disumbangkan kemudian untuk pihak-pihak yang sangat membutuhkannya karena sedang menderita kekurangan darah. Ada pendapat yang mengatakan bahwa sifat Kasih Sayang ini merupakan satu-satunya hal yang perlu dikembangkan oleh seorang Bodhisattva dimana akan menuju kemahiran dalam semua prinsip dan sifat keBuddhaan. Seseorang yang telah diliputi sifat Kasih Sayang yang sejati , tidak akan lagi mementingkan diri sendiri tetapi senantiasa mencari kesempatan untuk membantu pihak lain tanpa mengharapkan suatu balas jasa ataupun ucapan terima kasih. Bilamana seseorang yang telah melatih diri dengan selalu bersikap tanpa perbedaan terhadap orang lain sebagaimana terhadap dirinya sendiri, maka dia telah menunjukkan sifat Kasih Sayang yang sempurna. Sang Buddha juga telah menunjukkan sifat Kasih Sayang ini terhadap pelacur Ambapali dan pembunuh Angulimala yang mana setelah disadarkan olehNya kemudian mereka berdua menjadi pengikut Beliau yang setia dan mencapai pencerahan. Walaupun adakalanya terdapat orang yang secara kentara menjadikan dirinya sendiri ataupun orang lain merana, tapi tetap saja pada akhirnya dia akan merasakan penderitaan itu sendiri. Seringkali karena kebiasaan dan kebodohan batinnya sendiri sehingga dia tidak bisa menolong dirinya sendiri. Seekor ular berbisa tetap akan mengeluarkan bisanya kepada setiap orang yang mendekatinya dengan tujuan untuk melindungi dirinya sendiri tanpa menyadari apakah orang itu akan menganggunya ataupun tidak. Hal ini karena kebiasaan dan kebodohan ular itu sendiri. Manusia yang dibekali logika yang sempurna, tidaklah perlu bertindak demikian, yaitu dengan bersikap egois dan mencelakai orang lain. Kita dapat mengetahui dari sejarah hidup para Guru Agung terdahulu ataupun masa kini yang mengabdikan hidup Mereka sepenuhnya untuk kebahagiaan orang lain, senantiasa mencurahkan sifat Kasih Sayang kepada setiap orang sebagai sahabat lama, sebagaimana Y.M. Dalai Lama ke-14, Tenzin Gyatso mengatakan, “Saya selalu berusaha untuk memperlakukan siapa saja yang saya jumpai sebagai seorang sahabat lama. Hal ini memberi saya suatu kebahagiaan yang sejati. Ini adalah cara untuk mempraktekkan Kasih Sayang.” Seperti sifat Cinta Kasih, demikian juga sifat Kasih Sayang haruslah kita pancarkan tanpa batas kepada seluruh makhluk yang menderita dan tak berdaya termasuk hewan yang bisu dan telur yang dibuahi. Berpesta pora dengan daging hewan yang dibunuh atau yang menyebabkan mereka untuk dibunuh demi kepuasan makan semata-mata bukanlah merupakan Kasih Sayang manusia. Menyebarkan kerusuhan sehingga terjadi tindak kekerasan yang mengakibatkan korban jiwa adalah hal yang tidak manusiawi dan kejam. Perang yang berkecamuk di berbagai belahan dunia hanya karena perbedaan suku, bangsa, ras dan agama sehingga menghancurkan berjuta-juta makhluk hidup, tempat tinggal, ladang pertanian dan lahan perekonomian suatu negara yang menyebabkan penderitaan jutaan anak-anak dan orang tua yang kehilangan tempat berteduh dan harus mengungsi tanpa tujuan, adalah tanpa peri kemanusiaan dan sama sekali tanpa Kasih Sayang. Kasih Sayang adalah dengan merangkul semua makhluk yang tertimpa kemalangan, sedangkan Cinta Kasih mencakup semua makhluk hidup yang berbahagia ataupun berduka. Salah satu cara yang dapat melengkapi latihan Cinta Kasih dan Kasih Sayang ini adalah dengan senantiasa berusaha mengurangi penderitaan makhluk hidup baik langsung ataupun tidak langsung yang direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari kita baik dari pikiran, ucapan, maupun perbuatan kita. Perbuatan disini termasuk cara makan kita yaitu dengan berusaha semaksimal mungkin untuk mulai mengurangi makanan hewani dengan memakan lebih banyak makanan non-hewani atau nabati (vegetarian). Penjelasan lebih lanjut mengenai cara vegetarian dan manfaatnya telah diuraikan pada bab terdahulu. Sang Buddha senantiasa mencurahkan Kasih Sayang yang tidak terbatas kepada seluruh dunia, demikian juga para siswaNya dimana ketika mereka hidup di dunia ini, mereka selalu berbuat untuk kebaikan dan kebahagiaan seluruh makhluk, yang timbul dari rasa Kasih Sayang untuk seluruh dunia, untuk kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan dewa dan manusia
Sang Buddha bersabda, “Ketika Sang Tathagata atau para siswaNya hidup di dunia, mereka berbuat untuk kebahagiaan banyak makhuk, timbul dari rasa Kasih Sayang untuk seluruh dunia, untuk kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan dewa dan manusia.
Dan siapakah Sang Tathagata itu? Mengenai hal ini, seorang Tathagata muncul di dunia, Buddha Yang Maha Mulia, Buddha Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna, sempurna pengetahuan dan perbuatanNya, sempurna menempuh jalan (ke Nibbana), pengenal segenap alam, pembimbing umat manusia yang tiada bandingnya, guru para dewa dan manusia, yang sadar, yang patut dimuliakan.
Dan siapakah siswa Sang Tathagata itu? Dia adalah seorang yang mengajarkan Dhamma yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah pula di akhirnya, baik dalam kata-kata maupun maknanya. Dia membuat kehidupan suci menjadi jelas, sempurna, dan tak ternoda.
Inilah Sang Tathagata dan para siswaNya, dan ketika mereka hidup di dunia, mereka berbuat untuk kebaikan banyak makhluk, untuk kebahagiaan banyak makhluk, timbul dari rasa Kasih Sayang untuk seluruh dunia, untuk kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan dewa dan manusia.” (Anguttara Nikaya II, 146)
Simpati [Mudita]
Sifat luhur Simpati merupakan suatu perasaan atau perhatian atas kegembiraan atau kesedihan orang lain tanpa adanya keirihatian, dendam, bermuka dua, ataupun kemauan jahat lainnya. Ciri utama dari orang yang telah memiliki sifat luhur Simpati adalah berbahagia atas kesejahteraan dan keberhasilan orang lain [Anumodana], kepercayaan, dan bebas dari kemurungan dan patah semangat, idaman, kecemburuan, bermuka-dua atau tidak jujur, dan permusuhan. Sering kita menyaksikan adanya orang yang bergembira atas kegagalan orang yang tidak disenanginya dan berkeluh kesah atas keberhasilan orang tersebut. Demikian juga tidak jarang kita saksikan adanya sifat irihati dan dengki antara keluarga dekat kita, tetangga, perusahaan, sekolah, pemerintahan, agama, suku, bangsa sampai negara dengan negara lainnya. Sifat irihati ini sering akhirnya memuncak sehingga menyebabkan perdebatan, perkelahian, kecurangan, pembunuhan, sampai perang yang pada akhirnya hanya akan menyebabkan penderitaan kepada semua pihak. Dengan alasan inilah maka sangatlah penting adanya setiap pribadi ataupun suatu kelompok tertentu dapat mempraktekkan sifat Simpati dengan cara saling menghargai keberhasilan masing-masing pihak dengan memuliakan dan berbahagia setulusnya. Dengan sikap demikian maka kita akan cenderung mengurangi ketidaksenangan atau irihati [Arati] terhadap orang lain yang kita nilai lebih berhasil. Kekuatan Simpati dapat kita bina dengan selalu bermurah hati, berbicara ramah, berbuat kebajikan dan tidak memperlakukan pembedaan atau diskriminasi.
Sang Buddha bersabda, “Dan apakah yang merupakan kekuatan simpati? Ada empat pokok simpati : murah hati, berbicara ramah, berbuat kebajikan dan memperlakukan semua secara sama rata. Murah hati yang terbaik adalah murah hati dengan Dharma. Berbicara ramah yang terbaik adalah membabarkan Dharma berulang-ulang kepada pendengar yang baik dan penuh perhatian. Kebajikan terbaik adalah membujuk, mendorong, dan membangun keyakinan pada mereka yang tidak memiliki keyakinan, kebajikan pada mereka yang tidak berkebajikan, kemurahan hati pada mereka yang kikir, dan kebijaksanaan pada mereka yang bodoh. Perlakuan yang sama yang terbaik adalah persamaan antara orang yang telah memasuki arus [Sotapanna] dengan orang yang telah memasuki arus, antara orang yang hanya dilahirkan sekali lagi [Sakadagami] dengan orang yang hanya dilahirkan sekali lagi, antara orang yang tidak dilahirkan lagi [Anagami] dengan orang yang tidak dilahirkan lagi, dan antara yang mahamulia [Arahat] dengan yang mahamulia. Inilah yang dinamakan kekuatan Simpati.” (Anguttara Nikaya, IV 362)
Keseimbangan [Upeksa/Upekkha]
Sifat luhur Keseimbangan adalah suatu perasaan netral, pikiran yang tenang dalam keadaan apapun atau memandang dengan bijaksana, melihat tanpa adanya perbedaan yaitu tanpa kemelekatan atau keengganan atau melihat dengan benar dan sadar tanpa kesenangan ataupun ketidak-senangan. Sifat luhur Keseimbangan ini adalah merupakan yang paling sulit dan yang terpenting untuk dicapai dibandingkan dengan ketiga sifat luhur sebelumnya. Bagi kita yang menjalani kehidupan sebagai umat awam, tentunya senantiasa mengalami berbagai gejolak kehidupan yang adakalanya menyeret kita ke dalam arus kebencian, kesenangan, keputus-asahan, ataupun kepuasan yang mana tanpa kita sadari sering menyebabkan kita melekat pada kondisi yang muncul tersebut. Sungguh sulit untuk dapat mempertahankan suatu batin yang seimbang, dimana pada saat untung kita tidak perlu berlebih-lebihan dengan menghamburkan uang untuk menikmati keuntungan tersebut, ataupun pada saat rugi kita tidak menjadi terlarut dalam kesedihan yang mendalam karena kerugian tersebut. Terdapat delapan kondisi duniawi yang sulit untuk kita hindari [Atthalokadhamma], yaitu untung [labha] dan rugi [alabha], terkenal [yasa] dan tidak dikenal [ayasa], dipuji [pasamsa] dan dicela [ninda], bahagia [sukha] dan menderita [dukkha]. Kehidupan seorang pengusaha senantiasa dipenuhi berbagai perhitungan yang memperlihatkan keuntungan dan kerugian dari hasil usahanya. Tetapi apabila kita sadari, maka keuntungan ataupun kerugian yang timbul dari kegiatan usaha tersebut pada dasarnya adalah merupakan suatu resiko yang memang harus kita tanggulangi. Tiada usaha yang tanpa resiko. Bagaimana kita mempersiapkan diri dan batin kita untuk menghadapi resiko yang muncul itulah diperlukan sikap Keseimbangan batin. Timbulnya keuntungan tidak membuat kita menjadi sombong, dan sebaliknya timbulnya kerugian juga tidak akan membuat kita menjadi gelisah.
Pengusaha Yang Bangkrut
Penyusun mengenal seorang pengusaha yang sempat sukses dan menjadi salah seorang Konglomerat di negara ini. Walaupun latar belakang pengusaha ini tidaklah begitu mendukung karena berasal dari keluarga yang miskin, namun berkat kegigihan, ketangguhan, dan kepintarannya dalam memajukan usahanya, sehingga dia memperoleh kepercayaan dari berbagai lembaga keuangan yang memberikannya pinjaman dalam berusaha.
Setelah sekian lama melakukan ekspansi usaha yang tidak didukung oleh perencanaan dan misi yang terfokus pada pokok usahanya, akhirnya pengusaha ini mengalami masa-masa sulit yang tidak mungkin dapat dihindarinya, dimana pabrik, mesin, tanah dan segala fasilitas yang dijadikan jaminan kredit tersebut harus disita oleh bank karena sudah tidak mampu membayar kembali bunga dan pokok pinjamannya.
Setelah bangkrut dan hidup secara sederhana, suatu hari penyusun bertemu bekas Konglomerat tersebut yang saat ini sudah menikmati masa pensiunnya, namun sama sekali tidak terbesit adanya keluh kesah ataupun rasa penyelesalan dalam dirinya atas segala kegagalan usaha yang ditekuninya. Satu kalimat yang sangat membekas dari bekas pengusaha sukses ini adalah, “Kita datang ke dunia ini tanpa membawa apa-apa, demikian juga nanti pada saat kita kembali juga tanpa membawa apa-apa . Usaha saya yang mulai dari nol tanpa modal sepeserpun, akhirnya kembali juga menjadi nol. Paling tidak saya masih memiliki keluarga dan anak-anak yang masih menyayangi saya.”
Kehidupan para Guru Agung selalu mengalami berbagai kritikan, kecaman, penghinaan, cercaan, makian, tuduhan palsu, tipuan, yang mana semuanya harus dihadapi dengan sifat luhur Keseimbangan yang mendalam. Tidaklah mengherankan apabila kehidupan Buddha Gautama sering mendapatkan kecaman yang tidak beralasan, misalnya dituduh menghamili anak gadis, merampas anak lelaki dari para ibu, suami dari para istri sampai tuduhan menghalangi kemajuan bangsa. Saudara sepupuNya sendiri, Devadatta berusaha membunuh Beliau dengan menggulingkan sebongkah karang dari atas bukit. Tetapi semua itu dapat dihadapi Beliau dengan Keseimbangan batin yang mendalam. Sokrates , filsuf Yunani kuno yang terkenal akan ungkapannya, ‘Kenalilah dirimu!’ [Gnothi seauton!] dituduh menyebarkan ajaran yang menyesatkan, dimana akhirnya meninggal karena keracunan minuman. Namun pada detik terakhir ajalnya, Sokrates masih sempat menenangkan murid-muridnya dengan berkata, “Maut itu ibarat tidur nyenyak yang abadi tanpa terganggu sekalipun oleh mimpi. Kini tibalah saatnya untuk berpisah; aku menyambut kematian dan kalian menempuh kehidupan; mana yang lebih baik, hanya Yang Maha Kuasa yang tahu.” Yesus Kristus yang penuh Kasih, harus menjalani kehidupan yang sengsara dengan berbagai tuduhan dan makian dimana oleh penguasa saat itu kemudian Beliau disalib bersama penjahat lainnya. Mahatma Gandhi yang terkenal arief dan bijaksana harus ditembak mati. Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa memang sulit sekali untuk dapat menjadi orang baik, pemaaf, pemurah hati yang senantiasa terjaga Keseimbangan batinnya. Namun seorang Guru Agung senantiasa tidak pernah membalas berbagai hinaan dan cacian yang diterimanya, melainkan dengan sopan menyadarkan kepada lawannya atas kekhilafan dirinya.
Tidak Menerima Undangan
Dalam memenuhi suatu undangan untuk menerima dana dari seorang Brahmin, Sang Buddha mendapatkan cacian ‘babi’, ‘orang biadab’, ‘kerbau’ dan kata-kata kotor lainnya. Tetapi Beliau sama sekali tidak terganggu. Beliau tidak membalas, malah justru dengan sopan, Sang Buddha bertanya kepada tuan rumah, “Apakah para tamu berkunjung ke rumahmu brahmin yang baik?” “Ya”, jawabnya. “Apa yang kamu lakukan ketika mereka datang?” “Oh, kami menyiapkan jamuan yang mewah.” “Bagaimana seandainya mereka lupa datang, sehingga apa yang akan engkau lakukan dengan jamuan yang telah dipersiapkan tersebut?” “Mengapa, dengan senang hati kami sendiri akan memakannya.” “Baik, brahmin yang baik, kamu telah mengundangku untuk menerima dana dan menjamuku dengan caci-maki. Aku tidak menerima apapun. Silahkan mengambilnya kembali.”
Celaan tampaknya merupakan suatu warisan budaya manusia yang selalu langgeng dari waktu ke waktu. Bagaimana dapat bersikap dengan tenang dan bijaksana dalam berbagai situasi dicela dan dimaki akan mampu melatih diri kita dalam Keseimbangan. Ingatlah selalu pepatah yang mengatakan bahwa, “Biarlah anjing menggonggong, tetapi kafilah tetap berlalu”, atau “Tong kosong nyaring bunyinya”.
Sang Buddha bersabda, “Pelajarilah hal ini dari air; di lembah-lembah dan jurang-jurang, mengalir dengan gemuruh anak sungai, tetapi sungai besar mengalir dengan tenang.
Tong kosong nyaring bunyinya, yang penuh selalu tenang. Orang bodoh adalah seperti tong yang setengah terisi, orang bijaksana adalah seperti kolam dalam yang tenang.” (Sutta Nipata, 720-721)
Sering kita merasakan ataupun melihat penderitaan orang lain yang terpisah dari orang yang dikasihinya karena meninggal dunia. Tentunya kejadian ini akan menimbulkan kepedihan batin yang mendalam. Namun kita harus juga menyadari bahwa tidak terdapat di dunia fana ini sesuatu yang selamanya kekal. Setiap orang akan mengalami kematian, baik mati di waktu sebelum lahir, sesudah lahir, pada usia muda, karena sakit ataupun karena usia tua.
Menghidupkan Yang Mati
Kisa Gotami kehilangan bayi tunggalnya, dan ia pergi mencari obat untuk menghidupkan bayi lelakinya yang telah mati. Dengan menggendong jenasahnya, dia menghadap Sang Buddha dan meminta obat. Sang Buddha setelah mengetahui persoalannya, dengan tenang berkata, “Baik, saudari, dapatkah kamu membawa sedikit biji lada?” “Tentu, Bhante!” “Tetapi, saudari, biji lada tersebut haruslah berasal dari satu rumah dimana tidak seorangpun sanak keluarganya yang pernah mati.” Gotami pun berangkat dari mencari serta mengetuk ke hampir seluruh seluruh rumah di desa tersebut. Semua rumah yang didatanginya menyimpan biji lada, namun tidak ada satupun penghuni rumah yang dikunjunginya tersebut yang tidak pernah kehilangan sanak keluarganya karena kematian. Akhirnya Kisa Gotami memahami sifat kehidupan.
Akhirnya sikap Keseimbangan ini sangat ditentukan oleh bagaimana kita dapat menjaga batin yang seimbang di antara untung dan rugi, dikenal dan tidak dikenal, dipuji dan dicela, bahagia dan menderita.
Untung dan rugi, dikenal dan tidak dikenal, dipuji dan dicela, bahagia dan menderita, kedelapan kondisi ini adalah merupakan sumber kemelekatan duniawi yang menyebabkan gejolak batin, yang sering juga disebut delapan sumber mata angin.
Puisi Bau Kentut
Seorang cendekiawan, Zhou Zi, yang telah mempelajari konsep Buddhisme dari gurunya, seorang Mahabhikshu Zen, pada suatu hari membuat suatu puisi yang menurutnya merupakan pencerminan keadaan batinnya yang tenang, tentram dan bahagia. Dalam puisinya tersebut, dilukiskan bagaimana dia telah mencapai keadaan batin yang damai, kokoh, tidak terpengaruh oleh bahkan delapan mata angin sekalipun.
Sungguh bangga sekali Zhou Zi akan puisi barunya tersebut, sehingga dia berniat untuk mengirimkan kepada gurunya yang tinggal di seberang sungai, dengan harapan akan memperoleh pujian. Zhou Zi segera mengirimkan kurir untuk menyampaikan puisinya tersebut, yang diberi judul ‘Hati yang Tiada Tergoyahkan’. Setelah gurunya menerima kiriman puisi tersebut dan membacanya, dimana oleh kurir cendekiawan dimintakan agar gurunya dapat menuliskan kesannya, maka beliau menuliskan sesuatu di balik kertas puisi tersebut dan diserahkannya kembali melalui kurir.
Zhou Zi menunggu kedatangan kurirnya untuk membaca pujian yang disampaikan oleh gurunya, dan segera dibuka sampul berisi kertas puisinya. Betapa marahnya Zhou Zi menemukan tulisan gurunya berupa tinta merah dengan tiga huruf besar, ‘PUISI BAU KENTUT’. Sungguh geram Zhou Zi, dia menilai gurunya benar-benar tidak mengerti ungkapan yang mendalam dari dia akan konsep Buddhisme tentang keseimbangan batinnya. Zhou Zi memutuskan untuk segera ke seberang sungai menemui gurunya.
Sesampainya di tempat gurunya, Zhou Zi menanyakan dengan emosi yang ditahan, “Kenapa suhu mencela puisi saya, apakah suhu tidak bisa menangkap arti kiasan yang begitu mendalam dari puisi ini?” Mahabhikshu Zen tersebut tertawa dan berkata, “Ha…ha..ha…, lihatlah dirimu sendiri muridku, baru terkena satu angin kentut saja, Anda sudah terbirit-birit ke sini…., apalagi kalau diterpa delapan mata angin sekaligus!”
(satu angin yang dimaksud oleh Mahabhikshu Zen tersebut adalah keadaan batin yang dicela).
Sang Buddha bersabda, “Mereka yang telah memotong semua kemelekatannya dan telah mengatasi gejolak batinnya, akan tenang, tentram dan bahagia, karena dia telah mencapai keadaan batin yang damai.” (Samyutta Nikaya I, 212).
18
PERKEMBANGAN BUDDHISME
Ajaran Sang Buddha memiliki suatu keunikan yang bersifat universal dimana mampu senantiasa berkembang sesuai dengan kebudayaan dan kebiasaan setempat. Sehingga kini terdapat berbagai sekte dan aliran yang terkadang kelihatannya sangat berbeda, namun pada intinya mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk mencapai pembebasan [Nirvana/Nibbana]. Ajaran Sang Buddha yang dikenal sebagai Ajaran Damai dengan semboyan suci : Cinta Kasih dan Kasih Sayang, telah tersebar di hampir seluruh Asia, Amerika dan Eropa.
Di setiap negara biasanya mempunyai ciri khasnya tersendiri dalam menerima Ajaran Sang Buddha yang merupakan suatu jawaban atas tuntutan dan pengaruh filosofis, sosial dan kebudayaan setempat. Sang Buddha sendiri agak pragmatis, Beliau lebih menekankan mengetahui sedikit ajaran tetapi pengamalan yang lebih intensif. Beliau juga menegaskan bahwa ajaran itu hanyalah alat untuk dipakai bila diperlukan dan ditinggalkan ketika tujuan telah tercapai yang diibaratkan rakit yang dipakai untuk menyeberangi sungai.
Para pengikut Ajaran Sang Buddha pada umumnya mengakui bahwa tidak ada alasan apapun bagi mereka untuk memperdebatkan apa yang benar atau yang tidak benar, apa yang lebih dulu atau yang belakangan, dan apa yang ortodoks atau yang fleksibel, dimana pada dasarnya tetap satu yaitu batang tubuh ajaran yang langsung dari Sang Buddha. Berbagai mazhab yang ada , yaitu Theravada atau Hinayana , dan Mahayana, Vajrayana atau Tantrayana dengan berbagai aliran dan sekte di dalamnya tersebut bermunculan setelah Sang Buddha Parinirvana yang ditandai dengan munculnya kosili Buddhis yang pertama di Rajagraha yang diadakan tidak lama sesudah Buddha Gautama Parinirvana. Kemudian diikuti konsili kedua yang diadakan di kota Vaisali pada masa pemerintahan Raja Kalasoka setelah 137 tahun dari konsili pertama. Konsili ketiga diadakan sekitar 247 SM di Pataliputra pada masa pemerintahan Raja Asoka. Dan yang terakhir konsili keempat yang diadakan pada tahun 78 Masehi di Purusapura, Kashmir pada masa pemerintahan Raja Kanishka.
Konsili-konsili yang diadakan tersebut menyebabkan timbulnya dua aliran besar yaitu Aliran Utara dan Aliran Selatan. Aliran Utara atau Mahayana (Kendaraan Besar) perkembangannya di pengaruhi oleh Universitas Nalanda di India . Aliran Utara atau Mahayana ini dapat dijumpai di Tiongkok, Jepang, Korea, Taiwan, Tibet, Nepal, Bhutan, Vietnam , yang lebih menitikberatkan penundaan pencapaian nirvana dengan menapaki jalur ke-Bodhisattva-an agar dapat menolong dan menyelamatkan lebih banyak makhluk yang belum mencapai tingkat pencerahan. Sutra-sutra yang dipergunakan umumnya dalam bahasa Sanskerta. Aliran Selatan atau Theravada (Ajaran para Thera/Sesepuh) yang berdasarkan naskah awal khotbah Sang Buddha yang menitikberatkan Sangha dan pada pencapaian Nirvana dengan melalui jalur ke-Arahat-an. Theravada dapat dijumpai di Sri Lanka, Thailand, Kamboja, Laos, Myanmar . Sutra-sutra yang dipergunakan umumnya dalam bahasa Pali. Berbagai mazhab yang ada pada umumnya tetap mengacu kepada pengertian ajaran pokok Sang Buddha yang penuh Cinta Kasih dan Kasih Sayang dengan inti pengertian yang sama mengenai Tri-Ratna (Vajrayana menambahkan hormat kepada Sang Guru) , Empat Kesunyataan Mulia, Trilaksana , Hukum Sebab Akibat, Hukum Karma dan Tumimbal Lahir.
Kita perlu menyadari juga bahwa pada eranya Buddha Gautama masih membabarkan Dharma, tidak terdapat segala nama aliran dan sekte yang seperti kita kenal saat ini. Malah Buddha Gautama sendiri tidak pernah mengatakan beragama Buddha apalagi mewakili aliran tertentu baik dari Theravada, Mahayana , ataupun Vajrayana. Pada saat ini diperkirakan terdapat sepertiga penduduk dunia merupakan pengikut Ajaran Sang Buddha. Dari hasil penjelajahan di beberapa situs internet (web sites), Penyusun menemukan sudah terdapat banyak sekali terjemahan literatur Ajaran Sang Buddha dalam bahasa Inggris yang sangat baik, khususnya oleh rekan-rekan Buddhis di negara Barat.
Sejarah Perkembangan Buddhisme
Buddha Gautama (560 SM-480 SM, WBC :623 SM-543 SM)
—————————|——————————
| |
Sekumpulan bhikkhu Konsili Pertama (543 SM)
| |
Mahasanghika—————————————— Konsili Kedua (400 SM)
| |
| Sthaviravada (349 SM)
| |
| Konsili Ketiga (247 SM)
| Kitab suci Pali
| |
| |
Mahayana ——————— Sarvastivada—————-Konsili Keempat (100 M)
(Mazhab Utara) |
| |
|————— |————————————| |
Aliran Timur Tantayana (Aliran Utara) Theravada (Mazhab Selatan)
(Tiongkok; Korea; Jepang; Taiwan, dsb.) (Tibet; Nepal;Buthan, dsb.) (SriLanka;Thailand; Myanmar; Kamboja;Laos)
Aliran-aliran: Aliran-aliran :
Dyana(Zen); Avatamsaka; Madyamika; Vajrayana; Kala Cakrayana; Suhajayana
Sukhavati;Saddharmapundarika(ThienThai); Sekte-sekte: Gelug-pa; Ninma-pa; Milare-pa; Kargyu-pa;
Mahaparinirvana; Vinaya;Vijnanavada (Yogacara) Tsongkha-pa; Kahdam-pa; Sakya-pa.

19
PENGARUH AJARAN CONFUCIUS DAN LAU-ZI DALAM BUDDHISME
Perkembangan Ajaran Buddha Gautama di daratan Tiongkok mempengaruhi filsafat hidup yang mendasari kehidupan di Tiongkok waktu itu yaitu paham ajaran Confucius dan Lau-Zi. Ajaran Confucius yang bersifat positif terhadap realitas dunia dan hubungan kemanusiaan serta bersifat menghindari pikiran-pikiran spekulatif dapat menerima kehadiran Buddhisme. Demikian juga ajaran Lau-Zi yang terkenal dengan gagasan ‘Wu Wei’ atau ‘tidak berbuat ‘ atau membiarkan segala sesuatu terjadi sesuai dengan hukum alam , sehingga dapat disandingkan dengan ‘sunyata’ yang dianut dalam Buddhisme.
Sekilas Pandang Sejarah Perkembangan Buddhisme di Tiongkok
Walaupun terdapat literatur yang menyatakan bahwa Buddhisme telah berkembang di Tiongkok pada permulaan abad ke-3 SM (masa dinasti Kaisar Pertama – Shih Huang-Ti, 246-210 SM ), namun dipercayai Ajaran Buddha Gautama belumlah secara aktif dipropagandakan sampai awal abad pertama masehi (masa dinasti Han, Kaisar Ming Ti, 58-76 M). Diceritakan bahwa Kaisar Ming-Ti bermimpi tentang makhluk terbang yang bercahaya emas yang ditafsirkan sebagai perwujudan dari Sang Buddha. Kemudian Kaisar mengirimkan duta ke India yang berhasil membawa pulang Sutra Empat Puluh Dua Bagian (Sshu-shih-erl-chang-cing) yang tersimpan di vihara di luar kota Lo-Yang. Sutra ini dipercayai telah diterjemahkan oleh Kashyapamatanga dan Mdian Dharmaraksha. Pada kenyataannya, Buddhisme memasuki Tiongkok secara bertahap yang dimulai dari Asia Tengah dan kemudian melalui jalur sutra yang melewati Asia Tenggara.
Abad Permulaan di Tiongkok
Buddhisme yang mulai menyebar di Tiongkok selama dinasti Han, pada awalnya sarat dengan praktek mistik dalam usahanya beradaptasi dengan ajaran Taoisme yang lebih dikenal oleh masyarakat pada masa tersebut. Ajaran Buddhisme pada masa awal tersebut tidak begitu menekankan konsep tanpa diri atau roh [anatman/anatta], tetapi dalam usahanya menyesuaikan kepercayaan yang berkembang saat itu mengenai roh yang kekal, maka ditekankan mengenai Nirvana yang merupakan suatu alam yang kekal. Selain itu diperkenalkan juga hukum karma sebagai suatu nilai moral dan cinta kasih dan perlunya menahan nafsu keinginan.
Sampai akhir dinasti Han masih tercatat adanya gambaran keterpaduan antara ajaran Taoisme dan Buddhisme khususnya dalam penekanan konsep kekekalan melalui praktek yang kontroversial. Dipercayai juga bahwa Lau-Zi telah bertumimbal lahir di India sebagai Buddha Gautama, sehingga terdapat banyak kaisar saat itu yang menyembah Lau-Zi dan Buddha Gautama dalam suatu altar yang sama. Terjemahan pertama sutra-sutra Buddhis dalam bahasa China, khususnya yang berkaitan dengan topik pengendalian napas dan meditasi mistik, banyak menggunakan kosa kata yang terdapat dalam Taoisme.
Setelah dinasti Han, di Tiongkok bagian Utara, terdapat banyak bhikshu yang saat itu dimanfaatkan oleh kaisar sebagai penasihat pemerintahan khususnya yang berkaitan dengan politik militer dan keahlian mistik lainnya. Sementara itu di Tiongkok bagian Selatan, Buddhisme mulai menembus aspek filsafat dan Dharma sebagai pokok ajaran Sang Buddha. Salah satu kontribusi yang terpenting dalam perkembangan Buddhisme di Tiongkok saat itu adalah berbagai pekerjaan penerjemahan. Penerjemah yang terkenal saat itu adalah bhikshu Kumarajiva yang menguasai Veda Hindu, metafisika, astronomi, termasuk berbagai sutra dari Hinayana dan Mahayana.
Selama abat ke-5 sampai ke-6 Masehi, telah bermunculan berbagai sekte dari India termasuk sekte baru di Tiongkok. Buddhisme menjadi suatu kekuatan intelektual yang sangat berpengaruh saat itu, sehingga mengalami perkembangan yang pesat sekali. Tidak mengherankan juga bahwa Buddhisme dinyatakan sebagai agama negara pada masa dinasti Sui (581-618 M) yang berhasil mempersatukan seluruh daratan Tiongkok.
Buddhisme selama Dinasti T’ang
Masa kejayaan Buddhisme di Tiongkok terjadi selama masa pemerintahan dinasti T’ang (618-907 M). Walaupun kebanyakan kaisar T’ang saat itu adalah pengikut Taoisme, mereka juga menghormati Buddhisme yang telah begitu terkenal. Selama masa pemerintahan dinasti T’ang, vihara dan sangha mendapatkan perlakuan yang baik dari pemerintahaan dan kehidupan bhikshu diakui secara sah oleh negara.
Selama periode tersebut, tercatat banyak sekte yang berdiri dan beberapa diantaranya berhasil dengan tekun menyebarkan Dharma, serta telah berhasil mengajarkan sutra-sutra secara terpadu dan sistimatik. Tercatat banyak sekali jumlah vihara yang berhasil didirikan dan daerah-daerah yang dikuasai. Demikian juga dalam periode ini, tercatat banyak sekali para cendekiawan yang melakukan perjalanan ke India, suatu perjalanan suci yang sulit, berhasil memperkaya literatur Buddhisme di Tiongkok dalam bentuk naskah dan inspirasi intelektual ataupun spiritual yang dibawa pulang dari India. Walaupun begitu, Buddhisme tidak pernah berhasil menggantikan secara total kepercayaan Taoisme dan Confucianisme yang sama-sama berkembang saat itu.
Hingga akhirnya pada tahun 845, pada masa pemerintahan kaisar Wu-tsung, dimulailah pemberantasan agama yang berasal dari luar Tiongkok. Menurut catatan yang ada, terdapat 4.600 vihara dan 40.000 tempat pemujaan Buddhis lainnya yang dimusnahkan, termasuk 260.500 bhikshu dan bhikshuni yang dipaksa untuk menjalani kehidupan dalam masyarakat sebagai orang biasa.
Buddhisme setelah dinasti T’ang
Walaupun Buddhisme di Tiongkok belumlah pulih kembali secara total sesudah era pemusnahan tahun 845, namun tetap dapat memainkan suatu peranan yang penting dalam kehidupan rakyat kebanyakan di Tiongkok waktu itu, berbagai tradisi dan peninggalan tetap dapat dipertahankan. Di satu sisi, Buddhisme berhasil mempertahankan identitasnya dan menghasilkan berbagai bentuk pemahaman baru yang dituangkan lewat berbagai karya naskah yang bernafaskan Buddhisme. Antara lain karya yang penting seperti, yu lu (Pepatah Tercatat), Hsi-yu-chi (Perjalanan Ke Barat), dsb. Di sisi lainnya, Buddhisme mulai menyatukan konsep ajarannya dengan ajaran Confucius dan tradisi Taoisme dengan membentuk suatu gabungan kepercayaan yang mencerminkan ketiga tradisi kepercayaan tersebut secara menggembirakan.
Di antara berbagai sekte yang ada, terdapat dua sekte mempunyai pengaruh paling besar, yaitu sekte Ch’an (Zen) yang menekankan meditasi [dhyana/jhana], dan sekte Tanah Suci [Ching-Tu] yang menekankan puja bhakti. Sekte Ch’an membawa pengaruh cukup besar dalam kebudayaan melalui berbagai sarana termasuk hasil seni. Sebagai contoh, seniman Ch’an selama dinasti Sung (960-1279) sangat mempengaruhi hasil kreasi seni yang tertuang dalam lukisan alam Tiongkok. Para seniman tersebut menyampaikan citra bunga, sungai, dan pohon, yang dituangkan secara spontan, dengan tarikan yang penuh arti untuk mencerminkan pemahaman terhadap alunan dan kekosongan atas segala realitas. Sedangkan sekte Tanah Suci membawa pengaruh yang besar terhadap keseluruhan rakyat Tiongkok saat itu yang adakalanya dikaitkan dengan kegiatan kelompok rahasia, dan kegiatan pemberontakan rakyat yang menentang pemerintahan. Tetapi kedua sekte yang kelihatan memiliki tradisi yang berbeda sering saling berhubungan.
Selama awal abad ke-20, Tiongkok mengalami gerakan pembaharuan Buddhis yang bertujuan untuk membangun kembali tradisi Buddhis China dengan menerapkan berbagai ajaran dan institusi yang disesuaikan dengan kondisi modernisasi saat itu. Namun, pengaruh perang China dan Jepang, dan pendirian partai komunis saat itu tidak begitu mendukung kegiatan Buddhis yang ada. Umat Buddhis menjadi korban tekanan pemerintahan pada masa Revolusi Kebudayaan (1966-1969). Sejak tahun 1976, pemerintahan China sudah mulai menunjukkan sikap kebijaksanaan yang lebih bertoleransi, tetapi perkembangan agama Buddha tetap sulit untuk ditentukan.
Buddhisme Ch’an
Tokoh utama perkembangan Buddhisme Ch’an di daratan Tiongkok adalah Bodhidarma (Tat Mo Cou Su), seorang bhikshu dari India Utara yang merantau ke Tiongkok pada tahun 520 M. Sehingga berkembang ajaran Ch’an Buddhisme yang merupakan salah satu aliran Buddhisme Mahayana dengan enam sesepuh yang dikenal , yaitu , Bodhidarma, Hui Khe, Shen Chie, Tao Sin, Hung Jen dan Hui Neng. Melalui sesepuh VI, Hui Neng , Ch’an Buddhisme berkembang dengan pesat.
Dari Tiongkok ajaran Ch’an berkembang ke Jepang dan terkenal dengan istilah Zen. Ch’an diasosiasikan sebagai ajaran yang membatasi kata-kata, karena kata-kata tidaklah identik dengan Kebenaran. Hal ini dapat diibaratkan dengan telunjuk yang menunjuk bulan tetapi bulan tidak dapat menunjuk telunjuk dimana sesuai dengan sifat Tao dalam ajaran Lau-Zi, yaitu “Tao yang dapat dibicarakan bukanlah Tao yang sebenarnya atau yang abadi dan nama yang dapat diberikan bukanlah nama yang sejati” (Tao Tee Cing Bab I, 1. ) demikian juga bunyi ayat berikut , “Tiada nama itulah kondisi permulaan terjadinya Langit dan Bumi. Setelah ada nama itulah sumber dari segala benda.” (Tao Tee Cing Bab I, 2) . Dalam Buddhisme dapat disamakan dengan ketidakkekalan [anicca] dan ketanpa-intian/ketanpa-akuan [anatta].
Ajaran Lau-zi yang menekankan Jalan Ketuhanan [TAO] yang mengatur hubungan antara manusia dengan alam semesta atau gejala-gejala alam di luar sifat manusia, dan ajaran Confucius yang melengkapinya dengan Jalan Kemanusiaan [JEN] dengan menekankan hubungan antar manusia dan lingkungannya dalam kehidupan bermasyarakat. Ajaran Buddha Gautama pada dasarnya dapat melengkapi ajaran Lau-Zi dan ajaran Confucius dengan menghubungkan TAO dan JEN dalam suatu perwujudan yang merupakan perluasan pengertian dari Jalan Tengah.
Untuk itu Penyusun merasa perlu melengkapi pengertian Buddhisme ini dengan berbagai filosofi ajaran yang Penyusun nilai cukup relevan untuk dihayati baik yang terdapat dalam ajaran Confucius ataupun ajaran Lau-Zi yang akan dibahas lebih lanjut pada Bagian Kedua dan Ketiga berikut ini. Sehingga akan bertambahlah khasanah pengetahuan Buddhisme kita dalam menghadapi realitas kehidupan duniawi saat ini dengan tanpa mengabaikan adanya tujuan pencapaian pembebasan [Nirvana/Nibbana].
Nehru : “If any question has to be considered, it has to be considered peacefully and democratically in the way taught by the Buddha”
(“Jika terdapat pertanyaan yang dipertimbangkan maka hendaknya dipertimbangkan secara damai dan demokratis sesuai dengan Jalan yang diajarkan oleh Sang Buddha”)
BAGIAN 2
AJARAN CONFUCIUS
Confucius (Khung Fu Zi / Khung Zi atau Guru Khung) merupakan seorang Guru Agung, yang mana kumpulan tulisannya telah dikutip secara luas oleh berbagai kalangan sampai kehidupan saat ini. Salah satu pandangannya yang sangat berarti adalah bahwa segala pengetahuan yang sesungguhnya berarti mengatakan apa yang diketahui bila memang mengetahui, dan mengatakan apa yang tidak diketahui bila memang tidak mengetahui. Ungkapan lainnya yang sering dijadikan tolak-ukur dan membangun semangat kepercayaan diri dalam menjalani kehidupan ini, adalah nasehatnya yang mengatakan bahwa kita janganlah bersedih hati hanya karena tidak diakui oleh orang lain, tetapi lebih baik tanyakan diri kita sendiri (instropeksi) apakah sudah sepantasnya diakui orang.
Ajaran utama Confucius menekankan cara menjalani kehidupan yang harmonis dengan mengutamakan moralitas atau kebajikan. Seseorang dilahirkan untuk menjalani hubungan tertentu sehingga setiap orang mempunyai kewajiban tertentu. Sebagai contoh, kewajiban terhadap negara, kewajiban terhadap orang tua, kewajiban untuk menolong teman, dan suatu kewajiban umum terhadap kehidupan manusia. Kewajiban-kewajiban tersebut tidaklah sama dimana kewajiban terhadap negara dan orang tua lebih diutamakan daripada kewajiban terhadap teman dan kehidupan manusia. Sifat-sifat mulia yang diajarkan oleh Confucius bertujuan untuk menciptakan manusia yang berbudi-pekerti luhur yang disebut Budiman (C’un Zi), suatu proses latihan yang meliputi peningkatan kualitas diri secara tetap, dan kemampuan berinteraksi di dalam kehidupan bermasyarakat secara berkelanjutan. Walaupun Beliau menekankan proses belajar sebagai ‘suatu kepentingan untuk diri sendiri’, dimana pada akhirnya terbentuk pengetahuan diri dan realisasi diri, namun Beliau juga menyatakan bahwa kebanyakan orang akan memperoleh pendidikan sejati secara alami.
Confucius dikenal juga sebagai guru pertama di Tiongkok yang memperjuangkan tersedianya pendidikan bagi semua orang, dan menekankan bahwa pendidikan bukan hanya sebagai suatu kewajiban semata-mata, melainkan suatu cara untuk menjalani kehidupan ini. Beliau mempercayai bahwa semua orang dapat menarik manfaat dari hasil pengolahan diri dalam belajar. Beliau mengabdikan seluruh hidupnya untuk belajar dan mengajar dengan tujuan meningkatkan dan mengubah kehidupan sosial saat itu. Confucius juga memperkenalkan suatu program ajaran moralitas atau kebajikan untuk para calon pimpinan negara, membuka peluang belajar bagi semua orang, dan mendefinisikan kegiatan belajar tidak hanya berdasarkan penguasaan pengetahuan semata-mata, tetapi juga membentuk moralitas atau kebajikan seseorang.
20
RIWAYAT SINGKAT CONFUCIUS
Confucius, bernama kecil Khung Chiu atau Zhong Ni, lahir pada masa pemerintahan Raja Ling dari dinasti Zhou (551 SM) di desa Chang Ping negara bagian Lu (Sekarang Chu-fu, propinsi Shandong). Secara tradisi dikatakan bahwa Confucius dilahirkan pada hari ke-27 bulan lunar ke-8, tetapi hal tersebut masih dipertanyakan oleh para ahli sejarah. Di kebanyakan negara Asia Timur, kelahiran Confucius diperingati pada tanggal 28 September, dan di Taiwan pada hari tersebut diberlakukan sebagai hari libur nasional atau ‘Hari Guru’.
Ayahnya meninggal dunia pada saat Confucius berusia 3 tahun, dan ibunya menyusul pada waktu Beliau berumur 17 tahun. Pada usia 15 tahun , Confucius telah mempelajari berbagai buku pelajaran. Menjalani kehidupan berkeluarga pada usia 19 tahun dengan menikahi gadis dari negara bagian Song bernama Yuan Guan. Anak pertama Confucius lahir setahun kemudian dan diberi nama Khung Li.
