Revolusi Kemanusiaan 3

(Muthma’inah)

Pengantar

Ketika konsep (utopis) “mimpi bareng” tentang masyarakat madani yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera yang didukung oleh manusianya yang sehat, mandiri, beriman, bertaqwa, berakhlaq mulia, cinta tanah air berkesadaran hukum/lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan/teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi serta disiplin, dan segudang nilai-nilai impian lainnya masih tetap ada di negeri antah berantah (Revolusi Kemanusiaan 1), maka patut kiranya, manusia merancang bangun kesadaran kemanusiaan serta menjadikan negeri antah berantah sebagai rujukan.

Apakah Negeri Antah Berantah itu ?

Sejatinya negeri antah berantah itu identik dengan negeri yang masyarakatnya madani, yang jika ditelusuri dari berbagai sejarah perkembangan peradaban manusia, dimanapun, prosesnya selalu diikuti dengan tokoh manusia setengah dewa, manusia kedewaan, dewa kemanusiaan, anak dewa, avatar, Nabi dan Rosul. (sebutan tokoh dibaca dari kesadaran bumi dan kesadaran langit). Yang pasti tokoh-tokoh tersebut memiliki sabda, tindakan dan kebijakan antah berantah yang diimpikan manusia banyak ketika tidur dan sangat sulit dipahami manusia banyak ketika bangun bahkan cenderung mengingkari dan memusuhinya (Revolusi Kemanusiaan 2). Jadi, Negeri Antah Berantah itu adalah suatu negeri yang manusianya  dalam keadaan terjaga dengan indikasi sebagai berikut :

  1. Terjaga dari kenyataannya bahwa manusia pertama kali ada dan diadakan di negeri antah berantah.
  2. Terjaga dari kenyataannya bahwa manusia sesungguhnya penghuni negeri antah berantah.

Dimanakah Negeri Antah Berantah itu?

Letak yang tepat haruslah  ditunjukkan dengan koordinat, dan negeri antah berantah memiliki koordinat sebagai berikut :

  1. Kesadaran bumi, yang diindikasikan dengan seberapa bisa manusia menumbuh kembangkan potensi langitnya ketika berinteraksi dengan potensi bumi yang cenderung memiliki masa dan menempati ruang.
  2. Kesadaran langit, yang diindikasikan dengan seberapa bisa manusia menumbuh kembangkan potensi buminya ketika berinteraksi dengan potensi langit yang cenderung tidak memiliki masa dan tidak menempati ruang.

Artinya, letak negeri antah berantah ada pada resultan titik berat kemanusiaan manusia itu sendiri. Yakni Kesadaran Antah berantah

Proses Munculnya kesadaran Antah Berantah

Pada koordinat ini, manusia tidak bisa mengelak adanya yang mengadakan, adanya sang Creator Agung yang begitu jauh karena keterbatasan (fitrah, dibaca amarah) potensi buminya, sang Berdaya juga begitu luas karena manusia lebih tertarik grafitasi keakuannya (fitrah, dibaca Tabi’i) dan sang Pemurahpun juga mulai nampak dalam berbagai fenomena alam, keajaiban kehidupan fauna, flora dan manusia itu sendiri (fitrah, dibaca Kauni). Dan jika penampakan awal ini diterima manusia sebagai pass word penjelajahan kedudukan manusia di kehidupan ini, Ia (manusia) sedang berada pada anak tangga keberadaan sang Mutlak (Pembuat system, baca Qodo-Qodar). Maka terucap Proklamasi kesadaran awal Antah barantah :

Aku (manusia) adalah Masterpiece-Nya Dzat Maha Mutlaq, Aku (manusia) adalah makhluq yang ber (akhlaq), aku (manusia) yang hidup memiliki ilmu, memiliki kekuasaan, memiliki kemauan (irodat), yang bisa berkomunikasi, bisa mendengar, bisa melihat, bisa mengurus/mengatur dan yang memiliki kebijaksanaan (Sifat-sifat kesempurnaan Dzat Maha Mutlaq)