Sebagai seorang pemuda , Beliau cepat dikenal sebagai seorang yang bijaksana, sopan dan senang belajar. Berbagai pekerjaan pernah dilakukan oleh Confucius, antara lain sebagai kepala pembukuan di lumbung padi, pengawas peternakan, dan mandor bangunan . Untuk kemudian Confucius sangat mengkonsentrasikan diri dalam mempelajari sejarah (Shu), ungkapan-ungkapan (Shi), tata krama (Li) dan musik (Yue) sebelum diangkat sebagai gubernur distrik tengah Lu oleh Bangsawan Ding. Beliau melakukan berbagai perjalanan dan pernah menimba ilmu pengetahuan di Ibu Kota Negara , Zhou, dimana Beliau bertemu dan berdiskusi dengan Lau Zi. Tidak diketahui siapa saja guru dari Confucius, tetapi Beliau senantiasa berusaha untuk menemukan seorang guru yang ahli guna menimba ilmu dari mereka, khususnya dalam bidang tata-krama (Li) dan musik (Yue). Confucius menguasai enam seni, yaitu tata-krama, musik, memanah, menunggang kuda, menulis huruf indah (kaligrafi) dan ilmu menghitung (aritmatika). Selain itu Beliau juga menguasai berbagai bentuk tradisi klasik, sejarah dan puisi kebangsaan sehingga menjadikannya seorang pengajar yang tiada bandingnya pada saat Beliau berusia tiga-puluhan.
Dalam memegang pemerintahan , Beliau sangatlah arief dan bijaksana, sehingga selalu mendapatkan promosi jabatan (dari usia 35 tahun sampai 60 tahun) dimana Beliau pernah menjabat sebagai Menteri Pekerjaan Umum dan Komisaris Polisi untuk menjaga ketertiban dan keamanan serta Menteri Kehakiman. Sesudah mengundurkan diri dari jabatan pemerintahan, Confucius lebih banyak berdiam di rumah untuk menerbitkan Kitab tentang Puisi (The Book of Poetry / Odes = She Cing), menggubah musik, dan menyusun tata krama kuno termasuk menulis dan menerbitkan Kitab Sejarah Musim Semi dan Gugur (Spring and Autumn Annals = Chuen Chiu).
Confucius juga selalu meluangkan waktu untuk memberi kuliah dan berbagi pengetahuan dengan murid-muridnya. Beliau menerima siapa saja, tanpa memandang miskin atau kaya, semuanya diberikan pelajaran sesuai dengan kemampuan masing-masing, sehingga murid-muridnya mengalami penambahan dalam jumlah yang sangat besar untuk jangka waktu yang relatif pendek.
Dalam usia 67 tahun, Beliau kembali ke tempat kelahirannya untuk mengajar dan mengabadikan karya-karya tradisi klasik dengan cara menulis dan mengolah kembali bentuk karya tersebut.
Confucius meninggal dunia pada tahun 472 SM, bulan ke-4 tahun ke-16 dalam masa pemerintahan bangsawan Ai , dalam usia 73 tahun. Menurut buku ‘Records of the Historian’, dijelaskan bahwa 72 murid Beliau menguasai enam jenis seni, demikian juga terdapat kurang lebih 3000 orang yang mengaku sebagai pengikut Confucius waktu itu.
21
AJARAN-AJARAN CONFUCIUS
Lebih tepat disebut sebagai ajaran daripada tulisan, karena banyak sekali buah karya Confucius terutama “Buku Kumpulan Ujaran [The Analects = Lun Yu]” yang ditulis kembali oleh murid-muridnya setelah Beliau meninggal dunia. Berbagai terjemahan atas ajaran Confucius telah dilakukan ke dalam berbagai bahasa. Ajaran-ajaran Confucius tersebar ke negara-negara di luar Tiongkok, bahkan tidak sedikit yang mempengaruhi kebudayaan mereka. Pengaruh ajaran Confucius berkembang pesat di Eropa dan Amerika, dimana dapat dilihat semboyan revolusi Perancis yang terkenal, yaitu Liberty (kebebasan), Equality (persamaan) dan Fraternity (persaudaraan), yang berasal dari ajaran kemanusiaan (Humanism) Confucius. Demikian juga Piagam Kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration of Independence) sangat terpengaruh oleh ajaran Confucius, dimana dalam diskusi pembahasan naskah tersebut, Thomas Jefferson sendiri mengakuinya. Negara-negara Asia paling banyak menerima pengaruh ajaran Confucius, terutama negara Korea, Jepang, Vietnam, Singapura, dan Taiwan.
Dari hasil riset ke dalam situs jaringan (Web Sites) di internet yang Penyusun lakukan, membuktikan bahwa sampai saat ini ajaran-ajaran Confucius masih diakui dan dipelajari secara meluas terutama di luar Asia.
Secara garis besar, Confucius membagi proses ajarannya melalui 4 tahapan, yaitu :
1. Mengarahkan pikiran kepada cara.
2. Mendasarkan diri pada kebajikan.
3. Mengandalkan kebajikan untuk mendapat dukungan.
4. Mencari rekreasi dalam seni.
Beliau menyusun 8 prinsip belajar, mendidik diri sendiri dan hubungan sosial , yaitu :
1. Menyelidiki hakekat segala sesuatu (Ke’-wu)
2. Bersikap Jujur
3. Mengubah pikiran kita
4. Membina diri sendiri (Hsiu-shen)
5. Mengatur keluarga sendiri
6. Mengelola negara
7. Membawa perdamaian di dunia.
Confucius membuat suatu daftar prioritas dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, yaitu :
– Kelakuan adalah syarat utama,
– Berbicara adalah prioritas kedua,
– Memahami soal-soal Pemerintahan adalah prioritas ketiga,
– Kesusasteraan adalah prioritas keempat.
Ajaran-ajaran Confucius telah mempengaruhi kehidupan sebagian besar kebudayaan China baik kehidupan berumah-tangga, sosial ataupun politik. Walaupun ajaran Confucius telah menjadi suatu ideologi resmi di Tiongkok, namun ajaran Beliau tidaklah dapat dianggap sebagai suatu organisasi keagamaan dengan gereja dan pendeta sebagaimana yang terdapat dalam agama-agama resmi lainnya. Para cendekiawan China menghormati Confucius sebagai seorang Guru Agung dan Orang Suci tetapi tidak menyembahnya sebagai dewa. Demikian juga Confucius tidak pernah menyatakan dirinya sebagai utusan Ilahi. Namun dalam perkembangannya lebih lanjut, yang dipengaruhi oleh ajaran Taoisme saat itu, Confucius juga dipuja sebagai salah satu Dewa Pendidikan dalam vihara para Taois. Di Indonesia, para umat Confucius sampai saat ini masih berjuang agar dapat diakui sebagai salah satu agama resmi negara dengan alasan bahwa ajaran Confucius menegaskan dan mengakui adanya keberadaan Tuhan Yang Maha Esa. Namun di negara Barat, ajaran Confucius lebih dipandang sebagai suatu ajaran moralitas yang menekankan kebangkitan diri sejati dalam bertingkah laku secara sopan dan berkepatutan serta pencurahan rasa bhakti yang tinggi terhadap orang tua, istri, anak, saudara, teman, atasan, dan pemerintahan.
Prinsip ajaran Confucius tertuang dalam sembilan karya kuno China yang diturunkan oleh Confucius dan pengikutnya yang hidup pada masa pengajaran Beliau. Karya tersebut dapat dikelompokkan dalam dua bagian utama, yaitu Empat Buku (Shih Shu) dan Lima Kitab (Wu Cing).
Kata kunci utama etika para pengikut Confucius adalah JEN, yang dapat diterjemahkan secara bervariasi sebagai Cinta Kasih, Moralitas, Kebajikan, Kebenaran, dan Kemanusiaan. Jen merupakan perwujudan akal budi luhur dari seseorang yang mana dalam hubungan antar manusia, Jen diwujudkan dalam cung, atau sikap menghormati terhadap seseorang (tertentu) ataupun orang lain (pada umumnya), dan shu, atau sikap mementingkan orang lain (altruisme) dimana terkenal dari ucapan Confucius sendiri, “Janganlah engkau lakukan kepada orang lain apa yang tidak ingin engkau lakukan terhadap dirimu sendiri.”
Ajaran Confucius lainnya yang penting adalah Kebenaran, Budi Pekerti, Kebijaksanaan, Kepercayaan, Bhakti, Persaudaraan, Kesetiaan, dan Kesadaran Diri. Seseorang yang telah menguasai keseluruhan sifat luhur tersebut maka layak disebut Budiman (C’un-Zi).
Ajaran politik yang dikembangkan oleh Confucius mengarah kepada suatu pemerintahan yang bersifat paternalistik (kebapakan), dimana terjalin sikap saling menghormati dan menghargai antara pemerintahan dan rakyat. Pemimpin negara haruslah menciptakan kesempurnaan moral dengan cara memberikan contoh yang benar kepada rakyat.
Dalam ajaran pendidikan, Confucius berpegang pada teori, yang diakui selama periode pemerintahan selama Beliau masih hidup, bahwa “Dalam pendidikan, tidak ada perbedaan kelas.”
22
KUMPULAN BUKU / KITAB AJARAN CONFUCIUS
Kitab ajaran Confucius yang utama adalah Empat Buku [Shi Shu] dan Lima Kitab [Wu Cing]. Empat Buku merupakan suatu ajaran pokok yang ditulis oleh para pengikut Confucius sampai kehidupan Mencius. Sedangkan Lima Kitab merupakan kitab yang berasal dari era sebelum Confucius.
Empat Buku [Shi Shu]
Buku tentang Jalan Tengah [Zhong Yong] dan Buku tentang Jalan Besar [Da Xue] termasuk dua bab dalam Li-chi telah menjadi suatu karya tersendiri dan bersama dengan Buku Kumpulan Ujaran [Lun Yu] dan Pokok Pelajaran Mencius [Meng Zi], telah dipakai sebagai kurikulum pokok dalam pendidikan para pengikut Confucius selama berabad-abad sebelum kelahiran Chu Hsi (1130 – 1200), seorang filsuf Neo-Confucian yang terbesar sesudah era Mencius (371 – 289 SM). Kemudian oleh Chu Hsi pada tahun 1190 dirangkaikan dengan urutan, Da Xue, Lun Yu, Meng Zi dan Chung Yung , dan diterbitkan menjadi satu buku dengan sebutan Shih Shu (Empat Buku). Urutan tersebut tidak konsisten adanya, karena terdapat juga banyak referensi lainnya yang tidak berurutan seperti itu. Empat Buku yang mendapatkan kedudukan di atas Lima Kitab telah menjadi naskah rujukan pokok dalam bidang pendidikan dan ujian negara selama beberapa generasi dalam sejarah Tiongkok semenjak abad ke-14. Sehingga Empat Buku tersebut telah menciptakan pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan rakyat Tiongkok sejak 600 tahun yang silam. Chu Hsi juga tercatat dalam sejarah sebagai seorang Confucianis yang juga mempelajari dengan baik ajaran Buddhisme dan Taoisme.
1. Buku tentang Pelajaran Besar (The Great Learning / Da Xue)
Buku tentang Pelajaran Besar merupakan suatu naskah yang ditulis oleh murid Confucius angkatan pertama Tseng Zi. Selama berabad-abad naskah tersebut hanya dikenal sebagai salah satu bab dalam Li Chi (Kumpulan Ritual), satu dari Lima Kitab dalam Confucianisme, sampai akhirnya oleh Chu Hsi mempublikasikan naskah tersebut secara terpisah dan dikelompokkan dalam Shi Shu. Buku ini merupakan suatu buku panduan pembinaan diri dengan moralitas tinggi di dalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara, dan dunia.
Da Xue menyatakan bahwa perdamaian dunia tidak akan tercapai apabila seorang pemimpin negara tidak terlebih dahulu mengatur negaranya sendiri secara teratur. Demikian juga tidak terdapat seorang pemimpin yang dapat melakukan hal tersebut sebelum tercapai keteraturan rumah tangganya. Kenyataan ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin dunia pada akhirnya ditunjukkan oleh sifat luhur dalam kehidupan pribadinya. Sifat luhur ini merupakan suatu akibat alamiah hasil perkembangan kebijaksanaan yang diperoleh dari hasil penelaahan terhadap segala sesuatu. Da Xue memandang bahwa pemerintahan yang baik dan kedamaian dunia merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dengan sifat luhur pribadi seorang pemimpin yang tumbuh bersamaan dengan berkembangnya kebijaksanaan.
Dalam kata pembukaan Da Xue, dijelaskan oleh Chu Hsi bahwa rangkaian pandangan tersebut mencerminkan pertumbuhan pribadi seseorang. Setiap individu haruslah mengolah sifat Kebajikan [Jen] , Keadilan [ i ], Sopan Santun [ Li ], dan Kebijaksanaan [ Chih ], tetapi sifat luhur tersebut sulit untuk dapat dikembangkan secara berkeseimbangan.
2. Buku Kumpulan Ujaran (The Analects / Lun Yu)
Buku Kumpulan Ujaran ini merupakan kumpulan tulisan yang dilakukan oleh murid-muridnya, setelah Confucius meninggal dunia. Isinya berupa pembicaraan-pembicaraan dan nasehat-nasehat yang diberikan oleh Confucius kepada murid-muridnya, termasuk perkataan murid-muridnya yang berkaitan dengan kehidupan saat itu. Tulisan ini berupa suatu gugusan pembicaraan yang terdiri dari 20 bab dengan pembagian alinea di masing-masing bab.
Lun Yu yang berarti ‘Ujaran’ dalam bahasa mandarin, adalah merupakan satu dari Empat Buku yang diterbitkan kembali dalam tahun 1190 oleh Chu Hsi dan merupakan karya klasik terbesar dalam Shih Shu (Empat Buku). Lun Yu dipertimbangkan oleh para cendekiawan sebagai sumber yang paling dipercayai dalam doktrin Confucianisme, dan pada umumnya merupakan naskah pertama yang dipelajari oleh para pengikut ajaran Confucius. Buku ini berisi konsep etika dasar Confucius yang bersifat praktis seperti konsep : Kebajikan [Jen], Budiman [C’un Zi], Yang Maha Kuasa [Th’ien], Jalan Tengah [Chung Yung], Sopan Santun [Li], dan Kesempurnaan Nama [Cheng Ming]. Cheng Ming mencerminkan bahwa seseorang haruslah bertindak sesuai dengan kebenaran karena akan mempengaruhi nama baik seseorang, seperti perkawinan haruslah dipandang sebagai perkawinan yang benar bukan hanya sekedar untuk kumpul kebo.
Di antara berbagai ujaran dalam Lun yu yang disampaikan oleh Confucius, terdapat penjelasan mengenai Bhakti [Hsiao] yang berarti pencurahan rasa bhakti dengan tulus kepada orangtua, yang dikatakan oleh Confucius, bahkan anjing dan kuda juga memiliki sifat bhakti tersebut . Sifat Bhakti tersebut tidak akan muncul tanpa penghormatan yang luhur terhadap orangtua. Lun Yu juga berisi ujaran Confucius mengenai kehidupan berumah tangga sebagaimana yang dicatat oleh murid-muridnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa Lun Yu belumlah tersusun secara sistimatis, dan adakalanya terjadi pengulangan, bahkan terkadang terkesan kurang akurat ditinjau dari sisi sejarah
3. Pokok-pokok pelajaran Mencius (The Principle of Mencius / Meng Zi)
Buku ini terdiri dari 7 jilid A dan B dimana merupakan suatu kumpulan tulisan ajaran dan percakapan Mencius dalam menjalani kehidupan pada saat itu dengan menegakkan kemurnian ajaran Confucius. Pendirian Mencius yang kukuh adalah mengungkapkan Cinta Kasih dan Kebenaran, menebarkan Jalan Suci dan Kebajikan, mengakui Yang Maha Esa (TAO).
Mencius merupakan salah satu filsuf pengikut Confucius yang terkenal dan hidup sekitar abad ke-4 SM serta mendapatkan julukan Ya Sheng atau Guru Agung Kedua. Walaupun Buku Mencius belum dikenal secara umum sebagai suatu karya klasik sampai abad ke-12, namun telah tercatat dalam sejarah bahwa pada permulaan abad ke-2 SM terdapat suatu kumpulan para cendekiawan yang telah mengajarkan ajaran Mencius. Chu Hsi mempublikasikan ajaran Mencius bersama tiga buku lainnya dalam tahun 1190 ke dalam kelompok Shih Shu.
Buku ini menekankan pemerintahan dan menguraikan bahwa kesejahteraan rakyat adalah merupakan hal yang paling utama di atas segala-galanya. Apabila seorang pimpinan negara tidak lagi memiliki sifat Kebajikan [Jen] dan Keadilan [ i ], maka kewenangan dari Yang Maha Tinggi [Th’ien Ming] kepadanya telah ditarik, dan dia haruslah disingkirkan. Mencius juga menyatakan bahwa Bhakti [Hsiao] merupakan dasar utama dalam kehidupan bermasyarakat. Dan bagi dia, perbuatan bhakti yang terbesar adalah yang dilakukan terhadap orangtua.
Kepopuleran Mencius terutama berdasarkan hikayat yang timbul dalam kebudayaan China sebagaimana dalam contoh kiasannya, yang mengatakan bahwa karena manusia tunduk kepada Yang Maha Tinggi, maka sifat sejatinya cenderung baik sebagaimana sifat air yang selalu mengalir ke bawah. Sebagai bukti atas hal tersebut, Mencius menyampaikan beberapa contoh antara lain, cinta sejati dari anak-anak terhadap orangtuanya, perasaan atas suatu perbuatan baik dan buruk yang dipahami secara universal, dan pengalaman sentakan ketika seseorang melihat seorang anak kecil dalam bahaya.
Doktrin mengenai sifat sejati tersebut ditolak dengan tegas oleh Hsun Zi pada abad ke-3 SM yang mengajarkan bahwa sifat alami manusia adalah egois dan buruk adanya sehingga harus belajar kebajikan melalui pendidikan yang benar. Posisi filsafat Mencius telah lama diterima sebagai suatu cerminan ortodok dari Confucianisme.
4. Buku tentang Jalan Tengah (The Doctrine of the Mean / Chung Yung)
Buku ini ditulis oleh Zi Shih (Khung Chi) , cucu Confucius yang kemudian disusun kembali oleh Chu Hsi menjadi satu bab utama dan 32 bab uraian. Buku ini berisi panduan pembinaan diri menempuh Jalan Suci dengan beriman kepada Yang Maha Tinggi [Th’ien] dengan menjalani FirmanNya dan bertindak-laku sebagai seorang Budiman Sejati.
Chung Yung yang berarti ‘Tengah’ atau ‘Yang Tidak Berubah’ adalah merupakan salah satu buku yang dipublikasikan kembali oleh Chu Hsi pada tahun 1190 dalam kelompok Shih Shu (Empat Buku). Chung Yung dipilih oleh Chu Hsi karena ketertarikannya akan hal-hal yang bersifat metafisikal dalam buku tersebut dimana juga telah lama menarik perhatian para Buddhis dan para pengikut Neo-Confucianis sebelumnya. Dalam kata pengantarnya, Chu Hsi menyampaikan hasil karya tersebut sebagai karyanya Zi Shih, walaupun pada kenyataannya karya ini merupakan salah satu bagian dari Li Chi.
Zi Shih menyatakan bahwa Chung Yung merupakan tema pokok dalam ajaran Confucius. Dua karakter China dalam kata Chung Yung, sering juga diterjemahkan sebagai ‘Jalan Tengah’, mencerminkan suatu pemikiran Confucianis yang begitu luas, dan melingkupi hampir keseluruhan sifat keluhuran dari setiap hubungan dan kegiatan dalam kehidupan seseorang. Secara praktis, Chung Yung dapat dipandang sebagai suatu hal yang tidak dapat diukur dalam arti kata bersifat sederhana, adil, obyektif, rasa hormat, ketulusan, kejujuran, sopan santun, seimbang, dan tanpa adanya prasangka. Sebagai contoh, hubungan dengan seorang teman tidaklah perlu harus terlalu jauh ataupun terlalu dekat. Seseorang tidaklah harus bersikap berlebihan baik dalam duka ataupun suka, karena terlalu larut dalam duka akan menyakitkan, demikian juga apabila terlalu bergelimang dalam suka akan sulit dikendalikan. Seseorang haruslah melekat tanpa bergeming dalam usahanya menempuh Jalan Tengah tersebut di berbagai situasi dan waktu. Sifat demikian sesuai dengan hukum alam yang merupakan inti dari kebenaran pada umumnya, dimana merupakan suatu ciri tersendiri dari seorang Budiman.
Lima Kitab (Five Classics / Wu Cing)
Penyalinan ulang Lima Kitab [Wu Cing] merupakan suatu perwujudan nyata dimulainya era tradisi Confucianisme. Pencantuman naskah pra-Confucianis yaitu Kitab tentang Sejarah [Shu Cing] dan Kitab tentang Sajak [Shi Cing], dan naskah Ch’in Han seperti bagian tertentu dari Kitab tentang Upacara [Li Chi], mencerminkan bahwa semangat dibalik kebangkitan rencana pendidikan inti terhadap ajaran Confucius adalah bersifat menyeluruh. Lima Kitab dapat diuraikan dalam lima konsep pandangan, yaitu metafisikal, politik, puisi, sosial, dan sejarah. Wu Cing yang isinya sangat sulit dimengerti tersebut pada umumnya dipelajari setelah seseorang menguasai naskah yang ada dalam Empat Buku [Shih Shu].
Pada tahun 136 SM dalam masa pemerintahan dinasti Han, kaisar Wu-ti mengumumkan ajaran Confucius sebagai ideologi negara China. Gelar Guru kehormatan [po shih] diberikan khusus kepada para pengajar yang diangkat untuk mengajar Wu Cing dimana hal ini masih terus berlanjut sampai memasuki abad ke-20. Pada tahun 124 SM, Wu Cing dimasukkan dalam kurikulum pelajaran inti di perguruan tinggi. Keahlian dalam menyajikan dan menjelaskan naskah Wu Cing menjadi suatu persyaratan mutlak bagi para sarjana yang hendak menjabat di pemerintahan.
Wu Cing terdiri dari I Cing (Kitab tentang Kejadian/Perubahan), Shu Cing (Kitab tentang Sejarah), Shih Cing (Kitab tentang Sajak), Li Chi (Rangkaian Upacara), dan Ch’un Ch’iu (Riwayat Ch’un Ch’iu).
1. Kitab tentang Kejadian/Perubahan (The Book of Change / I Cing)
Kitab ini merupakan salah satu kitab tertua yang diperkirakan sudah ada sejak masa 1100 SM sebagai suatu kitab yang mengandung filsafat hidup yang tinggi dimana menghubungkan kejadian alam semesta dengan berbagai perubahan terhadap kehidupan sehari-hari. Sejarah di Tiongkok mencatat bahwa I Cing banyak dipakai oleh para peramal pada zaman dinasti untuk menasehati para penguasa selama masa perang antar negara. Kemungkinan kitab ini disusun kembali oleh Confucius dan murid-muridnya. Kitab ini terdiri dari 24.707 huruf terbagi atas 64 bab sesuai dengan jenis heksagram Yin (negatif) dan Yang (positif).
Pandangan metafisikal tercermin dalam kitab ini yang merupakan kombinasi seni peramalan dengan teknik perhitungan dan perenungan secara mendalam. Sesuai dengan filosofi perubahan, alam semesta ini terus mengalami perubahan akbar yang disebabkan adanya interaksi konstan dua unsur energi yang saling mendukung ataupun saling bertentangan, yaitu Yin (unsur negatif) dan Yang (unsur positif). Alam semesta yang berasal dari perubahan akbar tersebut senantiasa mencerminkan kesatuan dan dinamisme tujuan. Seorang Budiman akan senantiasa diilhami oleh keharmonisan dan kreativitas dari pergerakan alam semesta ini, sehingga dia dapat menguasai pola perubahan tersebut dengan cara senantiasa memadamkan usaha yang mementingkan diri sendiri (egois) sehingga tercapai realisasi pokok pikiran paling tinggi dalam penyatuan manusia dan Yang Maha Kuasa.
Naskah utama dalam I Cing dipercayai merupakan hasil karya Wen Wang (hidup sekitar abad ke-12 SM), seorang petapa dan perintis dinasti Chou. Kitab ini berisi suatu pembahasan mengenai sistem peramalan yang dipergunakan oleh para peramal dinasti Chou. Terdapat satu bagian pelengkap komentar yang dipercayai sebagai hasil karya para cendekiawan yang hidup pada masa Perang Negara (475 – 221 SM), dan dalam kedudukan filsafat dapat ditafsirkan sebagai suatu karya yang berusaha mencerminkan prinsip keberadaan alam semesta, sehingga karya ini dapat dianggap mengandung nilai sejarah filsafat China yang tinggi. Bagaimanapun para sarjana modern merasa terusik atas keberadaan I Cing dalam kumpulan klasik ajaran Confucius dengan alasan Confucius selalu berusaha menghindari membicarakan sesuatu yang bersifat esoterik. Hal ini dapat dimengerti karena para pengikut Confucius pada masa dinasti Han (sekitar abad ke-2 SM) yang sangat terpengaruh oleh praktek Taois mengenai kekekalan, telah melakukan penyesuaian penggunaan I Cing dengan menambahkan beberapa komentar sesuai ajaran Confucius. Selanjutnya mereka memasukkan I Cing sebagai bagian dari Wu Cing.
Walaupun buku ini pada awalnya dipergunakan untuk peramalan, namun I Cing mempengaruhi cara pikir kebanyakan orang China. Kepopularitas I Cing disebabkan antara lain terdapatnya suatu cara pemaparan sistim kosmologi yang menghubungkan manusia dengan alam semesta sebagai suatu kesatuan. Keunikan I Cing dapat dilihat dari caranya menguraikan 64 simbol heksagram yang memiliki arti mendalam terhadap pengaruh kehidupan sehari-hari apabila dipahami dan diinterprestasikan secara benar. Selama berabad-abad, para penganut I Cing menyatakan bahwa kitab tersebut merupakan suatu sarana untuk memahami dan bahkan mengendalikan segala kejadian yang akan datang.
Heksagram I Cing dibentuk dengan menggabungkan secara berpasangan delapan dasar trigram [pa-kua] antara satu bagian dengan bagian lainnya. Setiap trigram memiliki namanya sendiri yang mengandung arti asal dan arti simbol. Raja legenda Fu Hsi (hidup sekitar abad ke-24 SM) dipercayai telah menemukan trigram tersebut pada punggung seekor kura-kura. Sedangkan Wen Wang diakui sebagai perumus heksagram itu sendiri.
Secara praktek, seseorang ‘menciptakan’ suatu heksagram yang dituangkan dalam suatu bentuk tertentu dengan berbagai cara. Heksagram dibentuk secara garis per garis dari bawah hingga membentuk suatu bentuk yang berurutan. Garis penuh memiliki angka sembilan, dan garis putus memiliki angka enam. Garis penuh mewakili Yang (sifat kosmik lelaki), sedangkan garis putus mewakili Yin (sifat kosmik wanita). Dua sifat tersebut menjelaskan bahwa segala makhluk dan segala perubahan disebabkan oleh interaksi yang terus menerus.
Keseluruhan garis dalam suatu heksagram dapat diperbandingkan dengan suatu bentuk nat dalam musik. Setiap nat mempunyai suatu kualitas dan memiliki artinya tersendiri, dimana kebenaran tertinggi sangatlah tergantung dari tempat dimana suatu musik itu dinilai. Dengan berdasarkan prinsip yang sama yang diterapkan untuk setiap garis dalam suatu heksagram, maka dapat dilihat bahwa I Cing menguraikan terlebih dahulu setiap garis secara terpisah, kemudian memberikan keseluruhan interpretasi terhadap bentuk heksagram tersebut. Naskah I Cing pada umumnya diekspresikan secara tersembunyi, suatu bahasa yang memerlukan pemikiran mendalam, dimana memberikan keleluasan pemakainya untuk menginterpretasikan artinya. Para ilmuwan dapat menemukan hubungan heksagram dengan rumus ilmiah. Ahli matematika Jerman, Gottfried Wilhelm von Leibniz (1646 – 1716), mendapatkan inspirasi dari delapan trigram tersebut, sehingga dapat menyempurnakan sistim biner dan menemukan kalkulus integral dan diferensial yang merupakan teori pertama dari komputer modern yang sedang saya pakai untuk mengetik saat ini. Martin Schonberger dalam bukunya The Hidden Key to Life, mencatat bahwa 64 heksagram dari I Cing sangat sesuai dengan struktur 64 DNA yang merupakan kode genetik kehidupan seseorang.
I Cing yang dikenal juga dengan sebutan Zhou Yi (perubahan Zhou) merupakan sumber budaya Tiongkok yang pengaruhnya sangat luas, dimana sampai saat ini masih tetap dijadikan sumber inspirasi dari berbagai tindakan yang mampu menciptakan manfaat bagi kebanyakan bidang kemasyarakatan termasuk bidang anatomi manusia, sibernetika, sistimatika, teori informasi, teori kuantum, teori pemisahan struktur, dan studi jaringan tubuh.
Logika I Cing dapat dimengerti dengan melihat bahwa semua benda dan peristiwa selalu tumbuh dan berkembang tanpa henti, bahkan suatu benda yang menurut kita paling keras sekalipun seperti batu juga akan hancur dan tidak kekal adanya. Semua benda dan peristiwa selalu memiliki keadaan yang saling berlawanan. Waktu siang kita melihat matahari, dan hanya waktu malam kita melihat bintang dan bulan. Hal yang berlawanan ini kita sebut Yin dan Yang. Namun Yin dan Yang ini bukan juga suatu hal yang selalu berlawanan karena sifat Yin dan Yang juga dapat saling melengkapi dalam alam semesta ini yang disebut persatuan dari yang berlawanan. Setiap perubahan selalu membawa kita kepada suatu situasi yang berlawanan, bahkan siang dan malam harus saling bergantian berubah dengan waktu dan keadaan, begitupun manusia. Jika seseorang hanya mengetahui bagaimana bergerak maju dan tidak pernah mengenal mundur maka niscaya pada suatu hari dia akan menemui jalan buntu. Jika seseorang yang telah memahami prinsip bahwa saat berada di puncak maka sesuatu itu akan menurun kembali, sehingga dapatlah dikatakan bahwa orang tersebut dapat datang dan pergi dengan bebas atau tanpa adanya suatu keterikatan.
2. Kitab tentang Sejarah (The Book of History/Shu Cing)
Shu Cing yang terdiri dari 25.700 huruf, terbagi atas 58 pasal dalam 4 bab dan disebut juga Shang Su (Sejarah Resmi), Cai Cing atau Piet Cing (Kitab Tembok), merupakan suatu rangkaian susunan catatan dokumen yang terkait dengan berbagai kejadian sejarah kuno di Tiongkok. Walaupun telah diteliti bahwa terdapat beberapa pasal tertentu yang diragukan keasliannya, namun bagian otentik yang ada mencerminkan kitab ini tergolong salah satu tulisan China yang paling kuno.
Terdapat 33 pasal (pada awalnya hanya 29 pasal dimana kemudian beberapa pasal dipecah lagi menjadi pasal tambahan) yang dinamakan naskah ‘skripsi modern’ yang dipercayai oleh para cendekiawan sebagai karya otentik yang berasal dari abad ke-4 SM atau sebelumnya. Lima pasal pertama dari Shu Cing menyiratkan berbagai pepatah kuno dan mengingatkan banyak keputusan yang telah diambil oleh kaisar-kaisar yang terkenal saat itu seperti Kaisar Yao dan Kaisar Shun yang telah memerintah selama era keemasan China. Pasal enam sampai pasal sembilan merupakan peninggalan dinasti Hsia (2205 – 1766 SM), yang sejarahnya masih belum terungkapkan. 17 pasal berikutnya berkaitan dengan dinasti Shang yang runtuh tahun 1122 SM. Keruntuhan dinasti Shang merupakan hasil perbuatan kaisar terakhir dinasti Shang yang disebut sebagai penindas, pembunuh, perampas hak rakyat dan tindakan lainnya yang tidak terpuji. 32 Pasal terakhir memuat dinasti Chou bagian Hsi (Barat) yang memerintah Tiongkok sampai tahun 771 SM.
3. Kitab tentang Sajak (The Book of Poetry / Shi Cing)
Kitab ini merupakan suatu kumpulan sajak kuno,dalam bentuk nyanyian yang terdiri dari 305 syair. Syair-syair ini terutama merupakan suatu ungkapan realitas kehidupan bermasyarakat terhadap keberadaan Yang Maha Esa, termasuk tradisi kehidupan berkeluarga dan kehidupan rakyat pada saat itu. Sebagian syair yang ada merupakan kumpulan syair sebelum kelahiran Confucius, malah ada yang berasal dari Dinasti Siang (1766 SM-1122 SM).
Sebelumnya terdapat empat versi Shi Cing namun akhirnya tinggal satu versi yang memiliki kata pengantar Mao Ch’ang dimana sempat terkenal sekitar abad ke-2 SM. Hal ini terjadi setelah Shih Huang-ti (Kaisar Shih) dari Dinasti Ch’in mengeluarkan perintah terkenalnya berupa pembakaran kitab-kitab pada tahun 213 SM.
4. Kitab tentang Upacara dan Tata Krama (The Book of Rites / Li Chi)
Li Chi merupakan salah satu kitab dari Wu Cing yang dipercayai bahwa naskah aslinya telah disusun kembali oleh Confucius. Kitab ini sempat dimusnahkan oleh penguasa waktu itu (Dinasti Ch’in, pemerintahan Kaisar Shih), dan kemudian disusun kembali oleh Tetua Tai (Ta Tai) dan keponakannya Tai Yunior (Hsiao Tai) pada sekitar abad pertama SM.
Kitab ini terdiri dari 3 bagian utama yang berisi tata cara pemerintahan, tata cara puja bhakti, dan tata cara kesusilaan. Secara umum, Li Chi menguraikan prinsip moral yang berkaitan dengan ketata-negaraan, perkembangan upacara, persembahan dan upacara keagamaan, pendidikan, musik, sikap cendekiawan, dan doktrin Jalan Tengah (Chung Yung).
Pada tahun 1190, Chu Hsi memisahkan dua bab Li Chi dengan judul tersendiri dan menerbitkannya bersama dua naskah Confucianis lainnya dalam kelompok Shih Shu (Empat Buku) yang umumnya dipakai sebagai dasar pengenalan awal dalam mempelajari literatur Confucianisme.
5. Kitab Rangkaian Ch’un Ch’iu (Spring and Autums Annals / Ch’un Ch’iu)
Kitab ini merupakan satu-satunya kitab yang disusun sendiri oleh Confucius, yang mencatat berbagai kejadian dalam sejarah negara Tiongkok pada era Ch’un Ch’iu (722 SM – 481 SM) mulai abad ke – 8 SM sampai wafatnya Confucius pada permulaan abad ke-5 SM.
Ch’un Ch’iu dalam bahasa China yang berarti Musim Semi dan Musim Rontok merupakan suatu rangkaian sejarah yang pertama dikenal dalam kebudayaan Tiongkok, dan dinyatakan berasal dari sejarah tradisi negara bagian Lu sebagaimana telah disusun oleh Confucius . Nama tersebut sebenarnya merupakan singkatan dari Musim Semi, Musim Panas, Musim Gugur dan Musim Salju, dimana berasal dari kebiasaan lama yang menandai suatu kejadian berdasarkan musim ataupun tahun. Karya ini merupakan suatu karya yang lengkap dan detail dari bulan ke bulan dimana mencatat berbagai kejadian penting yang terjadi selama masa pemerintahan 12 kepala pemerintahan negara bagian Lu, negara asal Confucius. Catatan tersebut bermula dari tahun 722 SM dan berakhir tidak lama sebelum Confucius meninggal dunia (479 SM). Confucius yang mengundurkan diri dari jabatan pemerintahan, kemudian menyampaikan pesan-pesan moral secara terselubung terhadap berbagai kejadian di pemerintahan yang dituangkannya dalam Kitab Ch’un Ch’iu tersebut.
Diantara beberapa cendekiawan yang mencoba menggali pengertian yang sulit dalam naskah tersebut, tercatat seorang Confucianis yang berasal dari Dinasti Han yaitu Tung Chung Shu (yang hidup sekitar tahun 179 – 104 SM). Tung menyatakan bahwa berbagai fenomena alam yang tercatat dalam kitab tersebut (seperti, gerhana matahari, bintang sapu pada malam hari, musim kemarau) adalah dimaksudkan sebagai suatu peringatan akan apa yang akan menimpa para pemimpin negara apabila mereka terbukti tidak patut dihormati. Para cendekiawan Confucianis yang pada saat itu kebanyakan bertindak selaku penterjemah resmi terhadap kitab ini dan juga karya klasik lainnya, sehingga terkesan bahwa kitab tersebut merupakan suatu cara untuk menanamkan pemikiran Confucianisme dalam pemerintahan.
Kepopuleran Ch’un Ch’iu terutama atas sumbangsih dari Tso Chuan, seorang komentator [chuan] yang bernama Tso. Dua komentar penting lainnya terhadap Ch’un Ch’iu adalah Kung-yang Chuan dan Ku-liang Chuan. Ketiga hasil komentar yang disampaikan oleh tiga cendekiawan tersebut terdaftar diantara daftar pilihan Sembilan, Dua Belas, dan Tiga Belas Karya Klasik Confucianisme.
23
PELAJARAN POKOK DALAM CONFUCIANISME
Th’ien Yang Maha Kuasa
Segala sesuatu di alam semesta ini memiliki watak [hsing] sebagai ciri pengenalnya, karena watak tersebut adalah anugerah Yang Maha Esa atau Yang Maha Tinggi. Manusia dapat merasakan kehadiran Th’ien di dalam diri sejatinya dengan mengembangkan sifat sejatinya berupa kejujuran. Manusia kehilangan sifat sejatinya setelah terlahir ke dunia ini dimana menurut pemikiran Confucianisme, hanya melalui pendidikan dan pendalaman batin maka manusia akan mampu menemukan kembali jati diri sejatinya.
Di dalam Kitab tentang Puisi (The Book of Poetry/Shi Cing), terdapat beberapa syair yang menunjukkan pemahaman mengenai keberadaan Yang Maha Esa atau Yang Maha Tinggi , yang disebut Th’ien (Langit) , Shang Ti (Yang Maha Tinggi) , Th’ien Ti (Kaisar Langit) atau Th’ien Tzu (Yang Maha Kuasa). Kita mengenal berbagai ‘nama’ yang diberikan kepada Yang Maha Kuasa, padahal ‘nama’ yang diberikan tersebut sangatlah sulit untuk didefinisikan dan dimengerti dalam bahasa manusia. Namun untuk mengagungkanYang Maha Kuasa, maka Lau Zi yang dengan terpaksa memberikan nama TAO, dimana tentunya berlainan dengan berbagai bahasa, tradisi, kebudayaan setempat, dan tingkat pencapaian spiritual seseorang. Betapa banyaknya ‘nama’, mulai dari Nam, Lok, Brahman, Prakriti, Purusha, Hyang Adi Buddha, Jehova, Yahwee, Eli , Eloi, Tuhan, Allah, Bapa di Surga, Amitabha di Surga Tanah Suci, Shang Ti, Th’ien dan sebagainya. Kekuasaan dari Yang Maha Esa tidak dapat diukur dan diuraikan dengan bahasa manusia karena berada di luar jangkauan suara, sentuhan dan penciuman manusia.
” Kekuasaan dan bimbingan dari Yang Maha Esa sangat luas dan dalam; hal itu di luar jangkauan suara, sentuhan, atau penciuman.” (Shi Cing IV Wen Wang I/7)
Kekuasaan dari Yang Maha Kuasa tidak terbayangkan oleh manusia. Berkahnya senantiasa dicurahkan ke dunia dan seluruh makhluk hidup tidak luput dari pandangan dan bimbinganNya.
” Oh, betapa besarnya Yang Maha Kuasa ! Berkahnya dicurahkan pada bumi. Dengan pandangan secara menyeluruh dan perhatian yang seksama mengatur penghuni dunia, agar hidup berkecukupan.” (Shi Cing IV Wen Wang VII/1)
“Oh, betapa besarnya kekuasaan Yang Maha Kuasa, yang memerintah dan membimbing umat manusia.” (Shi Cing IV Thang I/1)
Manusia terlahir di dunia dengan sifatnya yang saleh dan luas sehingga tugas mereka dapat dilaksanakan dengan memanfaatkan fungsi dari badan, kekuatan dan pikiran.
” Yang Maha Esa menciptakan umat manusia dan merancangkannya dengan sifat yang saleh dan luas. Dengan fungsi-fungsi dari badan, kekuatan dan pikiran; tugas-tugas mereka untuk dilaksanakan.” (Shi Cing IV/ Thang VI/1)
Pengertian Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Shi Cing dan Shu Cing disebut berulang kali, demikian juga catatan Confucius dalam Lun Yu. Dikatakan bahwa seseorang yang menentang Yang Maha Kuasa maka tidak akan memiliki apapun walaupun dia berdoa.
Guru Khung Fu Zi bersabda , ” Dia yang menentang Yang Maha Kuasa tidaklah akan memiliki apa-apa, walaupun dia berdoa.” (Lun Yu III/13).
Menjauhi makanan terlarang, bersikap sederhana, memiliki moralitas dan menjunjung tinggi sifat Cinta Kasih [Jen] yang merupakan nilai sejati seorang Budiman serta mempelajari kesenian adalah merupakan beberapa faktor utama yang mutlak dikembangkan oleh seseorang dalam menapak Jalan Ketuhanan atau Jalan Kebenaran.
Guru Khung Fu Zi bersabda, “Jika seseorang berbudi telah berketetapan hati untuk mencari Jalan Ketuhanan, namun masih malu memakai pakaian compang-camping dan makan makanan terlarang, maka tidak ada tempat untuk berbicara tentang Jalan Ketuhanan dengan dia.” (Lun Yu IV/9).
” Seseorang harus mengarahkan aspirasinya terhadap Jalan Ketuhanan, memegang tinggi moralitas, bergantung kepada nilai-nilai sejati seorang Budiman dan mempelajari kesenian.” (Lun Yu VII/6).
Confucius mengakui bahwa diriNya sulit dimengerti oleh orang lain, tetapi Beliaupun tidak menyalahkan Yang Maha Kuasa ataupun orang lain, karena Beliau menyadari akan kekuasaan Yang Maha Kuasa, sehingga membuat Beliau mengerti akan semua hal yang dimulai dari belajar di tingkat yang paling sederhana.
Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Tidak ada seorangpun yang bisa mengerti saya ! Saya tidak mengeluh terhadap Yang Maha Kuasa, dan saya juga tidak menyalahkan manusia. Dalam belajar, saya mulai dari tingkat yang paling sederhana dan sedikit demi sedikit bergerak ke yang berada di atas. Jika saya mengerti, semua hanyalah oleh kekuasaan Tuhan saja.” (Lun Yu XIV/37).
Terdapat tiga hal yang harus dijaga oleh seorang Budiman, yaitu memuliakan firman Yang Maha Esa, memuliakan orang yang berbudi luhur dan memuliakan apa yang diucapkan orang yang berbudi luhur.
Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Seorang Budiman yang berwatak luhur memuliakan tiga hal, yaitu memuliakan firman Tuhan Yang Maha Esa, memuliakan orang-orang besar yang berbudi luhur dan memuliakan kata-kata yang diucapkan oleh orang-orang besar yang berbudi luhur. ” (Lun Yu XVI/8).
Manusia harus mengerti kapan dia harus diam dan kapan harus bicara. Baik dalam ajaran Buddhisme maupun Taoisme mengenal prinsip diam yang masing-masing memiliki konsep pengertian yang hampir dapat disamakan. Adakalanya kita memerlukan waktu untuk lebih banyak diam, lebih banyak mendengarkan. Kita terlalu disibukkan dengan berbagai permasalahan duniawi, masalah rumah tangga yang rumit, pekerjaan di kantor yang tidak berkesudahan, bisnis usaha yang tidak stabil, teman yang menyebalkan, dan berbagai permasalahan lainnya. Permasalahan inipun sering kita bawa pada saat menghadap di depan Yang Maha Agung, dan kitapun mengeluhkan berbagai permasalahan tersebut dengan harapan akan menemukan suatu jalan keluar. Namun tanpa kita sadari, justru kita tidak mencoba untuk mendengarkan solusi yang diberikan oleh Yang Maha Agung. Karena kita selalu mengeluh, dan tidak pernah mendiamkan diri untuk mendengarkan. Lakukan meditasi dan pusatkan pikiran, maka disanalah akan kita temukan solusinya.
Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Saya lebih baik tidak berbicara. ” Zi Kung (salah satu muridnya) menanyakan lebih lanjut, bahwa kalau Guru tidak mau bicara, maka bagaimana mereka sebagai murid-muridnya harus mencatat. Yang dijawab oleh Guru Khung Fu Zi : ” Apakah Yang Maha Kuasa berbicara ? Empat musim bergantian dan segenap makhluk tumbuh dan hidup. Apakah Yang Maha Kuasa berbicara ? ” (Lun Yu XVII/19).
Th’ien Li suatu Kebenaran
Th’ien Li adalah suatu Kebenaran berupa ketentuan-ketentuan hukum alam yang berasal dari Yang Maha Esa. Setiap manusia harus berusaha untuk mengolah batinnya dan memperbaiki sifat-sifat buruknya, agar dapat menjalani kehidupan selaras dengan Th’ien Li.
Confucius menjelaskan suatu konsep kesamaan hak azasi yang melihat bahwa tingkat pendidikan dan situasi lingkungan merupakan faktor yang menciptakan perbedaan antar tingkat sosial dalam kehidupan umat manusia, dimana pada dasarnya secara alami adalah sama. Th’ien Li atau ketentuan hukum alam ini dapat kita samakan dengan pengertian karma yang secara alami akan berbuah sesuai dengan kondisi kematangannya. Walaupun demikian, tidaklah berarti bahwa kita harus mengeluh dan berputus asa dalam menerima kondisi kelahiran kita yang kurang menyenangkan dibandingkan dengan orang lain yang kita rasakan lebih berbahagia. Justru dengan menerima konsep persamaan awal yang tanpa perbedaan tersebut, maka akan memacu kita untuk lebih giat merubah kondisi yang kurang menyenangkan tersebut dengan mengolah batin dan hidup secara selaras melalui belajar dan senantiasa berada di Jalan Kebenaran.
Guru Khung Fu Zi bersabda : ” Secara alami, semua manusia itu adalah sama. Namun karena ada perbedaan dalam pendidikan dan lingkungan, sehingga menimbulkan perbedaan yang mana makin lama makin jelas perbedaan tersebut .” (Yun Lu XVII/2).
Th’ien Ming Hakekat Sejati
Th’ien Ming adalah segala sesuatu di alam ini, yang telah ada atau yang telah terjadi, dimana erat kaitannya dengan Th’ien Li. Th’ien yang absolut sebagai sumbernya, sedangkan alam semesta bergerak menurut hukum-hukumnya. Manusia di dalam kehidupannya menghadapi penderitaan, kematian, kesenangan, kekayaan dan kemiskinan, yang semuanya berasal dari Yang Maha Esa [Th’ien], sesuatu yang tidak berawal dan tidak berakhir. Sesuatu yang kita bawa serta dari kehidupan-kehidupan sebelumnya, benih-benih perbuatan kita sendiri yang didorong oleh nafsu keinginan untuk menjalani kehidupan ini dalam lingkaran kehidupan dan kematian. Hanya dengan pengolahan batin yang mendalam dan pengertian yang benar atas hukum sebab-akibat, maka manusia akan dapat terbebas dari lingkaran kehidupan dan kematian tersebut.
Confucius menawarkan suatu jalan untuk mengolah batin agar dapat hidup secara berbudi luhur dan berkesadaran tinggi dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya kepada masyarakat maupun dalam menjaga keharmonisan kehidupannya dengan alam semesta. Proses pengolahan diri ini dijelaskan sebagai berikut :
Dalam menjalani kehidupan, setiap orang harus mengolah batinnya dan mengubah sifat buruknya, serta berusaha mengolah diri, agar dapat menuju pada sifat budi yang luhur dan berakhlak sebagai manusia Budiman yang berbudi luhur [C’un Zi].
Peningkatan kesejahteraan hidup setiap orang dapat dilakukan dengan cara belajar, agar dapat menguasai suatu ilmu atau kepandaian. Oleh karena itu, pendidikan dan nama baik dalam kehidupan bermasyarakat memainkan peranan yang penting bagi kehidupan seseorang.
Kesadaran yang tinggi atas tugas dan tanggungjawab setiap orang dalam kehidupan bermasyarakat, dimanapun dia berada sangatlah ditekankan untuk senantiasa menjaga kehidupan yang selaras dengan hukum alam.
Seseorang haruslah mampu mengenal firman dari Yang Maha Kuasa. Firman yang disampaikan melalui Para Guru Agung yang telah datang ke dunia ini yang dalam bahasa lainnya dikenal sebagai Wahyu, Dharma, Sabda, Tao, ataupun Alunan Surgawi. Tanpa mengenal firman tersebut, maka kita tidaklah mungkin dapat menjadi seorang Budiman, sehingga kita tidaklah mungkin dapat mengenal sifat jati diri kita sebenarnya sebagai seorang manusia.
Guru Khung Fu Zi bersabda : ” Tanpa mengenal firman dari Yang Maha Esa, tidaklah mungkin menjadi seorang Budiman yang berbudi luhur. Tanpa menguasai ketentuan-ketentuan budi pekerti, tidaklah mungkin mengembangkan suatu kepribadian. Tanpa mengetahui makna kandungan dari kata-kata, tidaklah mungkin dapat mengenal manusia.” (Lun Yu XX/3 = alinea terakhir dari Lun Yu).
Jalan Kebenaran
Dikatakan bahwa setiap manusia harus mengolah diri dan berusaha meningkatkan kehidupannya, serta memahami tugas dan tanggung-jawabnya dalam kehidupan bermasyarakat di tempat tinggalnya, sehingga agama dalam pengertian etika moral sangatlah dibutuhkan.
Firman dari Yang Maha Kuasa dikatakan sebagai Watak Sejati dan manusia yang berbuat mengikuti Watak Sejati dikatakan menempuh Jalan Kebenaran [Tao] yang merupakan perwujudan dalam berbagai bentuk agama yang telah dibabarkan oleh Para Guru Agung terdahulu.
” Firman Th’ien itulah dinamakan Watak Sejati. Berbuat mengikuti Watak Sejati itulah dinamakan menempuh Jalan Kebenaran [Tao]. Bimbingan untuk menempuh Jalan Kebenaran itulah dinamakan Agama.” (ChungYung, Bab Utama 1).
Jalan Kebenaran [Tao] tidak boleh sedetikpun terpisah dari kehidupan kita, apa yang dapat dipisahkan dari kehidupan kita bukanlah dinamakan Jalan Kebenaran. Seorang Budiman [C’un-Zi] walaupun menyendiri ataupun sedang dalam suka maupun duka, haruslah senantiasa memiliki kesadaran diri yang tinggi untuk selalu berada secara harmonis di Jalan Tengah [Chung]. Sehingga seorang Budiman tidak perlu terhanyut dalam duka yang mendalam ataupun terombang-ambing dalam suka yang berkelebihan. Dengan demikian seorang Budiman akan hidup secara harmonis di Jalan Tengah sehingga kesejahteraan dan perdamaian akan meliputi seluruh dunia.
“Apa yang disebut dengan Jalan Kebenaran [Tao] tidaklah dapat dipisahkan sedetikpun. Apa yang dapat dipisahkan bukanlah Tao. Sehingga seorang Budiman senantiasa waspada di tempat dimana dia tidak kelihatan, dan tetap khawatir di tempat dimana dia tidak kedengaran. Tidak ada yang lebih nyata daripada yang tersembunyi, dan tidak ada yang lebih jelas daripada yang gaib. Sehingga seorang Budiman haruslah senantiasa waspada pada saat dia menyendiri. Apabila kegembiraan, kemarahan, kesedihan ataupun kesenangan belumlah muncul, maka dapat dinamakan Chung [seimbang, sentral, jalan tengah]. Apabila telah muncul dalam tingkat yang berkesesuaian, maka dapat dinamakan harmonis. Chung merupakan suatu sumber terbesar dari semua yang berada di bawah langit ini. Harmonis merupakan penembusan Jalan Kebenaran [Tao] dari semua yang berada di bawah langit. Apabila Jalan Tengah [Chung] dan harmonis telah diwujudkan, maka Langit dan Bumi akan berada dalam posisi yang berkesesuaian, dan seluruh makhluk dan benda yang tak terhitung akan terpelihara.” (Chung Yung, the Text , 2-5)
Ketidak-pedulian atau Avidya [Avijja] sebagaimana pengertian dalam Buddhisme juga dipandang oleh Confucius sebagai suatu sumber permasalahan, sehingga seseorang itu hidup secara menyimpang dari Jalan Kebenaran.
Guru Khung Fu Zi bersabda, “Seorang Budiman merealisasikan Jalan Tengah [Chung], seorang yang hina-dina hidup bertentangan dengan Jalan Tengah. Seorang Budiman senantiasa merealisasikan Jalan Tengah karena dia selalu bersamanya, sedangkan kehidupan yang bertentangan dari seorang hina-dina karena ketidak-peduliannya. ” (Chung Yung, the Commentary, 2)
Kita sering tidak menyadari bahwa kepintaran yang kita miliki adakalanya menciptakan kesombongan diri, dimana akan mengarahkan kita bertindak di luar jalur Jalan Kebenaran. Demikian pula sebaliknya, kebodohan batin yang terlalu dalam akan menyebabkan kita tidak peduli terhadap Jalan Kebenaran. Sehingga Confucius menyadarinya bahwa kedua hal tersebut merupakan faktor utama kenapa Jalan Kebenaran sulit untuk direalisasikan.
Guru Khung Fu Zi bersabda, “Saya tahu kenapa Jalan Kebenaran tidak dilaksanakan. Yang pintar melampauinya dan yang bodoh tidak dapat mencapainya. Aku tahu kenapa Jalan Tengah tidak diwujudkankan. Yang baik melampauinya dan yang dina tidak mencapainya. Tiada seorangpun yang tidak makan ataupun minum, tetapi hanya sedikit yang benar-benar dapat mengecapinya. Begitulah! Jalan Kebenaran tidak diikuti.” (Chung Yung, the Commentary, 4-5).
Hukum Kejadian Sebab Akibat
Hukum kejadian sebab akibat dalam pengertian Confucianisme ditekankan dari sisi etika moral yang menggemilangkan kebajikan. Seseorang sebelum mampu mengatur dunia haruslah mampu mengatur diri sendiri dimana dia harus mampu mengolah jati diri sejatinya dengan meluruskan atau mengendalikan pikirannya. Dengan membulatkan tekad maka dia akan mampu meluruskan atau mengendalikan pikirannya secara baik yang kesemuanya dimulai dari meneliti inti dari setiap kejadian [Ke’-wu]. Perenungan yang demikian akan membawa seseorang berusaha mengolah dirinya dan mengharmonisasikan kehidupan rumah tangganya, sehingga mampu mengatur negerinya menuju tercapainya perdamaian dunia.
” Manusia jaman dulu yang hendak mewujudkan kebajikan mereka yang bercahaya kepada setiap kehidupan di dunia, terlebih dahulu dia berusaha mengatur negerinya; Untuk mengatur negerinya, terlebih dahulu dia mengharmonisasikan kehidupan rumah tangganya; Untuk mengharmonisasikan kehidupan rumah tangganya, terlebih dahulu dia mengolah dirinya; Untuk mengolah dirinya, terlebih dahulu dia meluruskan pikirannya; Untuk meluruskan pikirannya, terlebih dahulu ia membulatkan tekadnya secara baik; Untuk membulatkan tekadnya secara baik, terlebih dahulu dia menambah pengetahuannya; dan Untuk menambah pengetahuannya, dia harus meneliti inti dari setiap kejadian. Dengan meneliti inti dari setiap kejadian akan menambah pengetahuannya; Dengan bertambah pengetahuannya akan dapatlah membulatkan tekadnya secara baik; Dengan tekad yang baik akan dapatlah meluruskan pikirannya; Dengan pikiran yang lurus akan dapatlah mengolah dirinya; Dengan diri yang terolah akan dapat mengharmonisasikan rumah tangganya; Dengan rumah tangga yang harmonis akan dapat mengatur negerinya; dan Dengan negeri yang teratur akan dapat dicapai kedamaian di dunia.” (Da Xue , the Text)
Lima Norma Kesopanan [Wu Lun ]
Confucius mengajarkan bahwa terdapat lima hubungan norma kesopanan [Wu Lun] dalam kehidupan bermasyarakat, dimana secara bersama membentuk suatu dasar interaksi manusia yang diwujudkan dalam lima sifat mulia [Wu Chang], yaitu Jen, I, Li, Chih, dan Hsin. Dengan menjalani kehidupan secara berkesesuaian terhadap lima hubungan norma kesopanan tersebut, maka seseorang akan memiliki kehidupan moralitas yang tinggi terhadap hubungan pribadinya maupun terhadap komunitas sebagai suatu eksistensi bersama yang harmonis.
Hubungan Wu Lun yang dipaparkan secara berpasangan dapatlah dilihat sebagai suatu paduan keharmonisan unsur Yin-Yang dimana nama awal sebagai dominan bertindak selaku Yang dan nama yang kedua sebagai pengikut bertindak selaku Yin. Lima hubungan tersebut terdiri dari :
• Ayah dan anak
• Suami dan isteri
• Saudara yang lebih tua dan saudara yang lebih muda
• Teman yang lebih tua dan teman yang lebih muda
• Pemimpin dan bawahannya.
Sehingga seseorang dalam hubungan tersebut di atas dapat menunjukkan kedua sifat Yin dan Yang. Sebagai contoh, seorang ayah, bersifat Yang dalam hubungan dengan istri dan anaknya, dan bersifat Yin dalam hubungan dengan pimpinannya ataupun terhadap teman dan saudaranya yang lebih tua. Seorang anak adalah bersifat Yin dalan hubungan dengan ayahnya dan Yang dalam hubungan dengan saudara atau temannya yang lebih muda. Confucius tidak menjelaskan masalah yang kemungkinan dapat terjadi apabila suatu keluarga dimana anak kedua (dalam pengertian China) memiliki keunggulan yang lebih dominan daripada saudara tuanya; juga tidak ditegaskannya apakah seorang perempuan layak memiliki sifat selain Yin.
Sangat ditekankan oleh Confucius, bahwa dalam berbagai posisi apakah sebagai seorang pemimpin atau kepala negara, bawahan atau menteri, ayah dan anak, haruslah mampu menyadari akan fungsi dan tanggungjawabnya masing-masing sehingga terbentuk keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat.
Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Raja berfungsi sebagai raja, menteri berfungsi sebagai menteri, ayah berfungsi sebagai ayah, dan anak berfungsi sebagai anak.” (Lun Yu XII/11).
Seorang pemimpin yang terlalu malas untuk menyelesaikan suatu perkara di daerah kekuasannya, akan menciptakan penyelewengan para bawahannya atau menterinya dalam melayani rakyat, seorang ayah yang mengabaikan tanggungjawab sebagai orangtua terhadap anaknya akan menciptakan tanggungjawab yang tidak berbeda dari seorang anak kepada orangtuanya. Kesemuanya itu akan menyebabkan ketidakteraturan. Dapatkan nama (kedudukan) yang tepat, demikian saran dari Confucius, sehingga akan timbullah kemungkinan keadilan dan keteraturan di dalam negeri; mengabaikan nama, maka pintu akan terbuka untuk penyusupan, ketidakharmonisan, dan kerusuhan. Setiap nama (kedudukan) berhubungan terhadap suatu esensi dari apapun atau siapapun yang berkaitan dengan nama (kedudukan) tersebut. Jika seorang pemimpin, menteri, ayah atau anak mengikuti Jalan Kebenaran [Tao] dalam laku hidupnya sesuai dengan nama (jabatan) yang melekat pada dirinya, maka akan timbul keharmonisan antara nama (jabatan) tersebut dan pernyataan sikap yang ditunjukkannya. Seorang Budiman [C’un Zi] tidak akan terburu-buru mengeluarkan pendapatnya apabila belum memahami sesuatu sesuai dengan nama (kedudukan) yang benar.
Guru Khung Fu Zi bersabda, “Seorang Budiman [C’un Zi] bila belum memahami sesuatu tidak akan terburu-buru mengeluarkan pendapat. Bilamana nama-nama (kedudukan-kedudukan) tidak benar, maka pembicaraan tidak akan sesuai dengan hal yang sebenarnya, sehingga segala urusan tidak akan dapat diselesaikan secara baik.” (Lun Yu)
Dengan demikian setiap hubungan, adalah penting untuk diperhatikan posisi atau kedudukan dari nama ataupun jabatan yang melekat pada dirinya, sehingga setiap orang dapat menjalani fungsinya sesuai dengan Jalan Kebenaran (Tao).
1. Hubungan Ayah dan Anak
Hubungan ayah dengan anak dapat ditafsirkan sebagai hubungan anak-anak terhadap orang tua mereka. Seorang anak haruslah berbhakti terhadap orang tua mereka dengan melayani mereka secara sopan santun dan berbudi pekerti luhur, baik pada saat mereka masih hidup ataupun sesudah meninggal.
Guru Khung Fu Zi bersabda, “Apabila orangtua masih hidup, layanilah mereka dengan sopan santun / budi pekerti. Pada saat mereka meninggal, makamkanlah dengan sopan santun / budi pekerti dan sembahyangilah dengan sopan santun / budi pekerti.” (Lun Yu II/5).
Pengertian bhakti terhadap orangtua juga sangat ditekankan dalam Buddhisme sebagaimana dapat dilihat dari Sutra Kasih Yang Mendalam Dari Orangtua dan Kesulitan Membalasnya (Filial Piety Sutra) dan sutra-sutra lainnya. Dalam sutra tersebut disabdakan oleh Sang Buddha : “Bila ada seseorang yang mengangkat ayahnya dengan bahu kirinya, dan ibunya dengan bahu kanannya, dan oleh karena beratnya menembus tulang sumsumnya, sehingga tulang-tulangnya hancur menjadi debu, dan orang tersebut mengelilingi Puncak Sumeru seratus ribu kalpa lamanya, sehingga darah yang keluar dari kakinya membasahi pergelangan kakinya, orang tersebut belumlah cukup membalas kebaikan yang mendalam dari orang tuanya.”
Orangtua senantiasa mengkhawatirkan keberadaan dan kesehatan anak-anaknya. Sungguh berbahagia bagi kita yang dapat hidup di dekat orangtua sehingga dapat menghilangkan kekhawatiran mereka. Namun dalam kehidupan jaman sekarang sulit dapat dihindari untuk hidup berjauhan dari orangtua karena tuntutan pendidikan ataupun pekerjaan. Kemampuan teknologi komunikasi sangat membantu untuk membolehkan kita menghubungi orangtua secara rutin apabila kita berada jauh dari tempat tinggal mereka, hanya untuk mengabarkan keberadaan kita.
Guru Khung Fu Zi bersabda, “Bila orangtua Anda masih hidup, janganlah berpergian jauh. Jika Anda harus berpergian jauh, Anda harus memberitahu mereka di mana Anda berada, supaya mereka tidak merasa khawatir mengenai keadaan Anda .” (Lun Yu IV/19).
Orangtua senantiasa mengharapkan kemajuan dan kesejahteraan anak-anaknya. Apabila anaknya laki-laki, tentunya mereka mengharapkan agar kelak akan memperoleh seorang isteri yang setia. Demikian juga kalau anaknya perempuan, maka mereka mengharapkan agar kelak akan memperoleh seorang suami yang baik.
Guru Meng Zi bersabda, “Begitu seorang laki-laki lahir, orangtuanya tentu berharap kelak dia akan memperoleh seorang isteri. Dan begitu seorang anak perempuan lahir, orangtuanya tentu berharap kelak dia akan memperoleh seorang suami. Semua orang memiliki pikiran yang demikian.” (Meng Zi IIIB,3)
Hukum karma senantiasa berlaku bagi kita yang durhaka terhadap orangtua. Berbagai cerita sudah sering menghiasi benak kita mengenai kedurhakaan seorang anak terhadap orangtuanya. Cerita seperti Malin Kundang yang durhaka kepada ibunya sehingga akhirnya Malin Kundang menjadi batu, sudah sering menjadi inspirasi banyak orangtua untuk ditanamkan kepada anak-anaknya semasa kecil. Demikian juga cerita di bawah ini.
Wasiat Keranjang
Terdapat seorang anak yang pada awalnya sangat berbhakti terhadap orangtuanya. Hingga sesudah berumah-tangga dan memiliki seorang anak, kedua orangtuanya masih tinggal bersamanya. Istrinya yang pencemburu dan selalu memiliki prasangka buruk akan rasa bhakti suaminya terhadap mertuanya yang sudah tua tersebut, berulang-kali mempengaruhi suaminya agar dapat menyingkirkan orangtuanya tersebut dari rumah tempat tinggal mereka.
Hingga suatu hari, istrinya mengancam akan menceraikannya apabila tidak memenuhi keinginannya untuk menyingkirkan mertuanya tersebut dari rumah tempat tinggal mereka. Karena sayangnya suami ini terhadap istrinya, akhirnya mereka bersepakat untuk mengantar kedua orangtua mereka ke panti jompo. Merekapun menyiapkan keranjang besar untuk membawa kedua orangtua mereka. Keranjang besar yang dibeli dari pasar tersebut, dibawa pulang ke rumah dan menjadi perhatian anak lelaki mereka yang berumur 10 tahun, sehingga diapun bertanya kepada kedua orangtuanya.
“Papa dan Mama, buat apa keranjang besar ini?”
Ayahnya menjawab, “Keranjang ini dibutuhkan untuk mengangkut Kakek dan Nenek ke tempat yang banyak temannya (maksudnya panti jompo). Karena Kakek dan Nenek akan lebih bahagia tinggal di sana.”
Anaknya yang cukup cerdik dan berbhakti inipun berpikir panjang, dan dengan polos disampaikan permintaanya, “Papa dan Mama, tolong nanti sesudah keranjang ini dipakai jangan dibuang yah!”
Ibunya menjadi heran dan menanyakan lebih lanjut, “Buat apa keranjang ini nak?”
“Akan saya pakai untuk mengangkut Papa dan Mama ke tempat yang bahagia tersebut apabila sudah tua nantinya, sehingga Papa dan Mama dapat hidup lebih bahagia juga.”
Seperti halilintar yang menyambar di siang bolong, ayah dan ibunya menjadi sadar akan perbuatannya. Akhirnya merekapun membatalkan niat untuk memindahkan orangtuanya ke panti jompo. Dan kemudian hidup bahagia bersama sampai orangtua mereka meninggal dunia.
2. Hubungan Suami dan Isteri
Keharmonisan hubungan suami dan istri sangatlah ditekankan dalam ajaran Confucius. Kedudukan seorang perempuan kelihatannya menduduki sifat Yin yang mana lebih bersifat menuruti seorang Suami. Tentunya dalam era kehidupan saat ini, telah tercatat banyak sekali perempuan yang menunjukkan emansipasinya dalam ikut berperan serta memajukan kehidupan suatu negara. Perlu juga kita sadari, di sisi lainnya, bahwa sebagai seorang perempuan yang melahirkan anak-anaknya, kiranya peran sebagai seorang ibu rumah tangga juga tidak begitu saja dapat diabaikan. Kedekatan seorang ibu terhadap anak-anaknya sangatlah memegang peranan dalam perkembangan moralitas anaknya tersebut.
Dalam Kitab tentang Puisi (The Book of Poetry / Odes = Shi Cing) disebutkan :
” Buah Pohon Peach sungguh matang, daunnya sungguh segar. Gadis itu akan ke rumah suaminya, dan dia akan menciptakan kehidupan yang harmonis dalam rumah tangganya.”
Apabila rumah tangga telah harmonis, maka seluruh rakyat dalam suatu negara akan dapat diajarkan keharmonisan hidup. Dengan demikian kemampuan untuk memerintah dalam suatu negara tergantung dari keharmonisan rumah tangga. Keharmonisan dalam rumah tangga juga sangat ditekankan dalam Buddhisme sebagaimana sabda Sang Buddha, “Sebuah keluarga adalah tempat dimana pikiran-pikiran bergabung dan bersentuhan satu dengan lain . Bila pikiran-pikiran ini saling mencintai satu sama lain, rumah itu akan seindah taman bunga yang asri. Namun bila pikiran-pikiran itu tidak harmonis yang satu dengan yang lain, keadaannya adalah bagaikan topan badai yang memporak porandakan isi taman itu. ” (Anguttara Nikaya III, 31)
Hubungan suami dengan isteri juga berdasarkan pengertian yang baik dan saling menghormati. Seorang calon isteri selalu dinasehati oleh ibunya untuk dapat menghormati suaminya dan senantiasa menghindari perselihan paham. Seorang isteri dituntut dapat menurut secara patut .
Guru Mencius bersabda, ” Apabila seorang lelaki telah dewasa, ayahnya memberikan nasehat-nasehat kepadanya. Pada waktu pernikahan seorang wanita akan dinasehati oleh ibunya dengan memberikan pesan, supaya kalau telah berada di rumah sang suami, haruslah menghormatinya dan jangan sampai berselisih paham. Isteri haruslah menurut secara patut.” (Meng Zi III B/2).
Pengertian isteri yang menurut secara patut adalah bahwa isteri harus menurut pada suami jika hal itu adalah benar dan wajar. Bukan berarti seorang isteri harus secara mutlak menuruti kehendak dari suami. Hubungan suami dengan isteri menurut padangan Confucianis adalah hubungan yang berdasarkan keharmonisan, dimana suami menjalankan tugas sebagai suami yang bertanggung jawab sebagai kepala rumah tangga menjaga nama baik keluarga. Begitu pula isteri juga harus menjalankan tugas sebagai isteri yang baik sebagai ibu rumah tangga, dan kedua belah pihak saling menghormati, sehingga dengan demikian akan terbinalah keharmonisan dalam rumah tangga.
Hubungan suami dan isteri dalam menciptakan kehidupan yang harmonis juga sangat ditekankan dalam Buddhisme dimana sang isteri juga diingatkan untuk secara hati-hati menjaga kekayaan suaminya sebagaimana sabda Sang Buddha, “Cekatan dan cakap dalam pekerjaannya, harmoni dengan orang lain, demikian seorang isteri menyenangkan suaminya , dan dengan hati-hati menjaga kekayaan suaminya.” (Anguttara Nikaya IV, 271).
3. Hubungan antar Saudara
Hubungan antar saudara lebih ditekankan kepada sikap dan sopan santun yang lebih bersusila antara saudara yang lebih muda kepada saudaranya yang lebih tua. Bagaimanapun seorang saudara yang sama-sama berasal dari satu kandungan, serta dilahirkan dalam satu keluarga yang sama, tentunya memiliki lebih banyak waktu untuk saling mengenal dari semenjak kecil, tanpa adanya suatu sikap mendendam sebagaimana seorang musuh bebujutan. Sikap saling menghormati ini dituntut dari kedua belah pihak, baik dari saudara yang lebih muda ataupun saudara yang lebih tua.
“Dia memperlakukan saudara tuanya dengan benar, dia memperlakukan saudara mudanya dengan benar. ” (Shi Cing)
Confucius sangat menekankan agar seseorang yang masih muda lebih bersikap sopan terhadap yang lebih tua baik di dalam rumah ataupun di luar rumah. Etika ini kelihatan secara nyata sudah mengendur dalam era kehidupan saat ini. Sudah sering kita menyaksikan dalam kehidupan kita sehari-hari dimana terdapat banyak anak-anak muda yang sudah tidak menghormati orang lain yang lebih tua bahkan saudara kandungnya sendiripun tidak dihormati sama sekali. Sikap demikian sering terbentuk karena pengaruh pergaulan di luar, ataupun tindakan orangtua yang kurang menciptakan kondisi kerukunan hubungan anak-anaknya selagi masih muda, akhirnya tanpa disadari akan menghancurkan benih cinta kasih terhadap sesamanya.
Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Seorang yang masih muda, di rumah hendaklah berlaku bhakti, dan di luar rumah hendaklah bersikap sopan terhadap yang lebih tua. Dia haruslah bersungguh-sungguh dan dapat dipercaya. Dia haruslah memperhatikan cinta kasih terhadap sesama, dan menjalin hubungan persahabatan dengan orang yang memahami cinta kasih.” (Lun Yu I/6)
Hubungan antara saudara, menurut pandangan Confucius, merupakan bagian dari terciptanya keharmonisan antara manusia dan kemudian berpadu dengan hukum Ketuhanan (Th’ien Li), dimana saudara lebih tua harus menyayangi yang lebih muda; saudara yang lebih muda harus menghormati yang lebih tua.
4. Hubungan antar Teman
Pergaulan di luar sangat menentukan dalam membentuk karakter seseorang. Bergaul dengan teman yang tidak baik tentunya akan mempengaruhi perkembangan batin kita juga. Sebagaimana layaknya seekor anak harimau yang semenjak kecil diasuh dan bergaul dengan kelompok anjing, maka harimau tersebut sesudah besar akan bertingkah laku seperti anjing. Kebijaksanaan dalam bergaul sangat menentukan dimana kita mampu membedakan teman yang baik sebagai seorang sahabat sejati dan yang jahat sebagai koreksi kepribadian kita sendiri yang lemah. Keharmonisan dalam kehidupan di dunia ini harus dibina secara bersama oleh seluruh masyarakat. Karena itu menjaga hubungan antar teman merupakan suatu peranan yang sangat penting.
Confucius menilai hubungan dengan seorang sahabat sebagai suatu hubungan yang menyenangkan, sehingga apabila ada seorang sahabat yang dari jauh mengunjungi kita, maka selayaknya kita perlakukan dengan baik.
Guru Khung Fu Zi bersabda,” Apakah bukan sesuatu yang menyenangkan mempunyai teman yang datang mengunjungi dari jauh ? ” (Lun Yu I/1 = awal kumpulan dari Lun Yu).
Orang yang bijak senantiasa berusaha melihat kelemahan temannya untuk mengoreksi dirinya sendiri demikian juga sebaliknya kelebihan temannya akan dipakai untuk memperbaiki kelemahan yang ada dalam dirinya.
Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Bila saya berjalan dengan dua orang lain, selalu ada sesuatu yang dapat saya pelajari dari mereka. Kekuatan mereka saya ambil, sedangkan kelemahan mereka saya pakai untuk mengoreksi diri saya sendiri.” (Lun YU VII/21).
Bergaul dengan sahabat yang sejati tentunya akan memberikan manfaat yang positif, namun bergaul hanya dengan sahabat yang picik akan membawa celaka pada diri kita sendiri.
Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Ada tiga sifat sahabat yang membawa faedah dan ada tiga sifat sahabat yang membawa celaka. Seorang sahabat yang baik, jujur dan berpandangan luas akan membawa faedah. Seorang sahabat yang licik, yang lemah dalam hal-hal yang baik dan hanya pandai bersilat-lidah akan membawa celaka.” (Lun Yu XVI/4).
Sang Buddha juga sangat menekankan agar kita senantiasa bergaul dengan sahabat sejati yang berbudi luhur, malahan diminta agar kita tidak bergaul dengan orang jahat yang berbudi rendah.
“Bergaul hanya dengan mereka yang baik, berkumpul hanya dengan mereka yang baik, mempelajari ajaran mereka yang baik, akan memberikan kebijaksanaan yang tak dapat diberikan oleh yang lainnya.” (Samyutta Nikaya Vol.I, 17)
“Jangan bergaul dengan orang jahat, jangan bergaul dengan orang yang berbudi rendah; tetapi bergaullah dengan sahabat yang baik, bergaullah dengan orang yang berbudi luhur.” (Dhammapada, 78)
Adakalanya kita mengeluh bahwa sulit sekali untuk memperoleh seorang teman yang sejati, tanpa berusaha melihat ke dalam diri kita sendiri. Tingkah laku kita dalam bergaul juga sangat menentukan bagaimana seseorang itu akan menjadi sahabat kita. Untuk itu kita haruslah melatih kebajikan dalam diri kita sendiri, dan kemudian kebajikan tersebut dapat kita refleksikan dalam tingkah-laku kita terhadap teman.
Murid Confucius, Zeng Zi berkata : ” Seseorang yang berbudi mendapat teman dengan membudayakan diri sendiri. Dan melihat kepada temannya untuk membantu mereka melatih kebajikan.”
Adakalanya seorang pengemis ataupun seseorang yang menunjukkan sifat yang kurang baik, dapat saja merupakan sahabat kita pada kehidupan sebelumnya. Mereka yang sering dianggap sampah masyarakat, malah kalau kita pandang dari aspek positif, justru mengingatkan kita untuk senantiasa menjaga moralitas yang baik dalam menjalani kehidupan ini.
Dua Orang Sahabat Yang Setia
Pada suatu kehidupan sebelumnya, Kelana dan Derma merupakan dua orang sahabat yang sangat setia dimana masing-masing telah berjanji bahwa pada kehidupan berikutnya mereka akan saling mengingatkan agar dapat menjalani kehidupan yang lebih baik.
Tanpa mereka sadari, dalam kehidupan saat ini mereka setiap hari bertemu, namun bukan sebagai sahabat karib karena Derma telah menjadi seorang pengusaha yang kaya, sedangkan Kelana adalah seorang tunawisma yang pemabuk dan pemalas. Derma telah mengenal pengemis Kelana ini jauh hari sebelum dia berhasil menjadi seorang pengusaha yang kaya. Pada waktu itu hidupnya masih tidak menentu dan sering bermabuk-mabukan, tetapi setelah bertemu dengan Kelana yang waktu itu meminta sedekah dalam keadaan yang menyedihkan dan sedang dilanda mabuk minuman keras, maka membuat dia tersadar untuk tidak menjadi seorang pemabuk dan pemalas.
Sehingga diapun menjadi bersemangat sekali dalam bekerja, dimana setiap kali semangat kerjanya mulai runtuh, Kelana akan muncul dan dalam keadaan mabuk meminta sedekah yang tentunya diberikan oleh Derma.
5. Hubungan Pimpinan dan Bawahan
Seorang pimpinan yang bijak akan senantiasa melihat kesejahteraan bawahannya dengan layak. Demikian juga sebaliknya seorang bawahan yang baik akan senantiasa melaksanakan kewajiban tugasnya dengan penuh tanggungjawab.
Dalam era yang serba kompetitif ini, sering kita jumpai adanya seorang karyawan yang berpindah-pindah tempat kerja hanya mengeluh karena kurang mendapatkan perhatian dari atasannya. Tanpa disadari oleh karyawan bersangkutan, sifat berpindah-pindah kerjaan tersebut malah menciptakan suatu citra yang kurang baik bagi dirinya sendiri, sehingga sampai suatu saat dia menemui kesulitan untuk menemukan suatu pekerjaan yang sesuai . Sifat berpindah-pindah pekerjaan tersebut biasanya timbul karena kurangnya sifat kesetiaan dalam diri orang tersebut. Adakalanya seorang pimpinan menuntut hasil terlebih dahulu dari karyawannya, namun ini merupakan kesalahan yang besar dari tipe pimpinan seperti ini. Karena mestinya seleksi awal dalam penempatan karyawan sudah semestinya ditentukan posisi yang tepat untuk calon karyawan bersangkutan. Kedudukan dan jabatan yang diberikan terhadap seorang karyawan adalah menunjukkan fungsi dan tanggungjawabnya, demikian juga nama atau kedudukan yang disandang oleh seorang pimpinan, menunjukkan luasnya cakupan tanggungjawab yang harus dipikulnya.
Seorang pimpinan haruslah memperlakukan bawahannya dengan budi pekerti, demikian juga seorang bawahan haruslah dapat mengabdi kepada atasannya dengan penuh kesetiaan. Dengan demikian keharmonisan hubungan antara pimpinan dan bawahan akan terjalin dengan baik. Pimpinan dalam pengertian yang lebih luas mencakup kepala negara ataupun seorang raja, sedangkan bawahan mencakup menteri dan para pembantunya.
Guru Khung Fu Zi bersabda : ” Seorang raja memperlakukan menterinya dengan Li (kesopanan / tata krama / budi pekerti). Seorang menteri mengabdi kepada raja dengan kesetiaannya.” (Lun Yu III/19).
Confucius sangat menekankan mengenai pentingnya pemilihan seorang kepala negara, dan juga gaya pemerintahan yang ditunjukkannya. Pandangan Beliau bahwa cara pemerintahan seorang kepala negara akan mempengaruhi juga sikap rakyatnya. Misalnya seorang raja yang memerintah dengan penuh kesusilaan, maka rakyatnya juga akan mengikuti caranya.
Guru Khung Fu Zi bersabda, “Jika kamu berbuat baik, maka rakyat juga akan berbuat baik. Karakter seorang kepala negara seperti angin dan rakyatnya seperti rumput. Ke arah manapun angin bertiup, maka rumput akan mengikuti arahnya.” (Lun Yu XII, 19)
Beliau mengakui bahwa para pemimpin negara memperoleh posisinya karena mendapatkan mandat dari Yang Maha Kuasa, tetapi Beliau juga mengargumentasikan bahwa situasi tersebut bukannya tidak bisa berubah. Seandainya seorang pemimpin negara memerintah dengan tangan besi dan penuh ketamakan, maka dia mengkhianati kepercayaan yang telah dilimpahkan kepadanya. Sehingga tepat baginya untuk diturunkan tahtanya dan digantikan pemimpin lainnya. Cara pemerintahan seorang kepala negara atau pemimpin akan mempengaruhi sikap pandang rakyat atau bawahannya.
Guru Meng Zi bersabda, “Bila seorang pemimpin negara memperlakukan menterinya sebagai tangan dan kakinya, maka menterinya akan memperlakukan pemimpin negaranya sebagai jantung dan pikirannya. Jika seorang pemimpin negara memperlakukan menterinya sebagai anjing dan kuda, maka menterinya akan memperlakukan pemimpin negaranya sebagai orang kebanyakan. Jika seorang pemimpin negara memperlakukan menterinya sebagai lumpur dan rumput, maka menterinya akan memperlakukan pemimpin negaranya sebagai perampok dan musuh.” (Meng Zi IVB, 3)
Lima Norma Kesopanan [Wu Lun] yang telah diuraikan tersebut di atas, dapat dilihat memiliki banyak kesamaannya dengan pengertian Buddhisme sebagaimana sabda Sang Buddha dalam Sigalovada Sutra yang menjelaskan kesopanan dalam kehidupan dengan melakukan kewajiban-kewajiban, seperti kewajiban antara orang tua dan anak, guru dan murid, suami dan istri, sahabat dan kenalan, atasan dan bawahan yang ditambahkan dengan umat biasa dan para orang suci.
Lima Sifat Mulia [ Wu Chang]
Lima Norma Kesopanan [Wu Lun] erat berkaitan dengan Lima Sifat Mulia [Wu Chang], dimana dinyatakan bahwa seorang Budiman [C’un Zi] harus mengolah dirinya sehingga memiliki Lima Sifat Mulia [Wu Chang] untuk dapat menjalin hubungan dalam Wu Lun secara harmonis baik secara pribadi ataupun bagi keseluruhan masyarakat. Wu Chang terdiri dari lima sifat luhur atau mulia berikut :
Jen : sifat mulia pribadi seseorang terhadap moralitas, cinta kasih, kebajikan, kebenaran, tahu diri,
halus budi pekerti, tenggang rasa serta dapat memahami perasaan orang lain, kemanusiaan.
I : sifat mulia pribadi seseorang dalam solidaritas, senasib dan sepenanggungan,
serta senantiasa membela kebenaran.
Li : sifat mulia pribadi seseorang dalam bersusila, bersopan-santun, bertata-krama,
dan berbudi pekerti.
Chih : sifat mulia pribadi seseorang mengenai kebijaksanaan, pengertian, dan kearifan.
Hsin : sifat mulia pribadi seseorang terhadap kepercayaan,dapat dipercaya oleh orang
lain, serta dapat memegang janji dan senantiasa menepati janji.
1. Jen (Cinta Kasih)
Jen merupakan sifat mulia yang paling mendasar di antara lima sifat mulia lainnya, yang mana dapat diterjemahkan sebagai suatu sifat kemanusiaan yang paling hakiki berupa cinta kasih, tenggang rasa, ramah tamah, kebajikan, kebenaran, ataupun sifat moralitas manusia yang termulia atau terluhur. Sebelum era Confucius, Jen dipahami sebagai suatu sifat kemuliaan yang hanya dapat diungkapkan oleh seorang kaisar terhadap rakyatnya. Kemudian makna kata tersebut diperluas sebagai suatu sifat kesusilaan, yang masih merupakan suatu sifat kemuliaan tetapi tidak terbatas penggunaanya oleh kaisar saja. Confucius mengubahnya dan mengkonotasikan dengan kesempurnaan susila atau moralitas, mencakup semua bentuk kesusilaan yang dijalani oleh manusia. Mencius dalam Chung Yung mengatakan bahwa ‘Jen adalah Jen’, yaitu Jen merupakan suatu ciri pembeda khusus manusia. Selama dinasti Han, arti kata Jen pada umumnya diinterpretasikan sebagai cinta kasih, dan oleh Han Yu, seorang cendekiawan semasa dinasti T’ang, ditegaskan maknanya sebagai cinta kasih terhadap sesama manusia.
Karena pengaruh ajaran Buddhisme, dimana sifat cinta kasih mencakup semua makhluk, maka oleh para Neo-Confucianis di era dinasti Sung dan Ming, memperluas pengertian Jen dengan pengertian yang sama dengan Buddhisme, dan menjadikannya sebagai suatu kesatuan cinta kasih dengan Yang Maha Esa [Th’ien], dunia, dan seluruh makhluk hidup. Pemikiran ini pada umumnya dikenal dalam sekte Ch’eng Chu yang beraliran rasionalistik dan Lu Wang yang beraliran idealistik. Namun terdapat juga, beberapa cendekiawan Neo-Confunicanis dalam dinasti Sung yang mengartikan Jen sebagai suatu tingkat kesadaran. Chu Hsi menyebutnya sebagai ‘suatu ciri pikiran dan prinsip cinta kasih’, dan Wang Yang Ming menyamakannya dengan ‘ciri yang suci’ dari pengetahuan alami.
Semua itu mencerminkan suatu kedamaian pikiran dan terkesan terlalu Buddhistik untuk para Neo-Confucianis pada abad ke-17 dan ke-18, yang kemudian menarik kembali komentar karya kuno pada awal dinasti Han dimana mendefinisikan Jen sebagai ‘masyarakat yang hidup bersama’. Penekanan baru ini lebih ditujukan kepada suatu kehidupan sosial dan aspek yang aktif dari Jen. Bagaimanapun, para Neo-Confucianis setuju, bahwa Jen atau sifat kemanusiaan merupakan suatu sifat moral yang dianugerahi oleh Yang Maha Esa [Th’ien], dan karena ciri utama dari Yang Maha Esa dan dunia adalah menghasilkan secara berkesinambungan, sehingga Jen dicirikan dengan suatu kegiatan yang berlangsung secara terus menerus, yang dapat diartikan dengan suatu ketegasan kehidupan dan pemberian kehidupan, tidak saja aktif tetapi juga kreatif. Atas pengaruh ilmu pengetahuan Barat di penghujung akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, para Confucianis modern menyamakan sifat Jen dengan suatu sifat dari arus listrik dan eter, suatu kekuatan dinamik dan suatu inti yang menyebar.
Confucius mencirikan seseorang yang memiliki sifat Jen sebagai suatu ciri manusia yang dapat memiliki sifat kasih dan benci.
Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Hanya orang yang memiliki Jen yang dapat mengasihi seseorang atau membenci seseorang.” (Lun Yu IV/3).
Jen menjadi tolak ukur di dalam tingkah laku dan etika moral para Confucianis. Jen adalah sifat luhur yang bersifat kemanusiaan. Pengertian Jen tidak berpangkal pada kesucian yang semu, tetapi kebaikan yang luhur dari pribadi manusia.
Ketika seseorang bertanya bagaimana pendapat Guru Khung Fu Zi tentang membalas hinaan dengan kebaikan hati ? Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Dengan apa kita membalas kebaikan hati ? Suatu hinaan dibalas dengan sikap jujur, dan kebaikan hati dibalas dengan kebaikan hati.” (Lun Yu XIV/36).
Jen dapat diperoleh apabila kita senantiasa belajar giat, memiliki tekad dan tujuan yang baik, jujur, dan senantiasa merenung diri atau berkonsentrasi ke dalam diri (bermeditasi).
Tentang cara menumbuhkan Jen pada pribadi manusia, salah seorang murid Guru Khung Fu Zi, Zi Hsia pernah berkata demikian, ” Hanya dengan belajar secara giat serta mempunyai tekad dan tujuan yang baik, bertanya dengan sejujurnya dan menunjukkan perenungan diri, maka Jen akan diperoleh.” (Lun Yu XIX/6).
Jen menjadi standar tingkah laku bagi setiap manusia yang bijaksana, sehingga orang yang demikian akan dapat hidup tanpa penderitaan baik dalam kemiskinan, kesukaran ataupun kesenangan. Ketenangan hidup akan diperoleh apabila Jen telah ditanamkan dalam kebijaksanaan seseorang, karena orang tersebut telah terbebas dari keragu-raguan dan ketakutan.
Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Mereka yang tidak memiliki Jen, tidaklah akan dapat hidup lama, baik dalam kondisi kemiskinan dan kesukaran, maupun dalam kondisi kesenangan. Orang yang memiliki Jen, hidup dengan tenang dalam Jen; orang yang bijaksana menekankan Jen.” (Lun Yu IV/2).
” Orang bijaksana tidak pernah bingung; orang yang memiliki Jen tidak pernah ragu-ragu, dan orang yang berani tidak pernah takut.” (Lun Yu IX/28).