Pada anak tangga ini, qodo terproyeksikan oleh sesuatu yang telah menimpa manusia dan qodar diproyeksikan sebagai kekuatan untuk mengharmonisasikan potensi bumi dan langit dalam mewujudkan rencana (keinginan) sebagai kenyataan. Dinamika anak tangga ini menghasilkan resultan dua arah extrim, jatuh pada anak tangga di bawahnya atau naik satu undakan ke anak tangga berikutnya. Pada anak tangga ini, manusia begitu bisa merasakan dengan sangat peristiwa-peristiwa yang ada disekitarnya membutuhkan penjelasan multi rasa. Ada banyak orang yang merasa terdzolimi karena terlahir cacat (fisik maupun mental), ada banyak orang yang merasa terdzolimi lantaran unsociality, ada banyak orang yang merasa terdzolimi lantaran bentuk-bentuk unmateriality. Sebenarnyalah pada anak tangga ini banyak kekecewaan-kekecewaan yang dirasakan manusia yang bisa berdampak kepada kemerosotan nilai kemanusiaannya jika tidak dijaga dengan suatu keyaqinan bahwa ini (seluruh kegagalan, kekecewaan dan keterpurukan) perlu dijelaskan setelah kehidupan ini. Disini manusia butuh keyaqinan tentang adanya suatu keadaan yang hitam putih (hitam adalah hitam, putih adalah putih). Keyaqinan terhadap adanya “ Real Justice” ini mampu menempatkan manusia untuk lebih memahami makna kecewa, sakit hati dan perasaan lainnya yang bersifat destruktif berpeluang bahkan terdorong untuk dikembangkan (dikelola) menjadi nilai-nilai Konstruktif.  Energi ini muncul dalam bentuk peng-Aku-an :

Aku (manusia) dilahirkan (dan berada) dalam keadaan fitrah (Tabi’at-Berakhlaq), Maka Bapak ibu(manusia)ku ( Antroposentris : Kecerahan kekuasaan, kecerahan budaya, kecerahan Pemikiran , kecerahan Perilaku Sosial dan kecerahan material) yang menjadikanku nasrani, yahudi atau majusi. Dan aku (manusia) berada dalam wilayah ketakberdayaanku (manusia) dan keharusanku (manusia) untuk tunduk taat tanpa syarat (‘abid) kepada Keberdayaan Dzat Mutlaq (Kholq) untuk kuikuti. Dan Aku (manusia) butuh manusia pilihan (Rasul) yang mampu me-merdeka-kan diri(manusia)ku sehingga berdaya untuk tidak nasrani, majusi maupun yahudi. Aku butuh kecerahan (kekuasaan, budaya, pemikiran, prilaku social, dan material) manusia(ku) memilih manusia pilihan-Mu (Rasul)  sebagai pengantar(manusia)ku pulang kembali kerumah(manusia)ku.

Pada anak tangga ini kebutuhan terhadap manusia pilihan (manusia setengah dewa, manusia kedewaan, dewa kemanusiaan, anak dewa, avatar, Nabi dan Rosul. (sebutan tokoh dibaca dari kesadaran bumi dan kesadaran langit) tidak bisa terelakkan lagi. Ada sebuah kekuatan untuk meyakini bahwa tokoh manusia di atas yang bisa berkomunikasi langsung dengan Dzat Maha Mutlaq adalah kekuatan multi dimensi (ruang dan waktu) sekaligus menempatkan sistem komunikasi multi dimensi (Sidratul Muntaha/’Arsy-Malaikat-Wahyu) adalah energi ke-aku-an (manusia) dalam pernyataan :

Aku (manusia) yang Kau seru sebagai An-Nafsu Al-Muthmainnah,

Aku (manusia) yang ridho saat Kau seru untuk pulang menghadap-Mu yang juga ridho.

Aku (manusia) yang Kau seru untuk menjadi hamba-Mu

Aku (manusia) yang Kau seru untuk memasuki syurga-Mu.

Penutup

Kesejatian manusia terletak kepada kesanggupan mengubah apa-apa yang menjadi kewajiban manusia (yang mendefinisikannya sebagai manusia) terhadap alam, makhluq hidup lainnya, sesama manusia, dirinya dan kepada Tuhannya menjadi kebutuhan atas (yang mendefinisikannya sebagai manusia) terhadap hal-hal tersebut di atas.

Berubahnya kata wajib menjadi butuh hanya bisa dilakukan oleh manusia yang telah memiliki kesadaran primitive yang kemudian bisa dikembangkan menjadi kesadaran langit lantaran mi’rajnya yang selalu terpancar dalam pernyataan :

Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada-Mu yang telah menciptakan langit dan bumi……………


About this entry