Dalam kehidupan bermasyarakat serta untuk meningkatkan kesejahteraan hidup secara berkecukupan dan memiliki reputasi, pengertian Jen juga ditekankan. Jen merupakan suatu harkat martabat tertinggi dari sifat kemanusian, sehinggi seseorang tidak akan segan-segan untuk mempertahankan nama baiknya demi keutuhan Jen-nya.
Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Orang-orang terpelajar dan orang-orang yang memiliki Jen tidak akan hidup dengan merusak Jen-nya. Mereka akan mengorbankan dirinya untuk menjaga keutuhan Jen-nya.” (Lun Yu XV/9).
Orang yang memiliki Jen adalah orang yang ideal menurut pandangan Confucius. Dia tidak saja memberikan contoh yang baik kepada orang lain, tetapi juga bertugas untuk membimbing orang lain.
Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Orang yang memiliki Jen, pada waktu ingin menegakkan dirinya juga berusaha untuk menegakkan orang lain. Pada waktu ingin memajukan dirinya juga berusaha untuk memajukan orang lain, maka dapat dipanggil Jen yang sempurna.” (Lun Yu VI/30).
Seseorang yang telah memiliki kesempurnaan Jen akan senantiasa berusaha menunjukkan lima sifat utama, yaitu memiliki kehormatan, berlapang dada dan berpandangan luas, senantiasa dapat dipercaya, cekatan dan giat dalam bekerja dan selalu menaruh belas kasihan .
Murid Khung Fu Zi, Zi Chang menanyakan mengenai Jen yang sempurna, yang dijawab oleh Guru Khung Fu Zi, ” Kalau seseorang dapat melaksanakan lima hal di manapun di dunia ini dapatlah disebut memiliki Jen yang sempurna.,” kemudian ditanyakan lebih lanjut apa kelima hal tersebut dan dijawab oleh Guru Khung Fu Zi :
” Kelima hal itu ialah :
– rasa hormat (Gravity = Kung),
– lapang dada dan berpandangan jauh (generosity of soul = Khuan),
– dapat dipercaya (Sincerity = Hsin),
– cekatan dan giat bekerja (Earnestness = Min),
– menaruh belas kasihan dan berpengertian (Kindness = Hui).
Orang yang memiliki rasa hormat tidak akan dihina. Orang yang lapang dada, mendapatkan simpati umum. Orang yang dapat dipercaya, mendapat kepercayaan orang. Orang yang cekatan dan giat, berhasil dalam pekerjaannya. Orang yang menaruh belas kasihan, dapat dituruti perintahnya.” (Lun Yu XVII/6).
2. I (Kebenaran)
I (baca ‘i’ atau ‘yi’) mengandung arti solidaritas, senasib sepenanggungan, menjunjung kebenaran, atau memiliki kebenaran sejati. Bila Jen (Cinta Kasih) sudah ditegakkan, maka I (Kebenaran) harus menyertainya.
Guru Meng Zi bersabda, ” Jen adalah tempat yang aman untuk bernaung bagi setiap orang; maka Kebenaran (I) adalah jalan yang lapang bagi setiap manusia.” (Meng Zi IV A/10).
Confucius menilai sifat menjunjung tinggi Kebenaran (I) tidak dapat dikalahkan oleh kekayaan ataupun kehormatan duniawi. Bagi Beliau, lebih baik hidup secara sederhana daripada harus mengorbankan Kebenaran.
Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Tidak makan apa-apa kecuali nasi saja, tidak minum apa-apa kecuali air putih saja. Dengan menggunakan lengan yang dilipat sebagai bantal, saya masih bisa menikmati kesenangan. Kekayaan dan kehormatan yang diperoleh secara tidak menjunjung Kebenaran (I), bagiku adalah seperti awan yang lewat di langit.” (Lun Yu VII/16).
Apabila suatu pembicaraan dilakukan tanpa mengarah kepada suatu Kebenaran, maka pembicaraan demikian akan sia-sia belaka, sehingga sebaiknya dihindari saja.
Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Pada saat beberapa orang berkumpul seharian tanpa membicarakan sesuatu mengenai Kebenaran Sejati (I), dan mereka terlalu senang dengan saran yang kecil mengenai kepintaran, maka pembicaraan tersebut akan merupakan kasus yang sulit.” (Lun Yu XV/17).
Kebenaran Sejati (I) merupakan pertimbangan utama bagi seorang Budiman [C’un Zi] dalam bertindak, dan hal ini akan dilakukannya secara konsisten dan konsekwen, tanpa ada yang disembunyikan, rendah hati, dan sesuai norma kesusilaan yang berlaku.
Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Seorang yang Budiman melakukan sesuatu selalu mempertimbangkan Kebenaran sejati sebagai hal yang paling pokok. Dia bertingkah laku sesuai dengan norma kesusilaan. Dia melakukannya secara terus terang dan rendah hati. Dia menyelesaikannya dengan hormat. Inilah yang dinamakan seorang yang Budiman.” (Lun Yu XV/17).
Keberanian yang dilakukan oleh seorang Budiman [C’un Zi] yang tanpa dilandasi oleh Kebenaran Sejati, akan menimbulkan kekacauan. Demikian juga seorang yang bermoral rendah, hanya mengutamakan keberanian, tanpa dilandasi oleh Kebenaran Sejati, maka dia dapat disebut perampok.
Terhadap pertanyaan dari seorang muridnya, Zi Lu mengenai apakah seorang Budiman yang berwatak luhur menghargai keberanian, maka Guru Khung Fu Zi menjawab, ” Seorang Budiman yang berwatak luhur meletakkan Kebenaran Sejati di tempat teratas. Seorang Budiman yang berwatak luhur, bila hanya mengutamakan keberanian tanpa memiliki Kebenaran Sejati akan menimbulkan kekacauan. Seorang yang bermoral rendah, bila hanya mengutamakan keberanian tanpa memiliki Kebenaran Sejati, dapat dinyatakan sebagai perampok.” (Lun Yu XVII/23).
3. Li (Susila)
Li mengandung arti sopan santun, tata krama , budi pekerti, susila. Pada awalnya Li dikaitkan dengan perlakuan yang benar dalam upacara dan ritual keagamaan, kemudian diperluas pengertiannya sampai mencakup adat istiadat, dan tradisi dari sekelompok masyarakat. Confucius kemudian menerapkannya lebih jauh, dengan mengkaitkannya terhadap hubungan antar manusia, yang menciptakan suatu susunan gambaran terbentuknya Jen dalam diri setiap orang.
Li haruslah dibentuk dari lingkup sosial yang paling sempit, yaitu di rumah sendiri, dimana orangtua kita sendiri haruslah senantiasa dilayani dengan Li, baik sewaktu masih hidup ataupun sesudah meninggal.
Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Apabila orang tua masih hidup, layanilah mereka dengan Li, apabila mereka telah meninggal makamkanlah dengan Li, dan sembahyangilah dengan Li.” (Lun Yu II/5).
Berbagai sifat baik seperti hormat, berhati-hati, berani dan jujur yang apabila dilakukan tanpa Li akan menimbulkan kerepotan, ketakutan, kekacauan dan kekasaran dalam tindakan.
Guru Khung Fu Zi bersabda : ” Menghormat tanpa mengenal Li, akan merupakan pekerjaan yang merepotkan. Berhati-hati tanpa Li, akan menimbulkan perasaan serba takut. Keberanian tanpa Li, akan menimbulkan kekacauan. Kejujuran tanpa Li, akan menimbulkan sifat yang kasar.” (Lun Yu VIII/2).
Jen yang sempurna merupakan suatu aspek pengendalian diri yang dalam, dimana haruslah senantiasa berlandaskan pada Li.
Ketika seorang murid Khung Fu Zi, Yen Yuan menanyakan mengenai Jen yang sempurna, dijawab oleh Guru Khung Fu Zi, ” Mengendalikan diri dan kembali pada Li, itulah Jen yang sempurna. Bila pada suatu hari dapat mengendalikan diri dan kembali kepada Li, dunia akan kembali pada Jen yang sempurna. Yang tidak bersusila janganlah dilihat, didengar, dibicarakan maupun dilakukan ” (Lun Yu XII/1).
Seorang Budiman yang berbudi luhur, selain harus mengenal firman Yang Maha Esa, haruslah juga menguasai Li. Dengan demikian seorang Budiman akan dapat mengembangkan kepribadiaanya.
Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Tanpa mengenal firman Yang Maha Esa, tidaklah mungkin menjadi seorang Budiman yang berbudi luhur, tanpa menguasai Li, tidaklah mungkin mengembangkan suatu kepribadian, tanpa mengetahui makna kandungan dari kata-kata, tidaklah mungkin dapat mengenal manusia.” (Lun Yu XX/3 = alinea terakhir dari Lun Yu).
4. Chih (Kebijaksanaan)
Setelah seseorang memiliki sifat Cinta Kasih [Jen], Kebenaran [ I ], dan Susila [Li] , maka secara bertahap didalam proses melatih diri, seseorang akan membina munculnya Kebijaksanaan [Chih].
Confucius merangkaikan munculnya Kebijaksanaan seseorang dengan selalu sabar dalam mengambil suatu tindakan, penuh persiapan, melihat jauh ke depan, memperhitungkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi.
Kesulitan akan timbul apabila kita bertindak ceroboh. Sering suatu masalah yang mudah hanya jadi sulit diselesaikan karena tanpa adanya persiapan yang matang.
Guru Khung Fu Zi bersabda, “Bila seseorang tidak mau berpikir tentang berbagai kemungkinan yang akan terjadi di depan, maka kesulitan telah ada di dekatnya.” (Lun Yu XV/12)
Persiapan yang baik, dapat menghilangkan berbagai kegagalan ataupun kecelakaan yang sering membuat kita menjadi kecewa. Seseorang yang memiliki Kebijaksanaan, tidak akan pernah menyesali diri karena terlambat mengantisipasi suatu kegagalan ataupun kecelakaan.
“Lakukanlah persiapan sebaik-baiknya untuk menghadapi berbagai perkara. Dengan persiapan yang baik, tidak akan ada kegagalan atau kecelakaan.” (Shu Cing, IV:VIII:II:1)
Ambisi untuk mendapatkan keuntungan dengan menyelesaikan suatu pekerjaan secara terburu-buru, hanyalah akan menghasilkan keuntungan kecil saja. Sering karena sifat ambisi tersebut, seseorang malah terperosok dalam kegagalan. Seorang yang bijaksana, akan senantiasa menghilangkan sifat ambisi tersebut, dengan melakukan berbagai persiapan dan perhitungan sebelum bertindak.
Guru Khung Fu Zi bersabda, “Janganlah melakukan sesuatu dengan selalu ingin berhasil dengan cepat, dan janganlah mengutamakan keuntungan yang kecil saja. Kalau Anda ingin cepat berhasil, maka Anda tidak akan pernah maju. Kalau Anda hanya mengutamakan keuntungan kecil saja, maka perkara besar tidak akan pernah Anda selesaikan secara sempurna.” (Lun Yu XIII/17)
Menahan diri untuk tidak melakukan perbuatan yang tidak mau kita perlakukan pada diri kita sendiri, merupakan suatu sikap Kebijaksanaan yang harus senantiasa kita tanamkan dalam setiap tindak tanduk perbuatan kita. Adakalanya kita melakukan suatu perbuatan yang dapat merugikan orang lain, tanpa kita sadari. Namun apabila suatu perbuatan, selalu kita pertimbangan dari sisi diri kita sebagai obyeknya, tentulah tindakan yang dilakukan akan jauh berbeda. Itulah sifat munculnya Kebijaksanaan.
Ketika Zi Kung, murid Guru Khung Fu Zi bertanya, ” Apakah ada kata yang bisa dipakai sebagai prinsip dasar tingkah laku sepanjang hidup ?”, dan dijawab oleh Guru Khung Fu Zi, ” Kata itu mungkin menahan diri (SHU). Janganlah memperlakukan orang lain apa yang tidak ingin anda diperlakukan pada diri Anda.” (Lun Yu XV/24).
Sudah sering kita melihat orang yang senantiasa khawatir orang lain tidak memahami dirinya. Orang demikian senantiasa ingin tampil dengan berbagai sifat yang menonjolkan berbagai kesombongan dalam dirinya. Apabila terjadi, orang tersebut tidak diakui, dihina, dan dicela, maka dia akan mengalami kekecewaan. Kebijaksanaan untuk mengerti orang lain, merupakan langkah yang tepat dalam menghindari kekecewaan diri yang tidak perlu timbul tersebut.
Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Jangan khawatir orang lain tidak mengerti dirimu, khawatirkanlah kalau Anda tidak mengerti orang lain.” (Lun Yu I/16).
Kebijaksanaan berarti kita tidak selalu berprasangka buruk terhadap orang lain, tetapi kita cukup mawas diri bahwa ada sesuatu yang tidak benar.
Guru Khung Fu Zi bersabda, “Jangan berprasangka buruk atas kecurangan seseorang; tidak perlu mencurigai apakah orang tersebut mempercayai dirinya sendiri atau tidak. Tetapi senantiasa bersikap sensitif, kalau ada sesuatu yang tidak benar, inilah kelakuan seseorang yang memiliki Kebijaksanaan.” (Lun Yu XIV/31)
Seseorang yang bijaksana, senantiasa mencontoh Kebijaksanaan orang lain, demikian juga dia akan mengoreksi dirinya sendiri apabila menjumpai seseorang yang tidak memiliki Kebijaksanaan. Demikian juga, kalau dia melakukan kesalahan, maka akan langsung diperbaikinya.
Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Bila saya berjumpa dengan orang berkemampuan dan bijaksana, saya ingin menjadi seperti dia. Bila saya berjumpa dengan seorang yang tidak mempunyai kemampuan dan tidak bijaksana, saya melihat diri saya sendiri dan bertanya apakah saya juga mempunyai sifat-sifat yang tidak menyenangkan.” (Lun Yu IV/17).
” Bila melakukan kesalahan, janganlah takut untuk memperbaikinya.” (Lun Yu I/8).
Pengetahuan merupakan sumber Kebijaksanaan. Pengetahuan itu berasal dari pengakuan diri, bahwa kita tidak mengerti. Dengan mengakui kekurangan diri, kita belajar, dan dari belajar timbullah pengetahuan. Pengetahuan menciptakan Kebijaksanaan dalam tindakan.
Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Bila kamu mengerti, katakanlah bahwa kamu mengerti. Jika kamu tidak mengerti, katakanlah kamu tidak mengerti. Itulah asal mulainya pengetahuan.” (Lun Yu II/17).
Kebijaksanaan yang disabdakan oleh Sang Buddha dapatlah disamakan pengertiannya dengan perkataan-perkataan Confucius tersebut di atas, antara lain dapat dihayati dari kutipan berikut ini,
” Seandainya seseorang bertemu orang bijaksana yang mau menunjukkan dan memberitahukan kesalahan-kesalahannya, seperti orang yang menunjukkan harta karun, hendaklah ia bergaul dengan orang bijaksana itu. Sungguh baik dan tidak tercela bergaul dengan orang yang bijaksana.” (Dhammapada, 76).
” Bagaikan batu karang yang tak tergoncangkan oleh badai, demikian pula para bijaksana tidak akan terpengaruh oleh celaan maupun pujian.” (Dhammapada, 81).
5. Hsin (Dapat Dipercaya)
Pengertian Hsin dalam ajaran Confucius, tidak hanya berarti bahwa orang percaya pada dirinya sendiri, tetapi juga harus dapat dipercaya oleh orang lain. Dalam era kehidupan saat ini, terdapat begitu banyak orang yang hanya percaya pada dirinya sendiri, tetapi tidak berhasil memperoleh kepercayaan dari orang lain, sehingga terjadi kemerosotan nilai moralitas di dalam kehidupan bermasyarakat.
Kepercayaan dapat diartikan sebagai suatu gandaran dari kendaraan. Suatu kendaraan tentunya tidak bisa dijalankan apabila tidak memilki gandaran. Demikian juga , apabila seseorang telah kehilangan sifat dapat dipercaya oleh orang lain, maka akan sulitlah kehidupannya.
Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Saya tidak tahu apa yang akan terjadi pada seseorang, bila dia tidak lagi memiliki kepercayaan ? Bagaimana bisa menjalankan sebuah gerobak besar, yang tidak mempunyai gandaran atau sebuah gerobak kecil yang tidak mempunyai gandaran ? ” (Lun Yu II/22).
Suatu pemerintahan harus memiliki legitimasi dan kepercayaan dari rakyatnya. Tanpa kepercayaan rakyat tersebut, maka suatu pemerintahan tidak berarti apa-apa lagi. Kita sering melihat berbagai pemberontakan, gerakan reformasi, gerakan separatis, dan berbagai gerakan demonstrasi melanda suatu negara, dimana pemerintahnya sudah tidak memiliki kepercayaan ataupun legitimasi pemerintahan dari rakyatnya lagi. Kekuatan rakyat yang tergabung dalam suatu gerakan, merupakan gelombang dasyat yang dapat meruntuhkan berbagai rangkap tembok kekuasaan.
Zi Kung menanyakan mengenai pemerintahan kepada Guru Khung Fu Zi yang dijawab,” Yang diperlukan dalam suatu pemerintahan adalah makanan yang cukup, senjata yang memadai dan kepercayaan rakyat kepada pemerintahannya.” Lalu Zi Kung menanyakan lebih lanjut, bahwa jika terpaksa harus menyerahkan salah satu dari tiga hal tersebut, maka mana yang harus didahulukan ?, yang dijawab oleh Guru Khung Fu Zi,” Serahkan senjatanya.” Kemudian Zi Kung menanyakan lagi, bahwa apabila kita tidak mempunyai pilihan selain menyerahkan yang dua tersisa tersebut, maka mana yang harus didahulukan, dan Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Serahkanlah makanannya. Sejak dulu, kematian tidak bisa dihindarkan, namun bila rakyat tidak mempunyai kepercayaan terhadap pemerintahannya, maka akan tidak ada apa-apa lagi yang bisa dipegang.” (Lun Yu XII/7).
Delapan Sifat Mulia Kebajikan [Pa Te’].
Seorang Budiman [C’un Zi] selain dituntut memiliki Lima Sifat Mulia [Wu Chang], juga harus memperluas sifat mulia tersebut menjadi Delapan Sifat Mulia Kebajikan atau Pa Te’. Sifat mulia yang tercakup dalam Pa Te’, sebagian besar sudah teruraikan dalam Wu-Chang, kecuali sifat mulia Jen (Cinta Kasih), yang oleh sebagian kalangan dianggap suatu sifat mulia pokok terpenting yang sepenuhnya berdiri sendiri dengan hakikat sejati sifat Jen tersebut. Sifat lainnya dari Wu Chang yang tidak tercakup dalam Pa Te’ yaitu sifat Chih (Kebijaksanaan). Delapan Sifat Mulia Kebajikan atau Pa Te’ , terdiri dari :
Hsiao : Bhakti , yakni berbhakti terhadap orangtua, leluhur, dan guru.
Ti : Persaudaraan , yakni senantiasa berlaku hormat terhadap yang lebih tua sebagai saudara atau
adanya sifat rendah hati.
Cung : Kesetiaan, yakni kesetiaan terhadap atasan, teman dan kerabat.
Hsin : Dapat Dipercaya, yakni senantiasa memiliki sifat-sifat dan bertingkah laku yang dapat dipercaya
Li : Susila, yakni bersusila atau bertata-krama, sopan santun dan berbudi pekerti yang luhur
I : Kebenaran, yakni senantiasa menjunjung tinggi kebenaran sejati atau suatu sifat solidaritas
Lien : Sederhana, yakni sifat hidup yang sederhana dan senantiasa menjaga kesucian, yaitu tidak
menyimpang atau menyeleweng.
Ch’e : Tahu Malu, yakni suatu sifat tahu diri atau tahu malu untuk tidak berbuat asusila.
1. Bhakti [Hsiao]
Hsiao, merupakan suatu sifat kepatuhan, bhakti, dan peduli terhadap orang tua , leluhur, dan guru. Hsiao merupakan suatu dasar perbuatan moral seseorang yang berpengaruh terhadap kerukunan sosial. Hsiao meletakkan kepentingan terhadap orangtua dan leluhur di atas dirinya sendiri, pasangan hidupnya, dan anak-anaknya, tunduk kepada nasihat orangtua, dan melayani mereka secara susila [Li].
Confucius memunculkan sifat Hsiao sebagai suatu sila moralitas dengan menempatkannya sebagai dasar pembentukan sifat Jen, yaitu penggalian sifat cinta kasih kepada orang lain. Hal ini dapat dipandang sebagai suatu pengembangan moralitas yang serasi. Confucius juga menguraikan pentingnya sifat Hsiao bagi kerukunan keluarga, dan stabilitas sosial-politik, dimana dalam prakteknya lebih diutamakan kepada ritual keagamaan dan sifat yang berkaitan dengan hal tersebut.
Seseorang harus menjaga nama baik keluarga, menghormati serta merawat mereka sewaktu masih hidup ataupun sesudah mereka meninggal. Seseorang akan tetap dianggap durhaka dan tercela, tidak tergantung bagaimana pintar dan cakapnya orang tersebut, apabila dia tidak mempunyai sikap bhakti terhadap orangtuanya sendiri.
Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Bila orang tua anda masih hidup, janganlah berpergian jauh. Jika anda harus berpergian jauh, anda harus memberitahu mereka di mana anda berada, supaya mereka tidak merasa khawatir mengenai anda.” (Lun Yu IV/19).
Rasa hormat dan bhakti terhadap seorang guru yang membimbing kita bisa diwujudkan dalam berbagai cara, yang tentunya berperilaku yang baik. Menyampaikan suatu barang yang dapat dimanfaatkan oleh guru dengan tujuan untuk menghormatinya, maka hal tersebut akan merupakan suatu sifat bhakti yang melebihi segala-galanya.
Guru Khung Fu Zi bersabda ” Kepada siapapun yang memberikan sesuatu hadiah untuk menghormati gurunya. Saya senang sekali menerima dan melatihnya.” (Lun Yu VII/7).
Perlakuan bhakti tidak hanya asal kelihatan dari bentuk luar saja, namun rasa bhakti yang dilakukan dengan sepenuh hati dan penuh hormat, itulah bhakti yang sebenarnya.
Guru Khung Fu Zi bersabda, “Sekarang yang dikatakan laku bhakti adalah asal dapat memelihara, tetapi anjing dan kudapun dapat memberi pemeliharaan. Bila tidak disertai hormat, apa bedanya?” (Lun Yu)
Buddhisme juga sangat menekankan mengenai perlunya berperilaku patut / sopan dengan menunjukkan suatu bhakti terhadap orangtua, Sang Buddha dan para siswa Sang Buddha (Sangha), yang mana dikaitkan dengan menimbun kebaikan, sebagaimana sabda Sang Buddha, “Jika seseorang berperilaku patut terhadap ayah dan ibunya, terhadap Sang Buddha yang telah mencapai kesempurnaan, dan terhadap para siswa Sang Buddha; orang seperti itu menimbun banyak sekali kebaikan. ” (Anguttara Nikaya II, 4).
2. Persaudaraan [Ti]
Ti mengandung arti kata persaudaraan, yaitu rasa hormat terhadap yang lebih tua di antara saudara, ataupun sikap merendah diri. Ini berarti bahwa seorang adik harus menghormati kakaknya dan juga di dalam tata krama pergaulan yang lebih muda seyogyanya menghormati yang lebih tua .
Kehidupan dan kematian tidak dapat dihindari (takdir), demikian kekayaan dan kehormatan adalah sesuai dengan karma kehidupan sebelumnya (telah ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa, dalam arti oleh akumulasi karma kita sendiri, karena karma kitalah Yang Maha Kuasa). Adakalanya seseorang bersedih, karena tidak memiliki saudara kandung. Tetapi kalau kita selalu berlaku hormat dan berbudi terhadap setiap orang, maka kita senantiasa memiliki saudara di setiap tempat yang kita singgahi.
Kepada seseorang yang menanyakan mengenai saudara laki-lakinya, Murid Confucius, Zi Hsia berkata kepada Sze Ma Niu yang dengan penuh keingintahuan menanyakan; kenapa dia tidak memiliki saudara sedangkan yang lain punya, ” Saya mendengar bahwa hidup dan mati adalah takdir; kekayaan dan kehormatan ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa. Jika seseorang berbudi yang mempunyai kemampuan hormat dan tidak melakukan kesalahan dan memperlakukan orang secara terhormat, maka semua yang ada dalam empat lautan, bisa menjadi saudara laki-lakinya. Mengapa orang yang berbudi itu harus susah karena dia tidak mempunyai saudara laki-laki ? ” (Lun Yu XII/5).
3. Kesetiaan (Cung)
Cung mengandung arti setia, yaitu setia terhadap atasan, guru, teman dan kerabat. Cung juga berarti dapat melaksanakan apa yang telah dijanjikan dan dapat memegang teguh janji yang diucapkan.
Seseorang yang penuh kesetiaan senantiasa menunjukkan kesungguhan hati dan kerukunan terhadap gurunya, teman maupun saudaranya.
Zi Lu bertanya, “Bagaimanakah seseorang itu pantas disebut sebagai seorang Siswa?” Guru Khung Fu Zi bersabda, “Seseorang yang penuh kesungguhan hati, kesetiaan dan kerukunan, maka dapatlah disebut seorang Siswa. Dengan kawan dia menunjukkan kesungguhan dan kesetiaan, dengan saudara dia menunjukkan kesabaran dan kerukunan.” (Lun Yu XIII/28)
Tingkah laku seseorang akan dapat diterima oleh siapapun apabila dia senantiasa memegang teguh dan senantiasa bersikap penuh kesetiaan terhadap semua perkataan ataupun perbuatan yang dilakukannya.
Guru Khung Fu Zi bersabda, “Hendaklah seseorang itu senantiasa memegang teguh perkataannya dengan Kesetiaan dan dapat dipercaya; perbuatanmu hendaklah selalu diperhatikan dengan kesungguhan hati. Dengan demikian di manapun, tingkah lakumu akan dapat diterima. Kalau perkataanmu tidak dipegang dengan Kesetiaan dan dapat dipercaya, perbuatanmu tidak diperhatikan secara sungguh-sungguh, maka sekalipun di kampung halaman sendiri mungkinkah dapat didengar?” (Lun Yu XV/6 (2)
Sikap setia dalam melakukan tugas bukanlah diukur dari cepat diselesaikannya suatu pekerjaan, ataupun hanya dengan melihat keuntungan yang biasa saja. Sikap yang demikian, akan menjadikan seseorang tidak mampu menyelesaikan tugas dengan baik (karena terburu-buru), dan tidak akan mencapai sesuatu yang luhur (karena mengharapkan keuntungan yang biasa saja).
Pada waktu Zi Hsia menjadi gubernur Ju Fu, dia meminta nasehat Guru Khung Fu Zi mengenai pemerintahan, maka Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Janganlah tergesa-gesa mengharapkan hasilnya; janganlah hanya melihat keuntungan yang biasa-biasa saja. Jika anda ingin mendapat hasil yang cepat, anda tidak akan bisa menyelesaikan tugas anda. Dan jika hanya melihat keuntungan yang biasa-biasa saja, anda tidak akan bisa mencapai sesuatu yang luhur.” (Lun Yu XIII/17).
4. Dapat Dipercaya [Hsin]
(Lihat pembahasan mengenai Hsin pada Wu Chang = Lima Sifat Mulia) .
5. Susila [Li]
(Lihat pembahasan mengenai LI pada Wu Chang = Lima Sifat Mulia)
6. Kebenaran (I)
(Lihat pembahasan mengenai I pada Wu Chang = Lima Sifat Mulia).
7. Kesederhanaan (Lien)
Lien berarti pola hidup sederhana, dapat menahan diri untuk tidak melakukan penyelewengan-penyelewengan atau senantiasa menjaga kesucian dalam kepribadian kita.
Kehidupan di kota besar yang penuh dengan berbagai godaan, sering menyebabkan kelemahan batin seseorang untuk melakukan penyelewengan, berfoya-foya menghabiskan harta kekayaan, ataupun senang mengubar hawa nafsu belaka. Pengendalian diri melalui meditasi pada saat usia muda, akan dapat mengendalikan Chi’ (suatu komponen dasar dari alam semesta yang mengisi tubuh manusia dan bersikulasi dengan darah), sehingga tidak terbawa oleh hawa nafsu yang sering memuncak pada usia muda. Demikian juga pada waktu usia tua, dimana Chi’ telah berkurang, maka kitapun tetap harus menjaga diri dengan pengolahan diri ke dalam (meditasi).
Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Tiga hal yang harus diwaspadai oleh seorang Budiman dalam menjalani kehidupan ini : Bila dia masih muda, darah dan Chi’ tidak stabil, untuk itu dia harus menjaga dirinya terhadap hawa nafsu. Setelah cukup dewasa, darah dan Chi’-nya memuncak, untuk itu dia harus menjaga diri terhadap keinginan melawan alam. Pada usia tua, darah dan Chi’-nya berkurang, maka dia harus menjaga dirinya.” (Lun Yu XVI/7).
Ajaran Sang Buddha juga menekankan perlunya sikap sederhana atau tidak berfoya-foya sewaktu masih muda, sebagaimana sabda Sang Buddha berikut, “Mereka yang tidak menjalankan kehidupan suci serta tidak mengumpulkan bekal (kekayaan) selagi masih muda, akan merana seperti bangau tua yang berdiam di kolam yang tidak ada ikannya. Mereka yang tidak menjalankan kehidupan suci serta tidak mengumpulkan bekal (kekayaan) selagi masih muda, akan terbaring seperti busur panah yang rusak, menyesali masa lampaunya.” (Dhammapada, 155-156).
8. Kesadaran Diri / Rasa malu [Ch’e]
Ch’e mengandung arti tahu malu, yaitu suatu sikap mawas diri untuk merasa malu apabila melakukan suatu perbuatan yang melanggar susila atau budi pekerti.
Seseorang yang tidak memiliki rasa malu, maka kehidupannya akan sulit sekali. Segala perbuatan yang melanggar susila ataupun budi pekerti, akan dianggapnya biasa saja. Hal ini sering menimpa para pejabat tinggi negara yang bermental korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), dimana apabila terjadi perombakan (reformasi), maka kehidupannya tidaklah akan tenang.
Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Bagi seseorang yang tidak mempunyai apa-apa untuk merasa malu dan tidak mempunyai apa-apa yang disembunyikan. Ini berarti bahwa tingkah laku sehari-harinya diuji keras.” (Lun Yu XIV/21).
Sering kita menemui orang-orang ataupun pejabat tinggi pemerintahan yang tidak pernah merasa malu mengucapkan sesuatu dimana terkesan hanya untuk menyenangkan pihak lain. Usaha untuk membela diri dari perbuatannya yang melanggar budi pekerti, sudah sering kita baca dan dengar dari berbagai pernyataan yang diberikan oleh seorang pejabat tinggi negara yang tidak tahu malu, tidak memiliki kesadaran diri. Perbuatan yang dilakukan sama sekali jauh dari kenyataan atas apa yang diucapkannya.
Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Seorang Budiman [C’un Zi] akan malu bila apa yang diucapkannya melampaui perbuatannya.” (Lun Yu)
Sikap tahu malu juga sangat dituntut dalam ajaran Sang Buddha, dimana dikatakan bahwa sangatlah sulit untuk hidup selalu tahu malu, tetapi hidup itu mudah bagi yang tahu malu. Hal ini mencerminkan betapa sulitnya kita dapat membina sikap tahu malu. Budaya tahu malu, tidaklah semudah pengucapannya. Sang Buddha bersabda, ” Hidup ini mudah bagi orang yang tidak tahu malu, yang suka menonjolkan diri seperti seekor burung gagak, suka menfitnah, tidak tahu sopan – santun, pongah dan menjalankan hidup kotor. Hidup ini sukar bagi orang yang tahu malu, yang senantiasa mengejar kesucian, yang bebas dari kemelekatan, rendah hati, menjalankan hidup bersih dan penuh perhatian ” ( Dhammapada, 245)
Pelaksanaan Delapan Sifat Mulia Kebajikan [Pa Te’] tersebut di atas sangat penting sekali untuk dapat dimengerti, diingat dan dilakukan secara konsisten dalam kehidupan sehari-hari, agar dapat menjadi seorang manusia yang Budiman (C’un Zi).
Manusia Yang Budiman [C’un Zi]
Pengertian manusia yang ideal menurut paham ajaran Confucius adalah; apabila orang tersebut telah pantas disebut C’un Zi (manusia yang Budiman). Manusia yang Budiman menurut pengertian ini adalah seseorang yang telah dapat melaksanakan Lima Sifat Mulia [Wu Chang], dan Delapan Sifat Mulia Kebajikan [Pa Te’] serta menunaikan tanggung jawab terhadap kehidupan pribadinya dan kehidupan bermasyarakat.
Seorang Budiman tidaklah pernah bersikap picik ataupun berpikiran sempit, dia senantiasa berpikiran luas dan berpengertian pasrah secara positif.
Guru Khung Fu Zi bersabda , ” Seorang Budiman berhati longgar dan lapang dada; seorang yang picik budi pekertinya berhati sempit dan berbelit-belit.” (Lun Yu VII/37).
Kemanapun seorang Budiman melangkahkan kakinya, maka dia akan dapat segera menyesuaikan dirinya, karena cita-citanya telah teguh, dan sulit untuk dipengaruhi oleh berbagai hal-hal tampak luar. Sedangkan seorang yang picik, sulit bergaul dan mudah dipengaruhi oleh faktor tampak luar.
Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Seorang Budiman mudah bergaul, tetapi tidak dapat dibelokkan cita-citanya. Seorang yang picik budi pekertinya dapat dibelokkan cita-citanya tetapi tidak mudah bergaul ” (Lun Yu XIII/26).
Seorang Budiman senantiasa berpikiran positif sehingga sifat perbuatannya senantiasa menuju ke atas (menjunjung tinggi Kebenaran), sedangkan seorang yang picik budi pekertinya, pikirannya selalu negatif, dan perbuatannya senantiasa menuju ke bawah (berlandaskan kemaksiatan).
Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Majunya seorang Budiman itu menuju ke atas, dan majunya seorang yang picik budi pekertinya menuju ke bawah. ” (Lun Yu XIV/23).
Menurut ajaran Confucius, seorang Budiman haruslah senantiasa menjunjung tinggi Kebenaran, sabar, dapat dipercaya, memiliki kecakapan, pasrah terhadap kematian, mengolah diri sendiri tanpa tergantung pada orang lain, tidak pernah mau berlomba, selalu menjaga ucapannya. Hal ini dapat disimpulkan, bahwa seorang Budiman, senantiasa menjaga pikiran, ucapan dan perbuatannya terhadap hal-hal yang melanggar sila moralitas atau susila.
Guru Khung Fu Zi bersabda,” Seorang Budiman berpedoman pada Kebenaran sebagai dasar pendiriannya. Moralitas sebagai dasar perbuatannya, senantiasa mengalah dalam pergaulan, dan selalu berusaha menyempurnakan diri dengan perbuatan yang dapat dipercaya. Dia akan risau apabila tidak memiliki kecakapan, tetapi tidak risau apabila tidak ada orang yang mau mengenalnya. Diapun tidak pernah risau kalau sesudah mati, namanya tidak dikenang oleh orang lagi. Seorang Budiman menuntut pada dirinya sendiri, seorang yang picik budi pekertinya menuntut pada orang lain. Dia mau memacu dirinya untuk menuju kebajikan, tetapi tidak mau berebut dengan orang lain. Dia mau berkumpul untuk membicarakan kebajikan, tetapi tidak mau membentuk komplotan untuk tujuan pertentangan. Seorang Budiman tidak pernah mau memuji orang lain hanya karena ucapannya, dan juga tidak berbicara sembarangan ” (Lun Yu XV/18 – 23).
Seorang Budiman haruslah senantiasa mengendalikan hawa nafsu keinginan rendah dimana dapat merosotkan kemajuan batinnya. Pengendalian Chi’ (komponen dasar dari alam semesta yang mengisi tubuh manusia dan bersikulasi dengan darah), dengan cara lebih banyak merenung, berdiam diri atau bermeditasi, merupakan langkah terbaik untuk mengekang hawa nafsu tersebut.
” Tiga hal yang harus diwaspadai oleh seorang Budiman dalam menjalani kehidupan ini : Bila dia masih muda, darah dan Chi’ tidak stabil, untuk itu dia harus menjaga dirinya terhadap hawa nafsu. Pada usia muda, darah dan Chi’-nya memuncak, untuk itu dia harus menjaga diri terhadap keinginan melawan alam. Pada usia tua, darah dan Chi’-nya berkurang, maka dia harus menjaga dirinya.” (Lun Yu XVI/7).
Seorang Budiman harus menjaga tingkah-lakunya secara benar, baik pada saat melihat, mendengar, menunjukkan perasaan hatinya, bertingkah laku, berbicara, dan bekerja. Demikian juga pada saat dia merasa ragu-ragu, marah ataupun melihat suatu keuntungan, maka dia harus senantiasa menjaga sikapnya supaya tidak melanggar sila moralitas atau susila (Li).
Guru Khung Fu Cu bersabda, ” Ada sembilan hal yang harus direnungkan seorang Budiman:
1. Bila melihat, dia harus melihat dengan jelas.
2. Bila mendengar, dia harus mendengar dengan jelas,
3. Bila menunjukkan perasaan hatinya, dia harus kelihatan ramah,
4. Bila bertingkah laku, dia harus kelihatan sopan,
5. Bila berbicara, dia harus ingat akan kejujuran,
6. Bila bekerja, dia harus berusaha sebaik-baiknya,
7. Bila ragu-ragu, dia harus bertanya,
8. Bila marah, dia harus ingat akan akibatnya,
9.Bila melihat adanya keuntungan, dia harus merenungkan apakah dia berhak mendapatkannya.”
(Lun Yu XVI/10).
Tiga kesan utama yang senantiasa melandasi seorang Budiman, dimana juga merupakan suatu ciri khusus seorang Guru Agung, yaitu dari jauh terkesan agung, dari dekat terkesan ramah, dan bila dia berbicara terkesan tegas dan berwibawa.
Murid Confucius, Zi Hsia berkata, ” Orang yang berbudi selalu memberi orang lain tiga kesan yang berbeda. Dari jauh, dia terlihat agung. Jika didekati, dia terlihat ramah. Tetapi bila dia berbicara, bahasanya tegas dan menentukan.” (Lun Yu XIX/9).
Sikap suatu pemerintahan yang tidak memperoleh legitimasi atau kepercayaan dari rakyat, hanyalah akan berubah menjadi penindasan, dimana kehidupan rakyat miskin semakin terperosok dalam jurang kemelaratan. Demikian juga, seorang pejabat yang apabila tidak memperoleh kepercayaan dari rakyat, dimana berusaha menyalahkan atasannya, maka hal seperti itu hanyalah dianggap suatu sikap menyalahkan saja, tanpa berusaha menjunjung tinggi Keadilan dan Kebenaran.
Murid Confucius, Zi Hsia berkata, “Seorang Budiman yang telah memperoleh kepercayaan dari rakyat, baru berani memerintahkan mereka untuk bekerja keras. Apabila kepercayaan tersebut belum diperolehnya, maka akan dianggap suatu penindasan. Demikian juga, seseorang harus memperoleh kepercayaan dahulu sebelum memberi peringataan kepada atasannya. Apabila kepercayaan tersebut belum diperolehnya, maka akan dianggap suatu sikap menyalahkan saja.” (Lun Yu XIX/10).
Seorang Budiman senantiasa menjaga tingkah-lakunya. Baginya, suatu kesalahan kecil sekalipun, sulit untuk tidak dapat diketahui oleh orang lain.
Murid Confucius, Zi Kung berkata, ” Kesalahan yang dibuat seorang yang berbudi adalah seperti gerhana matahari dan bulan. Bila dia membuat kesalahan, seluruh dunia bisa melihatnya. Bila dia mengoreksi dirinya sendiri, seluruh dunia akan mengaguminya.” (Lun Yu XIX/21).
Mengenal firman Yang Maha Esa (‘firman’ di sini dapatlah diartikan dengan berbagai sabda yang tercatat di berbagai Kitab Suci dimana merupakan peninggalan dari para Guru Agung, Avatar, Nabi, Rasul Allah, Putera Bapa, Buddha, Orang Suci, dan berbagai ‘gelar’ Keillahian yang ada, dan kemudian disakralkan oleh para pengikutNya setelah Mereka meninggal dunia), menguasai ketentuan budi pekerti, dan mengetahui makna kandungan dari suatu kata-kata (‘kata-kata’ disini tidak terbatas hanya pada kata-kata yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, tetapi termasuk juga berbagai Kitab Suci), maka orang demikian dapat disebut sebagai seorang Budiman yang telah mengembangkan kepribadian dan mengenal secara baik setiap manusia.
Guru Khung Fu Zi bersabda, “Tanpa mengenal firman Yang Maha Esa, tidaklah mungkin menjadi seorang Budiman yang berbudi luhur, tanpa menguasai ketentuan-ketentuan budi pekerti, tidaklah mungkin mengembangkan suatu kepribadian, tanpa mengetahui makna kandungan dari kata-kata, tidaklah mungkin dapat mengenal manusia.” (Lun Yu XX/3 = alinea terakhir dari Lun Yu).
Pikiran, ucapan, dan perbuatan baik yang dilakukan oleh seorang Budiman akan menciptakan contoh yang positif kepada orang lain di sekitarnya, sehingga dengan demikian, akan tercipta keharmonisan hidup, kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan bagi seluruh umat manusia di dunia.
Pentingnya Nilai Belajar
Menurut pandangan Confucius, kedudukan seseorang dalam kehidupan bermasyarakat sangatlah penting, dan kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup adalah tugas dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh setiap orang, sehingga proses belajar ilmu pengetahuan atau keahlian sangatlah diutamakan. Hal ini dapat kita amati dari apa yang telah diajarkan oleh Confucius kepada murid-muridnya antara lain meliputi bidang-bidang kesusasteraan, berhitung, seni musik, ilmu menunggang kuda, memanah, sikap setia, berbudi pekerti luhur, dan tentunya filsafat kehidupan.
Tidak ada manusia yang dilahirkan dengan membawa serta berbagai pengetahuan. Kelahiran dalam pengertian Buddhisme, walaupun membawa serta karma kehidupan sebelumnya, tidak juga membenarkan adanya pengetahuan yang telah dipelajari dari kehidupan sebelumnya dibawa serta dalam kehidupan saat ini. Menurut ajaran Confucius, bahwa minat seseorang untuk memperoleh pengetahuan dalam kehidupan ini adalah melalui belajar sendiri, dan menggunakan pikiran yang cerdas serta senantiasa berusaha untuk mengerti segala sesuatu.
Guru Khung Fu Zi bersabda, “Saya tidak dilahirkan dengan pengetahuan mengenai segala hal. Ini hanya karena saya berminat mempelajari buku-buku kuno, dan belajar untuk mengerti dengan pikiran yang cerdas dan kerja keras.” (Lun Yu VII/20).
Dalam belajar, kita jangan hanya terpaku kepada pengetahuan yang baru saja, namun berbagai peninggalan ilmu pengetahuan ataupun filsafat kehidupan, baik yang bersifat duniawi ataupun alam transendental atau keillahian, adalah berguna untuk dipelajari. Para Guru Agung terdahulu selalu mengajarkan murid Mereka untuk menjadi seorang guru juga. Bukanlah seorang Guru Sejati, apabila hanya mengajarkan seseorang menjadi murid. Sehingga dengan mempelajari yang lama dan mengetahui yang baru, kitapun akan dapat menjadi seorang guru.
Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Mempelajari yang lama dan mengetahui yang baru dapat menjadi guru.” (Lun Yu II/11).
Seseorang yang sudah terbiasa dalam belajar, tidaklah akan merasa lelah. Kebiasaan belajar harus senantiasa kita tanamkan dalam diri kita sendiri, dan dengan ketekunan maka semua ilmu pengetahuan akan menjadi tidak rumit adanya. Kerumitan berbagai hal yang baru hanya disebabkan kita belum mengetahuinya. Pengetahuan adalah sumber kebijaksanaan.
Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Dengan menghafalkan pengetahuan, saya belajar mendalam. Tidak merasa lelah dengan belajar. Tidak menjadi lelah dalam mengajar. Semua ini datang pada saya dengan mudah.” (Lun Yu VII/2).
Pengertian belajar secara luas adalah belajar kepada siapa saja dan kemudian menyimpulkannya dengan pengalaman sendiri. Pengertian belajar dari Confucius yang menekankan pada usaha diri sendiri ada persamaanya dengan pengertian Buddhisme, sebagaimana sabda Sang Buddha berikut, ” Hendaknya orang terlebih dahulu mengembangkan diri sendiri dalam hal-hal yang patut, dan selanjutnya melatih orang lain. Orang bijaksana yang berbuat demikian tak akan tercela.” (Dhammapada, 158).
Confucius menilai bahwa apa yang kita pelajari, haruslah kita pikirkan, demikian juga sebaliknya , berpikir tanpa belajar, tidak ada manfaatnya malahan dapat membahayakan orang lain ataupun diri sendiri, karena pikiran sering mengawali perbuatan seseorang.
Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Belajar tanpa berpikir adalah sia-sia. Berpikir tanpa belajar adalah berbahaya.” (Lun Yu II/15).
Adalah sia-sia adanya apabila kita mengajarkan sesuatu kepada seseorang yang tidak berminat untuk mencari pengetahuan. Seperti menuang air teh di cawan yang telah penuh, air teh yang dituangkan akan luber terbuang sia-sia saja.
Guru Khung Fu Zi bersabda, “Saya tidak pernah memberitahu orang yang tidak pernah mengalami kegagalan, karena terdorong mencari pengetahuan. Begitu juga saya tidak menjelaskan kepada orang yang tidak pernah serius dalam mencari pengetahuan. Bila saya sudah menunjukkan padanya satu sudut dari suatu persegi empat. Dan kalau dia tidak bisa menyambung sudut itu dengan tiga sudut lainnya, saya tidak akan mengajarkannya lagi.” (Lun Yu VII/8).
Confucius juga memandang, bahwa adalah percuma apabila tingkat pengetahuan seseorang masih rendah, tetapi dilibatkan dalam pembicaraan dengan topik yang membutuhkan pengetahuan yang tinggi. Sering disebabkan oleh persepsi dan kemampuan mengolah suatu pengetahuan yang terbatas, maka seseorang itu agak sulit untuk mencerap suatu pengetahuan yang di luar kemampuannya.
Guru Khung Fu Zi bersabda, “Seseorang yang telah melampaui pengetahuan tingkat menengah, maka dapatlah dilibatkan untuk membicarakan masalah yang tinggi, sedangkan seseorang yang tingkat pengetahuannya masih di bawah pertengahan (rendah), maka janganlah diajak membicarakan masalah yang tinggi.” (Lun Yu VI/21).
Pengetahuan di dunia ini tidaklah terbatas, dengan hanya mempelajari pengetahuan yang terbatas kemudian tidak mau membuka wawasan kita untuk menerima pengetahuan bidang lainnya, akan menyebabkan kita berpikiran picik dan fanatik. Sebagaimana seekor katak yang terbiasa hidup di sumur, tentunya sulit untuk mengetahui adanya kehidupan yang lebih baik di luar sumur tersebut. Confucius menyadari, betapa luasnya ilmu pengetahuan itu, sehingga Beliau sampai khawatir akan kehilangan atas apa yang telah dipelajarinya.
Guru Khung Fu Zi bersabda, “Begitu banyak yang harus dipelajari, sehingga saya khawatir bahwa saya akan kehilangan atas apa yang telah saya pelajari.” (Lun Yu VIII/17).
Memanfaatkan kekuatan dan kelemahan dari teman bicara kita, akan menambah pengetahuan bagi diri kita sendiri.
Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Bila saya berjalan dengan dua orang lain, selalu ada sesuatu yang dapat saya pelajari dari mereka. Kekuatan mereka saya ambil, kelemahan mereka saya pakai untuk mengoreksi diri saya sendiri.” (Lun Yu VII/22).
Sering kita menjumpai adanya orang-orang yang sulit untuk mendengarkan, tetapi lebih senang berbicara. Untuk dapat mengikuti jalan pengetahuan, maka kita haruslah banyak mendengar, melihat, dan mengenal secara baik.
Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Banyak mendengar, memilih yang baik dan mengikutinya; banyak melihat dan mengenalnya. Inilah jalan pengenalan.” (Lun Yu VII/27).
Sebagaimana Jalan Tengah yang diajarkan Buddha Gautama, maka Confucius juga mengajarkan untuk tidak menempuh jalan ekstrim dengan menyiksa badan dalam belajar.
Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Saya telah mencoba dan merasakan sepanjang hari tidak makan dan sepanjang hari tidak tidur; hanya merenung dan tidak bermanfaat. Saya menyadari lebih praktis hal itu dipakai untuk belajar. ” (Lun Yu XV/31).
Confucius merumuskan adanya enam kejahatan yang berhubungan erat dengan enam kebaikan. Ke enam faktor keterkaitan itu berhubungan dengan minat belajar.
Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Apakah Anda mendengar mengenai enam kejahatan yang berhubungan dengan enam kebaikan ? Menyukai kebaikan hati tanpa menyukai belajar bisa mengakibatkan ketidak-pedulian; menyukai keterus-terangan tanpa menyukai belajar bisa mengakibatkan salah arah; menyukai kejujuran tanpa menyukai belajar bisa mengakibatkan kejahatan; menyukai ketulusan tanpa menyukai belajar bisa menjadi gegabah; menyukai keberanian tanpa menyukai belajar bisa mengakibatkan kemalangan, dan akhirnya menyukai kehebatan tanpa menyukai belajar bisa mengakibatkan kelancangan.” (Lun Yu XVII/8).
Terdapat tiga hal yang dapat kita jadikan pedoman dalam instropeksi diri setiap harinya. Yang pertama adalah, apakah kita telah berusaha secara optimal untuk orang lain; kedua, apakah kita telah membina suatu hubungan kepercayaan yang baik dengan teman kita; dan yang ketiga adalah, apakah kita telah melaksanakan dengan baik apa yang telah diajarkan oleh guru kita? Ketiga pertanyaan instropeksi tersebut berkaitan dengan sifat Kesetiaan [Cung], Kepercayaan [Hsin], dan Bhakti [Hsiao].
Murid Confucius, Zeng Zi berkata,” Tiap hari saya memeriksa diri dalam tiga hal: Apakah saya sudah berusaha sebaik-baiknya dalam mengerjakan sesuatu untuk orang lain? Apakah saya bisa dipercaya dalam hubungan saya dengan teman-teman ? Apakah saya gagal mengubah apa yang diajarkan guru kepada saya ? ” (Lun Yu I/4).
Pengetahuan yang kita pelajari haruslah dapat kita manfaatkan untuk menambah pengetahuan orang lain. Pengetahuan adalah sumber kebijaksanaan, dan dengan kebijaksanaan kita akan memperoleh kebahagiaan.
Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Apakah bukan sesuatu yang membahagiakan, berpengetahuan dan bisa menggunakannya ? ” (Lun Yu I/1)
Ajaran dalam Buddhisme juga sependapat bahwa proses belajar itu sangatlah penting adanya. Dimana keinginan untuk belajar, akan meningkatkan pengetahuan, dan dengan pengetahuan akan meningkatkan kebijaksanaan. Kebijaksanaan akan membuka tabir tujuan hidup, dan dengan mengetahui tujuan hidup akan membawa kita kepada kebahagiaan. Ungkapan tersebut dapat kita temui dalam Theragatha syair 141, ” Keinginan untuk belajar akan meningkatkan pengetahuan; pengetahuan meningkatkan kebijaksanaan. Dengan kebijaksanaan, tujuan dapat diketahui; mengetahui tujuan akan membawa kebahagiaan.”
Pemerintahan
Confucius yang pernah memegang berbagai jabatan dalam pemerintahan, terkenal sangat arief dan bijaksana, sehingga rakyat setempat banyak yang menyukainya, dan Beliaupun sering mendapatkan promosi jabatan. Beliau aktif dalam pemerintahan sejak berusia 35 tahun sampai 60 tahun. Kemudian pada usia 60 tahun ke atas, Beliau mengundurkan diri, kembali ke tempat kelahirannya dimana Beliau lebih berkonsentrasi dalam memberikan pengajaran kepada murid-muridnya, serta menghasilkan berbagai karya tradisi klasik, baik dengan cara menulis sendiri ataupun mengolah kembali berbagai bentuk karya klasik yang telah ada. Beliau tidak pernah membedakan status sosial seseorang, semua orang adalah saudara, demikian sikap Confucius dalam memandang setiap orang yang ditemuinya.
Pemerintahan yang baik, haruslah dapat memiliki legitimasi dan kepercayaan dari rakyatnya. Tanpa kepercayaan rakyat tersebut, maka suatu pemerintahan tidak berarti apa-apa lagi. Kita sering melihat berbagai pemberontakan, gerakan reformasi, gerakan separatisme, dan berbagai gerakan demonstrasi melanda suatu negara, dimana pemerintahnya sudah tidak memiliki kepercayaan dari rakyatnya lagi. Kekuatan rakyat yang tergabung dalam suatu gerakan, merupakan gelombang dasyat yang dapat meruntuhkan berbagai rangkap tembok kekuasaan.
Zi Kung menanyakan mengenai pemerintahan kepada Guru Khung Fu Zi yang dijawab,” Yang diperlukan dalam suatu pemerintahan adalah makanan yang cukup, senjata yang memadai dan kepercayaan rakyat kepada pemerintahannya.” Lalu Zi Kung menanyakan lebih lanjut, bahwa jika terpaksa harus menyerahkan salah satu dari tiga hal tersebut, maka mana yang harus didahulukan ?, yang dijawab oleh Guru Khung Fu Zi,” Serahkan senjatanya.” Kemudian Zi Kung menanyakan lagi, bahwa apabila kita tidak mempunyai pilihan selain menyerahkan yang dua tersisa tersebut, maka mana yang harus didahulukan, dan Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Serahkanlah makanannya. Sejak dulu, kematian tidak bisa dihindarkan, namun bila rakyat tidak mempunyai kepercayaan terhadap pemerintahannya, maka akan tidak ada apa-apa lagi yang bisa dipegang.” (Lun Yu XII/7).
Seorang pemimpin harus bisa menjadi contoh keteladanan bagi rakyatnya, dan senantiasa giat dalam melaksanakan segala kebajikan.
Zi Lu bertanya tentang pemerintahan, Guru Khung Fu Zi bersabda, “Berlakukan dirimu sebagai seorang suri teladan dalam melaksanakan tugas pemerintahan.” Zi Lu minta penjelasan lebih lanjut, Guru Khung Fu Zi bersabda, “Tidak pernah berputus asa.” (Lun Yu XIII/1)
‘The right man in the right place’ (orang yang tepat pada tempat yang tepat), merupakan suatu semboyan yang sering didengungkan dalam manajemen modern saat ini, khususnya oleh suatu divisi seleksi penerimaan karyawan dalam suatu perusahaan. Demikian juga prinsip yang sama, sepantasnya diterapkan oleh seorang pemimpin pemerintahan, haruslah senantiasa menempatkan seseorang sesuai kecakapan yang dimilikinya, dimana telah diketahui secara benar. Seorang pemimpin juga harus berlaku arief dengan senantiasa memaafkan kesalahan kecil dan mempromosikan seseorang yang dinilai bijaksana.
Guru Khung Fu Zi bersabda, “Tempatkanlah seseorang sesuai dengan keahlian yang dimilikinya; maafkanlah kesalahan kecil, dan promosikan orang yang bijaksana, dimana telah kita ketahui.” (Lun Yu XIII/2).
Memerintah tidaklah sulit bagi seseorang yang telah meluruskan diri sesuai dengan susila, sehingga tidak akan mengalami kesulitan untuk meluruskan bawahannya.
Guru Khung Fu Zi bersabda, “Seandainya seseorang telah meluruskan dirinya, maka apalah sulitnya mengatur suatu pemerintahan? Kalau seseorang tidak dapat meluruskan dirinya, bagaimana mungkin dapat meluruskan orang lain pula?” (Lun Yu XIII/13).
Pada saat seseorang baru menduduki suatu posisi yang tinggi, sering terlarut oleh ambisi untuk mendapatkan keuntungan dengan menyelesaikan suatu pekerjaan secara terburu-buru, dimana pada akhirnya hanyalah akan menghasilkan keuntungan kecil saja. Sering karena sifat ambisi tersebut, seseorang malah terperosok dalam kegagalan. Seorang pemimpin yang bijaksana, akan senantiasa menghilangkan sifat ambisi tersebut, dengan melakukan berbagai persiapan dan perhitungan sebelum bertindak. Dengan demikian berbagai perkara yang besar akan dapat diselesaikan secara sempurna.
Zi Xia menjadi gubernur Ju Fu, dan bertanya tentang pemerintahan, Guru Khung Fu Zi bersabda, “Janganlah melakukan sesuatu dengan selalu ingin berhasil dengan cepat, dan janganlah mengutamakan keuntungan yang kecil saja. Kalau Anda ingin cepat berhasil, maka Anda tidak akan pernah maju. Kalau Anda hanya mengutamakan keuntungan kecil saja, maka perkara besar tidak akan pernah Anda selesaikan secara sempurna.” (Lun Yu XIII/17)
Seseorang yang diserahi tugas pemerintahan, haruslah dapat bersikap tegas, ahli dalam mengatur pemerintahan secara benar, dan berpengetahuan luas.
Chi K’ang menanyakan menanyakan tentang Chung-yu, apakah dia cocok untuk diangkat sebagai pegawai pemerintahan, Guru Khung Fu Zi bersabda, “Yu adalah seorang yang tegas, apa sulitnya untuk melaksanakan tugas pemerintahan?” K’ang menanyakan, “Apakah Ts’ze cocok diserahi tugas pemerintahan?” dan dijawab, “Ts’ze adalah seorang yang ahli, apa sulitnya untuk melaksanakan tugas pemerintahan?” Dan dengan pertanyaan yang sama terhadap Ch’iu, Guru Khung Fu Zi menjawab dengan jawaban yang sama, mengatakan, “Ch’iu adalah seorang yang berpengetahuan luas, apa sulitnya untuk melaksanakan tugas pemerintahan?” (Lun Yu VI/8).
Kehidupan dan Kematian
Pengertian kehidupan dalam ajaran Confucius, sangatlah ditekankan mengenai moralitas yang tinggi selama masih hidup dengan belajar dan berbuat kebaikan atau kebenaran. Kematian menurut Confucianisme, adalah terpisahnya roh dari badan kasarnya, dimana apabila seseorang selama hidupnya senantiasa melaksanakan sila sesuai kaidah agama, maka rohnya akan menjadi shen (roh suci) dan naik ke surga, sedangkan kalau semasa hidup seseorang itu selalu melanggar sila, maka rohnya akan menjadi kuei (roh jahat) dan turun ke neraka.
“Semua bentuk kehidupan akan mengalami kematian, dan kematian berarti kembali ke bumi; inilah yang dinamakan kuei. Tulang dan daging akan hancur menjadi debu, musnah, dan menjadi satu dengan tanah. Tetapi shen akan melonjak ke luar dalam nuansa yang sangat cemerlang.” (Li Chi II, 220)
Pandangan ajaran Confucius, melihat bahwa kematian dan kelahiran adalah dua sisi yang saling berkaitan. Kematian tidak mungkin ada tanpa kelahiran. Kematian bisa terjadi pada waktu masih dalam kandungan, sewaktu dilahirkan, waktu usia muda, waktu usia tua, ataupun karena penyakit atau kecelakaan. Kematian adalah akhir bagi mereka yang hidup, tetapi suatu permulaan bagi mereka yang mati. Sedangkan lahir adalah permulaan bagi mereka yang hidup, tetapi akhir bagi mereka yang mati. Kehidupan mewakili unsur Yang (positif), sedangkan kematian mewakili unsur Yin (negatif). Kematian dan kelahiran dalam I Cing (Kitab tentang Perubahan), hanyalah merupakan suatu unsur yang sama dimana terus menerus mengalami perubahan bentuk, yang berkaitan dengan gejala Yin dan Yang. Untuk dapat memahami kematian, maka kita harus memahami kehidupan. Pengertian yang mendalam dari ajaran Confucius ini dapat dipadankan dengan konsep tumimbal-lahir dalam pengertian Buddhisme.
Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Anda tidak tahu bagaimana Anda dapat melayani orang yang sudah meninggal ? Memahami hidup saja Anda tidak bisa, bagaimana Anda bisa memahami kematian ? ” (Lun Yu XI/12)
Kehidupan dan kematian berjalan terus, tanpa memperdulikan siang ataupun malam. Lingkaran ini akan berjalan terus sampai kita menyadari hakekat diri sejati, dan memperoleh pembebasan.
Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Apakah ini tentang bagaimana segala sesuatu melewati hidup? Siang dan malam, tanpa istirahat ” (Lun Yu IX/16).
Apabila seseorang semakin mendekati usia senja, maka akan bertambah bijaksana pandangannya. Pengetahun akan jati diri sejati atau kehendak dari Yang Maha Kuasa akan makin bertambah sesuai bertambahnya usia seseorang.
Guru Khung Fu Zi bersabda , ” Ketika saya berumur 15, saya memutuskan untuk belajar. Pada usia 30, apa yang telah saya pelajari saya pegang teguh. Pada usia 40, saya mengetahui segalanya, bagaimana mengurus segala sesuatu dan memahami arti kebaikan. Pada usia 50 tahun, saya menyadari bahwa Thien (Yang Maha Kuasa) mempunyai perintah. Saya tidak menyalahkan Thien dan juga tidak menyalahkan manusia. Pada umur 60, saya bisa mengatakan apakah seseorang mengatakan hal yang sebenarnya dan menilai tingkah lakunya dengan mendengarkan perkataannya. Pada usia 70, saya bisa mengikuti keinginan hati dan tidak membuat kesalahan.” (Lun Yu II/4).
Ungkapan tersebut di atas bukan berarti bahwa seorang yang masih muda dapat dipandang rendah, karena kita tidak dapat menentukan masa depan seseorang. Tetapi apabila seseorang masih belum banyak menanamkan kebajikan dalam menjalani sila moralitas di kehidupannya ini sampai pada usia 40 atau 50 tahun, maka orang demikian tidak dapat kita harapkan banyak perubahannya, dan hampir tidak mempunyai apa-apa yang pantas kita hormati.
Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Orang muda tidak boleh dipandang rendah. Bagaimana kita bisa yakin bahwa masa depannya tidak akan secerah keadaaan kita sekarang ? Namun, jika seseorang tidak mencapai apa-apa pada usia 40 atau 50, maka dari dia tidak ada apa-apa yang pantas kita hormati.” (Lun Yu VIII/22).
” Jika dalam usia 40 tahun orang masih jahat tingkah lakunya, maka jangan mengharapkan akan ada sesuatu yang baik dari dia dalam sisa hidupnya .” (Lun Yu XVII/26).
Dalam menjalani kehidupan, seseorang harus senantiasa mewaspadai gejolak Chi’ (komponen dasar dari alam semesta yang mengisi tubuh manusia dan bersikulasi dengan darah). Pengendalian Chi’ yang baik dengan cara mentaati sila moralitas, dan secara tekun menjaga diri (bermeditasi), akan menghindarkan diri kita dari keinginan untuk melawan alam.
” Tiga hal yang harus diwaspadai oleh seorang Budiman dalam menjalani kehidupan ini : bila dia masih muda, darah dan Chi’ tidak stabil,, untuk itu dia harus menjaga dirinya terhadap hawa nafsu. Pada usia muda, darah dan Chi’-nya memuncak, untuk itu dia harus menjaga diri terhadap keinginan melawan alam. Pada usia tua, darah dan Chi’-nya berkurang, maka dia harus menjaga dirinya. ” (Lun Yu XVI/7).
Sering seseorang yang mendekati ajal kematian, baru terdorong untuk berbuat kebaikan. Walaupun keinginan untuk berbuat baik menjelang kematian merupakan suatu hal yang positif, namun hal demikian tentunya sulit untuk dapat dimunculkan sedemikian rupa. Kecenderungan pikiran seseorang menjelang kematian akan didominasi oleh kecenderungan perbuatannya semasa hidup. Pikiran menjelang kematian inilah, yang menurut pengertian dalam Buddhisme, akan menyebabkan seseorang itu terlahir-kembali (bertumimbal-lahir) dalam berbagai alam kehidupan. Apabila seseorang selalu taat dalam pelaksanaan sila, maka dia akan bersikap pasrah dan ramah.
Murid Confucius, Zeng Zi berkata, ” Kata-kata seorang yang akan meninggal dunia sungguh ramah.” (Lun Yu VIII/4)
Pandangan Buddhisme terhadap kehidupan dan kematian adalah merupakan suatu siklus penderitaan (sakit, umur tua, dan kematian). Sehingga diperlukan pandangan yang benar dalam mengenali sifat diri yang sejati untuk mengatasi penderitaan tersebut, sebagaimana sabda Sang Buddha, ” Manusia yang berjuang untuk hidup pasti akan mencari sesuatu yang berarti. Ada dua cara untuk bersikap : yang benar dan yang salah. Jika ia mencari dengan sikap salah, ia mungkin menyadari bahwa sakit, umur tua, dan kematian adalah hal tidak terhindarkan, tetapi tetap saja mengharapkan sesuatu yang tak mungkin. Bila ia mencari dengan pandangan benar ia memahami sifat sejati dari sakit, umur tua dan kematian, dan ia mencari arti pada kehidupan yang mengatasi penderitaan manusia.” (Majjhima Nikaya, 3-26).
24
PERKEMBANGAN AJARAN CONFUCIUS
Setelah Confucius Meninggal Dunia
Setelah Confucius meninggal dunia pada tahun 479 SM, maka perkembangan ajaran Confucius diteruskan oleh murid-muridnya, yang seluruhnya berjumlah kurang lebih 3000 orang. Di antara mereka terdapat 72 murid utama yang paling menonjol, sehingga dijuluki ` 72 orang bijak ‘. Terdapat cukup banyak murid-muridnya tersebut yang memangku jabatan tinggi di pemerintahan. Golongan terpelajar yang mengikuti ajaran Confucius ini membentuk suatu aliran intelektual yang disebut ” Ru Jia ” (Golongan Terpelajar).
Di dalam perkembangan Ru Jia ini, tercatat beberapa tokoh yang memegang peranan cukup penting dalam meneruskan tradisi ajaran Confucius, yaitu Cheng Se (483 – 402 SM), Mencius (Beng Zi 371 – 289 SM), dan Hsun Zi (298 – 238 SM). Yang paling menonjol adalah Mencius dan Hsun Zi. Pandangan mereka sedikit berbeda dalam menanggapi masalah kehidupan berdasarkan sifat sejati manusia [Jen Sing]. Dalam kitab Lun Yu XVII/2 dikatakan, ” Watak sejati itu saling mendekatkan, kebiasan saling menjauhkan”. Ini berarti setiap manusia sudah membawa serta kodrat (karma dalam pengertian Buddhisme) masing-masing; apakah kodratnya yang dibawa sejak lahir itu baik atau buruk akan menentukan tingkah laku seseorang dalam pendidikan dan pergaulan di kemudian hari, yang mana akan mempengaruhi kepribadian orang tersebut.
Di dalam menanggapi hal demikian, terdapat perbedaan antara Mencius dan Hsun Zi. Menurut pandangan Mencius pada dasarnya sifat sejati manusia (Jen Sing) yang dibawa sejak lahir adalah baik. Ini terbukti pada umumnya manusia mempunyai rasa iba terhadap anak kecil, manusia senang akan perdamaian dan manusia bila saling bertemu dengan kenalannya suka menampilkan senyumnya. Manusia dapat menyempurnakan sifat sejatinya (Jen Sing) dengan berusaha memupuk sifat-sifat mulia lainnya, yaitu : Jen, I, Li, Chih, Hsin dan menjadi manusia yang sempurna budi pekertinya (C’un Zi). Selain itu, faktor pendidikan dan pergaulan memegang peranan yang cukup penting juga khususnya dalam pembentukan karakter dan budi pekerti manusia.
Hsun Zi berpandangan bahwa pada dasarnya sifat sejati manusia (Jen Sing) yang dibawa sejak lahir adalah buruk atau tidak baik adanya. Manusia belum seluruhnya meninggalkan sifat-sifat buruk primitifnya. Manusia masih memiliki naluri yang kuat untuk makan bila lapar, minum bila haus, mencari tempat yang hangat bila kedinginan, beristirahat bila letih. Naluri-naluri tersebut mempunyai sifat buruk. Namun, sifat buruk tersebut dapat diubah dengan pendidikan budi pekerti, sehingga manusia dapat berubah menjadi beradab dan baik. Demikian juga dengan pengetahuan mengenai kesusasteraan dan kesenian (musik) akan menghadirkan manusia-manusia yang dapat menghayati nilai kesejatian hidup ini. Walaupun demikian, Mencius dan Hsun Zi sependapat, bahwa karakter dapat dibentuk melalui pendidikan. Oleh karena itu, menurut ajaran Confucius, nilai pendidikan bagi seseorang amatlah penting. Hal inilah yang mereka terapkan selama berabad-abad dalam rangka pembentukan karakter manusia.
Setelah melewati periode pasang surut selama abad ke-3 SM, Confucianisme akhirnya mulai berkibar kembali selama dinasti Han (206 SM-tahun 220). Karya para Confucianis, dimana salinannya sempat dimusnahkan sebelum periode tersebut, disalin kembali dan diajarkan oleh para cendekiawan di berbagai akademi nasional. Karya-karya tersebut kemudian juga ditetapkan sebagai suatu syarat ujian negara untuk dapat memangku jabatan ketatanegaraan. Para calon pegawai yang akan ditempatkan dalam jabatan pemerintahan, haruslah memperlihatkan penguasaan pengetahuannya terhadap literatur klasik tersebut. Sehingga, paham Confucianisme menduduki posisi yang sangat mempengaruhi kehidupan politik dan intelektual China saat itu.
Kesuksesan pengajaran Confucianisme pada masa dinasti Han terutama atas jasa dari Tung Chung-shu, yang pertama merekomendasikan sistim pendidikan harus dibina berdasarkan ajaran Confucius. Tung Chung-shu mempercayai bahwa kedekatan hubungan antara sifat sejati manusia dan alam; yakni perbuatan manusia dapat mempengaruhi berbagai fenomena di alam semesta. Segala bencana alam dapat dipandang sebagai suatu peringatan terhadap manusia karena perbuatannya yang melanggar sila. Hal ini menciptakan ketakutan terhadap Yang Maha Kuasa dimana dengan kekuasaanNya, memiliki kekuatan yang tidak terbatas (omnipotent).
Dalam situasi kekacauan politik setelah runtuhnya dinasti Han, paham Confucianisme dibayangi dua ajaran filsafat yang juga sama-sama berkembang saat itu, yaitu Taoisme dan Buddhisme. Walaupun begitu, karya-karya klasik Confucius tetap merupakan sumber utama bagi para pelajar saat itu, dan dengan dimulainya masa perdamaian dan kemakmuran dalam dinasti Tang (618-907), penyebaran Confucianisme makin dipacu. Monopoli pengajaran yang dipegang oleh para pengikut Confucius, sekali lagi menjadikan paham ajaran ini menduduki posisi birokrasi yang tinggi, sebagai suatu ajaran negara dengan sistim ortodok.
Neo-Confucianisme
Kegiatan para intelektual selama dinasti Sung (906-1279 M) menciptakan suatu sistim baru paham Confucianis yang dipengaruhi oleh unsur ajaran Buddhis dan Taois. Sistim baru paham Confucianis ini kemudian dikenal dengan nama Neo-Confucianisme. Para cendekiawan yang merumuskan sistem intelektual ini menguasai kedua versi filsafat yang ada. Walaupun pada umumnya yang diajarkan adalah etika, tetapi mereka juga mendalami hal-hal yang bersifat transendental seperti teori alam semesta, dan asal muasal manusia.
Neo-Confucianisme waktu itu terpecah menjadi dua sekte yang utama. Sekte yang lebih terkenal adalah yang diprakarsai oleh Chu Hsi (1130 – 1200 M), atau dikenal juga sebagai Chu Zi atau Chu Fu Zi, kelahiran Yu-hsi, Propinsi Fukien , dan hidup semasa periode dinasti Sung (960 – 1279 M), seorang pemikir agung yang ketenarannya hanya dapat dibandingkan dengan Confucius dan Mencius. Chu Hsi adalah anak seorang pegawai negeri rendah. Beliau menerima pendidikan tradisi Confucianis dari ayahnya, dan lulus ujian negara tingkat tertinggi pada umur 18 tahun, dimana pada umumnya hanya dapat dicapai dalam usia 35 tahun. Posisi pertama Chu Hsi adalah sebagai penata-usaha di T’ung-an, Fukien. Di tempat tersebut, Beliau mulai melakukan reformasi pengelolaan pajak dan sistim keamanan kota, meningkatkan standar pengajaran di sekolah lokal termasuk mendirikan perpustakaan umum, dan menyusun ketentuan mengenai upacara agama dan tata-susila kenegaraan, dimana pada saat itu sama sekali belum tersedia. Sementara bertugas di Nan-k’ang, Kiangsi, Chu Hsi menggunakan kesempatan yang ada untuk merehabilitasi Akademi Bai Lu Dong (Istana Rusa Putih). Akademi ini kemudian menjadi terkenal sebagai pusat pendidikan Neo-Confucianisme, dimana Chu Hsi mencurahkan pandangan-pandangannya secara sistimatis ke dalam suatu sistem pendidikan yang terpadu.
Pada mulanya, Chu Hsi mendalami Buddhisme, tetapi kemudian mengembangkan ajaran yang lebih berdasarkan pada pandangan Confucianis dan pengaruh konsep Thay-Chi’ dari Taoisme. Thay-Chi’ merupakan sumber gerakan yang menimbulkan sifat Yang (positif), dimana sampai pada puncaknya akan menggerakkan sifat Yin (negatif). Perpaduan sifat Yin dan Yang akan menghasilkan lima unsur di alam semesta [Wu Hsing], yaitu tanah, api, logam, kayu, dan air, dimana dengan kombinasi yang tak terbatas, menciptakan Chi’ yang mengisi segala benda yang ada di dunia ini. Chu Hsi menyatakan, “Thay Chi’ (Supreme Ultimate) diterima oleh setiap individu secara keseluruhan dan tidak terbagi. Seperti bulan yang menyinari bumi, walaupun sinarnya terpantul di sungai dan danau sehingga terlihat dimana-mana, namun kita tidak dapat mengatakan bahwa bulan itu terbagi-bagi.”
Menurut konsep ajaran Neo-Confucianis yang dikembangkan oleh Chu Hsi, bahwa semua obyek dalam sifat alaminya memiliki dua kekuatan yang menyatu, yaitu Li, suatu hukum alam atau prinsip universal yang tidak berwujud (dalam Buddhisme, hampir dapat disamakan dengan Dharma); dan Chi’, suatu zat atau bahan yang mengisi keberadaan semua benda yang berwujud (dalam Buddhisme, hampir dapat disamakan dengan Gudang Kesadaran/Alayavijnana atau benih karma pembentuk kehidupan setiap makhluk). Chi’ senantiasa berubah dan tidak kekal adanya, sedangkan Li bersifat tetap dan langgeng adanya. Chu Hsi selanjutnya mencirikan Li dalam sifat kemanusiaan sebagai suatu sifat yang alami, dimana pada intinya berlaku sama untuk semua orang. Fenomena perbedaan yang timbul hanya disebabkan oleh adanya faktor tingkatan dan padatnya unsur Chi’ yang dimiliki oleh masing-masing individu. Sehingga mereka yang memiliki Chi yang kotor akan membawa sifat alaminya yang suram, dan untuk memulihkan kesucian sifat alaminya, perlu dibersihkan terlebih dahulu. Pembersihan tersebut dapat dicapai dengan memperluas pengetahuan seseorang terhadap Li yang ada dalam diri kita masing-masing.
Setelah seseorang mengolah dirinya dengan giat sehingga memiliki pengertian yang benar akan sifat universal Li atau hukum alam yang melandasi setiap makhluk hidup (Ke Wu dan Chiung Li, yang berarti, menyelidiki suatu perkara sampai pada hakekatnya dan dituntaskan), maka orang tersebut telah menjadi seorang yang suci adanya, karena telah terbentuk sifat Jen. Dengan demikian, dia tidak akan membedakan lagi sifat atau keberadaan di luar dirinya, karena sifat keakuannya telah luntur dari dirinya dan menyatu dengan alam semesta, bebas dari dualitas subyek-obyek. Pandangan ajaran Neo-Confucianisme Chu Hsi sangat mempengaruhi paham Confucianis di Korea dan Jepang sampai saat ini.
Berlawanan dengan sekte Li (Li Sie Phai), adalah sekte Hsin (Hsin Sie Phai) yang juga tergolong dalam Neo-Confucianisme. Pemrakarsa utama dari sekte Hsin adalah Wang Yang-ming (1473-1529 M), atau dikenal juga sebagai Wang Shou-jen, kelahiran Yu-yao, Propinsi Chekiang, putra dari seorang pejabat tinggi negara. Wang Yang-ming hidup pada periode dinasti Ming (1388-1644 M), Beliau menekankan konsep kesatuan dalam pengetahuan dan praktek. Wang Yang-ming membina karirnya di pemerintahan dalam bidang militer, dimana Beliau terkenal sebagai seorang jenderal yang penuh strategi dalam menumpas pemberontakan. Berbagai jabatan kementerian pernah dipegangnya termasuk jabatan gubernur, dan selama kepemimpinannya, daerah Kiangsi dimana beliau berada terkenal aman dan damai. Pemikiran Wang yang paling utama adalah bahwa terlepas dari pikiran, maka tidak ada hukum alam ataupun benda yang eksis. Menurut Beliau, pikiran merupakan pembentuk hukum alam, dan tidak ada yang eksis tanpa pikiran. Seseorang harus mengembangkan pengetahuan intuisi dari pikiran (Liang Ce / Intuitive Knowledge), bukan melalui belajar atau menyelidiki hukum alam, tetapi dengan pikiran yang terkendali dan meditasi yang mendalam (samadhi). Filsafat Wang yang terpengaruh juga oleh praktek Taois yang dipelajarinya, sempat berjaya sekitar 150 tahun di China, dan sangat mempengaruhi kebudayaan Jepang saat itu.
Konsep pemikiran Neo-Confucianisme tersebut, kelihatannya terpengaruh juga oleh ajaran Buddhisme Mahayana yang dikembangkan oleh Mahabhikshu Tripitaka Hsuan-tsang (602 – 664 M). Hsuan-tsang, berasal dari keluarga turun temurun Confucianis, terkenal sebagai seorang bhikshu penjiarah terbesar sepanjang sejarah yang melakukan perjalanan ke Barat (India) dari Tiongkok, hidup pada masa pemerintahan dinasti T’ang (618-907 M). Kisah terkenalnya kemudian dihikayatkan dalam bentuk cerita legenda rakyat Tiongkok, Hsi Yu Chi (Perjalanan Ke Barat untuk mengambil Kitab Suci Buddhisme), dengan tokoh sentralnya antara lain, bhikshu Hsuan-tsang, Sun Hou-zi (Sun-Go-kong), Chu Pa-chieh, dan Sa Ho-sang. Sesudah pulang ke Tiongkok pada tahun 645 M (setelah melakukan perjalanan selama 16 tahun), selain banyak menerjemahkan berbagai kitab Sanskerta ke dalam bahasa China, beliau juga mendirikan sekte Wei Shih (Hanya Kesadaran/Vijnana), sebagaimana tertuang dalam karya Hsuan-tsang, Ch’eng Wei Shih Lun (Treatise on the Establishment of the Doctrine of Consciousness Only), yang menjelaskan bagaimana bisa terdapat suatu dunia emperikal yang umum untuk setiap individu yang memiliki fisik dan pencerapan yang berbeda, tetapi memiliki pembentuk pikiran bersama terhadap suatu tujuan tertentu.
Karya Hsuan-tsang tersebut banyak dipengaruhi oleh filsafat ajaran Yogacara [Vijnanavada/Wei Shih Cung] yang dikembangkan oleh Asanga dan Vasabhandu. Menurut Hsuan-tsang, benih karma universal yang tersimpan dalam Gudang Kesadaran [alayavijnana] merupakan pembentuk sifat umum, dan benih karma tertentu sebagai pembentuk sifat pembeda masing-masing individu. Pokok utama ajaran ini menyatakan, bahwa seluruh dunia ini terbentuk karena pikiran. Bentuk-bentuk tampak luar adalah tidak nyata [maya], tidak ada yang nyata diluar pikiran. Pendapat umum tentang adanya bentuk luar hanyalah disebabkan konsepsi yang salah, dimana dapat dihilangkan dengan proses meditasi yang menarik kembali semua bentuk luar yang bersifat maya tersebut (semacam vipassana bhavana). Benih karma merupakan pembentuk Lima Kelompok Kehidupan [pancaskandha] yang terkumpul dalam Gudang Kesadaran, dimana membentuk pikiran atas keberadaan dunia luar berdasarkan persepsi dan citta. Gudang Kesadaran inilah yang harus disucikan dari dualitas subyek-obyek, dan keberadaan yang maya dengan menempatkannya pada alam kemurnian yang dapat disamakan dengan kenyataan atau kesamaan dimana menunjukkan sifat dasar dari semua benda sesuai apa yang telah ditentukan [tathata].
Selama dinasti Ch’ing (1644 – 1911), terjadi reaksi yang keras terhadap sekte Li (Li Sie Phai) dan sekte Hsin (Hsin Sie Phai) dari pemikiran Neo-Confucianis tersebut. Para cendekiawan dalam periode Ch’ing, menghendaki untuk kembali kepada ajaran murni Confucianisme sebagaimana berasal dari periode dinasti Han sebelumnya. Mereka menganggap Neo-Confucianisme dari Chu Hsi terlalu dipengaruhi oleh konsep ajaran Buddhisme dan Taoisme. Mereka mengembangkan naskah yang bersifat kritis terhadap Kitab Confucianis berdasarkan metodologi ilmiah, ilmu bahasa, sejarah, dan arkeologi untuk memperkuat pendapat mereka. Sebagai tambahan, para cendekiawan seperti Tai Chen atau Tai Tung-yuan (1724 – 1777 M), mengenalkan suatu sudut pandang empiris (suatu teori yang mengatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman) ke dalam filsafat Confucianisme. Tai Chen kelahiran Hsiu-ning propinsi Anhwei, terlahir dalam keluarga yang miskin, dimana untuk belajar saja beliau harus meminjam buku dari orang lain. Tetapi karena kecendekiawaannya, maka Tai diundang oleh Kaisar saat itu untuk duduk dalam posisi pemerintahan. Tai sempat menghasilkan kurang lebih 50 karya, yang pada umumnya terdiri dari matematika, ilmu bahasa, geografi kuno, dan berbagai buku mengenai Confucianisme. Dalam bidang matematika, Beliau menuliskan teori logaritma berdasarkan teori dari ahli matematika Inggris, John Napier. Menurut pendapat Tai Chen, Li terdapat dalam semua makhluk hidup, bahkan keinginan duniawi yang timbul dalam diri manusia. Pengetahuan Li tidak dapat diperoleh secara mendadak hanya dalam meditasi, sebagaimana yang dipercayai oleh Neo-Confucianis. Li hanya dapat diperoleh setelah melalui serangkaian pencarian yang mendalam, dengan menggunakan metode yang tepat, apakah secara kesusasteraan, sejarah, atau penelitian ilmu bahasa. Karena penekanan ajaran Tai terhadap penelitian empirikal yang tekesan ilmiah, dimana selaras dengan pendekatan ilmu pengetahuan umum dari filsafat Barat, maka pemikirannya mulai dipelajari pada abad ke-20. Pada tahun 1936, para cendekiawan China memberikan penghargaan terhadap Tai Chen dengan mempublikasikan karya Beliau secara lengkap yang merupakan suatu edisi resmi dengan judul, Tai Tung yuan Hsien Sheng Chuan Chi (Collected Writings of Mr. Tai Chen / Kumpulan Karya Tn. Tai Chen).
Confucianisme Dalam Kehidupan Saat Ini
Kebanyakan orang beranggapan bahwa membicarakan paham ajaran Confucius, tidaklah lebih daripada menghubungkannya dengan suatu lelucon sejarah atau kiasan kuno. Tidak banyak yang mendengar atau membaca pelajaran-pelajaranNya. Bagaimanapun, kebenaran dan nilai penting dari ucapan-ucapan yang disampaikan oleh Confucius dinilai cukup beralasan hingga kehidupan saat ini, karena pelajaran Confucius berkembang pada era kehidupan Beliau yang bisa disamakan dengan kehidupan saat ini.
Ditinjau dari karya Confucius yang ada, menggambarkan bahwa pada saat era kehidupan Confucius dibandingkan dengan era sebelumnya adalah merupakan suatu era kekacauan moral (moral chaos), dimana nilai susila dalam kehidupan pada umumnya tidak diterima atau tidak dipandang sama sekali. Kriminalitas meningkat, perampokan dan pencurian sering terjadi di desa-desa, dan pembunuhan merupakan suatu masalah yang serius di kota dan di pengadilan. Jarak antara yang kaya dan yang miskin sangat lebar, dimana yang kaya hidup dalam kegemilangan harta dan makanan berlimpah, yang sama sekali tidak pernah dirasakan oleh orang yang kadang-kadang untuk makan sesuap nasi saja dalam sehari sangatlah sulit. Pemerintahan saat itu melakukan korupsi di mana-mana, sehingga tidak dipercayai oleh rakyat yang tidak pernah lalai dalam mengkritik atas kurangnya kontribusi kesejahteraan dari yang kaya dan yang berkuasa kepada rakyat jelata; sebagaimana tercatat oleh sejarahwan terkemuka, Suma Xian (Shu Xian) bahwa, ” Para perdana menteri tidak pernah keluar dan bekerja di lapangan.”
Sektor ekonomi berubah, dimana kelas yang produktif seperti petani sama sekali terperosok ke batas kehancuran, sedangkan sektor perdagangan tumbuh dengan pesat. Di pasar bermunculan barang-barang yang mahal dan sama sekali tidak memiliki nilai kegunaan yang nyata . Kelas menengah pada saat itu yang merupakan kaum terpelajar mengalami kesulitan dalam memperoleh pekerjaan yang layak. Sementara itu para reformis, seperti Confucius bermunculan, mereka merupakan kelompok minoritas, dan kehidupan masyarakat didominasi oleh para pesimis dan konservatif. Masing-masing berusaha membuat blok sosial, menjaga kepentingan sendiri, setiap kali terjadi reformasi politik atau sosial akan dipandang secara negatif.
Kedengarannya sangat familiar bukan ? Memang demikianlah kenyataan kehidupan di dunia yang kita alami saat ini. Sangatlah penting untuk dicatat, bagaimanapun tidak produktifnya para ahli filsafat saat itu, namun ajaran Confucius tidak hanya berakar, tetapi berkembang secara meluas, yang akhirnya mengtransformasi kehidupan masyarakat China dengan dominasi dan nilai sosial budayanya selama berabad-abad. Itulah sebabnya bahwa ajaran Confucius masih dirasakan bermanfaat sampai saat ini.
Pengaruh ajaran Confucius sangat terasa di negara-negara Asia khususnya Korea, Jepang, Singapura, dan Taiwan, dimana kehidupan penduduknya sangat mapan pada umumnya, termasuk kehidupan sosialnya, dan merupakan negara industri yang maju di Asia. Ajaran-ajaran pokoknya seperti asas Jen (Truly Virtuous Man), yang bisa diartikan sebagai moralitas, peri kemanusiaan, kebajikan atau cinta kasih. Jen merupakan suatu standar moral yang tertinggi bagi seseorang yang dicerminkan dalam tingkah laku yang bersusila (Li/Propriety). Sehingga terbentuklah orang yang disebut Budiman (C’un Zi/the Superior Man) .
Ajaran-ajaran Confucius juga mempengaruhi pikiran para sastrawan dan negarawan di negara-negara Eropa dan Amerika sampai saat ini. Hal ini terbukti dalam pertemuan para pemenang hadiah Nobel di Paris, bulan Januari 1988 yang merupakan Konferensi Internasional Pertama, dimana pada sesi terakhir, dari 75 partisipan termasuk 52 ilmuwan yang sesudah mempertimbangkan dengan teliti selama empat hari, akhirnya bersepakat mengeluarkan suatu daftar yang berisi 16 kesimpulan yang diberi tema `Menghadapi Abad Ke-21’ (Facing the Twenty-First Century). Ikhtisar penting dari kesimpulan tersebut adalah, sebagaimana tertulis bahwa,” If mankind is to survive, it must go back 25 centuries in time to tap the wisdom of Confucius.” yang dapat diartikan ” Jika nilai kemanusiaan tetap perlu dipertahankan, maka haruslah kembali ke 25 abad yang lalu untuk menyentuh kebijaksanaan Confucius.”
Selama melakukan riset untuk tulisan ini, termasuk mengunjungi beberapa situs internet (web sites) yang berkaitan dengan ajaran Confucius, Penyusun menemukan bahwa terdapat cukup banyak masyarakat, khususnya di Eropa dan Amerika yang mempelajari dan memperdalam filsafat Confucianisme dengan membentuk dan merancang situs yang sangat komprenhensif . Mereka melakukan penerjemahan dan komentar-komentar, khususnya Buku Kumpulan Ujaran Confucius (The Analect = Lun Yu), Buku tentang Pelajaran Besar (The Great Learning = Da Xue), Buku tentang Jalan Tengah (The Doctrine of the Mean = Chung Yung) dan Pelajaran Mencius (The Mencius = Meng Zi). Kelompok ini tidak mementingkan berbagai tata cara upacara kebhaktian dalam Confucianisme tetapi lebih mengutamakan penghayatan dan pengamalan filsafat Confucius dalam kehidupan sehari-hari.
Alexander Pope:
“Superior and alone, Confucius stood who taught that useful science to be good.”
(” Confucius dengan agung dan sendirian, telah mengajarkan suatu ilmu pengetahuan yang berguna dan bermanfaat,”)
BAGIAN III
AJARAN LAU-ZI
Ajaran Lau Zi, lebih dikenal sebagai Taoisme, merupakan suatu paham filsafat yang lahir di Tiongkok dan telah mengalami berbagai perkembangan selama ribuan tahun. Dikembangkan oleh Lau Zi yang hidup pada masa 604 – 531 SM, dengan kitab utamanya yang disebut Kitab tentang Jalan Kebenaran [Tao Tee Cing] dan merupakan suatu kitab filsafat singkat yang sangat rumit dan hanya terdiri dari 5.250 huruf. Dalam Tao Tee Cing, terdapat gagasan yang terkenal sebagai ` Tiada Berbuat ‘ [Wu Wei], yang berarti membiarkan segala hal terjadi sesuai dengan apa adanya, alami, dan bukan dibuat-buat. Pendapat mengenai Wu Wei ini dapat disamakan dengan inti ajaran Ch’an dalam Buddhisme Mahayana, ataupun konsep Trilaksana/Tilakkhana , khususnya pengertian konsep Ketidakmelekatan dan Ketanpa-akuan. Pandangan-pandangan Lau Zi erat kaitannya tentang dunia dan alam semesta serta hubungannya dengan kehidupan manusia, pemerintahan, dan Yang Maha Esa [Tao]. Tao terkesan tidak logis, dan memang Tao melampaui batas-batas logika. Sehingga untuk dapat memahami dan mengerti secara mendalam ajaran Lau Zi yang sulit ini diperlukan usaha yang tekun dan perenungan yang mendalam atau secara intuisi. Kebanyakan orang mengidentikkan Taoisme sebagai sesuatu yang bersifat gaib dan mistik. Hal ini disebabkan pada zaman Hao Han, terdapat seorang pengikut Taoisme bernama Zhang Tao Ling yang bergelar Zhang Thien She menyebarkan ajaran Lau Zi dengan menambahkan ilmu gaib dan mistik.
Terlepas dari berbagai perkembangan yang ada, ajaran murni Lau Zi bersama dengan ajaran Confucius telah membentuk kebudayaan China lebih dari 2000 tahun. Warisan Taois, dengan penekanan pada kebebasan diri dan spontanitas, sistim pemerintahan sosialis, pengalaman mistik, dan teknik pengolahan diri, telah merupakan suatu jalan kerohanian yang agak berlawanan dengan paham Confucianis yang lebih terkonsentrasi kepada kewajiban moral seseorang, standar kehidupan bermasyarakat, dan tanggung jawab pemerintahan. Lau Zi hidup pada era Ciu, tahun 604 SM dan hampir satu era dengan Confucius dan Buddha Gautama. Pada garis besarnya, ketiga Guru Agung tersebut mempunyai banyak persamaan, tetapi pada detailnya juga terlihat banyak perbedaan. Namun perbedaan-perbedaan tersebut, apabila dihayati lebih lanjut akan terlihat merupakan suatu hal yang saling melengkapi satu dan lainnya.
Salah satu ungkapan Beliau yang sangat sederhana, tetapi menjadi sangat terkenal dimana sering dijadikan pendorong semangat dalam setiap usaha atau kegiatan pada kehidupan saat ini, yaitu “Perjalanan seribu Li dimulai dari satu langkah kecil. ” (Tao Tee Cing Bab 64, 5 ).
25
RIWAYAT SINGKAT GURU LAU ZI
Tidak banyak catatan yang dapat ditemukan mengenai kehidupan Lau Zi yang bernama asli Li Erh dengan gelar Dewata, Lau C’un, Th’ai Shang Lau C’un, atau Th’ai Shang Hsuan Yuan Huang Ti. Menurut sejarahwan Tiongkok, Suma Xian (Shu Xian) yang menulis sekitar tahun 100 sesudah masehi, bahwa Lau Zi berasal dari desa Ch’u-jen, propinsi Hunan, dan hidup sekitar abad ke-6 SM, di ibu kota Loyang negara Ch’u. Nama keluarganya Li, dan nama panggilannya Erh. Beliau sempat diangkat sebagai seorang ahli perpustakaan [Shih] kerajaan pada masa pemerintahan Dinasti Chou (1111 SM – 255 SM). Sebagai seorang ahli perpustakaan maka Beliau juga dikenal sebagai seorang yang ahli dalam bidang perbintangan dan peramalan, yang juga menguasai berbagai kitab kuno.
Suma Xian yang melakukan penelitian secara mendalam, dan sesudah menemui beberapa orang yang pernah bertemu Lau Zi, dimana salah satunya Lau-Lai-Zi, seorang Taois pengikut Confucius dan seorang ahli perbintangan bernama Tan, maka Suma Xian menyatakan bahwa kemungkian Lau Zi telah hidup 150 tahun, malah ada yang mengatakan lebih dari 200 tahun. Menurut kepercayaan kuno saat itu, seorang Guru Agung dapat hidup kekal, hal ini merupakan suatu hal yang alami karena para pengikut Tao menyembah Guru mereka yang dipercayai memiliki kehidupan kekal. Kepercayaan ini kemungkinan lebih berkembang pada tradisi sebelum Chuang Zi, seorang Guru Agung Taois yang hidup sekitar abad ke-4, karena dalam karya-karya Chuang Zi, walaupun Beliau ada menyinggung hal-hal yang berkaitan dengan kematian tetapi tanpa diberikan penekanan khusus terhadap suatu bentuk kekekalan.
Untuk menjelaskan kenapa kehidupan Lau Zi penuh kejanggalan, Suma Xian menjelaskan bahwa dia adalah seorang pertapa yang mengenalkan doktrin ‘Tiada Berbuat’ [Wu Wei] , suatu pengolahan diri untuk mencapai kesunyian diri sejati, dan penyucian pikiran. Walaupun pada kenyataannya, sepanjang sejarah China, selalu tercatat adanya para pertapa yang meninggalkan kehidupan duniawi. Sehingga dipercayai juga, bahwa pengarang Tao Te Cing kemungkinan berasal dari pertapa seperti ini yang tidak meninggalkan jejak kehidupannya.
Keberadaan legenda Lau Zi sempat dipertanyakan oleh para cendekiawan, dengan alasan Tao Te Cing tidak mungkin ditulis oleh satu orang saja. Beberapa cendekiawan mengatakan bahwa Tao Te Cing kemungkinan berasal dari era Confucius, dan beberapa lainnya mengatakan kitab tersebut berasal dari sekitar abad ke-3 SM. Kesimpang siuran ini menyebabkan beberapa cendekiawan yang menyatakan bahwa pengarang Tao Te Cing dilakukan oleh Tan, seorang ahli perbintangan. Sementara lainnya, yang berdasarkan biografi dari Suma Xian, menelusuri garis keturunan dari Sang Guru Agung tersebut, berhasil mengaitkan kehidupan Lau Tan pada sekitar abad ke-4 SM. Tetapi hasil penelusuran garis keturunan tersebut tentunya agak sulit dipertimbangkan dari sudut sejarah. Ini hanya dapat membuktikan bahwa pada masa kehidupan Suma Xian, terdapat keluarga bermarga Li yang mengakui sebagai keturunan dari Guru Agung Lau Zi. Hal ini tidak meletakkan suatu dasar yang kuat untuk memastikan keberadaan Lau Zi. Nama Lau Zi sendiri ada kemungkinan untuk menunjukkan gelar kehormatan terhadap Guru Agung Tao daripada nama pribadi seseorang.
Dalam biografi Shih Chi dan sebagaimana sempat disinggung juga secara sekilas dalam beberapa kitab kuno lainnya, bahwa terdapat banyak riwayat para Guru Agung yang ditulis mulai dari abad ke-2 sesudah masehi. Hal ini cukup menarik perhatian apabila dikaitkan dengan sejarah pembentukan Taoisme Agama [Tao Chiao]. Selama Dinasti Han (th 25 – 220), Lau Zi telah dianggap sebagai suatu figur mistik yang disembah oleh rakyat bahkan oleh raja sendiri. Perkembangan berikutnya, Beliau diangkat sebagai Lau Agung [Lau C’un], penjaga dan pewarta kitab kuno dan sang penyelamat umat manusia. Terdapat banyak versi mengenai kelahiran Beliau , salah satunya dipengaruhi oleh cerita kelahiran Sang Buddha. Ibunda Lau Zi dikatakan mengandung Beliau selama 72 tahun, dan dilahirkan melalui ketiak kirinya. Legenda lainnya mengisahkan dari keluarga Li, bahwa bayi tersebut terlahir bersinar di bawah kaki pohon plum (Li) sehingga diputuskan bahwa ‘Li’ (plum) adalah nama keluarganya. Dua legenda tersebut dipandang sangat penting bagi para Taois. Menurut legenda yang pertama, Lau C’un telah berulang kali turun ke langit dalam berbagai wujud manusia sepanjang sejarah untuk menurunkan doktrin Taoisme kepada para kepala negara. Sedangkan legenda kedua berkembang dari cerita perjalanan Lau Zi ke Barat (India). Dalam legenda kedua ini malah dipercayai bahwa Sang Buddha adalah merupakan perwujudan Lau Zi juga. Lau Zi tidak pernah hilang dalam berbagai perubahan kebudayaan di China. Bagi para Confucianis, Beliau adalah seorang filsuf yang agung; bagi kebanyakan orang, Beliau adalah seorang dewa atau orang suci; dan bagi para Taois, Beliau merupakan pancaran dari Tao dan sesuatu yang merupakan keillahian agung mereka.
Suma Xian juga menuliskan bagaimana Lau Zi pada suatu hari bertemu dengan Confucius, yang dikritiknya sebagai seorang Budiman yang menimbun kebajikan begitu rapat, seolah-olah kosong adanya. Namun Confucius berkata kepada murid-muridnya, sesudah pertemuan tersebut,” Saya tahu bagaimana burung terbang, bagaimana ikan berenang, bagaimana binatang darat berlari. Tetapi yang berlari, tetap saja bisa terperangkap; yang berenang bisa terjala, yang terbang bisa terpanah. Namun siapa yang tahu bagaimana seekor naga mengendarai angin melalui awan menuju surga ? Hari ini saya bertemu Lau Zi dan hanya dapat membandingkannya dengan seekor naga.”
Menurut cerita, pada usia tuanya Lau Zi hendak hidup bertapa dan meninggalkan negara Chu, dimana dalam perjalanannya Beliau diberhentikan di pintu gerbang Hsien Ku oleh penjaga yang bernama Yin Hsi, di perbatasan negara Chin. Yin Shi yang mengenali Lau Zi sebagai seorang Yang Suci, memintanya untuk menuliskan kebijaksanaan Beliau dalam suatu kitab. Sesudah tiga hari, Beliau menyelesaikan sebuah kitab yang hanya terdiri dari 5.250 huruf dan dinamakan Tao Tee Cing . Sesudah itu, Beliau menunggangi seekor kerbau sambil bernyanyi meninggalkan kehidupan duniawi menuju ke Barat (India/ pegunungan Himalaya), dan sejak saat itu tidak pernah terdengar khabar mengenai diri Beliau lagi. Sedangkan Yin Hsi, sesudah membaca Kitab tersebut , menjalani kehidupan pertapaan dan mencapai dunia Dewata sebagai seorang dewa [hsien]. Yin Hsi sendiri, menurut catatan sejarah dari Suma Xian, juga menulis satu buku yang berkaitan dengan metode meditasi Taois, dengan judul ‘Kuan Yin Zi’. Sesudah itu Beliaupun ikut merantau ke Barat (India/pegunungan Himalaya) dan kemudian tidak terdengar kabar beritanya lagi.
26
TRADISI TAOISME
Taoisme secara garis besar, terbagi atas dua tradisi, yaitu tradisi Taoisme Filsafat [Tao Chia] yang lebih diasosiasikan dengan karya-karya dalam Tao Tee Cing (Lau Zi), Chuang Zi, Lieh Zi dan karya-karya lainnya; dan tradisi Taoisme Agama/Mistik [Tao Chiao] dengan suatu doktrin yang baku, kegiatan pemujaan, dan tempat pemujaan yang khusus. Walaupun Kedua tradisi tersebut berkaitan, namun dalam kenyataannya memilki perbedaan yang mendasar juga. Kedua tradisi Taoisme ini berkembang pesat di luar China, khususnya di negara-negara Asia Timur seperti, Korea, Jepang, dan Vietnam.
Taoisme Filsafat [Tao Chia]
Pendalaman tradisi ini terpusat pada Tao Tee Cing yang dipercayai merupakan karya Lau Zi. Konsep utama dalam tradisi ini adalah Tao, yang tak teruraikan, kekal, realitas yang kreatif dimana merupakan sumber dari segala sesuatu di alam semesta ini. Tao adalah mutlak adanya, tidak berwujud yang mana hanya dapat dialami secara ekstase mistik. Tee adalah perwujudan dari Tao yang meliputi semua bentuk di alam semesta ini. Dengan demikian, untuk memperoleh kesempurnaan Tee, berarti seseorang harus mencapai kesejatian diri dalam keserasian yang sempurna.
Menurut Chuang Zi yang hidup sekitar abad ke-4 SM, keserasian seseorang dalam Tao meliputi perubahan alami yang berkesinambungan, dan bukannya ketakutan akan irama kehidupan dan kematian. Sebagaimana layaknya akan menghadapi kematian, maka dalam menjalani kehidupan, seseorang haruslah selaras dengan sifat alami dan kesederhanaan dari Tao. Berlawanan dengan konsep Confucianisme yang menekankan perubahan kehidupan sosial melalui prinsip moral, upacara bhakti, dan kepemerintahan, maka dalam Taoisme lebih mengacu kepada kehidupan pelepasan dengan mengacu kepada kehidupan para suci, dan berusaha menghindarkan hal-hal keduniawian. Lau Zi menguraikan dalam ungkapan, “Wujudkanlah dalam kesederhanaan, hiduplah secara alami, kurangilah sifat ke-aku-an, kurangilah nafsu keinginan duniawi.”
Karena pekerjaan Tao tercermin dari berbagai fenomena di alam semesta, maka manusia pasti akan menanggung segala akibat dari perbuatannya. Walaupun begitu, kehidupan seorang Taois bukanlah berarti sama sekali diam atau tidak melakukan apa-apa. Melainkan lebih berarti bahwa dalam menjalani kehidupan ini, berusaha menghindari perbuatan dengan prinsip ‘Tiada Berbuat’ [Wu Wei]. Secara positif, hal tersebut merupakan suatu ekspresi kehidupan yang mengandung nilai esensi spontanitas [Zi Jan]. Kalau konsep Chuang Zi dan Lieh Zi lebih mengarahkan manusia untuk mengolah diri ke dalam suatu bentuk realisasi kebebasan total, maka Tao Tee Cing sebagaimana yang dituangkan oleh Lau Zi, lebih ditujukan kepada kepala negara yang merupakan pucuk pimpinan kerakyatan tertinggi. Menurut Lau Zi, seorang kepala negara yang agung cukup bertindak sesuai kehendak Alam, dan seluruh rakyat akan merasakan kemuliaannya.
Taoisme Agama [Tao Chiao]
Berbagai naskah Taoisme Filsafat mulai dikembangkan selama periode Perang Negara (481 – 221 SM). Taoisme Agama atau Taoisme Mistik merupakan suatu gerakan komunitas agama terorganisasi yang mulai berkembang sekitar abad ke-2 sesudah masehi, mengenalkan berbagai teknik dan ragam spiritual berkaitan dengan pemujaan terhadap para Dewata [Hsien]. Cerita kehidupan para Dewata [Hsien] merupakan paradigma utama dari Taoisme Agama. Lau Zi dipuja oleh para Taois sebagai Dewata dan juga penjaga/pewarta kitab kuno, pelindung, dan pembimbing atau pembuka tabir mistik Tao.
Teknik untuk mencapai kehidupan sebagai hsien termasuk puasa rutin, meditasi dan pengendalian nafas, pengendalian kegiatan seksual, kekuatan untuk menyembuhkan, mistik pengusiran setan dengan Fu (tulisan di kertas, semacam mandala yang dibacakan mantranya), pencapaian Pulau Kebahagiaan, dan sari obat Dewata. Puasa rutin dilakukan oleh para Taois dengan cara menghindari makanan yang dapat menimbulkan penyakit, usia tua, dan kematian. Dalam meditasi, seorang Taois melakukan visualisasi seribu Dewata yang berdiam di tubuh manusia (mikro-kosmos) sebagaimana mereka berdiam di alam semesta (makro-kosmos). Dalam usaha untuk memperoleh unsur energi [Chi’] kehidupan kekal, sang Taois juga memiliki pengetahuan ilmu pengobatan [Wai Tan] dan teori mengenai sari obat Dewata secara internal [Nei Tan]. Nei Tan bertujuan untuk mengembalikan proses ketuaan yang normal dengan suatu energi [Chi’] yang merupakan perpaduan unsur sejati dari alam berupa Yin dan Yang di dalam tubuhnya. Mandala [Fu] dipergunakan dengan tujuan untuk menyembuhkan, melindungi dari hantu, dan berkomunikasi dengan para Dewata Taois.
Sejarah Perkembangan Tao Chiao
Chang Tao Ling pada tahun 142 mendirikan suatu sekte Tao yang dinamakan ‘Jalan Para Guru Surgawi’ ( Th’ien Shih Tao / Way of the Celestial Masters). Terdapat dua sekte yang cukup dikenal pada sekitar abad ke-4, yaitu (1) Sekte Shang Ch’ing (Kemurnian Agung) Mao Shan , dan (2) Sekte Ling Pao (Pusaka Permata) . Selama Dinasti T’ang (th. 618-907), Taoisme memperoleh kedudukan kehormatan, khususnya dalam persidangan yang dicirikan oleh penggabungan doktrin dan upacara agama. Terlepas dari berbagai usaha untuk membatasi timbulnya berbagai sektarianisme yang dilakukan selama Dinasti Ming (th. 1368-1644), tetap saja masih terjadi polarisasi antara tradisi ortodok klasik (pandangan keagamaan kuno) dan tradisi heterodok (pandangan keagamaan modern) sampai akhir abad ke-20 ini. Di Taiwan, para pengikut tradisi kuno dipanggil sebagai ‘Kepala Hitam’ dan para pengikut modern dipanggil sebagai ‘Kepala Merah’. Sementara kelangsungan praktek Taois di Tiongkok masih merupakan suatu tanda tanya, di Taiwan malah terjadi pembaharuan agama Tao yang cukup menarik selama beberapa abad belakangan ini. Sebagai tambahan, belakangan ini para cendekiawan Barat telah memulai penelitian terhadap berbagai kontribusi Taoisme terhadap perkembangan kebudayaan China.
27
TUJUAN KEHIDUPAN PARA TAOIS
Kalau para Confucianis bertujuan untuk mencapai kehidupan sebagai seorang Budiman [C’un Zi] dan lebih memperhatikan sisi moralitas atau kesusilaan, maka para Taois lebih memperhatikan sisi pendalaman diri [nei sheng], yang walaupun secara eksplisit, pada akhirnya dapat diwujudkan kepada suatu keagungan luar [wai wang] dengan mengembalikan sisi kehidupan ke Jalan Kebenaran melalui cara Tiada Berbuat [wu wei], pengolahan diri sejati [nei yeh], ataupun pencerminan apresiasi seni yang bernafaskan unsur kejiwaan dan pikiran [hsin-shu].
Sifat-sifat keduniawian yang tak terkendali, seperti ambisi, kekayaan, dan kemelekatan terhadap suatu pengetahuan ataupun nafsu keinginan akan mengacaukan dan mengeringkan energi [Chi’]. Seorang Taois harus dapat selalu menyatukan diri atau bersatu [pao-i] dengan Tao dalam suatu tingkat kesadaran diri yang tak tergoyahkan. Menyatukan diri dapat juga berarti senantiasa menjaga keseimbangan Yin dan Yang dalam dirinya dan penyatuan antara roh [hun] dan jiwa [p’o]. Para Taois mempercayai bahwa dalam diri seseorang terdapat tiga hun dan tujuh p’o. Roh seseorang pada umumnya akan keluar (pada waktu mimpi), dan apabila terdapat dorongan keinginan dapat menyebabkan tersesatnya roh tersebut. Untuk menjaga dan menyelaraskan roh seseorang, maka penting dijaga kehidupan fisik maupun penyatuan keseluruhan entitas diri. Seorang Taois yang suci mengolah dirinya dalam suatu tingkat kebatinan yang bersifat kosong tapi berisi, dengan senantiasa menyucikan diri dari segala kemelekatan. Dengan kosong dari segala bentuk kekotoran batin, maka seorang Taois dipenuhi oleh energi murni [yuan chi’]. Energi murni ini terdapat dalam setiap manusia yang mana menjadi tercemar pada pada saat dilahirkan di dunia.
Karena energi murni dan roh sulit untuk dibedakan, maka usia panjang merupakan suatu bukti nyata dari kehidupan suci. Seorang Taois yang berusia panjang dianggap sebagai orang suci karena telah berhasil mengolah dirinya secara berkelanjutan, hal ini merupakan suatu bukti nyata akan kesucian dan kebersatuannya dengan Tao. Taois yang suci memperlihatkan fisik yang sehat, penampilan yang bercahaya, dan di dalam dirinya mengalir terus sumber energi yang diwujudkan dalam pancaran aura yang berkekuatan dan memberikan pengaruh yang positif terhadap sekelilingnya. Hal ini merupakan suatu perwujudan sifat keagungan yang nyata dari Tao.
Pendalaman mistik dari Chuang Zi menyebabkannya disingkirkan oleh para Taois yang berjuang untuk usia panjang dan keabadian. Walaupun begitu, keabadian fisik telah merupakan tujuan kehidupan seorang Taois sejak diperkenalkannya Taoisme Mistik. Penguasaan atas keabadian tersebut yang dipercayai telah dicapai oleh Lau Zi, menyebabkan metode ini dijadikan suatu pilihan diantara berbagai metode yang ada, bertujuan untuk mengembalikan energi murni [yuan chi’] yang dimiliki seseorang pada waktu lahir. Melalui metode ini, maka Taois yang telah mahir tersebut akan menjadi dewa [hsien] yang dipercayai dapat hidup mencapai usia 1000 tahun di dunia ini jika dia memilih demikian, ataupun kalau dia sudah puas, dapat saja menuju ke kahyangan (surga) dan hidup di sana dalam keabadian. Tujuan ini merupakan suatu pencapaian tingkat kedewaan dari seorang Taois yang telah dapat mengubah dirinya dalam bentuk energi Yang (positif) murni.
Chuang Zi dan juga para Taois yang telah mencapai kebersatuan dengan Tao, menguraikan Tao yang pada dasarnya sulit diuraikan tersebut dalam suatu bentuk puisi yang tidak begitu berbeda. Manusia yang telah mencapai kesempurnaannya, dapat mencirikan gerakan kehidupannya secara lengkap dengan gerakan kekuatan alam sehingga menjadi tidak terpisahkan dan bergabung dengan keabadian yang tak terhingga yang melampaui lingkaran kehidupan dan kematian. Ia menjadi roh yang suci. Ia tidak akan merasakan kepanasan di tengah padang rumput yang sedang terbakar, ataupun kedinginan di tengah salju. Tidak ada yang dapat mengejutkan ataupun menakutkannya. Tidak saja ia kebal terhadap berbagai serangan ilmu hitam, tetapi ia juga begitu mawas diri dalam menghindar dan mendekati, sehingga tidak ada yang dapat mencederainya. Manusia seperti ini dapat mengendarai awan dengan membawa matahari dan bulan seperti mengendarai kuda surgawi. Tema berupa perjalanan roh [yuan yu], dimana dapat dilansir kembali pada perjalanan roh cenayang, senantiasa muncul dalam karya Chuang Zi pada saat beliau menyinggung mengenai kesempurnaan manusia.
Mereka yang membiarkannya dibawa lari oleh energi murni dari Surga dan Bumi
dan dapat mengendalikan enam unsur energi melewati ruang tanpa batas,
apakah masih ada yang mereka perlukan disini?
Perjalanan roh ini merupakan suatu perjalanan dalam diri seseorang yang melewati suatu kegiuran tanpa batas ruang dan waktu. Dengan bersatu dalam Tao, maka ” Manusia Sempurna tiada memiliki diri, Orang Suci tiada memiliki jasa, Pertapa tiada memiliki kemasyuran.” Ia hidup tanpa menyolok di antara manusia, dan apapun yang merupakan sifat Tao tercermin dalam dirinya.
28
TAO TEE CING
Kitab terkenal Tao Tee Cing dari Lau Zi bersama I Cing (Kitab Perubahan) dan Lun Yu (Kitab Ujaran) dari Confucius merupakan tiga kitab serangkai yang dianggap mencapai puncak karya klasik Tiongkok yang bernilai tinggi. Tao Tee Cing merupakan suatu kitab yang pendek, terdiri dari kurang lebih lima ribu kata, sehingga sering juga disebut ‘Naskah Lima Ribu Tanda’, dan oleh kebanyakan penerjemah dibagi atas 81 bab pembahasan.
Tao Tee Cing dapat diartikan sebagai Kitab tentang Jalan Kebenaran , yang secara harfiah, masing-masing kata berarti; Tao, suatu sumber dari segala benda yang tidak dikenal, suatu Jalan yang menciptakan kehidupan yang melingkupi keseluruhan benda dan makluk di dunia dalam bentuk fisik, mental, dan spiritual. Tee, merupakan perwujudan dari Tao, adalah merupakan kekuatan dari Tao yang terwujud dalam berbagai fenomena di alam semesta ini. Berbagai ciri kehidupan yang mengikuti sifat alaminya merupakan bukti dari Tao yang direalisasikan oleh Tee, seperti harimau yang mengaum, teratai yang berbunga, semilir angin. Demikian juga dengan manusia yang berjuang untuk hidup, dan saling menyayangi, adalah merupakan suatu pencerminan dari kebutuhan dasarnya yang mengarahkan dan menciptakan intuisi, kesemuanya itu merupakan bentuk kebajikan dari Tee. Perkataan Cing sendiri adalah merupakan suatu judul penghargaan yang diberikan terhadap suatu karya klasik, yang mana dapat diterjemahkan sebagai kitab.
Menurut sejarahwan terkenal Tiongkok, Suma Xian, Tao Tee Cing ditulis sendiri oleh Lau Zi atas permintaan dari Yin Hsi seorang penjaga pintu gerbang yang bertemu Lau Zi pada saat Beliau bermaksud meninggalkan kehidupan duniawi menuju ke Barat (India/pegunungan Himalaya). Pada awalnya Lau Zi tidak berniat untuk menguraikan pencapaiannya ke dalam bentuk tulisan, karena menyadari bahwa Tao adalah sulit diuraikan, dan terdapat banyak manusia yang diliputi oleh sifat ke-aku-an, kebencian, dan nafsu keduniawian yang sulit dilepaskan. Penolakan tersebut hampir dapat dipersamakan dengan saat Buddha Gautama mencapai Pencerahan Sempurna, dimana Beliau juga ragu adanya manusia yang mampu mencerna dan menjalankan ajaranNya. Tetapi atas permintaan yang tulus dari Yin Hsi, akhirnya Beliau menunda perjalanannya, dan selama tiga hari menyelesaikan satu kitab yang dinamakan Tao Tee Cing yang terdiri dari 5.250 huruf saja. Sesudah itu Beliaupun meninggalkan kehidupan duniawi dan tidak pernah terdengar kabar beritanya lagi. Yin Hsi sendiri diceritakan mempelajari Tao Tee Cing dan berhasil mencapai alam Dewata sebagai seorang dewa [Hsien], dan juga kemudian mengikuti jejak gurunya menuju ke Barat, dan tidak pernah terdengar kabarnya lagi. Catatan dari Suma Xian menyatakan bahwa Yin Hsi juga sempat menulis satu kitab yang menguraikan mengenai metode meditasi Taois dengan judul Kuan Yin Zi.
Terlepas dari berbagai kontroversi yang ada mengenai asal dan pengarang dari Tao Tee Cing tersebut, namun karya yang luar biasa ini telah dipelajari selama berabad-abad di berbagai negara. Berbagai penerjemahan juga dilakukan dalam berbagai bahasa. Kebanyakan pada mulanya para penerjemah Tao Tee Cing ataupun yang membacanya sekali tanpa menghayati secara mendalam, akan menemui bahwa ungkapan-ungkapan yang ada sangatlah samar dan aneh, atau seolah-olah bertentangan dengan pendapat umum (paradoks). Tetapi apabila kita merenungkannya dan menghayatinya secara mendalam (intuitif) dan benar, akan dapat disadari bahwa terdapat suatu intisari dari Kebenaran yang begitu sempurna. Tao Tee Cing dapat dikatakan merupakan suatu rangkaian perkataan bijak yang dapat diterapkan sampai kehidupan saat ini, dan sangatlah relevan dengan cara pikir dan cara menjalani kehidupan kita. Kitab ini dapat dibaca oleh berbagai kalangan profesi dan kepercayaan agama, karena tidak menunjuk kepada Pencipta ataupun Tuhan tertentu. Selain tidak menyinggung dogma, juga sama sekali tidak mengaitkan adanya dewa ataupun roh tertentu. Apa yang diuraikan adalah Jalan Kebenaran Sejati, suatu jalan pengolahan diri yang membutuhkan pendalaman intuisi. Tao dapat diumpamakan seperti air gunung yang mengalir ke sungai, terus ke laut membawa serta semua benda yang ada bersamanya.
Uraian Bab Utama Tao Tee Cing
Terdapat cukup banyak versi terjemahan dari Tao Tee Cing, yang adakalanya bisa menciptakan pengertian yang berbeda. Namun dengan tidak mengurangi arti dari uraian asli Tao Tee Cing yang ditulis dalam bahasa sastra kuno [wuen-y’en-wuen] dan memang sulit diterjemahkan secara langsung tersebut, maka berikut disertakan uraian intisari pokok pengertian yang terbagi atas masing-masing bab yang merupakan terjemahan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sesuai penafsiran dari masing-masing penerjemahnya.
BAB I SIFAT TAO YANG MAHA BESAR
(The Mystical Way)
BAB 2 HIDUP SESUAI DENGAN TAO
(Relativity and Not Interfering)
BAB 3 PEMERINTAH NEGERI ATAS DASAR TAO
(Simplicity)
BAB 4 KEGAIBAN TAO
(The Infinite Way)
BAB 5 SIFAT WAJAR DARI TAO
(Emptiness and the Center)
BAB 6 GAYA GAIB TAO BEKERJA TANPA AKHIR
(The Mystical Female)
BAB 7 TAO BERSIFAT HIDUP DAN MENGHIDUPI
(Enduring)
BAB 8 SIFAT TAO SEPERTI AIR
(The Best Are Like Water)
BAB 9 MENGENAL BATAS ADALAH SIFAT TAO
(Moderation)
BAB 10 TAK ADA KOMPROMI ANTARA BAIK DAN JAHAT DALAM TAO
(Mystical Power)
BAB 11 NILAI KEKOSONGAN SESUAI TAO
(Use What Does Not Exist)
BAB 12 MENGENDALIKAN PANCA INDERA SESUAI TAO
(Satisfy the Inner Self)
BAB 13 GONCANGAN SANG AKU BERTENTANGAN DENGAN TAO
(Selflessness)
BAB 14 TAO YANG SEMPURNA TIDAK MEMPUNYAI BENTUK
(The Formless Way)
BAB 15 ORANG YANG MAHIR ILMU TAO BERSIKAP SAMAR
(The Wise)
BAB 16 KETENTRAMAN DALAM DIAM DAN BERSATU DALAM TAO
(Know the Eternal)
BAB 17 MANUSIA DAN SIFAT WAJAR DARI TAO
(Leaders)
BAB 18 KEBAIKAN DITONJOLKAN SETELAH TAO LENYAP
(When the Way is Forgotten)
BAB 19 HIDUP SEWAJARNYA SESUAI DENGAN TAO
(What People Need)
BAB 20 MENJAUHKAN MASALAH DUNIAWI UNTUK BERSATU DENGAN TAO
(Drawing Sustenance)
BAB 21 TIADA SESUATU YANG BERHARGA KECUALI TAO
(Within the Elusive Way)
BAB 22 TAO MENYEMPURNAKAN SEGALA KEKURANGAN
(Yielding for Unity)
BAB 23 SIAPA YANG SESUAI DENGAN TAO AKAN DITERIMA OLEH TAO
(Nature)
BAB 24 SIAPA YANG MENENTANG TAO TIDAK AKAN ABADI
(Avoid Excess)
BAB 25 TAO ADALAH IBU DARI LANGIT DAN BUMI
(The Supreme)
BAB 26 ORANG BUDIMAN TAK TERPISAH DARI TAO
(Self-mastery)
BAB 27 YANG MENGENAL TAO BERTUGAS SEBAGAI GURU
(Using the Light)
BAB 28 TAHU DIRI ADALAH SESUAI DENGAN TAO
(The Valley of the World)
BAB 29 TAO MENGHENDAKI KEBEBASAN SEMUA MAKHLUK
(Do Not Tamper with the World)
BAB 30 SIKAP SEORANG KSATRIA SESUAI DENGAN TAO
(Force of Arms)
BAB 31 TAO TAK MENGHENDAKI PERTUMBAHAN DARAH
(War and Peace)
BAB 32 TAO YANG ABADI TIDAK MEMPUNYAI NAMA
(The Natural Way)
BAB 33 MENGENAL DIRI SENDIRI ADALAH KEBIJAKSANAAN
(Inner Power)
BAB 34 TAO YANG MAHA BESAR MENGALIR BAGAI AIR
(The Great Way)
BAB 35 KESEMPURNAAN DARI TAO
(The Inexhaustible Way)
BAB 36 DUNIA YANG FANA DAN TAO YANG ABADI
(The Mystic Light)
BAB 37 TAO TIDAK BEKERJA TETAPI TIDAK ADA SESUATU YANG TIDAK DIKERJAKAN OLEHNYA.
(The Way Never Interferes)
BAB 38 KEBAJIKAN LUHUR TIDAK DIKENAL SEBAGAI KEBAJIKAN
(The Superior)
BAB 39 BARANG SIAPA BERSATU DENGAN TAO AKAN SEMPURNA
(Oneness)
BAB 40 SIFAT KEBALIKAN IALAH PERGERAKAN TAO
(Movement of the Way)
BAB 41 BILA TIDAK DITERTAWAKAN BELUM CUKUP UNTUK DISEBUT TAO
(What the Way is Like)
BAB 42 TAO MENCIPTA SATU, SATU MENCIPTA DUA DAN SETERUSNYA
(All Things)
BAB 43 KEBAJIKAN TANPA BERBUAT (WU WEI) DARI TAO
(The Value of Non-action)
BAB 44 TAHU KECUKUPAN DAN TAHU BERHENTI ADALAH SIFAT DARI TAO
(How to Endure)
BAB 45 TAO YANG SEMPURNA TAMPAKNYA KURANG SEMPURNA
(Skill Seems Awkward)
BAB 46 KEINGINAN YANG TIDAK MENGENAL PUAS TIDAK SESUAI DENGAN TAO
(Contentment)
BAB 47 TAO BERTENTANGAN DENGAN PENDAPAT UMUM
(Understanding)
BAB 48 YANG MEYAKINKAN TAO MAKIN LAMA MUNDUR
(Doing Less)
BAB 49 SIFAT SEORANG BUDIMAN YANG SESUAI DENGAN TAO
(The Power of Goodness)
BAB 50 TAO MEMBIMBING KE ARAH JALAN HIDUP
(Those Who Preserve Life)
BAB 51 TAO MENGHIDUPI DAN MEMELIHARA SEGALANYA
(Mystical Power)
BAB 52 TAO ADALAH POKOK PERMULAAN SEMUA BENDA
(Practicing the Eternal)
BAB 53 JALAN KEARAH TAO SANGAT LAPANG TETAPI ORANG MEMILIH JALAN YANG SEMPIT
(Leaders in Robbery)
BAB 54 TAO ADALAH MILIKI YANG KEKAL DAN ABADI
(Power)
BAB 55 KEBAJIKAN LUHUR DARI TAO BAGAIKAN BAYI
(Know Harmony)
BAB 56 YANG MENGERTI TAO TAK BICARA DAN YANG BICARA TAK MEGERTI
(Mystical Unity)
BAB 57 YANG SESUAI DENGAN TAO HIDUP DAN YANG MENENTANG RUNTUH
(Love Peace)
BAB 58 PEMERINTAH BERDASAR TAO DAN YANG MENENTANG TAO
(Result of Process)
BAB 59 RAJA YANG HEMAT DAN SEDERHANA MENGENAL TAO LEBIH DINI
(Be Frugal)
BAB 60 DI DALAM NEGERI YANG SESUAI DENGAN TAO TAK ADA GANGGUAN IBLIS
(Spirits)
BAB 61 NEGERI BESAR YANG SESUAI DENGAN TAO MENJALANKAN POLITIK DAMAI
(Large and Small Countries)
BAB 62 TAO ADALAH PELINDUNG SEGALA MAKHLUK
(The Way is Valued)
BAB 63 TAO MEMBALAS KEJAHATAN DENGAN KEBAIKAN
(The Wise Never Strive)
BAB 64 TAO TAK PERNAH MENGUASAI SESUATU MAKA TAK PERNAH KEHILANGAN
(Do Not Grab)
BAB 65 RAJA BUDIMAN YANG SESUAI DENGAN TAO MEMBIMBING RAKYAT PADA SIFATNYA
YANG WAJAR
(Know the Eternal Standard)
BAB 66 PEMIMPIN RAKYAT YG BERSIFAT RENDAH HATI SESUAI DENGAN TAO
(Leading from Behind)
BAB 67 PADA TAO YANG MAHA BESAR, ORANG TAK DAPAT MENYESUAIKAN DIRI
(Three Treasures)
BAB 68 KEBAJIKAN TIDAK BERGULAT, YANG SEIMBANG DENGAN TAO
(The Power of Not Striving)
BAB 69 PANGLIMA PERANG YANG SESUAI DENGAN TAO LEBIH MENGHARGAI PERDAMAIAN
DARIPADA KEMENANGAN
(The Kind Win)
BAB 70 TAO YANG SESUNGGUHNYA MUDAH DIMENGERTI DAN MUDAH DIJALANKAN
(My Ideas Are Easy)
BAB 71 SIAPA MENGENAL TAO-PUN AKAN MENGENAL CACAT
(A Disease)
BAB 72 DALAM NEGERI YANG SESUAI DENGAN TAO TAK ADA REVOLUSI
(Do Not Suppress)
BAB 73 TAO TAK BEREBUT, TETAPI SENANTIASA MENANG
(The Way of Heaven)
BAB 74 TAO TAK MENGENAL HUKUMAN MATI
(Death)
BAB 75 KARENA TAK BERDASAR TAO MAKA RAKYAT MENDERITA
(Valuing Life)
BAB 76 TAO BERSIFAT LUNAK DAN MENENTANG KEKERASAN
(Life is Tender)
BAB 77 TAO MENGURANGI YANG LEBIH DAN MENAMBAH YANG KURANG
(Talking and Giving)
BAB 78 DI DALAM KELUNAKAN TAO TERSEMBUNYI KEKUATAN YANG BESAR
(The Soft and Weak)
BAB 79 MENTAATI JANJI ADALAH SESUAI DENGAN HUKUM ALAM
(Stay with the Good)
BAB 80 MEMERINTAH NEGERI KECIL SESUAI DENGAN TAO
(Home is Comfortable)
BAB 81 UCAPAN YANG SESUAI DENGAN TAO TAK INDAH, DAN YANG INDAH TAK SESUAI
(True Words)
(Uraian dalam bahasa Indonesia, merupakan terjemahan dari Bapak Lie Tjie Khay, dalam bukunya ‘Kitab Suci Taoisme-Tao Tee Cing’, sedangkan dalam bahasa Inggris merupakan terjemahan dari Sanderson Beck, dalam homepagenya ‘Wisdom of China and India-Tao Tee Ching’)
Sifat Tao
Sifat Tao tidak terbatas dan meliputi seluruh alam semesta, semua benda dan makhluk dalam kekuasaanNya, karena semua berasal dari Tao dan kemudian setelah tiada akan kembali kepada Tao. Sifat Tao tercermin dalam rangkaian kata yang indah pada kalimat pembuka kitab Tao Tee Cing,
“Tao, Khe’ Tao, Fei Ch’ang Tao; Ming, Khe’ Ming, Fei Ch’ang Ming”
yang dapat diartikan,
” Tao yang dapat dibicarakan, bukanlah Tao yang sebenarnya atau yang abadi; dan nama yang dapat diberikan, bukanlah nama yang sejati.” (Tao Tee Cing I,1) (“The Way that can be described is not the absolute Way; the name that can be given is not the absolute name.”)
Tao tidak mempunyai nama, karena sudah ada sebelum terjadinya langit dan bumi. Berapa banyak ‘nama’ yang dapat manusia berikan untuk Yang Mutlak, Yang Tiada Berawal dan Berakhir, Yang Kuasa, Yang Esa, dimana semuanya itu disesuaikan dengan tradisi dan kebudayaan setempat serta tingkat pencapaian spiritual seseorang. Nam, Lok, Brahman, Purusha, Prakriti, Hyang Adi Buddha, Eli, Eloi, Yehovah (YHWH), Yahweh, Iaveh, Kyrios, Adonai, Bapa di Surga, Amitabha di Tanah Suci, Allah, Tuhan, God, Lord, Th’ien, Shang Ti, dan tentunya masih banyak lagi. Dalam kitab Veda Hindu, dikatakan, “Manusia memanggil Tuhan dengan berbagai nama, tetapi orang yang bijaksana mengetahui bahwa Tuhan hanya Satu.” Lau Zi mengakui bahwa nama `Tao’ terpaksa Beliau berikan sesudah mencapai Kesempurnaan. Kata-kata memiliki keterbatasan sedangkan Kebenaran tidak dapat diungkapkan. Mencoba memahami Kebenaran dengan menggunakan kata-kata yang terbatas tersebut hanya akan menimbulkan penyimpangan. Dengan kebijaksanaan yang tinggi Beliau mengetahui, bahwa Tao sebagaimana nama yang diberikan tersebut, adalah sumber dari segala benda dan makhluk, sebagaimana dinyatakan berikut :
” Wu Ming, Th’ien Ti Ci’ Hsi You’ Ming, Wan Wu’ Ci’ Mu’ ”
yang dapat diartikan :
” Tiada nama, itulah kondisi permulaan terjadinya Langit dan Bumi. Setelah ada nama itulah sumber dari segala benda.” (Tao Tee Cing I,2). (“Nameless it is the source of heaven and earth; named it is the mother of all things.”)
Kedua kalimat pembuka dalam Tao Tee Cing tersebut (Bab I, ayat 1 dan 2) mendapatkan tempat yang sangat istimewa dalam ajaran Lau Zi, dan dianggap sebagai suatu intisari ajaran yang sepantasnya dipahami secara mendalam sebelum melangkah pada uraian berikutnya. Tanpa mengerti inti Tao yang sangat sulit diuraikan tersebut (sulitnya seperti menguraikan pencapaian moksha dalam Hinduisme ataupun pencapaian Nirvana dalam Buddhisme), dan konsep ‘Tiada Nama’ [Wu Ming] yang menyertainya, maka pemahaman berikut akan menjadi bacaan sia-sia belaka. Pendekatan filsafat Barat yang mendekati konsep penjabaran sifat Tao tersebut adalah Logos, suatu prinsip yang mendasari segala sesuatu di dunia ini. Bersatunya manusia dengan Roh Kudus merupakan inti realisasi diri dalam pendekatan ajaran filsafat Barat tersebut. Di dalam Hinduisme dapat dilihat adanya kesamaan dengan doktrin Brahman, dimana realisasinya terwujud dalam tingkat pencapaian moksha, bersatunya Atman (diri) dengan Brahman. Sedangkan dalam Buddhisme, dapat disamakan dengan konsep Dharmakaya, yang mana merupakan sifat Kebuddhaan yang melingkupi segala sesuatu yang eksis di dunia ini, realitas pencapaiannya bercirikan dengan terbebasnya segala bentuk keterikatan terhadap sifat ke-aku-an dan kemelekatan duniawi yang menyebabkan penderitaan, yang dikenal dengan tercapainya Nirvana/Nibbana. Mengingat banyaknya naskah Tao Tee Cing dari berbagai terjemahan yang dapat dijumpai di kebanyakan toko-toko buku ataupun di kebanyakan situs jaringan (web sites) di internet, maka Penyusun tidak akan menguraikannya semua secara berurutan. Penyusun mencoba mengelompokkan menurut topik yang diuraikan dalam Tao Tee Cing, sehingga dengan demikian akan membantu Pembaca untuk memahami intisari ajaran Lau Zi. Walaupun begitu, tetap disarankan untuk dapat membaca secara lengkap isi dari Tao Tee Cing tersebut.
Kekuatan tak terlihat yang menciptakan dunia ini adalah sesuatu yang paling hakiki. Keberadaannya terdapat dalam setiap derap kehidupan yang dapat kita jumpai dalam setiap kejadian sehari-hari. Setiap metode atau teknik yang terlalu rumit untuk menjelaskan hal ini, hanya akan menyebabkan kekacauan. Tao yang memiliki sifat suci dan kosong tidaklah berwujud, samar, kekal, tiada awal dan tiada akhir, namun merupakan sumber dari Alam Semesta.
” Ada suatu benda yang sifatnya samar, namun menjadi pencipta dari segala benda di seluruh alam semesta ini. Benda itu sudah ada terlebih dahulu sebelum ada langit dan bumi, sifatnya suci dan kosong. Dia berdiri sendiri dan tidak berubah, kekal dan abadi. Mengelilingi dan meliputi semuanya dengan tanpa berhenti dan tidak ada akhirnya, sehingga dapat dikatakan Ibu dari Alam Semesta.” (Tao Tee Cing XXV, 1-2).
Ungkapan sifat Tao tersebut dapat disamakan dengan pengertian Yang Absolut dalam pengertian Buddhisme sebagaimana dinyatakan dalam Sutta Pitaka, Udana VIII : ” Atti Ajatam Abhutam Akatam Asamkatan ” (artinya : “Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak.”)
Lau Zi mengakui bahwa sulit bagi Beliau untuk dapat memberikan suatu nama ataupun julukan kepada hal yang absolut tersebut, namun untuk dapat mengenalNya maka disebut saja ‘Tao’. Dengan demikian, ungkapan tersebut memperlihatkan bahwa kita janganlah terpaku pada kata-kata, sebagaimana jari yang menunjuk bulan, janganlah kita terpaku pada jari telunjuk tersebut, melainkan arah yang ditunjuk yaitu cahaya bulan itu yang harus kita temukan sendiri.
” Aku tidak mengetahui namaNya, aku catat dan menyebutNya `Tao’.” (Tao Tee Cing XXV, 3 ).
Keterpaksaan penamaan tersebut juga terbesit dalam pengertian Buddhisme mengenai penjabaran arti kosong yang disebut ‘Sunya ‘, sebagaimana disebutkan dalam Madhyamika-Shastra XV, ” Tidak dapat disebut kosong atau tidak kosong atau dua-duanya, atau bukan dua-duanya. Tetapi untuk mencirikannya disebut saja ` Sunya ‘.”
Angka `satu’ dapat diindentikkan dengan Yang Maha Esa yang dalam ajaran Lau Zi disebut Thay Chi’. Dan dari `satu’ terciptalah `dua’ yang disebut Yin dan Yang atau sifat wanita dan pria atau sifat energi negatif dan positif. Dari penggabungan dua sifat ini lantas melahirkan sifat ketiga, dan dari ketiga ini akan tercipta sifat keempat, kelima dan seterusnya.
“Tao menciptakan satu, satu menciptakan dua, dua menciptakan tiga dan tiga menciptakan segala benda dan makhluk yang berwujud dan terhampar di alam semesta ini. ” (Tao Tee Cing, Bab 42, 1).
Sifat ‘Satu’ adalah Chi’, yang berarti energi asal, atau roh yang dapat dikonotasikan dengan pengertian kata dalam Yahudi, Ruach, dimana berarti nafas atau roh, baik berasal dari Tuhan ataupun dari manusia. Sifat ‘Satu’ ini merupakan kekuatan hidup yang melingkupi dan memberikan gerak kehidupan kepada semua makhluk, suatu energi dunia yang membawa alam semesta ini ke dalam bentuk kehidupan, dan terus bertahan selamanya. Chi’ dalam pengertian Hinduisme dan Buddhisme dapatlah diidentikan dengan karma atau gudang kesadaran [alayavijnana] sebagaimana konsep yang dikembangkan dalam ajaran Yogacara [Vijnanavada/Wei Shih Cung] yang dirintis oleh Asanga (hidup sekitar abad ke-4 sesudah masehi) dan saudara keduanya, Vasabhandhu (th. 316-396) di India. Asanga mempercayai telah menerima doktrin Yogacara dari Buddha Maitreya secara langsung dari langit. Ajaran Yogacara ini kemudian dibawa ke daratan Tiongkok oleh Maha Acarya Tripitaka, yang terkenal sebagai bhikshu penjiarah ke India, Hsuan Tsang (th. 602-664). Kemudian Hsuan Tsang mendirikan sekte Ch’eng Wei Shih Lun, dimana ajaran pokoknya mengatakan bahwa benih karma universal yang tersimpan dalam gudang kesadaran [alayavijnana] merupakan pembentuk umum dan benih karma tertentu sebagai pembentuk pembeda masing-masing individu. Chi’ yang senantiasa mengalir bersama kehidupan setiap makhluk hidup seperti aliran listrik , dimana tidak akan berhenti walaupun bola lampunya telah mati. Sehingga sifat ‘Satu’ ini dapatlah disebut sebagai energi murni [yuan chi’]. Sifat ‘Dua’ merupakan pencerminan kekuatan kembar Yin (energi negatif) dan Yang (energi positif). Perwujudan utama dari sifat ‘Dua’ ini adalah Langit dan Bumi. Sedangkan sifat yang ‘Tiga’ adalah manusia, dan secara bersama disebut ‘Sang Tiga’. Dari ‘Sang Tiga’ inilah terwujud segala bentuk kehidupan. Ungkapan dalam bahasa China untuk ini adalah Wan Wu, yang diterjemahkan secara hurufiah sebagai ‘sepuluh ribu benda atau makhluk’ , dimana secara harfiah berarti ‘terlalu banyak untuk dihitung’, karena meliputi seluruh isi dunia. Untuk dapat mengenali sifat keberadaan Tao, maka Lau Zi senantiasa meniadakan keinginan duniawi yang dapat menyebabkan keterikatan. Lau Zi yang telah mencapai Kesempurnaan memungkinkannya untuk bersatu dengan Tao karena Beliau telah mengalahkan hawa nafsu dan terbebas dari keterikatan duniawi.
” Maka dengan selalu meniadakan keinginan aku melihat keberadaan Tao.” (Tao Tee Cing I,3).
Ajaran Lau Zi sesuai dengan sifat alam yang dapat diumpamakan dengan sinar matahari yang menyinari seisi alam tanpa membeda-bedakan kaya dan miskin, kecil dan besar, suka dan tidak suka. Segala sesuatu di dunia ini berimbang, dimana ada positif akan timbul negatif, ada kaya maka akan diketahui ada miskin, ada cantik maka dapat dikenali jelek. Semua itu adalah pencerminan sifat Tao yang senantiasa berpasangan. Segala sesuatu adalah apa adanya, dan tiada memiliki perbedaan antara baik dan buruk. Tetapi karena tindakan kita memberi nama dan membeda-bedakan, sehingga burung merak dikatakan indah dan menarik, dan babi dikatakan jelek dan kotor. Tetapi apakah benar babi menyadari dirinya jelek dan kotor? Untuk dapat mengerti inti dari setiap hal, kita harus dapat menempatkan posisi diri kita pada sudut pandang yang benar. Setiap keberadaan memiliki inti dari segala sesuatu karena ia berhubungan dengan segala sesuatu yang lain. Meskipun kelihatannya muncul dan berdiri sendiri, tetapi ia mengalir bersama derap langkah kehidupan dan tiada terpisahkan secara keseluruhan.
” Di dunia ini, segala sesuatu yang indah dan baik, bilamana telah diketahui oleh manusia, disamping itu pasti ada yang jelek dan jahat.” (Tao Tee Cing II,1).
Lau Zi juga menjelaskan, bahwa sifat Tao luhur adanya, dimana tercermin dari ekspresi kagum Beliau atas keberadaan Tao yang tidak diketahui telah ada sejak kapan.
” Aku tidak tahu anak siapakah Tao itu, rupanya Dia sudah ada lebih dahulu.” (Tao Tee Cing IV,6).
Sifat dan kegaiban alam semesta kelihatan kosong, tetapi justru di dalam kekosongan tersebut terdapat sesuatu yang tiada batasnya. Manusia dalam berbuat, tidaklah perlu takut akan kehilangan. Semakin kita berbuat kebajikan, maka semakin cepat kita terisi kembali dengan kebahagiaan. Itulah sifat Tao yang senantiasa mengisi kembali yang telah digunakan untuk kebajikan.
” Alam semesta seperti alat yang menghasilkan angin (pompa), walaupun kosong tetapi tidak pernah berakhir. Makin banyak dipompa makin banyak menghasilkan angin.” (Tao Tee Cing V, 3).
Menurut Lau Zi, sifat Tao sesuai dengan air, mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Sifatnya lunak dan lentur, dimana selalu dapat menyesuaikan diri. Merupakan suatu unsur yang terpenting dalam kehidupan di dunia, dapat berdiam di tempat yang bersih maupun tempat yang kotor. Demikian juga dengan kebajikan yang diperbuat manusia, tiada memperhatikan perbedaan, itulah yang akan membawa kebahagiaan. Perbedaan merupakan sumber malapetaka di dunia ini. Berbagai perang antar negara dan suku yang terjadi dari sejak dahulu kala, hanya karena disebabkan perbedaan yang mementingkan sifat ke-aku-an masing-masing pihak. Garis perbedaan yang lebar antara kaya dan miskin, akhirnya menimbulkan kecemburuan sosial. Sifat Tao pada intinya tidak membedakan, hanya manusialah yang membuat perbedaan berdasarkan daya pikir masing-masing individu atau kelompok sosial tertentu, sehingga persaingan selalu terjadi di alam maya ini, dimana akhirnya menyebabkan makin banyak penderitaan.
” Kebajikan bagaikan air. Air menguntungkan semuanya dan tidak pernah bersaing. Air senantiasa mengalir ke tempat yang lebih rendah, bahkan di tempat yang kotor sekalipun, sehingga air seperti sifat Tao.” (Tao Tee Cing VIII, 1).
Kekosongan
Kita selalu menghargai atau menilai sesuatu yang kelihatan secara fisik, misalnya rumah yang bagus, gelas yang indah, tas yang berwarna-warni, sehingga melupakan fungsi yang terpenting dari semua benda tersebut, yaitu bagian kosongnya, itulah yang mempunyai manfaat buat kita. Suatu kereta akan tidak dapat berfungsi sebagai kereta apabila tidak terdapat satu lubang kosong sebagai poros roda kereta tersebut. Demikian juga manusia yang ingin mengejar kesempurnaan spiritualnya, perlu menyisihkan waktu untuk merenungi keagungan Tao. Kesibukan duniawi sering menyebabkan kita merasa selalu diuber-uber waktu. Acara yang padat, bangun pagi sudah teringat untuk janji main golf, rapat di kantor, janji makan siang, rapat di luar kantor, janji bertemu makan malam, dan janji main golf lagi di waktu malam. Kesibukan ini akhirnya menyebabkan kita makin jauh dari Tao, jauh dari sifat Kebuddhaan kita, jauh dari sifat Budiman yang merupakan pembawaan asal sewaktu terlahir di dunia maya ini.
“Tiga puluh jari-jari suatu roda kereta yang terpasang pada gandaran hanya bisa berputar tergantung dari satu lubang kosong sebagai porosnya. ” (Tao Tee Cing XI,1 ).
Untuk menerima suatu ajaran Kebenaran Sejati , maka kita harus senantiasa mengosongkan segala konsep, doktrin, dogma, teori yang melandasi pikiran kita. Cawan teh yang penuh tentu tidak dapat diisi lagi dengan air teh yang baru. Pikiran kita sering terkonsepsi oleh berbagai dogma yang menimbulkan berbagai penolakan terhadap konsep baru yang bertentangan dengan pikiran kita tersebut. Sehingga kita perlu menyisihkan ataupun mengosongkan konsep lama yang telah ditanamkan dalam pikiran kita agar bisa menampung yang baru.
” Benda keramik; misalnya gelas, cangkir, mangkok dan sebagainya dapat dipakai, karena adanya bagian yang kosong, sehingga kalau tidak ada bagian kosongnya, maka tidak ada gunanya, tak dapat dipakai sebagai tempat teh atau lainnya.” (Tao Tee Cing XI,2)
Jalan Kebenaran tidak memiliki pintu, dan terbuka ke semua arah, selayaknya suatu ruang kosong, yang dapat didatangi dan ditinggalkan dengan berbagai cara. Yang dibutuhkan hanyalah ‘kunci’ untuk membuka misteri ruang kosong tersebut. Penempatan ruang yang kosong dengan cara pengendalian pikiran seperti meditasi, sangatlah berguna untuk dapat memberikan tempat bernaung Tao dalam diri sejati kita. Selayaknya membuat pintu atau jendela, maka baru bisa terjadi apabila ada bidang yang kosong untuk fungsi pintu atau jendela tersebut.
” Melubangi tembok untuk pintu atau jendela, barulah berguna untuk kamar.” (Tao Tee Cing XI,3).
Suasana kosong sangatlah dibutuhkan untuk keseimbangan hidup . Sehingga untuk melakukan meditasi dalam mencapai alam kekosongan [wu-chi’] , maka diperlukan kondisi kosong dari segala keinginan yang dapat menimbulkan keterikatan duniawi. Keinginan yang dilandasi suatu nafsu pemuasan badaniah, suatu keinginan untuk memiliki.
” Yang menimbulkan keserasian antara energi positif (Yang) dan energi negatif (Yin), adalah suasana kekosongan dari alam kosong (bu-khek/ wu-chi’).” (Tao Tee Cing Bab 42 , 3).
Alam kekosongan walaupun tidak terwujud secara kasat mata, namun sebagaimana pompa angin, tidak pernah habis dipakai. Kosong tetapi berisi, berisi tetapi kosong, itulah suasana dari alam kosong. Dengan kosong dari segala bentuk kekotoran batin, maka seorang Taois dipenuhi oleh energi murni [yuan chi’]. Energi murni ini terdapat dalam setiap manusia yang mana menjadi tercemar pada pada saat dilahirkan di dunia.
” Kebulatan yang penuh kelihatan kosong adanya, tetapi kegunaanya tidak ada habisnya.” (Tao Tee Cing Bab 45 , 2)
Keadaan meditasi dilukiskan oleh Lau Zi berada dalam kekosongan pikiran, sehingga diperoleh ketenteraman dalam diam. Dalam keadaan demikian, akan sampailah kita pada keadaan kesunyataan yang berarti membuka tabir alam semesta, hingga masuk ke dalam alam lainnya yang tidak dapat dilukiskan dengan perkataan duniawi.
” Mencapai kekosongan yang sempurna. Dalam keadaan diam dan tenteram, hingga sampai pada puncaknya. Sehingga segala gerakan dari berbagai benda di seluruh alam dunia ini dapat disaksikan, bagaimana tumbuh dan hidupnya segala pergerakan tersebut, begitupun kita akan menyaksikan kembalinya mereka pada asal mulanya.” (Tao Tee Cing XVI, 1 – 2 ).
Berbagai siklus kehidupan dapat kita ‘saksikan’, bagaimana mereka tumbuh, berkembang dan kembali ke asal mulanya. Perulangan demikian dalam Taoisme diistilahkan ‘Fu’, yang berarti ‘mengulang’ atau ‘mengerjakan kembali’. Hukum yang melandasi segala yang kelihatan, segala sesuatu yang berwujud makhluk hidup, adalah bahwa semuanya akan kembali ke asalnya. Karena semua benda atau makhluk hidup berasal dari Tao, maka karena kekuasaan Tao juga, mereka akhirnya pasti kembali ke asalnya. Pengertian kekosongan dalam Buddhisme dikaitkan dengan adanya dua sisi di alam fenomena ini, yang diartikan sebagai sebab akibat yang saling bergantungan (Patticca Samuppada ) yang didasarkan pada konsep Ketidak-kekalan (Anicca) dan Ketanpa-intian/Ketanpa-akuan (Anatta) . Dalam Kebenaran Umum/Duniawi (samvrti-satya) segala sesuatu di alam fenomena ini adalah nyata, ada dan benar, tetapi dari pandangan Kebenaran Akhir (paramartha-satya) hal-hal tersebut adalah relatif, disebabkan segala sesuatu berubah dan tanpa inti yang kekal. Nagarjuna (hidup sekitar th. 150 M di India), pendiri sekte Madhyamika, yang dianggap sebagai filsuf terbesar yang sulit dicari tandingannya dimana karya-karyanya sangat mempengaruhi filsafat Mahayana khususnya konsep mengenai Sunyata (Kekosongan) dalam ajaran Prajnaparamita, mengatakan dalam Karika, “Ajaran Buddha didasarkan atas dua Kebenaran, yaitu Kebenaran Duniawi [samvrti-satya] dan Kebenaran Akhir [paramartha-satya]. Mereka yang tidak mengerti perbedaan antara dua Kebenaran ini, tidak akan mengerti arti yang mendalam dari ajaran Buddha.”
Seseorang harus senantiasa menjaga pikirannya, sehingga dengan mengerti konsep kekosongan yang dilandasi oleh dua Kebenaran tersebut, maka kita tidak akan terusik oleh berbagai fenomena di alam semesta ini. Jika pikiran sudah seimbang, maka bukan saja kejahatan yang harus ditanggalkan, tetapi juga harus mampu menumbuhkan kebajikan. Dengan demikian kita tidak akan diperbudak oleh berbagai nafsu keinginan duniawi yang menimbulkan keterikatan. Pada akhirnya, hal-hal yang bersifat dualisme akan mampu disingkirkan, dan keseimbangan batin dalam alam kekosongan akan tercapai, sebagaimana air danau yang tenang dan bening yang mampu memisahkan kita dari arus samsara (lingkaran kelahiran dan kematian).
Perwujudan
Semua keterangan dalam Tao Tee Cing tidak dapat menjelaskan perwujudan Tao, sehingga sifat Tao senantiasa masih samar samar dan sulit dimengerti mengenai rupa, suara dan wujudnya. Bahkan oleh Lau Zi dikatakan bahwa Tao itu tidak berupa, tidak bersuara dan tidak berwujud yang menggambarkan kesamaran Tao, sehingga sukar untuk dijelaskan. Tetapi kita dapat merasakan kebesaran Tao, betapa sempurna dan luhurnya Tao.
” Dilihat tidak kelihatan mukanya, sehingga dikatakan tidak berupa. Didengar tidak kedengaran, sehingga dikatakan tidak bersuara. Diraba tidak dapat merasakannya, sehingga dikatakan tidak berbentuk. Inilah tiga sifat yang tak dapat dimengerti atau dilukiskan, maka telah bersatu dalam kesamaan.” (Tao Tee Cing XIV, 1).
Apa yang coba diekspresikan oleh Lau Zi di sini adalah merupakan suatu pengalaman mistikal yang mana sulit sekali untuk dijelaskan melalui keterbatasan kalimat manusia. Tidak dapat dilihat dengan mata biasa, tidak dapat didengar dengan pendengaran biasa, tidak dapat dirasa dengan alat pengecap rasa. Hanya dengan melalui meditasi yang mendalam, seseorang itu dapat melihat tidak melalui mata, mendengar tidak melalui telinga, dan merasakan tidak melalui alat pengecap rasa. Metode meditasi untuk melihat tanpa melalui mata, dan mendengar tanpa melalui telinga, itulah yang dinamakan Pengamatan Cahaya [Quan-Kuang] dan Pengamatan Suara [Quan-Yin]. Bagaimana bersatu dengan Tao, adalah bersatu dalam Cahaya dan Suara. Sebagaimana setetes air yang berasal dari laut, terpisah dan menjelajah dalam beragam kehidupan, akhirnya akan kembali menyatu ke dalam laut. Manusia adalah seperti setetes air yang terpisah dari lautan, tujuan dari hidup ini mencari dan bersatu kembali dalam lautan yang besar, dalam suatu kesamaan, kesamaan dengan Tao, Allah, Bapa di Surga, Tuhan, Hyang Adi Buddha, Brahman, Nam, Lok, Purusha, Shang Ti, Th’ien, God, Lord, Logos, Eli, Eloi, Yehovah (YHWH), Yahweh, Iaveh, Kyrios, Adonai, dan berbagai julukan Agung lainnya yang dapat dipikirkan oleh manusia. Melihat dengan mata, mencium bau dengan hidung, dan mendengar dengan telinga adalah merupakan suatu kenyataan umum yang tidak dapat dipungkiri kebenarannya, tetapi haruslah dapat kita sadari bahwa itu bukanlah mencakup segalanya. Hanya pada saat tidak ada perbedaan antara bentuk tampak luar dan perasaan hati di dalam, yaitu pada saat gerak dan perhatian telah menyatu, seperti tulang dan daging dalam suatu bentuk keselarasan, barulah mata akan berfungsi seperti telinga, telinga akan seperti hidung, dan hidung seperti mulut tanpa ada perbedaan. Pada saat kondisi ini telah dicapai, maka kita akan melihat seluruh gerak kehidupan mulai dari suatu tunas. Dan ketika kita menyaksikan daun jatuh, maka kita tahu bahwa pohon ingin beristirahat. Perwujudan adalah merupakan suatu bentuk kekosongan, sebagaimana terungkap dalam Prajnaparamita Hrdaya Sutera (Sin-Cing) yang disabdakan oleh Avalokitesvara Bodhisattva kepada Y.A. Sariputra, “Dalam hal ini, O , Sariputra, wujud (rupa) adalah kekosongan (sunyata), dan kekosongan itu sendiri adalah wujud; kekosongan tidak berbeda dari wujud, dan wujud juga tidak berbeda dari kekosongan; apapun yang merupakan wujud, itu adalah kekosongan, apapun yang merupakan kekosongan itu adalah wujud. Begitu pun halnya dengan vedana (perasaan), samjna (pencerapan/persepsi), samskara (dorongan pikiran/bentuk-bentuk mental), dan vijnana (kesadaran). Demikianlah, O, Sariputra, segala sesuatu (dharma) bercorak kekosongan (sunyata); mereka tak muncul, juga tak berakhir; tidak kotor, juga tidak murni bersih; tidak kurang, tidak lengkap atau bertambah.” Dalam Sutra Altar atau dikenal juga sebagai Sutra Sesepuh Ke-Enam , dikatakan, “Semua bentuk adalah khayalan….Jika seseorang memahami bahwa semua bentuk bukanlah bentuk, ia akan memahami Kebenaran Sejati [Tathata].”
Kekekalan
Keabadian fisik sering merupakan tujuan kehidupan para Taois, khususnya sesudah era diperkenalkannya Taoisme Mistik. Seorang Taois yang telah mencapai kesempurnaan, dimana telah berhasil mengembalikan energi murni [yuan chi’], maka ia telah mencapai alam Dewata dan menjadi seorang dewa [hsien]. Seorang Taois yang berusia panjang dianggap sebagai orang suci karena telah berhasil mengolah dirinya secara berkelanjutan, hal ini merupakan suatu bukti nyata akan kesucian dan kebersatuannya dengan Tao. Taois yang suci memperlihatkan fisik yang sehat, penampilan yang bercahaya, dan di dalam dirinya mengalir terus sumber energi yang diwujudkan dalam pancaran aura yang berkekuatan dan memberikan pengaruh yang positif terhadap sekelilingnya. Hal ini merupakan suatu perwujudan sifat keagungan yang nyata dari Tao. Pencapaian kekekalan ini lebih dihayati oleh para pengikut Taoisme Mistik, walaupun demikian dalam Taoisme Filsafat, banyak juga ditemukan uraian yang menggambarkan kekekalan Tao, suatu sifat keabadian Tao yang tentunya terwujud juga dalam diri manusia. Bagaimanapun, konsep perubahan alam atau anicca sebagaimana yang dipahami dalam Buddhisme, juga kelihatannya terbesit dalam berbagai uraian karya Lau Zi dalam Tao Tee Cing. Sehingga kekekalan yang didambakan oleh para Taois, dapatlah disamakan dengan suatu pencapaian alam pikiran tidak bergerak, yang telah terbebas dari lingkaran kelahiran dan kematian, atau Nirvana/Nibbana. Langit dan bumi dapat hidup secara kekal dan abadi (menurut penglihatan manusia), karena sifatnya yang tidak egois, dimana mereka bekerja untuk semua makhluk tanpa membeda-bedakan, maupun menyombongkan diri karena pujian dan tidak pernah marah karena celaan. Manusia juga demikian, segala budi baik yang dilakukan selama hidup, yang sesuai dengan Tao, akan selalu dikenang sepanjang masa , secara abadi dikenang walaupun dia telah tiada. Sebagaimana para Guru Agung terdahulu yang telah menjalankan misi suci di dunia ini, dengan membabarkan ajaran Kebenaran hakiki untuk kebaikan umat manusia tanpa mementingkan diri sendiri, walaupun telah berlalu 20 abad sekalipun, tetap dikenang, dihormati, dan dijunjung tinggi.
” Langit adalah abadi dan bumi sangatlah tua. Mereka dapat abadi dan langgeng, karena keberadaan mereka tidak untuk diri sendiri, tetapi untuk semua makhluk di alam semesta ini, sehingga langit dan bumi dapat kekal adanya.” (Tao Tee Cing VII, 1).
Dikatakan juga oleh Lau Zi, bahwa sifat alam semesta adalah tidak kekal adanya, dimana tiap saat dapat berubah dan apabila telah mencapai puncaknya, akan mulai berkurang dan menyusut, sehingga lama kelamaan akan punah sama sekali, hal ini dapat disamakan dengan konsep Ketidak-kekalan [anicca] dalam Buddhisme .
” Bila alam akan membuat susut / berkurang sesuatu, terlebih dahulu akan dibuatnya panjang / banyak.” (Tao Tee Cing XXXVI, 1).
Oleh karena kekayaan dan kemuliaan adalah hal yang tidak kekal adanya, dimana akan musnah suatu saat, maka dengan membanggakan kekayaan dan kemuliaan dapat menjadikan suatu bencana di kemudian hari.
” Kekayaan dan kemuliaan, apabila dijadikan kebanggaan, akan mendatangkan kesusahan.” (Tao Tee Cing VIX, 5).
Lau Zi juga mengaitkan kekekalan ini dengan penderitaan, seperti ajaran Buddha Gautama yang menyebutkan, bahwa setiap keberadaan adalah tidak kekal dan senantiasa berubah. Sehingga dengan mengerti hukum kekekalan tersebut akan menyebabkan hidup kita terbebas dari kesengsaraan dan penderitaan. Kebencian dan kebodohan merupakan dua faktor yang menyebabkan seseorang itu hidup bertentangan dengan Tao, hal ini juga dapat dijumpai dalam pengertian Buddhisme dengan penambahan nafsu keinginan rendah. Kebodohan itu sendiri akan menghantar seseorang ke dalam tataran nafsu keinginan rendah yang menyebabkan penderitaan.
” Siapa yang mengenal hukum kekekalan, berarti bijaksana, dan mengenal hukum kebenaran dan hukum alam. Sebaliknya yang tidak mengenal hukum kekekalan itu berarti hidup dalam kebencian dan dalam kebodohan, hingga hidupnya bertentangan dengan Tao dan hukum kebenaran yang menyebabkan hidup dalam kesengsaraan dan penderitaan, yang tiada habisnya.” (Tao Tee Cing XVI, 5 ).
Penderitaan
Sama seperti ajaran Buddha Gautama mengenai Empat Kesunyataan Mulia (Four Noble Truth), demikian juga Lau Zi mengakui adanya penderitaan yang membuat manusia hidup gelisah dan senantiasa merasa takut dan khawatir, yang disebabkan oleh adanya sifat ke-aku-an dalam setiap manusia. Manusia, apabila berbuat suatu jasa kemudian mendapatkan pujian akan membuat dirinya menjadi sombong dan dapat menyebabkannya melakukan perbuatan di luar kemampuannya, guna memperoleh pahala yang lebih besar lagi, tanpa menyadari bahwa suatu saat dia akan mendapat celaan atau caci maki yang dapat membuatnya berduka dan menderita. Maka seorang bijaksana yang mengenal Tao dan mengetahui hukum alam, senantiasa mengundurkan diri dan menolak segala penghargaan yang diberikan kepadanya, hingga dia senantiasa diindahkan. Hal ini memberikan suatu bukti, bahwa keserakahan dapat menimbulkan penderitaan. Sebaliknya, apabila kehidupan dapat disesuaikan pada keadaan alam dan sifat Tao, walaupun dia masih bekerja untuk mencari nafkah, tetapi itu hanya sekedar untuk membiayai hidupnya dan mencurahkan segala miliknya untuk kebaikan sesamanya tanpa menonjolkan diri, maka hidupnya akan bahagia di alam manapun. Apapun hal-hal yang berkaitan dengan keduniawian apabila dijadikan kebanggaan, maka akan menimbulkan penderitaan. Kekayaan dan kemuliaan sebagaimana hal-hal duniawi lainnya, adalah tidak kekal adanya, dan akan berubah sesuai situasi dan kondisi yang ada. Segala sifat perubahan akan menyebabkan penderitaan.
” Kekayaan dan kemuliaan, apabila dijadikan kebanggaan akan mendatangkan penderitaan.” (Tao Tee Cing IX, 5).
Seorang Taois sejati tidak pernah membanggakan pahalanya, dan senantiasa mengetahui kapan dia harus puas akan kehidupan duniawinya. Sikap berpuas diri dan tidak melekat kepada hal-hal duniawi, tentunya akan menciptakan kondisi kesiapan bagi diri kita untuk menghadapi hal yang terburuk sekalipun.
” Maka seorang bijaksana setelah melakukan pahala bagi dunia lalu mengundurkan diri, inilah justru sesuai dengan jalan Tao.”(Tao Tee Cing IX, 6).
Kemelekatan
Pendapat mengenai bahwa untuk mencapai ketentraman batin haruslah menyingkirkan segala harta benda yang dimiliki, tidaklah benar menurut pendapat Lau Zi, karena yang penting bukan harta bendanya, tetapi adalah dirinya sendiri. Apabila kita sudah terikat dan melekat pada harta benda, walaupun disingkirkan tidaklah ada artinya, tetapi apabila keterikatan atau kemelakatan tersebut yang ada pada diri kita dapat disingkirkan, malah harta benda tersebut dapat dimanfaatkan bagi kepentingan sosial. Sifat Alam adalah tidak pernah melekat pada suatu kepemilikan. Pohon jeruk menghasilkan buah jeruk, tetapi tidak pernah melarang orang lain untuk menikmati buahnya. Dengan demikian, akan tumbuh pohon-pohon jeruk yang lain. Apabila kita berkata kepada seseorang dengan mengatakan, “Ini mobiku.”, maka pada detik itu juga kita sudah mengikatkan diri dengan mobil tersebut. Sehingga apabila terjadi goresan ataupun ditabrak yang mana mengakibatkan lecet pada mobil tersebut, maka kita akan merasakan ketidak-tentraman.
” Bagaikan Alam yang menciptakan segala benda dan isinya, tetapi tidak menganggap sebagai miliknya.” (Tao Tee Cing II, 10).
Sifat berdana memang baik sekali, namun tidak banyak orang yang senang melakukannya. Orang demikian sering merasakan kehilangan atas apa yang telah didanakan, dimana kalaupun harus diikutkan berdana, maka hanya dilakukan kalau hal tersebut akan menjadikannya bangga dan terkenal. Ketidak-melekatan terhadap hal-hal duniawi, merupakan salah tujuan utama pencapaian latihan spiritual dalam Taoisme. Taoisme yang mengajarkan kembali ke asal berarti kembali tidak pernah memiliki apa-apa. Lau Zi mengungkapkannya dengan sifat Tao, yang karena kosong , tidak memiliki apa-apa, maka tidak kehilangan apapun.
” Bekerja tetapi tidak membanggakan kepandaiannya. Berjasa tetapi tidak mengakui pahalanya. Oleh karena tidak mempunyai apa-apa, maka dia tidak pernah kehilangan apa-apa.” (Tao Tee Cing II, 11).
Sesepuh Ke-Enam Buddhisme Ch’an [Zen] di Tiongkok, Hui Neng (th. 638-713), menguraikan ketidakmelekatan yang dipadukannya dengan konsep kekosongan [sunyata] pada puisi dindingnya yang terkenal, “Pada hakekatnya tiada pohon pencerahan [bodhi]. Tiada juga cermin bersih berkemilauan dan tempat berdirinya. Karena dari awal semuanya kosong adanya. Bagaimana pula bisa ada debu yang melekat.”
Kesempurnaan
Kesempurnaan menurut Lau Zi adalah orang yang telah bebas dari sifat ke-aku-an, sehingga dapat menemukan diri sejati dimana hidup bebas dari nafsu keinginan dan goncangan. Seseorang yang telah mencapai Kesempurnaan dapat bekerja untuk membantu alam dalam menyalurkan kebajikan pada sesamanya. Hal ini dapat disamakan dengan Sang Buddha yang telah mencapai Kesempurnaan [Anuttara Samyak Sambodhi]. Kesempurnaan yang dicapai akan membebaskannya dari segala nafsu keinginan dan sifat ke-aku-an, sehingga mampu mencurahkan sifat Cinta Kasih dan Kasih Sayang [metta karuna] yang tak terhingga, tanpa perbedaan, untuk kebahagiaan semua mahluk di alam semesta ini. Lau Zi menyatakan bahwa kesempurnaan seseorang dalam latihan spiritualnya, akan menyebabkannya menjadi perantara alam dalam menyalurkan sifat Kasih Sayang dan Cinta Kasih Tao yang tak terbatas. Orang yang telah mencapai kesempurnaan akan bersatu dengan alam dan tiada memiliki sifat membeda-bedakan, dimana dia akan hidup tanpa memiliki masa lalu dan sekarang, tetapi meliputi semuanya. Orang yang masih membeda-bedakan antara hormat dan hina, tinggi dan rendah, besar dan kecil, maka akan sulit baginya untuk dapat melihat Kebenaran yang mendasari semua hal.
” Maka orang yang mencapai kesempurnaan, dapat bekerja untuk kebaikan alam dan seolah-olah dapat menjadi perantara alam dalam mencurahkan Kasih Sayang kepada sesamanya (tanpa membeda-bedakan). Orang yang dirinya diliputi Cinta Kasih, dapat bekerja untuk alam dan dapat menjadi perantara alam dalam menyalurkan Cinta Kasihnya kepada sesama manusia (tanpa membeda-bedakan).” (Tao Tee Cing XIII, 3).
Kesempurnaan akan dicapai oleh orang yang mengakui adanya kekurangan dalam dirinya, karena dengan mengakui kekurangan dalam diri sendiri akan menyebabkan kita selalu dekat dengan Kebenaran Sejati.
” Dalam pribahasa kuno dikatakan; bahwa siapa yang mengaku dirinya serba kurang, justru dia akan menjadi sempurna.” (Tao Tee Cing XXII, 12 )
Sifat dari seseorang yang telah mencapai kesempurnaan, dilukiskan oleh Lau Zi akan mengalami kecermelangan, dimana manusia dari segala penjuru dunia akan menggangguminya. Sesuai dengan kehidupan Buddha Gautama pada saat telah mencapai kesempurnaan, maka beribu-ribu orang telah datang untuk mencari perlindungan padaNya, melalui Sang Tri Ratna (Buddha, Dharma dan Sangha). Demikian juga Para Guru Agung sejarah lainnya yang telah menjalankan misi kemanusiaanNya di dunia ini, selalu dipuja oleh manusia dari segala penjuru yang datang untuk memperoleh perlindungan dariNya.
” Barang siapa mencapai persatuan dengan Tao, maka seluruh alam ini seolah-olah dalam genggaman tangannya; manusia dari segala dunia akan datang kepadanya, bukan untuk permusuhan melainkan untuk mendapatkan perlindungan darinya.” (Tao Tee Cing Bab 35, 1).
Sifat diam atau tenang, diungkapkan Lau Zi merupakan suatu sifat yang sempurna, yang merupakan sifat kekekalan atau kestabilan batin yang tinggi. Dengan suasana diam kita mengamati tindakan, sehingga kegagalan dapat dihindarkan. Sifat diam dan tenang merupakan suatu pencapaian samadhi yang mendalam, dimana tidak saja tercermin pada saat kita duduk bermeditasi, tetapi juga terpancar keluar dalam setiap kegiatan.
” Diam atau tenang, adalah kekekalan atau kestabilan yang sesuai dengan sifat yang sempurna.” (Tao Tee Cing Bab 45, 6).
Seorang yang telah dapat sempurnakan dirinya hingga sesuai dengan Tao, maka akan memiliki kebajikan untuk membimbing rumah tangganya dalam kesempurnaan, sehingga kebajikannya semakin luhur. Dengan kebajikan yang luhur tersebut dia akan melihat kesempurnaan orang lain, rumah tangga lain, kampungnya, negerinya, dan seluruh dunia. Dunia sering dikatakan tercipta dari pikiran, maka dengan pikiran positif yang tercapai dalam kesempurnaan, semua akan menjadi positif, semua akan sempurna. Pikiran positif menarik hal-hal yang positif, pikiran negatif menarik hal-hal yang negatif, demikianlah dunia itu tercipta.
” Maka dengan diri melihat diri; dengan rumah melihat rumah; dengan kampung melihat kampung; dengan negeri melihat negeri; dan dengan dunia melihat dunia. Seseorang yang telah mencapai kesempurnaan dirinya, maka dapat menggunakan pandangannya yang jelas terhadap diri orang lain dan setelah dia dapat menyempurnakan rumah tangganya sendiri, maka diapun dapat pandangan yang jelas rumah tangga lain. Sehingga dari kesempurnaan rumah tangganya sendiri, menjalar rumah tangga lain; dari kampungnya sendiri menjalar ke kampung lain; dari negerinya sendiri menjalar ke negeri lain, hingga jauh untuk kesempurnaan dunia.” (Tao Tee Cing Bab 54, 9).
Panca-Indra
Segala kekalutan pikiran disebabkan pengaruh dari luar tubuh kita yang terbawa masuk melalui panca- indra atau panca-skandha menurut ajaran Sang Buddha. Misalnya mata melihat rumah mewah atau mobil mewah mendatangkan keinginan untuk memilikinya. Hidung mencium wangi masakan mendatangkan rasa lapar dan ingin menyantap masakan tersebut. Begitulah panca-indra dapat terpengaruh oleh keadaan, sehingga nafsu keinginan berkobar laksana bara api yang membakar sekujur tubuh, akibatnya akan menjerumuskannya ke dalam jurang kekalutan dan kebodohan batin. Adalah suatu kenyataan, bahwa panca-indra dapat membangkitkan berbagai macam perasaan seperti marah, sedih, senang, takut, susah, benci, dsb. Pentingnya mengendalikan panca-indra dengan tujuan untuk melatih perbuatan, pikiran, dan perasaan kita, agar dapat dikuasai sehingga kita dapat menjadi `tuan bagi diri sendiri’. Lau Zi mengungkapkannya dengan berbagai hal-hal duniawi yang dapat menyebabkan kita menjadi penuh amarah (mata buta), menjadikan kita penuh kebodohan batin (tuli), dan menjadikan kita penuh nafsu keinginan (kehilangan rasa sejati).
” Panca warna dapat membuat mata menjadi buta, panca suara dapat membuat telinga menjadi tuli, panca rasa dapat membuat lidah kehilangan rasa sejati.” ( Tao Tee Cing XII, 1 ).
Sifat Ke-aku-an
Menyangkal diri atau menegasikan sifat ke-aku-an, merupakan suatu ciri dari setiap agama yang diperkenalkan oleh para Guru Agung. Sifat ke-aku-an menurut Lau Zi adalah penyebab penderitaan, yang biar bagaimanapun tingginya pencapaian kebatinan yang berhasil diperoleh oleh seseorang, tetapi apabila tujuan pencapaian tersebut berdasarkan sifat ke-aku-annya, maka dia akan masih tetap terikat dalam penderitaan, sehingga bila dia dapat membebaskan diri dari sifat ke-aku-annya, barulah dia akan memperoleh kebahagiaan dalam Tao. Lau Zi mengatakan bahwa kemuliaan ataupun kehinaan yang kita rasakan sebagai suatu kekhawatiran, hanyalah berasal dari sifat ke-aku-an dalam diri kita. Sifat ke-aku-an inilah yang menyebabkan kita khawatir. Kekhawatiran yang timbul, akan menyebabkan kita jauh dari Tao. Kekhawatiran akan kehilangan kemuliaan ataupun kehinaan yang dapat menyebabkan kita merasa malu, karena sifat ke-aku-an yang timbul dari kemelekatan terhadap nafsu keinginan duniawi
” Kemuliaan ataupun kehinaan mendatangkan rasa khawatir. Keberuntungan maupun kemalangan disebabkan adanya sifat ke-aku-an. Apa yang dimaksud dengan kemuliaan dan kehinaan mendatangkan rasa khawatir ? Kehinaan adalah keadaan rendah yang sangat ditakuti. Demikian juga kemuliaan dikhawatirkan akan musnah, sehingga dapat menyebabkan malu atau kehinaan. Itulah sebabnya dikatakan bahwa kemuliaan dan kehinaan mendatangkan rasa khawatir.” (Tao Tee Cing XIII, 1).
Kehidupan seseorang senantiasa berada di antara keberuntungan atau kemalangan. Karena adanya sifat ke-aku-an, maka membuat kita menjadi egois. Jika kita dapat membebaskan diri dari sifat ke-aku-an, maka kita akan bebas dari segala kegoncangan, sehingga akan diperoleh ketenteraman dan ketenangan. Demikian juga dengan bebasnya sifat ke-aku-an, maka akan diperoleh persatuan dengan Tao, yang berarti hidup langgeng, tenteram dan bebas.
” Apakah yang dimaksud dengan keberuntungan maupun kemalangan itu disebabkan adanya sifat ke-aku-an ? Sebabnya kita bisa mendapat kemalangan karena adanya sifat ke-aku-an, sehingga apabila kita tidak mempunyai sifat ke-aku-an, bagaimana kita bisa mendapat kemalangan ?” (Tao Tee Cing XIII, 2)
Pandangan Buddhisme mengenai penyangkalan sifat ke-aku-an [anatta] ada persamaannya dengan pandangan Taoisme dimana menekankan perlunya mengolah diri untuk membebaskan diri dari sifat ke-akuan agar terbebas dari kemelekatan terhadap nafsu keinginan duniawi sehingga tercapai kebahagiaan. Buddhisme memperluas pengertian sifat ke-aku-an ini dengan istilah ketanpa-intian dimana segala yang berkondisi pada alam semesta ini adalah tidak kekal adanya dan menderita sehingga tanpa inti adanya.
Orang Yang Berbudi Luhur (Budiman)
Sebagaimana ajaran Confucius yang menekankan sifat Budiman dalam setiap kelakuan, sehingga dapat hidup secara bertanggung jawab terhadap masyarakat dan kehidupan, maka Lau Zi juga menekankan pentingnya sikap hidup Budiman. Lau Zi mengumpamakan seorang Budiman selayaknya air telaga yang dalam, dengan sifatnya yang tenang. Hati seorang Budiman yang lemah lembut, dapat dipercaya, jujur, tenang, bijaksana, dan senantiasa mengalah sehingga dimanapun seorang Budiman berada, dapat diterima oleh lingkungannya.
” Di manapun seorang Budiman berada, senantiasa dapat menyesuaikan dirinya. Hatinya senantiasa tenteram, bagaikan air telaga yang dasarnya dalam. Dalam pergaulan selalu mencurahkan cinta kasihnya. Bicaranya lemah lembut dan dapat dipercaya. Dengan hati yang tenang dan jujur, dapat menyelesaikan segala persoalan secara bijaksana dan sempurna. Semua tugas dapat diselesaikan dengan baik. Setiap gerakan dilakukan pada waktu yang tepat, karena senantiasa mengalah. ” (Tao Tee Cing VIII, 3).
Kalau Sang Buddha mengisyaratkan bahwa seorang pelaksana Dharma sejati, selalu bertindak sesuai dengan Dharma, dan tidak akan pernah terpisah dari Buddha dan AjaranNya (Dharma), maka Lau Zi mengatakan bahwa seorang Budiman selalu dapat bertindak sesuai dengan Tao dan melakukan pekerjaan sesuai pula dengan Tao, tegasnya dalam segala tingkah lakunya tidak pernah berpisah, meski hanya sekejap matapun dari Tao.
” Maka seorang Budiman dalam tingkah laku sehari-hari tidak terpisah dari Tao, bagaikan tentara yang bergerak maju tidak dapat terpisah dari perbekalannya.” (Tao Tee Cing XXVI, 3).
Lau Zi menjelaskan, bahwa seorang Budiman yang sesuai dengan Tao tidak pernah menonjolkan kebajikannya, sebaliknya orang yang masih rendah budi pekertinya, bila melakukan sedikit saja kebajikan, selalu dipamerkan, dibangga-banggakan supaya mendapat pujian. Untuk itu seorang Budiman harus dapat menaklukan sifat ke-aku-annya, sehingga segala perbuatannya sesuai dengan Tao.
” Kebajikan luhur tidak dikenal sebagai kebajikan. Tetapi justru ini adalah kebajikan yang sejati. Kebajikan yang rendah terlihat nyata, akan tetapi justru karena kelihatan, maka bukanlah merupakan kebajikan yang sewajarnya. Kebajikan luhur tanpa berbuat, namun tidak ada yang tidak dikerjakan olehnya. Kebajikan yang rendah dilakukan menurut sifat ke-aku-an, maka perbuatannya mempunyai maksud tertentu, yaitu pamrih.” (Tao Tee Cing XXXVIII, 1-4).
Seperti diungkapkan dalam ajaran Confucius, bahwa di empat penjuru lautan ini semuanya saudara, sehingga dunia dalam keadaan harmonis dan manusia hidup damai, demikian juga dengan ajaran Sang Buddha yang membawa perdamaian dunia dengan mengatakan, setiap orang memiliki benih Buddha, sehingga setiap orang akan memandang orang lain sebagai saudara sederajat yang memiliki sifat sama juga dengan dirinya, dengan demikian akan dapat dihindari sikap saling membenci dan iri hati. Maka Lau Zi mengungkapkan dengan jelas bahwa seorang Budiman mengetahui, di dalam diri setiap orang tersembunyi sifat Tao, yang mempunyai sifat sama satu dengan lainnya, sehingga tidak membedakan di antara manusia dan memandang semua manusia adalah saudara dan mencurahkan cinta kasihnya tanpa membeda-bedakannya. Dengan memahami inti dari konsep ajaran-ajaran tersebut, maka dapat diharapkan seluruh kehidupan di dunia akan diliputi kesejahteraan, perdamaian, saling mencintai dan mengasihi bagaikan saudara sendiri.
” Para Budiman di dunia ini senantiasa memperkecil diri dan suka bergaul dengan rakyat jelata, tanpa mengadakan perbedaan satu sama lain dan memandang mereka sama saja seperti dirinya sendiri.” (Tao Tee Cing Bab 49, 4 ).
Terdapat tiga sifat luhur yang disebut Lau Zi sebagai Tiga Mestika, yaitu Cinta Kasih, Hemat, dan Tidak mendahului dunia, haruslah dipegang oleh seorang Budiman dan dijalankan dengan sepenuhnya.
” Aku mempunyai tiga mestika, yang aku pegang teguh dan mempertahankannya. Pertama Cinta Kasih, kedua Hemat, ketiga Tidak berani mendahului dunia.” (Tao Tee Cing Bab 67, 3).
Pepatah mengatakan, bahwa ” Semut di seberang lautan kelihatan, tetapi gajah di pelupuk mata tidak kelihatan.” Demikian juga terdapat banyak orang yang tidak melihat kekurangan dirinya sendiri, tetapi kekurangan orang lain akan selalu menjadi perhatiannya. Seorang Budiman dikatakan oleh Lau Zi tidak mempunyai kekurangan dalam dirinya, karena dia telah mengetahui dan mengakui kekurangan tersebut.
” Barang siapa mengenali kekurangan dalam dirinya sendiri, maka barulah dia dapat membersihkan kekurangan tersebut, sehingga dia akan tidak mempunyai kekurangan lagi. Seorang Budiman tidak mempunyai kekurangan, karena dia telah mengetahui segala kekurangan dalam dirinya dan berani mengakuinya sebagai suatu kekurangan dalam dirinya, sehingga dia dapat membersihkan segala kekurangan tersebut dan tidak mempunyai kekurangan lagi.” (Tao Tee Cing Bab 71, 2-3).
Sikap instropeksi diri merupakan hal yang paling utama dalam berbagai jalur spiritual yang telah diperkenalkan oleh para Guru Agung. Buddha Gautama bersabda, “Amat Mudah melihat kesalahan-kesalahan orang lain, tetapi sangat sulit untuk melihat kesalahan-kesalahan sendiri. Seseorang dapat menunjukkan kesalahan-kesalahan orang lain seperti menampi dedak, tetapi ia menyembunyikan kesalahan-kesalahannya sendiri seperti penjudi licik menyembunyikan dadu yang berangka buruk. Barang siapa yang selalu memperhatikan dan mencari-cari kesalahan orang lain, maka kekotoran batin dalam dirinya akan bertambah dan ia semakin jauh dari penghancuran kekotoran-kekotoran batin” (Dhammapada, 252-253). Yesus Kristus yang penuh Kasih juga memperhatikan pentingnya melakukan instropeksi diri, sabda Beliau, “Jangan kamu menghakimi (orang lain), supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu. Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak aengkau ketahui.” ( Matius 7 : 1-3). Guru Spiritual abad ini, Supreme Master Ching Hai mengatakan, “Berpegangan pada satu ujung, lalu menggunakan prasangka kita untuk mengkritik orang lain, menasehati orang, melarang orang, ini menunjukkan bahwa kita belum dewasa, belum mempunyai wawasan yang luas dan hati kita masih belum murni.” Sering sekali kita tidak melihat kesalahan diri sendiri sebagai suatu kesalahan, tetapi kesalahan orang lain yang sekecil apapun, sudah merupakan suatu kesalahan yang besar. Untuk itu pengembangan diri sendiri adalah penting adanya, sebelum kita berlaku untuk melatih orang lain dalam kebajikan. Buddha Gautama bersabda, “Hendaknya orang terlebih dahulu mengembangkan diri sendiri dalam hal-hal yang patut, dan selanjutnya melatih orang lain. Orang bijaksana yang berbuat demikian tak akan dicela.” (Dhammapada, 158). Yesus Kristus bersabda, “Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu. Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar dari mata saudaramu.” (Matius 7 : 4-5). Guru Sejati, Supreme Master Ching Hai mengatakan, “Kita harus menemukan kekuatan Kasih dalam diri kita terlebih dahulu, baru kita dapat benar-benar menyayangi orang lain.” Oleh karena seorang Budiman yang telah dapat mempersatukan dirinya dengan Tao, telah terbebas dari perasaan ke-aku-annya, hingga tidak egois, maka dia tidak perlu menimbun baik harta maupun benda, pujian atau nama baik untuk diri sendiri. Sebaliknya, dia hanya bercita-cita untuk mencurahkan kebaikan bagi sesamanya dan memberikan pertolongan kepada semuanya. Semakin banyak kebaikan yang dia lakukan, lebih besar kebahagiaan yang dia dapatkan, dan semakin banyak dia memberikan, maka kepunyaannya semakin bertambah.
” Seorang Budiman tidak menimbun. Semakin banyak dia berbuat kebaikan, semakin besar kebahagiaan yang dia dapat, dan semakin banyak dia memberi pada sesamanya, maka semakin bertambah miliknya.” (Tao Tee Cing Bab 81, 4).
Seorang yang Budiman, dikatakan oleh Lau Zi adalah seorang yang memegang teguh janji yang telah dibuatnya dan menjalankan segala kewajibannya dengan kesungguhan hati. Sebaliknya orang yang tidak berbudi, senantiasa memakai akal muslihat untuk menarik keuntungan dan dengan licik menyalahi perjanjian yang telah dibuatnya.
” Orang yang berbudi mentaati perjanjian, sebaliknya orang yang tidak berbudi menggunakan akal untuk menarik keuntungan dari perjanjian itu. ” (Tao Tee Cing Bab 79, 3).
Karma
Pengertian karma dalam Taoisme, dijelaskan dalam kaitannya dengan berbuat kebaikan dan kejahatan dalam kehidupan ini akan menerima pembalasannya. Hukum karma merupakan hukum yang diatur oleh alam, yang dapat mengadili segala perbuatan dengan seadil-adilnya, hingga tidak ada perbuatan sekecil apapun yang akan lolos dari hukum karma.
” Hanya ada algojo abadi dari Yang Maha Kuasa yang bertugas melaksanakan hukuman mati. Barang siapa berani mewakili algojo tersebut untuk melakukan hukuman mati, maka dia dapat diumpamakan sebagai wakil tukang kayu untuk menggunakan kampaknya guna menebang pohon. Dan barang siapa mewakili tukang kayu dengan menggunakan kampak untuk menebang pohon, jarang yang tidak melukai tangannya sendiri.” (Tao Tee Cing Bab 74, 3 – 4).
Kelahiran dan Kematian
Lau Zi menjelaskan, adanya kelahiran dan kematian yang disebut jalan hidup dan jalan mati. Siapa yang keluar dari jalan hidup, berarti akan masuk ke jalan mati. Orang yang mengetahui jalan hidup hanya 3 bagian dan yang mengetahui jalan mati hanya 3 bagian juga, maka yang hidup dapat menghindar dari tempat kematian juga hanya 3 bagian pula. Hal ini disebabkan kehidupan di dunia ini kebanyakan hanya mementingkan kesenangan duniawi dan kemewahan yang mendatangkan goncangan perasaan, hingga tidak dapat menempatkan dirinya dalam suatu kehidupan yang damai, yang mampu menyandarkan kehidupan mereka sesuai Tao.
” Keluar dari jalan hidup berarti memasuki jalan kematian. Orang yang mengetahui jalan hidup hanya 3 bagian. Yang mengetahui jalan mati hanya 3 bagian. Orang yang mempunyai kehidupan yang dapat menghindar dari tempat kematian hanya 3 bagian saja. Sebab apakah demikian ? Karena hidup manusia itu terlalu mementingkan kesenangan hidupnya sendiri, sehingga melupakan pada hidup benar dan Hukum Alam.” (Tao Tee Cing Bab 50, 1 -2).
Sebagaimana sifat Tao yang menciptakan dan menghidupkan semuanya; sementara kebajikan yang memeliharanya, sehingga bagi siapa yang bertentangan dengan kebajikan yang merupakan sifat Tao, tidak akan terpelihara.
” Tao yang menghidupi, kebajikan yang memelihara; benda yang mewujudkan dan sifat alam yang menyempurnakan. Dari segala makhluk, tidak semuanya dapat memuja Tao dan memuliakan kebajikan, karena justru dua aspek inilah yang menghidupi dan memelihara mereka. Maka Tao mencipta, memelihara, membesarkan, menumbuhkan, menjaga, menyempurnakan, merawat dan melindungi semuanya.” (Tao Tee Cing Bab 51, 1,2,4 ).
Kehidupan yang sebenarnya oleh Lau Zi dijelaskan penuh lemah lembut dan sabar. Sedangkan kematian, diibaratkan dengan kekerasan dan kekakuan.
” Manusia hidup di masa mudanya bertubuh lemas, tetapi setelah mati menjadi kaku dan keras. Segala benda di dunia ini misalnya pohon, rumput, dan sebagainya di waktu tumbuhnya dan hidupnya adalah lemas, tetapi setelah mati menjadi kering dan kaku. Maka keras itu adalah sifat dari kematian. Sebaliknya kelembutan itu adalah sifat dari kehidupan.” (Tao Tee Cing Bab 76, 1 – 3 ).
Kehidupan dalam Buddhisme juga dijelaskan agar manusia tidak terikat pada hal-hal untuk kepuasan diri sendiri, yang diartikan dengan mengambil Jalan Tengah sebagaimana tersebut dalam Sutta Nipata 35-200, Darukkhandha-Sutta , ” Misalkan sepotong kayu terapung di sungai. Bila kayu itu tidak tersangkut atau tenggelam, atau tidak diambil oleh manusia, atau tidak hancur karena lapuk, pada akhirnya kayu itu akan mencapai laut. Hidup adalah bagaikan sebatang kayu yang terbawa hanyut oleh arus sungai yang deras. Bila seseorang tidak terikat pada kehidupan yang memuaskan diri sendiri, atau dengan meninggalkan duniawi, tidak terikat pada hidup yang menyiksa diri sendiri; bila seseorang tidak menjadi sombong akan perbuatan baiknya atau terikat pada perbuatan jahatnya; bila dalam usahanya untuk mencari Pencerahan ia tidak memandang rendah pandangan yang salah, atau menjadi ngeri karena pandangan yang salah, orang seperti itu berjalan di Jalan Tengah.”
Pemerintahan
Apabila terdapat pemerintahan dengan suasana tenteram dan damai dengan kehidupan yang sederhana, maka tidak akan timbul segala bentuk kejahatan. Oleh sebab itu, suatu negeri yang dipimpin oleh seorang kepala pemerintahan yang arief dan bijaksana dan dapat mengatur kehidupan seluruh rakyatnya secara adil dan merata, sehingga tercapai ketenteraman dan kedamaian, maka akan menjadikan seluruh negeri aman dan sejahtera.
” Senantiasa berusaha agar rakyat tidak memiliki pengetahuan yang rendah, tidak timbul nafsu serakah dan angkara murka. Walaupun di antara mereka ada yang mengerti tipu muslihat, tetapi tentu mereka tidak berani melaksanakan, karena dalam suasana yang tenteram dan kehidupan yang sederhana, pengaruh kejahatan akan musnah.” (Tao Tee Cing III, 5).
Lau Zi mengenalkan adanya empat era pemerintahan yang menunjukkan bagaimana pribadi manusia jadi semakin merosot, hingga masyarakatpun jadi semakin kalut. Kebusukan bagaimanapun akan tercium, layaknya sampah membusuk yang dibungkus dengan kain sutera, tetap akan tercium bau busuknya. Sudah banyak kita saksikan dalam berbagai sejarah pemerintahan di kebanyakan negara ketiga ataupun negara terbelakang lainnya, dimana sering terjadi para penguasa tidak memperhatikan kesejahteraan rakyat, korupsi terjadi dimana-mana, para pejabat saling berlomba untuk memperkaya diri sendiri. Mungkin pada masa pemerintahan pertama, rakyat masih kurang mengetahui kepala negaranya. Pada masa pemerintahan kedua, adanya rasa hormat dan memuji yang karena suasana kamuflase yang diciptakan sedemikian rupa, sehingga rakyat merasa terlindungi. Intimidasi mulai muncul pada era ketiga, hanya untuk menunjukkan kekuasaan, sehingga rakyat ketakutan. Pada era berikutnya, dapat dipastikan terjadi pemberontakan dari rakyat menentang kekuasaan, dan kepala pemerintahannya dipandang rendah oleh rakyat.
” Pada dahulu kala, yaitu era yang pertama, rakyat tidak mengetahui siapakah yang menjadi kepala pemerintahan (raja). Pada era kedua, rakyat menghormati dan memuji pada kepala pemerintahannya (rajanya). Setelah sampai pada era ketiga, rakyat takut pada kepala pemerintahannya (rajanya). Dan pada era keempat, rakyat memandang rendah dan menghina kepala pemerintahannya (rajanya).” (Tao Tee Cing XVII, 1 – 4).
Sebaliknya pemerintahan yang dilakukan secara bijaksana, adil, tenggang rasa dan dalam menjalankan pemerintahan diutamakan kepentingan rakyat jelata, bukan untuk kepentingan sendiri, dapatlah disebut era emas yang diperintah oleh raja yang Budiman. Dimana apabila terjadi malapetaka ataupun bencana, rakyat juga tidak akan menyalahkan atau mengutuk kepala pemerintahannya (rajanya). Pemerintahan yang baik tercipta apabila rakyat dapat merasakan kemakmuran secara sewajarnya, sebagai suatu karunia dari Tao.
” Sebaliknya pemerintahan dari raja yang bijaksana begitu sempurna, karena sang raja selalu berhati-hati dalam membicarakannya, menjalankan pekerjaaannya untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan diri sendiri, meskipun demikian tidak membanggakan pahalanya, sehingga rakyat tidak dapat mengetahui, dan menganggap kemakmuran ini terjadi dengan sewajarnya.”(Tao Tee Cing XVII,6 ).
Raja yang bijaksana dan adil, tidak pernah menggunakan kekerasan untuk menghukum rakyatnya. Dia berhati tulus, jujur dan tidak mengenal korupsi. Terang seperti cahaya rembulan, tetapi tidak menyilaukan.
” Dari itu Raja bijaksana berlaku adil dan tenggang rasa, akan tetapi tidak menggunakan kekerasan untuk menghukum. Tulus hati dan tak menyusahkan orang, berhati lurus dan tidak korupsi. Terang tetapi tidak menyilaukan.” (Tao Tee Cing Bab 58, 7-8).
Akhir-akhir ini terdapat banyak peristiwa pemberontakan dan kudeta di berbagai negara. Pemberontakan dan kudeta tersebut disebabkan oleh perasaan tidak puas terhadap pemerintahan yang ada. Hal tersebut telah berlangsung dari sejak jaman pemerintahan di Tiongkok dulu yang mengalami berbagai penggantian kepala negara, karena rakyat merasa kurang puas dengan pemerintahan yang dinilai tidak adil dan bijaksana. Untuk itu, pemerintah haruslah senantiasa berusaha memperbaiki kehidupan dan nasib hidup rakyat jelata dan menjaga agar jangan sampai mereka menderita kesukaran, dalam hal tempat tinggal dan mencari nafkah, serta tidak dipersukar dengan segala undang-undang atau peraturan-peraturan yang membatasi ruang gerak mereka.
” Jikalau rakyat tidak takut lagi dengan kekuasaan pemerintah, maka dapat ditunggu datangnya pemberontakan dari rakyat. Jangan mempersempit tempat tinggalnya, jangan mempersukar kehidupannya.” (Tao Tee Cing Bab 72, 1-2).
Pemerintahan yang bijaksana juga sangat ditekankan dalam Buddhisme, dimana rakyat haruslah diberlakukan secara adil dan dianggap sebagai anak-anaknya. Hal ini tercantum dalam Bodhisattva-gocaropaya-visayavikurvana-nirdesa-sutra, ” Tugas seorang pemimpin adalah melindungi rakyatnya. Ia adalah orang tua bagi rakyatnya dan ia melindungi mereka dengan undang-undangnya. Ia harus mengentaskan rakyatnya, seperti orang tua mengasuh anak mereka, memberikan popok yang kering untuk mengganti yang basah, tanpa harus menunggu anaknya menangis. Demikian juga, seorang pemimpin hendaknya menghilangkan penderitaan dan memberikan kebahagiaan, tanpa harus menunggu rakyatnya mengeluh. Sesungguhnyalah, pemerintahannya tidaklah sempurna sampai rakyatnya merasakan kedamaian. Rakyatlah yang menjadi kekayaan negara. Oleh karena itu, seorang pemimpin yang bijaksana, senantiasa memikirkan rakyatnya dan tidak akan melupakan mereka walaupun sekejap.”
Tiada Berbuat [Wu Wei]
Dalam ajaran Lau Zi terdapat gagasan yang terkenal sebagai Wu Wei atau `Tiada Berbuat ‘, yang berarti membiarkan segala hal terjadi sesuai dengan apa adanya, alami, spontan dan bukan dibuat-buat. Karena pekerjaan Tao tercermin dari berbagai fenomena alam semesta, maka manusia pasti akan menanggung segala akibat dari perbuatannya. Walaupun begitu, kehidupan seorang Taois bukanlah berarti sama sekali diam atau tidak melakukan apa-apa. Melainkan lebih berarti, bahwa dalam menjalani kehidupan ini, berusaha menghindari perbuatan dengan prinsip ‘Tiada Berbuat’ [Wu Wei]. Secara positif, hal tersebut merupakan suatu ekspresi kehidupan yang mengandung nilai esensi spontanitas [Zi Jan]. Kalau konsep Chuang Zi dan Lieh Zi lebih mengarahkan manusia untuk mengolah diri ke dalam suatu bentuk realisasi kebebasan total, maka Lau Zi lebih menekankan perbuatan Wu Wei tersebut kepada kepala negara yang merupakan pucuk pimpinan kerakyatan tertinggi. Menurut Lau Zi, seorang kepala negara yang agung cukup bertindak sesuai kehendak Alam, dan seluruh rakyat akan merasakan kemuliaannya. Pengertian Wu Wei ini sangatlah dalam artinya dan memerlukan usaha yang tekun serta penghayatan yang mendalam, barulah dapat mengerti inti dari pengertian Wu Wei ini. Kenyataan dalam kehidupan dunia ini, bahwa siapa yang kuat dialah yang menang, seperti gajah dan manusia. Tetapi kenyataannya, terdapat juga yang kecil dapat mengalahkan yang besar seperti semut dan gajah.
” Kelemahan yang sempurna dalam dunia ini, dapat menguasai benda-benda yang kuat di dunia.” (Tao Tee Cing Bab 43, 1)
Wu Wei dalam pengertian Lau Zi dapat juga diartikan, dalam melakukan pekerjaan hanya mengikuti intuisinya tanpa melibatkan pikiran dan perasaan, sehingga tidak mengharapkan buah dan hasil pekerjaannya, tidak menonjolkan diri sehingga tidak meninggalkan bekas.
” Melakukan pekerjaan tanpa berbuat (Wu Wei) dan bekerja tanpa pamrih.” (Tao Tee Cing Bab 63, 1)
Keseimbangan sebagaimana layaknya sifat keluhuran Upeksa [Upekkha] dalam Brahmavihara Buddhisme, juga merupakan salah satu ciri yang ditonjolkan oleh Lau Zi dalam konsep Wu Wei ini.
” Rasa tanpa dirasakan, tidak ada rasa susah ataupun senang. Tidak ada perbedaan antara besar, kecil, banyak dan sedikit. Membalas kebencian dengan kebaikan.” (Tao Tee Cing Bab 63, 2).
Menyadari akan manfaat kebajikan dari Wu Wei, menyebabkan seseorang dapat bersatu dengan Tao, sebagaimana yang telah direalisasikan oleh Lau Zi.
” Dari itu, aku mengetahui betapa gunanya kebajikan dari Tiada Berbuat [Wu Wei].” (Tao Tee Cing Bab 43, 3).
Wu Wei bukan berarti bahwa kita harus menjadi seorang yang pesimis atau tidak berbuat apa-apa (malas) dalam menjalani kehidupan ini, tetapi justru sebaliknya mengajarkan suatu sifat penahanan diri yang tinggi untuk memandang dan menerima segala sesuatu sesuai dengan sifat alam semesta. Memang sulit untuk manusia yang masih terikat oleh berbagai keinginan duniawi dapat melaksanakan Wu Wei, sehingga Lau Zi mengakui juga bahwa jarang ada manusia di dunia ini yang dapat mencapainya.
” Memberi pelajaran dengan tiada berbicara, dan menggunakan dengan tiada berbuat, di antara manusia di dunia ini jarang yang dapat mencapai.” (Tao Tee Cing Bab 43, 4).
Adakalanya kita terlalu disibukkan dengan berbagai hal duniawi, sampai tidak memiliki waktu untuk diam sejenak. Segala permasalahan sering dibawa sampai ke tempat tidur, akhirnya menjadikan diri kita budak dari pikiran. Perbuatan atau gerak kita dikuasai oleh pikiran. Bagaimana dapat menjadikan kita menguasai pikiran adalah dengan ‘Tiada Melakukan’ atau ‘Diam’. Mendiamkan pikiran, sebagaimana layaknya air keruh yang didiamkan, maka kekotoran akan mengendap ke dasar, dan timbullah kejernihan di lapisan atas. Cara diam yang paling efektif sebagaimana telah diajarkan oleh Para Guru Agung terdahulu adalah dengan rutin melakukan meditasi. Disiplin dalam meditasi akan menghantarkan kita pada tataran ‘Diam’ sebagaimana dikatakan Lau Zi sebagai tuan dari perbuatan atau gerak duniawi kita. Dalam Buddhisme dikatakan, “Setelah mencapai tingkat meditasi dimana semua bentuk-bentuk pikiran dapat dihentikan, para siswa Sang Buddha Yang Maha Sempurna, dengan cara demikian memiliki ketenangan yang mulia.” (Theragatha, 650)
” Diam adalah tuan dari gerak.” (Tao Tee Cing XXVI, 2).
Pendapat mengenai Wu Wei ini dapat disamakan dengan inti ajaran Ch’an (Zen) dalam Buddhisme Mahayana. Realisasi Wu Wei tercermin dari suatu sikap kedamaian dan ketenangan yang terkendali, suatu sifat keluhuran berupa keseimbangan batin yang mendalam sebagaimana layaknya sifat luhur Keseimbangan [Upeksha/Upekkha] yang terdapat dalam Brahmavihara dalam pengertian Buddhisme. “Damai, tenang dan terkendali, berbicara sedikit, tiada kesombongan. Orang sedemikian itu menanggalkan semua kejahatannya, bagaikan angin yang merontokkan dedaunan pada sebatang pohon.” (Theragatha, 2)
29
TAOISME SAAT INI
Taoisme yang bersumber dari ajaran Lau Zi yang kemudian dikembangkan oleh Chuang Zi dan lain-lain, telah menjadi suatu aliran kepercayaan yang khas Tiongkok, dengan pemujaan kepada para Dewata yang menduduki berbagai tingkatan, dan masing-masing memiliki sejarah perbuatan luhur terhadap sesama manusia semasa kehidupannya.
Sebagai seorang penganut Buddha yang setia, dan pengikut ajaran Confucius yang Budiman, serta pengikut Taoisme yang sejati, maka dalam pelaksanaan puja bhakti terhadap para Buddha, Bodhisattva maupun para Dewa Pelindung Dharma, haruslah dipandang sebagai suatu puja bhakti atas pengungkapan rasa hormat dan terima kasih atas jasa-jasa perbuatan luhurnya terhadap kebahagiaan umat manusia semasa hidupnya. Demikian juga terhadap Dewata yang ada dalam Taoisme, rasa hormat yang sama juga dapat kita tunjukkan sebagaimana rasa hormat kita kepada para Buddha, Bodhisattva dan para Dewa Pelindung Dharma.
Dewata dalam Taoisme ini paling banyak menduduki kebanyakan kelenteng yang menganut paham Tiga Ajaran [San Ciau]; yaitu Buddhisme, Confucianisme dan Taoisme, dimana terdapat juga rupang Buddha, Bodhisattva dan Dewa Pelindung Dharma. Tiga tokoh tertinggi yang paling banyak dipuja dalam Taoisme dan disebut Tri-Murti [San Qing], yang berarti Tiga Maha Suci yaitu :
YU QING [Surga Kemurnian Kumala]
Surga ini dihuni oleh Trimurti yang tertua, yaitu Yuan Shi Th’ien Zun atau biasa dipanggil Yuan Shi Th’ien Wang, ada juga yang menganggapnya sebagai perwujudan dari Yu Huang Shang Ti, Yuan Shi Th’ien Zun dianggap sebagai asal dari segala benda yang ada di alam semesta (Yuan Shi berarti asal mula yang Maha Agung), dimana merupakan tokoh yang maya hasil renungan para tokoh Taoisme.
SHANG QING [Surga Kemurnian Atas]
Surga ini dihuni oleh Ling Bao Th’ien Zun atau biasa dipanggil Wang Th’ien Jun, adalah perwujudan dari Zhang Thien Shi yang bernama asli Zhang Tao Ling. Beliau dianggap pemelihara buku-buku dan dokumen suci lainnya. Beliau sudah ada sejak permulaan dunia. Beliau melakukan perhitungan waktu dan membagi masa atas beberapa kurun waktu. Dengan kedudukan Beliau di kutub atas dunia, maka Beliau dapat mengatur peredaran dunia dan menyelaraskan sifat negatif (Yin) dan sifat positif (Yang). Hari lahirnya diperingati pada tanggal 23 bulan ke-6 kalender lunar.
THAI QING [Surga Kemurniaan Agung]
Surga ini dihuni oleh Lau C’un Ya, Th’ai Shang Lau C’un, atau Th’ai Shang Hsuan Yuan Huang Ti Thai Shang Lau C’un adalah merupakan perwujudan dari Lau Zi, yang merupakan pendiri ajaran Taoisme dengan kitab karangan Beliau Tao Tee Cing. Beliau diangkat sebagai Dewa yang mengawasi pemerintahan di kahyangan. Dalam cerita klasik Kera Sakti (Sun Go Kong ), diceritakan bagaimana si Kera Sakti mencuri pil-pil dewa buatan Tha’i Shang Lau C’un, sehingga menyebabkan kegemparan di kahyangan. Hari lahirnya diperingati pada tanggal 15 bulan ke-2 kalender lunar.
Dari hasil pengamatan Penyusun terhadap praktek Taoisme yang ada, dapat dibagi dalam empat golongan pengikut paham Taoisme, yang merupakan suatu penggolongan lebih lanjut dari Tao Chia (Taoisme Filsafat) dan Tao Chiao (Taoisme Agama/Mistik), yaitu :
Pertama, Taois Cendekiawan, yaitu para pengikut Taoisme Filsafat [Tao Chia] yang mendalami filsafat Lau Zi maupun Chuang-Zi dengan kehidupan modern saat ini. Para pengikut filsafat ini terdiri dari berbagai latar belakang pendidikan dan kebudayaan yang pada umumnya menyenangi filsafat kebudayaan Timur. Mereka lebih mementingkan filsafat yang terdapat dalam Taoisme, daripada segala sifat pemujaan yang dianggap tidak masuk akal. Para penganut Taois Cendekiawan tersebut melakukan penerjemahan dan penafsiran kitab Tao Tee Cing maupun kitab Nan Hua Cing secara mendalam dan detail dengan contoh perbandingannya terhadap kehidupan saat ini. Penyebaran golongan ini berkembang baik di negara-negara maju, khususnya negara Amerika dan Eropa, sehingga timbul berbagai perkumpulan-perkumpulan pendalaman filsafat Tao yang lebih mementingkan meditasi dan latihan gerakan Thay Chi’ (Thay Chi’ Ch’uen), dalam mencari arti Tao yang sebenarnya. Dalam penjelajahan di beberapa situs jaringan (web sites) yang Penyusun lakukan, terdapat cukup banyak homepage yang menampilkan filsafat Taoisme ini secara mendalam dan sangat baik, salah satunya oleh Charles Muller , seorang cendekiawan Barat yang mendalami filsafat Asia Timur, dimana saat ini beliau menjabat sebagai Professor pada Departemen Kemanusiaan (Humanities Department) di Toyo Gakuen University of Chiba, Jepang.
Kedua,Taois Kebatinan, yaitu para pengikut Taoisme yang berdasarkan kegaiban alam semesta, terutama mendapatkan pengaruh oleh para pengikut Zhang Tao Ling. Para pengikut Tao ini, merupakan pengikut Shamaisme, dimana pada umumnya dapat mengosongkan jiwa [trance], sehingga dapat dimasuki oleh roh suci para Dewata Tao yang dipujanya atau dapat berkomunikasi dengan para Dewata tersebut. Dengan segala kesaktian yang ada, mereka dapat menjadi perantara (medium) dalam melakukan pengobatan, tulisan kertas mantra menyerupai mandala [Fu], pengusiran setan, dan lain sebagainya yang pada umumnya bertujuan baik untuk kesejahteraan umat manusia. Pengikut aliran Taoisme ini berkembang baik di beberapa negara Asia di luar Tiongkok antara lain; Taiwan, Hong Kong, Singapura, Vietnam, Malaysia dan Indonesia . Para pengikut paham Taoisme ini biasanya membentuk tempat pemujaan di rumah tempat tinggal sendiri dengan ruangan khusus yang dipakai juga sebagai ruangan suci para Dewata. Tempat pemujaan tersebut tidak terdapat banyak rupang (kadang kala tidak ada sama sekali), dan altar sembahyang dengan tempat hio dan lukisan atau tulisan di dinding atau kaca yang dibingkai berisikan syair asal muasal dari Dewata yang dipuja tersebut. Pembacaan mantra dan mudra tertentu sering dipakai dalam mendatangkan atau berkomunikasi dengan Dewata. Praktek-praktek lain yang dijalankan adalah sebagai ahli nujum [kwa mia], ahli feng shui, ahli pengobatan, dll.
Ketiga, Taois Tiga Ajaran Dewata, para pengikut Taoisme yang mengikuti paham filsafat Confucianisme dengan pendalaman Ajaran Sang Buddha, dimana pemujaan para Dewata Taoisme dilakukan karena dianggap menduduki tingkatan di atas manusia. Para Dewata Taoisme dianggap mempunyai kedudukan yang sangat istimewa dan dipuja sesuai dengan fungsi masing-masing serta dianggap dapat membantu penyelesaian masalah duniawi. Sedangkan para Buddha dan Bodhisattva tingkatannya di atas para Dewata (Terdapat beberapa Dewata Taoisme yang juga dianggap setingkat dengan para Buddha dan Bodhisattva). Ada kalanya para umat dalam kelompok ini menganggap, para rupang Buddha dan Bodhisattva juga sebagai dewa-dewi yang dipuja, karena akan memberikan berkah duniawi. Salah satu Dewi yang paling banyak dipuja adalah Dewi Guan Yin yang dianggap penjelmaan dari Avolakitesvara Bodhisattva sebagai Dewi Welas Asih. Sedangkan Dewa Guan Gong sering dipuja juga sebagai Dewa Kekayaan. Kehidupan vihara (di Indonesia disebut Kelenteng) tidak terikat pada ketentuan Vinaya yang ada dalam Buddhisme. Kelompok ini lebih mementingkan upacara-upacara yang berdasarkan kehidupan tradisional di Tiongkok waktu itu, terutama upacara yang berkaitan dengan pencurahan rasa bhakti kepada leluhur; misalnya upacara kematian dan sembahyang kepada orangtua yang telah meninggal. Ciri khusus vihara yang menganut Tiga Ajaran ini adalah terdapatnya rupang para Buddha (Buddha Gautama, Buddha Amitabha, Buddha Bhaisjyaguru), para Boddhisattva (Avalokitesvara Bodhisattva, Maitreya Bodhisattva, Ksitigarbha Bodhisattva, Skandha Bodhisattva), dan para Dewata Taoisme (Dewata Tri Murti, Guan Gong, Dewa Kekayaan, Dewa Bumi, Dewa Pendidikan / Confucius), Dewa-Dewi Pelindung Anak-anak, Dewa Panjang Usia, Dewa Harimau Putih, Dewa Pelindung Vihara, dll.). Pada hari-hari tertentu, umat yang bersembahyang memohon berkah dan keselamatan sangatlah banyak dengan lilin-lilin besar dan asap dupa yang memenuhi seluruh ruangan kelenteng. Di dalam kelenteng atau vihara tersebut tidak terdapat medium, yang ada hanya para pengurus kelenteng / vihara yang melayani umat untuk ciam sie, menjual alat-alat sembahyang, dan membantu tata cara sembahyang dengan pengucapan mantra-mantra dan kegiatan upacara lainnya. Sebenarnya penataan kelenteng / vihara dengan berbagai Dewata yang menduduki masing-masing fungsi tersebut juga mencerminkan suatu pengertian Tao yang dalam, dimana manusia sebagai individu diarahkan mempunyai suatu pandangan adanya kekuasaan yang lebih tinggi dari manusia, yaitu Tao itu sendiri. Selain di Tiongkok juga terdapat cukup banyak pengikut kelompok ini; antara lain : Taiwan, Hong Kong, Singapura, Vietnam, Malaysia dan Indonesia.
Keempat, Taois – Buddhisme, sebenarnya lebih tepat disebut sebagai Ajaran Sang Buddha dengan penyesuaian kebudayaan Taoisme dan Confucianisme, yang menekankan pentingnya ketentuan Vinaya dalam kehidupan para Bhikkhu / ni di dalam vihara. Penyembahan kepada para Dewata Taoisme tidak begitu diutamakan. Kelompok ini memasukkan tradisi-tradisi dan upacara-upacara yang berasal dari kehidupan rakyat di Tiongkok dalam menjalankan Ajaran Sang Buddha. Penyebaran aliran Taois – Buddhisme ini sangat dipengaruhi oleh penyebaran Ajaran Sang Buddha di Tiongkok waktu itu, yaitu Ch’an [Zen] Buddhisme yang termasuk dalam aliran Mahayana, terutama melalui sesepuh pertama Bodhidarma, yang untuk selanjutnya berkembang cukup pesat di bawah sesepuh ke-enam, Hui Neng. Selanjutnya terdapat perpecahan-perpecahan yang menyebabkan berkembangnya berbagai sekte dalam kelompok ini. Diceritakan dalam salah satu tokoh Ch’an Buddhisme di Tiongkok yang dijuluki Bodhisattva Shan Hui atau Phu Da Shi, dimana pada suatu hari beliau menemui Kaisar Wu dari Dinasti Liang dengan memakai jubah Buddhisme, topi Taoisme dan sepatu Confucianisme. Beliau menjelaskan kepada sang Kaisar yang bertanya dengan heran kepada beliau, bahwa dengan jubah Buddha, topi Tao dan sepatu Confucius, maka beliau telah menyelaraskan tiga rumah menjadi satu keluarga besar. Ch’an Buddhisme ini dapat dikatakan sebagai suatu bentuk harmonis dari ajaran Sang Buddha, Lau Zi dan Confucius. Dalam sejarah perkembangan Ch’an Buddhisme, tercatat beberapa tokoh dengan latar belakang Taois dan Confucianis, antara lain : Fa Jung yang berasal dari keluarga Confucianis (594-657 M); Shen Hui dari keluarga Taois (670-762 M); Bhikshu Shan Hui dari keluarga Confucianis (605 – 706 M) yang belajar Buddhadharma dari sesepuh ke-lima, Hung Jen. Beberapa negara Asia di luar Tiongkok yang cukup banyak pengikut ajaran ini; antara lain, Jepang (Zen), Korea [Son], Tibet, Taiwan, Hong Kong, Singapura, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia. Salah satu ciri khas vihara yang menganut paham kelompok ini adalah adanya rupang para Buddha (Buddha Gautama, Buddha Amitabha, Buddha Bhaisjyaguru), para Bodhisattva (Avolakitesvara Bodhisattva, Ksitigarbha Bodhisattva, Maitreya Bodhisattva, Samantabhadra Bodhisattva, Manjusri Bodhisattva, Mahasthama Prata Bodhisattva, Skanda Bodhisattva yang ditempatkan bersama-sama Deva Satya Dharma (Guan Gong), yang danggap sebagai pelindung vihara dan sangha. Pemujaan kepada Dewa Langit (Th’ien Sin) dan Dewa Bumi (Too Tee) juga adakalanya dilakukan.
Confucius: ” Hari ini saya telah bertemu Lau Zi dan hanya dapat membandingkannya dengan seekor Naga.”
30
PENUTUP
Dalam Bagian Penutup ini, Penyusun tidak bermaksud untuk menarik suatu kesimpulan yang memperbandingkan ataupun kesimpulan yang berbelit-belit dengan alasan :
1. Suatu kesimpulan sangatlah bersifat subyektif, tergantung dari pemahaman pribadi masing-masing.
Dengan membuat kesimpulan yang sifatnya subyektif tersebut akan menimbulkan sifat ke-aku-an yang tinggi, sehingga menimbulkan kemelekatan terhadap kesimpulan yang dibuat tersebut. Padahal kesimpulan itu sendiri tidaklah kekal adanya, dimana akan berubah karena adanya dogma, doktrin, ataupun adanya Guru Agung yang baru.
2. Menanamkan niat belajar.
Untuk menanamkan nilai atau niat belajar yang tinggi bagi para Pembaca yang Budiman dalam usaha membuat suatu kesimpulan sendiri. Dengan niat belajar yang tinggi akan mendidik diri sendiri dan memperluas hubungan sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
3. Diam atau tidak menyimpulkan apa-apa, dapatlah dianggap sebagai awal dari segala tindakan.
Apabila kata-kata telah terlupakan dan penghayatan telah mendalam, dimana sifat ke-aku-an yang menyebabkan kebencian dan keiri-hatian, serta kemelekatan terhadap keinginan duniawi telah tiada, dan dengan senantiasa menanamkan niat belajar yang tinggi terhadap segala sesuatu yang baru dan bertingkah laku Budiman [C’un Zi], serta senantiasa menyempatkan diri untuk berdiam diri (meditasi) dalam merenungi dan menghargai mahakarya alam semesta [Tao], maka dengan demikian akan tercapailah Jalan, terbangkitnya kesadaran atau sifat Kebuddhaan dalam menempuh kehidupan yang lapang, seimbang, harmonis, mulia, bahagia, penuh Cinta Kasih [Maitri] dan Kasih Sayang [Karuna] terhadap semua makhluk.
Apakah Jalan itu?
Seorang Bhikshu bertanya kepada Mahabhikshu Guishan Lingyou, “Apakah Jalan itu.”
Guishan menjawabnya, “Pikiran adalah Jalan.”
Bhikshu tersebut kebingungan dan bertanya lebih lanjut, “Saya tidak memahaminya.”
Dan dijawab oleh Guishan, “Kalau begitu Anda hanya perlu mengenal orang yang tidak memahaminya.”
Bhikshu menanyakan lagi, “Dimana saya harus menemukan orang yang tidak paham seperti itu?”
Guishan menjawab, “Tiada lain itu adalah Anda sendiri. Jika Anda mencari pengetahuan dari dunia luar, menyalahtafsirkan pengetahuan tersebut sebagai Zen atau Jalan, Anda cuma melantur semakin jauh saja. Cara belajar seperti itu hanya akan menenggelamkan pikiran Anda dan bukannya membawanya ke pantai seberang. Sehingga itu sama sekali tidak dapat disebut Jalan. Sadarlah bahwa yang tidak mengerti itu adalah pikiranmu sendiri, sifat Kebuddhaan Anda sendiri yang masih belum dibangkitkan.”
Buku ini Penyusun tutup dengan mengutip syair dari Kahlil Gibran (1833-1931), seorang penyair Arab perantauan terbesar yang terkenal memiliki citta rasa oriental yang eksotik-mistik, dimana karya-karyanya telah diterjemahkan lebih dari 20 bahasa. Suatu syair yang menggambarkan konsep pengertian lingkaran kehidupan dan kematian yang terus menerus karena timbulnya sifat ke-aku-an, pencarian yang tak berkesudahan, penemuan atas kunci pencerahan, dan kebijaksanaan untuk mencapai Kesadaran Sempurna, terbebas dari segala tawanan persoalan dan kesangsian.
” Himne Manusia ”
Aku dulu, dan aku kini.
Demikianlah aku akan ada hingga akhir waktu, karena ada-ku tiada akhir.
Telah kulintasi angkasa luas tak terhingga, dan terbang ke dunia fantasi,
dan menarik dekat lingkaran cahaya di ketinggian.
Namun lihatlah diriku seorang tawanan persoalan.
Telah kudengarkan ajaran Confucius, dan mendengarkan kearifan Brahma,
dan duduk di sisi Buddha di bawah pohon pengetahuan.
Lihatlah diriku kini menghadapi kejahilan dan kekafiran.
Telah kukenal Sinai ketika Yang Maha Kuasa memperlihatkan diriNya kepada Musa.
Dekat Yordania telah kusaksikan mukjizat orang Nazareth.
Di Madinah aku mendengar kata-kata Rasul dari Arabia.
Lihatlah diriku kini seorang tawanan kesangsian.
Telah kusaksikan kejayaan Babilonia dan kemuliaan Mesir dan keangungan Yunani.
Mataku tak henti menatap kekerdilan dan kemiskinan karya mereka.
Aku telah duduk bersama tukang sihir wanita dari Endor dan pendeta Asyiria,
dan para nabi Palestina, dan aku tak henti menyanyikan kebenaran.
Telah kupelajari kearifan yang turun ke India,
dan memperoleh keuntungan atas persajakan yang baik dari jantung Arabia,
dan mendengarkan musik rakyat dari Barat.
Namun aku tetap buta dan tak melihat; telingaku tuli dan aku tak mendengar.
Telah kupikul kekerasan para penakluk yang tak pernah kenyang,
dan merasakan tindasan para tiran dan perbudakan dari yang sangat kuat.
Namun, kutetap kuat melakukan pertempuran bersama hari-hari.
Semua ini telah kudengar dan saksikan,
dan aku tetap seorang anak.
Dalam kebenaran kan kudengar dan saksikan perilaku remaja,
dan berangkat tua dan mencapai kesempurnaan dan kembali kepada Yang Maha Kuasa.

Sutradharma Tj. Sudarman
To act is to fail;
To grab is to lose;
To be silent is to master the action.
Melakukan maka akan mengalami kegagalan;
Meraub maka akan mengalami kehilangan;
Mendiamkan maka akan menguasai perbuatan.


About this entry